Tampilkan postingan dengan label Embun Firdaus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Embun Firdaus. Tampilkan semua postingan

Beasiswa



Benarkah mencari beasiswa itu sulit?
Sebelum mendapat beasiswa, saya akan menjawab: Sulit.
Setelah mendapat beasiswa, saya akan menjawab: Tergantung.

Mendapatkan beasiswa, sama seperti mencari hal lainnya di dalam hidup ini adalah kombinasi dari beberapa faktor, seperti: preferensi pribadi, kenyataan di lapangan, dan faktor X.  Ibarat ingin mencapai suatu tujuan dari lokasi tertentu pada waktu tertentu, maka pertimbangannya pun relatif dengan keadaan kita pada masa itu.  Sebagai contoh, apabila kita merencanakan perjalanan ke kantor di suatu pagi, pertimbangannya bisa bermacam-macam. Apakah hari itu hujan, apakah saat itu kondisi tubuh sedang kurang fit, apakah pagi itu jalan tol macet, apakah di waktu tersebut ada gangguan sinyal kereta api, apakah hari itu tanggal tua atau tanggal muda, apakah hari itu ada ST, apakah jatah flexy time sudah habis atau masih banyak, dan seterusnya dan seterusnya.

Begitu pula halnya dengan mencari beasiswa, tidak bisa disamakan jalan seseorang dengan orang lainnya karena situasi mereka pun belum tentu sama. Apabila beberapa sponsor mempunyai persyaratan yang berbeda, begitu pula halnya dengan kemampuan kita sendiri di dalam memenuhi persyaratan-persyaratan itu. Situasi menjadi sulit ketika kita tidak mampu mencocokkan antara keinginan dengan kenyataan hidup.

Baiklah sekarang saya membandingkan antara beasiswa yang mempersyaratkan psikotes (SPIRIT) dengan yang tidak mempersyaratkan psikotes (ADS). Kebetulan pernah merasakan kedua prosesnya. Seorang teman pernah bercerita bahwa ia tidak ingin mendaftarkan diri ke SPIRIT dan lebih suka mendaftarkan diri ke ADS. Setelah saya tanyakan mengapa, ia lalu berkata bahwa dirinya tidak pernah lulus psikotes. Tapi bukankah interview di ADS juga sulit? Temanku menjawab bahwa karena interview di ADS banyak yang berkisar dengan pekerjaan dan ia cukup paham dengan apa yang dikerjakannya selama ini maka ia lebih percaya diri dengan interview ADS daripada psikotes SPIRIT.

OK, paragraf tersebut di atas melihat beasiswa dari sudut pandang sponsor atau lembaga penyedia beasiswa. Sekarang, marilah kita melihat beasiswa dari sudut  pandang pribadi masing-masing. Mengapa kita perlu mengambil beasiswa? Apa pentingnya beasiswa? Apakah semua orang perlu mencari beasiswa? Nah ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang meskipun subjektif namun tidak kalah pentingnya untuk dipahami supaya tidak kecewa di kemudian hari.

Sebab bukan sekali atau dua kali saja saya mendengar problem yang dihadapi mahasiswa Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri. Ada yang hilang di Amerika, ada yang menderita sakit mental di Jepang, ada yang bunuh diri di Jerman, yang tidak lulus kuliah juga tidak sedikit, apalagi kalau sponsornya pemerintah dalam negeri … bukan hanya sedih karena tidak membawa pulang ijazah namun juga sedih karena harus mencicil hutang beasiswa melalui potongan gaji.

Dengan serangkaian potensi permasalahan ini, sayangnya ketakutan yang paling sering saya dengar adalah soal uang. Dan ini membuat saya merasa gatal. Tanpa menafikan pentingnya uang, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat potensi dan masalah yang lebih luas dari sekadar uang. Sebagai contoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa tunjangan hidup dari LPDP termasuk tinggi bahkan apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh sponsor internasional. Tapi seperti kata orang, “high return equals to high risk” maka ini berlaku juga buat mahasiswa LPDP. Teman saya bercerita bahwa LPDP mensyaratkan tidak ada mata kuliah yang gagal. Padahal kebijakan beberapa negara tempat kuliah penerima LPDP juga tidak seragam mengenai gagal atau tidaknya seorang mahasiswa di dalam mata kuliah tertentu. Sebagai contoh, ada negara yang memperbolehkan untuk mengulang mata kuliah, ada juga yang tidak. Selain itu, ada juga negara yang mengatur bahwa apabila seseorang gagal di mata kuliah tertentu maka ia tidak diizinkan untuk mengambil mata kuliah tersebut di seluruh universitas di negara itu untuk selamanya. Masalahnya, tidak semua orang bisa mengetahui hal-hal ini sebelum ia pergi ke negara yang dituju.

(bersambung)

Coincidentally un-Random


Visiting a friend for lunch break on the other day, I took a taxi … as the driver asked, “Going there everyday, Ma’am?” I said no, then asked why. Then he said, “Because every time you have this taxi, that building is always your place to go.” 
I was surprised, because I had not been there for some time. Then I realized, it was the same driver with the same taxi that I hailed randomly on the street last month.
“How did you remember?” I asked. He said, “Because you talked about current events, and it was a great conversation. I also remember your comment before getting out of the car, that your friend’s lobby looked rather pale with less plants/flowers around. Here is the place.”

NB: This was written in a personal journal on 12 January 2017.

Anak Baru





"Bagaimana tadi hari pertama di sekolah? Gurunya bilang apa saja?" Begitu cecar mama sepulang aku dari sekolah. Aku hanya bisa menjawab, "Ga tahu Ma, tadi ngga kedengaran suara gurunya."

"Lho, kok bisa? Kamu duduk di mana?"

"Aku duduk di pojok Ma"

"Kalau begitu besok kamu cari tempat duduk di depan ya?"

"Iya Ma."

Jadilah besoknya aku duduk di depan, dan itu hanya berlangsung 5 menit ... sebelum serombongan cewek kece mencecarku, "Ih, kamu .... Kamu siapa sih? Ini tempat duduk kita tauuu.... Sana, gih. Kamu harus pindah." Kujawab, "Tempat duduknya bebas kan? Siapa yang duluan datang boleh duduk di mana saja?" Dan mereka berkata, "Pokoknya ini tempat duduk kita, kamu harus pindah sekarang." Pokoknya adegannya mirip sinetron-sinetron zaman sekarang deh. Heran juga sih, teman-temanku itu belajar dari mana ... khan waktu itu belum ada sinetron. Maklum, TV kita cuma ada 1 saluran yaitu TVRI. Satu-satunya serial pendek tentang anak sekolah cuma ada ACI (Aku Cinta Indonesia). Silakan di-google untuk tahu betapa jadulnya program televisi kami semasa SD.

Jadilah aku pulang dan mendapatkan pertanyaan yang sama seperti kemarin, dan memberikan jawaban yang sama seperti kemarin. Payah? Tidak juga. Sebab, meski sering sial dalam hal sosial, aku sering beruntung dalam hal akademis. (Hampir) selalu juara umum selama di bangku SD dan SMP, sementara 15 dari 20 tahun masa studiku sampai saat ini selalu dibiayai dengan beasiswa. Termasuk gelar master of science di negeri Viking dan Thor.

Satu-satunya beasiswa itu luput dariku adalah di masa kelas 6 SD, dan meski hari itu aku tidak merasa senang ... tidak juga merasa sedih. Maklum, bagaimana kita bisa merasa 'kalah' kalau belum pernah merasa 'menang' karena memang selalu menang? Sama halnya dengan seorang anak yang selalu hidup dengan penuh cinta dan tidak tahu makna 'cinta' sebelum ia merasakan patah hati. Sama halnya dengan seorang anak yang tidak pernah memikirkan uang sampai tiba waktunya ia mencari uang. Tapi itu semua adalah topik untuk cerita lain.

Yang kutahu, setelah mendengarkan pengumuman kepala sekolah melalui pengeras suara di panggung tengah bazaar, waktu itu aku hanya mengobati kehilangan beasiswa dengan jajan ke kantin untuk membeli wafer superman. Dan di sanalah aku merasa sedih, bukan karena apa-apa ... tapi karena melihat temanku, Maria, menangis. Melihat matanya yang sembab dan merah, aku tak bisa untuk tidak bertanya, "Maria kenapa? Ada apa Maria?"



Ia terkejut melihatku, dan buru-buru menghapus air matanya ... sambil bergerak menghindariku. Tentu saja aku bingung, meski Maria tidak berkata apa-apa. Alhamdulillah ada seorang teman melihat kebingunganku, karena setelah kami beranjak pergi ia berbisik kepadaku, "Maria sedih karena tidak dapat beasiswa juara umum."


Aku bertambah bingung, "Mengapa sedih? Khan tidak apa-apa tidak dapat beasiswa ataupun juara umum. Tahun ini aku tidak dapat juara umum. Aku tidak dapat beasiswa. Apakah aku harus sedih juga?"




Temanku memandang dengan tajam, "Kamu tidak mengerti ya. Maria selalu mengharapkan mendapat beasiswa dan menjadi juara umum selama bersekolah di sini. Selama 5 tahun, selalu kamu yang mendapatkan hadiah itu. Selama 5 tahun ... dia kehilangan kesempatan itu. Tahun ini, kamu memang tidak juara umum. Tapi tidak juga Maria. Dia sangat sedih karena kelas 6 ini adalah kesempatan terakhir untuknya menjadi juara umum."

Dan .... itulah pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sesuatu yang dinamakan dengan 'rasa bersalah.' Membuat orang lain tidak bahagia karena sesuatu yang kukira selama ini membuatku bahagia. Tapi benarkah selama itu aku bahagia? Mungkin iya, karena aku melihat ayah dan ibuku tersenyum. Selama mereka tersenyum bahagia, aku bahagia. Aku tidak terlalu peduli dan tidak terlalu memikirkan bagaimana perasaanku sendiri. Tentu saja kelihatannya keren selalu juara umum dan selalu mendapatkan beasiswa. Yang tidak pernah kukatakan kepada orang lain adalah, "Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa bisa begini. Jangan tanya resepnya karena aku juga sedang mencari. Yang jelas, belajar itu menyenangkan." Berpikir tentang perasaan hanya terjadi ketika aku mulai beranjak puber. Tapi, tentu saja itu untuk cerita yang lain.


NB: 
Tulisan ini terinspirasi fenomena tahun ajaran baru, di mana saat ini seluruh orang tua dan siswa baru sedang berharap-harap cemas menjelang kenaikan kelas. Bagaimana suasananya? Bagaimana sistemnya? Apakah anak saya akan betah? Apakah gurunya baik? Apakah anak saya akan mendapatkan teman? Dan seterusnya, dan seterusnya. Saya belum pernah menjadi orang tua. Tapi saya pernah menjadi murid baru. Dengan menceritakan beberapa situasi yang kurang menyenangkan yang pernah dialami di sekolah, mudah-mudahan saya bisa bisa berbagi harapan dengan pembaca ... bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga.








Nyonya Tua Bergaun Putih*


"Tapi, saya sudah buatkan you kue kentang..."


Cuma kalimat itu yang mendorongku naik bus kota demi sekadar mengunjungi seseorang yang tidak kukenal di sore hari. Menelusuri kumpulan gedung apartemen dan membuka salah satu pintunya hanya untuk melihat seorang ibu yang sudah teramat sangat tua membuat kue... rasanya seperti di film The Matrix ketika tokoh Neo pertama kalinya bertemu dengan Nyonya Oracle yang bijaksana (itu kata adikku lho).

Minggu lalu, ibu ini menemukan nomor teleponku terselip di buku tabungan. Ia menelepon ke rumah, kemudian ke kantor, lalu mengingatkan bahwa aku pernah berkata akan berkunjung dan mengobrol dengannya. Tentu aku masih ingat itu semua. Hanya saja pertemuan kami terjadi lorong rumah sakit, ketika sama-sama menunggui keluarga yang dirawat inap. Setiap hari ia selalu mengenakan gaun putih, selendang putih, dan sepatu putih. Tampak seperti berusia 50 tahun, ia berkata sebenarnya sudah berusia lebih dari 80 tahun. Meski percakapan kami terasa menyenangkan dengan bahasa yang gado-gado, aku tak mengira akan berlanjut seperti ini. 

Aku selalu menyukai persahabatan. Hanya saja ... ketika bahasa menjadi tidak penting dan hati nurani yang lebih sering bersuara, terutama ketika aku merasa disayangi, ada semacam upaya terselubung untuk merasionalisasikan semuanya supaya menjadi masuk akal di kepalaku yang kecil ini. Ketika logika itu tidak kutemukan, aku pun menjadi makhluk penakut.

Jadilah aku datang mengunjungi Mrs. Lily sekadar membayar hutang atas janjiku itu. Yang benar saja, dari segi bahasa, ras, latar belakang kebudayaan, agama, dan usia ... begitu banyak perbedaan kami. Ada banyak perasaan bangga dan sedikit rasa takut ketika ia menyambutku dengan pelukan dan kecupan "I love you"... atau sewaktu ia memberitahu telah bercerita kepada satu putranya bahwa seorang 'anaknya' akan berkunjung hari ini.

Ia mengajakku ke dapur untuk melihatnya memanggang kue yang teksturnya seperti martabak. Sebelumnya, adonan yang terbuat dari kentang setengah matang itu telah dibiarkan Mrs. Lily tergeletak selama berjam-jam di meja makan selama menunggu kedatanganku.

Kami makan kue dan mengobrol di sofa sambil menonton saluran Star TV. Aku yang biasanya geli dan tidak tahan mencela film-film India kini berupaya mengalihkan dorongan itu dengan meminta Mrs. Lily untuk menerjemahkan dialog tokoh pria dan wanita di sela isak tangis dan lagu-lagu mereka. Ada saatnya ia menyeka setitik air di sudut matanya ketika memberitahuku bahwa tokoh wanita kasihan kepada suaminya karena telah dikucilkan oleh ibu mertua yang tidak merestui pernikahan meraka (aduh mak... jadi pingin nangis juga ni). Berikutnya adalah acara seperti Indonesian Idol, dengan artis-artis pendatang India yang unjuk kebolehan dari breakdance sampai striptease, diselingi iklan arisan berhadiah Maal Amaal dan iklan pembersih kloset.

Mrs. Lily mengajakku touring sekeliling apartemen. Dapur, ruang makan, ruang tamu, kamar putranya, kamarnya sendiri, sampai ke balkon yang menghadap ke lapangan badminton di pinggir jalan. Ia juga menunjukkan foto-foto lamanya. Ada foto ayahnya yang seorang haji besar di Candigarh, ada foto ayah dan ibu mertuanya, ada foto cucunya, dan di sudut ruang makan ada tempat sembahyang putranya yang beragama Hindu, dilengkapi dengan patung dewa mengenakan kalung bunga. Suaminya sendiri beragama Islam, sementara putrinya yang berprofesi sebagai dokter telah menikah dengan pria Iran dan juga beragam Islam. Sebenarnya aku sendiri juga kurang jelas mengenai kepercayaan Mrs. Lily ini karena di perkumpulan tempatnya bersembahyang juga bergabung rekan-rekannya dari Jepang dan Cina.

Ia bertanya apakah aku anggota suatu perkumpulan arisan. Kataku, ayah dan ibuku ikut arisan ... tapi aku sendiri kurang tertarik dengan aktivitas tersebut. Mrs. Lily meminta supaya diajak apabila aku mengikuti arisan juga, ia ingin menggunakan namaku. Bila kami menang, semua hadiahnya diberikan untukku.

Mrs. Lily tinggal di apartemen bertiga bersama seorang putra dan pembantu. Minggu sore ini, putranya pergi bermain golf dan akan pulang sekitar pukul tujuh malam. Biasanya, Mrs. Lily hanya berdua bersama pembantunya sembari menunggu putranya pulang kerja pukul delapan malam dari kantornya di Kuningan. Seorang putranya lagi tinggal di Kelapa Gading sementara yang lain ada yang tinggal di Kemang, Poncol, dan bagian barat Jakarta.

Aku bertanya padanya tentang Drupadi, film wayang teranyar yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo. Oh ya, ternyata betul, menurut Mrs. Lily, Drupadi adalah tokoh wayang yang mempunyai lima suami (wow keren...). Tapi, bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Apakah suami-suami Drupadi tidak cemburu? Mrs. Lily menjelaskan bahwa Drupadi di kehidupan pertamanya adalah manusia tanpa suami. Sewaktu ia dihidupkan kembali (yaitu reinkarnasi), Drupadi berdoa agar diberikan suami... dan ia mengulang doanya itu sampai lima kali. Arjuna adalah suaminya yang pertama, ia memenangkan Drupadi dari sebuah sayembara panahan. Arjuna pulang ke rumah dan memberitahu ibunya bahwa ia baru saja mendapatkan hadiah, lalu ibunya meminta agar hadiah itu dibagi berlima bersama saudara-saudaranya yang lain. Jadilah Arjuna membagi Drupadi dengan Yudhistira, Bima, dan tokoh-tokoh wayang lainnya yang aku tidak ingat namanya. Dari kelima suaminya itu, Drupadi mempunyai lima orang putra ... dan lagi-lagi aku tidak hapal penjelasan Mrs. Lily kecuali bahwa Gatutkach (bahasa india-nya Gatotkaca kali ya?) adalah putra Bima.

Aku pamit pada pukul lima sore, dibekali Mrs. Lily dengan oleh-oleh kain sari, satu tupperware penuh dengan kue kentang, dan satu botol baby powder buatan Malaysia. She asked me to step by and say hello on lunch break sometimes ... and I think I have no reason to say 'no' for her nice invitation.

* Catatan:
Versi asli tulisan ini dibuat pada bulan Agustus 2009 dengan judul "Meeting Oracle"

Midnight Sun in Mölnlycke



Last night was memorable. We had a dinner at a friend’s house in a suburban area, for a farewell, a welcoming, a set of vegetarian dish, and a little board game. This is summer. The sun still shining all the way until midnight ... that we almost missed the last bus to town. Ten of us ran through the hilly road amidst the purple sky and jumped over the terminal’s steel fences to catch the midnight bus. All sweating, heart racing, losing breath and feeling fool like Cinderella. Good we had our shoes on.


May 2014

Synchronicity


Have you ever experienced random things in your life which have no direct cause 
-and-effect relationships but somehow share a meaning?

You talked so much about an inspiring person in graphology you wanted to meet but unfortunately he had already died, suddenly your friend told you this person was actually her professor and thesis supervisor in architecture. So now you can imagine what it is like to meet and talk to the graphologist.
In other time, another friend told you about a mysterious dream of 3 questions, that you easily answered because someone had told you all of the answers long time ago. Thanks to an 80-year-old Indian lady in white. You both met in a hospital ward while waiting for a sick family. She invited you to her house, told you her life story which started long before your own country independence. Later taught you how to cook and baked a chocolate cake without electric appliances.

Strangely, now you never heard anything from her anymore as she had disappeared completely from your life without a trace. You knocked at the door, waited. But there was no one except the howling winds throughout the corridors. The house was completely empty that you started to doubt the person was actually a human being. Thus, all that’s left was not only mystery of your friend’s dream on 3 questions today; but also a mystery of your own life experience.
In a different time, you felt desperate for not knowing where to sleep in a foreign country 12,000 kilometers away from your own bedroom tomorrow night, since almost no one answered your 178 application emails looking for a place to dwell, aside of 200 abandoned applications on apartment rent sites. You had a good reason to be worried, as it would affect your life for the next 2 years. In the same moment right before your departure, you met a person in boarding room … going to the same destination like yours … taking the same airplane like yours … and offered a place for you to stay for a few days.
Call it coincidence, call it serendipity. But a notable icon in psychology, Carl Jung (who is also a friend plus rival of another notable psychologist, Sigmund Freud) has a scientific term for it: Synchronicity. Other names of it are acausal parallelism and meaningful coincidence. Relying on logic and evidence, we tend to think everything should always have cause and effect. It seems to us that in order to take care of our reputation, we need to have the ability to defend our argument with facts and figures. But to pretend that we are able make sense of everything would only bring us closer to fooling ourselves. For Jung, the meaning of an event is more important than its cause and effect.

Synchronicity is what connects our internal world with external circumstances.
Jung first thought about synchronicity when he met Albert Einstein and discussed about Relativity Theory, thus inspired him to think about the relativity of time and space as well. But he kept his thought for himself until he finally met another physicist, Wolfgang Pauli, 30 years later. Their correspondence was collected in a book called “Atom and Archetype”, while Jung himself wrote more extensively about his theory in “Synchronicity: An Acausal Connecting Principle.” Jung and Pauli coined a term “Unus Mundus” (One World) for the seemingly random events which are actually synchronized in deeper order.

How Do You Say "Mjölk"?





It is 11 noon.

I was on a tram. After asking for her permission, I took an empty seat beside an old lady. On my lap was a plastic bag covering two containers full of cooked pasta with pesto sauce, tuna, and turkey sausage … my potluck for a friend’s party. Then the white-haired and blue-eyed old lady wearing a beige overcoat and knitted shawl started this conversation.

Where do you come from?

Indonesia.

What are you doing here?

Study.

How long will you stay?

Two years, hopefully. I will return in 2015.

Would you work here?

I don’t think so.

Why?

My study is funded by my office. I need to get back to work after I am finish, otherwise, I have to return the money.

(A moment of silence, then the old lady sighed)

Well, I sent my son to study in London. Now he stays and works there, barely has breaks. He works so hard, until night, even in Sundays. It is different with here. Work in Sweden might be better, you know?

Yes, it could be.

(A moment of silence)

Oh, well. Now I am going to stop in a few minutes. How do you say “mjölk” in English?

Milk.

Yes, I think would stop and buy some milk in the grocery store. What is “milk” in Finnish?

I do not know, I am sorry. Are you Finnish?

No, I came from northern Sweden.

I see.

(Silence again)

Oh, dear … what is “milk” in German?

I do not know, I am sorry. Do you speak German?

No, I am just wondering. So many languages in my head I get confused.

Oh …

(The tram stopped. The door was opened)

Well, it’s up to you. I think you‘d better stay. You could work here, if you like. Bye (walked down, waved and smiled)

Bye (waved and smiled)


[So far that I remember, this is the third time I had an interesting conversation with a stranger in Sweden.]

100 Tahun Yang Lalu




Pada suatu ketika, ada daerah yang sangat sengsara.
Panen gagal. Air langka. Penduduknya sulit mendapatkan pekerjaan. Makanan jarang ditemukan. Polusi dan penyakit di mana-mana.
Hampir separuh penduduknya memilih untuk mengadu nasib di belahan bumi yang lain. Mereka memutuskan untuk naik kapal dan tidak kembali lagi.
Daerah itu bernama Gothenburg. Seratus tahun yang lalu. Ia sangat miskin dan tertinggal dibandingkan tetangga-tetangganya, ketika Denmark dan negeri-negeri di Eropa Barat sudah maju dalam industri dan peradaban.
Karena emigrasi besar-besaran di masa itu, penduduk Gothenburg jauh lebih sedikit daripada populasi orang Swedia yang pindah dan tinggal di Chicago. Itu pun bukan pilihan utama, sebab mayoritas migran Swedia pada awal abad ke-20 lebih banyak ditemukan di wilayah Midwest, khususnya Minnesota, Amerika Serikat.
Pada suatu ketika, seratus tahun kemudian. 2014.
Ada suatu daerah yang menjadi pelabuhan terbesar di Eropa Utara. Kota ini sangat maju, sehingga salahsatu perlintasan tram-nya menjadi yang tersibuk di seluruh Skandinavia. Semua bangsa berbondong-bondong datang ke daerah ini, melalui darat, laut, dan udara. Seandainya pun ingin belajar bahasa asing, sering-seringlah naik kendaraan umum karena di sana engkau akan mendengar bahasa-bahasa dari 7 benua (kecuali benua Antartika alias Kutub Selatan).
Di Gothenburg, industri-industri menancapkan giginya. Manufaktur, otomotif, telekomunikasi sampai pariwisata, bermacam bidang usaha menunjukkan suksesnya di sini.
Orang-orangnya juga menarik. Berbeda dengan kebanyakan penduduk metropolitan yang cenderung tergesa-gesa dan kurang ramah, di Gothenburg kita mudah menemukan orang tersenyum dan bertanya apa kabar. Kalau ke pasar atau bertemu pelayan toko, jangan lupa mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa, sebab jika tidak maka mereka yang akan mengucapkannya kepada kita … dan aku jamin kita akan merasa malu daripada bangga.
Kalau keluar atau masuk gedung di tempat umum, jangan lupa memegang pintunya untuk orang-orang di belakang kita … sebab itu adalah adab yang tidak tertulis. Begitu juga, adab yang tidak tertulis untuk memencet tombol bantuan “jembatan otomatis” untuk penumpang yang naik atau turun kendaraan umum dengan kursi roda, atau ibu-ibu dengan kereta bayi, atau lansia dengan tongkat berjalannya.
Betapa jauh bedanya suatu negeri seratus tahun yang lalu dengan sekarang.
itulah yang membuatku optimis, siapa tahu seratus tahun ke depan Indonesia juga bisa dibanggakan oleh penduduknya, generasi tua dan muda. Semoga.

An INFJ Learns Typology


Currently, I am learning typology. It is like rolling down into a rabbit hole with all of its beautiful metaphors and terminologies. Not only I should memorize the 16 mnemonics, it is almost like a song that is better to just sing along than to remember the lyrics. It may sound cliché, but the more I learn typology then the more I know things are not as simple as they may have seemed. There are dominant, auxiliary, tertiary, and inferior functions of each personality type. It shows different ways of people to get and use their mental energy; to obtain, sort and process information; and also to make a decision and to do an action according to these information they have. All in all, at least there are 16 ways of doing this. How interesting!
What I knew later is that everyone is not bound only to 4 functions in a type. People have all the combination of 8 introverted/extroverted functions, but what distinguish between types is the levels of its strength and the order of functional stacks. Just like automobiles, basically every personality type has all the basics, but there are specific automobiles for specific terrains and purposes. There are cars for racing arenas, off-roads, inner cities, suburbs, deserts, or even water bodies. So is the same with personality; each of us will thrive and shine in a perfect time and place.
I took 3 different tests at 3 different places, and all of them signify that I am an INFJ. Thus, I concluded that my dark side is my ‘Se’ … only to know that I was wrong. An inferior function does not equal to bad traits; it only implies a strength which one has less control or less conscious of it. INFJs extroverted sensing is much as a strength as their introverted intuition. They absorb everything, the good and the bad. Thus, it is a blessing and a curse at the same time. So if I want to know about my dark sides at all, I should care more on my ‘shadow functions’. Basically, it is all the opposite of normal functions. So, the darkest of all for an INFJ is the ‘Si’.
Typology introduces me to vultology, socionics, and all the jargons. Then suddenly psychology, neurology, technology, and sociology are all emerged and tangled in the web for science. Basically, the idea is that human psyche manifests itself in physical and facial expressions. However, it may seem unnatural to watch human expressions without context. Therefore, what happens inside (neurology) and outside (sociology, technology) may have the same importance with the notion of ‘psychology’ itself.
Interestingly, there is a webtool to determine one’s personality only by sample of one’s twitter posts, webpage or blog. I think it is fascinating. Just check it out in http://www.typealyzer.com. More tools can be found in http://www.uclassify.com. I cannot help to giggle when the tool asserted that one of my blog posts had been written by a 65-year-old man. But I guess it only justifies the widely held notion that INFJs are social chameleons; thanks to ‘Fe’ function. This is also confirmed further by the tests on 3 of my blogs; revealing ISFP, ISTP, and ESTJ respectively … still hiding this INFJ chameleon.

Mosaik Mimpi


Senja di padang rumput savana
Kotak telepon umum
Di dalamnya aku, sendiri
Mendengarkan suara ayah dan ibu

Malam terang bulan
Aku dan teman-teman
Berlarian di antara atap perumahan
Melompat, terbang ... bagai pegas di tenda sirkus

Pagi di pedesaan
Mentari lembut menembus kaca jendela
Memenuhi sudut ruangan kecil ini
Kududuk di atas dipan, tercium aroma sisa air hujan
Dan rumput dan bunga yang masih basah

Siang benderang di tepi pantai
Pasir putih sejauh mata memandang
Nyiur melambai, angin bertiup
Aneka kerang indah ditinggalkan penghuninya
Kulekatkan telinga kepadanya
Terdengar deru angin dan dasar samudera

Diplomasi Kuliner








Malam itu untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengan sesama pelajar Indonesia yang akan melanjutkan pendidikan tinggi ke Swedia. Duta Besar di Jakarta secara resmi mengundang semua mahasiswa dan alumni untuk makan malam dan halal bihalal di kediamannya pada tanggal 14 Agustus yang lalu. Seperti kata pepatah "lain padang lain ilalang" atau "tak kenal maka tak sayang", inilah kesempatan pertamaku untuk melihat dan merasakan sendiri suasana interaksi masyarakat Indonesia-Swedia.

Kedatanganku disambut oleh petugas keamanan yang sibuk membuat cek list nama-nama undangan di selembar kertas. Dari luar pekarangan, suasana rumah terasa sepi dan steril. Beberapa waktu kemudian aku diantarkan ke teras. Setelah kudorong pintu besar berwarna putih itu, terdengar suara-suara denting gelas, gumaman anak-anak muda yang mengobrol dan tertawa sambil berdiri di dalam kerumunan kecil. Entah kenapa aku seolah seperti lebur ke dalamnya. Suasana ini terasa sedikit aneh, karena semua orang begitu akrab namun banyak juga yang tidak kenal satu sama lain. Kalimat-kalimat yang lazim terdengar olehku adalah, "Hai, namaku XYZ, siapa namamu? Kampus mana? Alumni atau mulai sekolah? Oo ... ini ada teman kita yang satu tujuan dengan kamu. Berangkat kapan? Sudah dapat tempat tinggal?"



Aku hanya menggenggam gelasku erat-erat, sambil tercekat karena aku tahu aku sendirian. Sponsorku bukan Erasmus Mundus, bukan juga Swedish Institute, apalagi belum ada yang namanya LPDP. Bila akhirnya kusebut SPIRIT-pun, aku tidak yakin ada yang bisa langsung paham tanpa perlu tempelan embel-embel WorldBank. Dan aku sedikit kuatir seandainya dianggap 'terlalu tua' untuk kuliah lagi. Kekuatiran yang tidak beralasan karena di sini juga banyak yang usianya jauh di atasku, baik alumni maupun yang mulai kuliah lagi. Semua ada di sini: remaja lulusan SMA, paruh baya pegawai kantoran, mahasiswa S1, S2, S3, ilmuwan, peneliti, pengamat politik, dan engineers.

Di saat aku bersiap untuk mengangkat gelas dan mulai minum, seorang wanita cantik pirang berponi dan bersanggul melintas di belakang punggungku. Ia berdehem-dehem sejenak, mengambil selembar kertas, lalu spontan bergerak ke arah anak tangga yang melingkar di tengah ruangan, melambaikan tangannya mengajak kita semua untuk berkumpul di dekatnya. Mulutku terasa semakin kering dan akupun tidak jadi minum. Bagaimana tidak, inilah duta besar Swedia yang biasanya hanya kulihat di google, wikipedia, atau situs-situs berita.

Jauh dari kesan protokoler, nyonya rumah menyambut semua tamunya dengan ramah dan jenaka tanpa kesan berlebihan. "This is a world record, " ungkapnya menunjukkan kekaguman, 45 orang calon mahasiswa Indonesia yang akan berangkat ke Swedia tahun ini adalah yang terbanyak sepanjang sejarah. Selanjutnya, kalimat-kalimat bernas darinya terasa mengalir seperti air, dan yang paling kuingat adalah, 

"You have a wonderful country, the people, the nature, its resources and the culture. So, if there is any culture you should bring back home from Sweden, it is its culture of innovation," ujarnya sambil tak lupa menyebutkan inovasi-inovasi Swedia yang telah mempemudah kehidupan kita; antara lain, sabuk pengaman, mesin ATM, telepon seluler, kartu chip, mouse komputer, layar monitor, Skype, dan masih banyak lagi.

Pidato pembukaan ini ditutupnya dengan pesan terakhir, "During your study in Sweden, you will repesent Indonesians to the Swedes. Then, when you are finish and going home again, you will represent to Indonesia what is Sweden truly like ... so please do good in everything that you do."

Acara selanjutnya, sambutan dari salah seorang perwakilan Swedish Alumni, lalu diteruskan dengan perkenalan dari masing-masing tamu, kemudian setiap alumni diberikan waktu berbicara beberapa menit untuk membagikan tips atau pengalaman tinggal di Swedia.

Akhirnya tibalah saat yang dinantikan bagi pecinta kuliner sepertiku, yaitu menikmati santap malam masakan tradisional dengan resep asli. Beberapa pinggan cantik tertata di meja oval, dimulai dengan sajian Janssons Temptations a.k.a Janssons Frestelse, yaitu berlapis-lapis kentang panggang, bawang, ikan teri crispy, saus krim, dan keju parmesan. Tersaji di sebelahnya adalah Swedish Meatballs with Lingonberry Jam, yaitu sejenis baso bakar yang gurih berpadu dengan manisnya buah lingonberry. Bagi penggemar daging segar, ada Beef Stew Skåne Style, atau semur daging ala Swedia. Tidak ketinggalan, kebanggaan kuliner Skandinavia: grilled salmon. Ikan panggang nikmat dan kaya omega-3, dengan daging berwarna salem yang begitu harum, lembut, dan mudah sekali lumer di lidah kita.

Kalau saja aku tidak malu dengan isi piringku yang terlanjur ramai, mungkin sudah kupenuhi rasa keingintahuanku terhadap sajian telur ikan mahal dari lautan Baltic yaitu Egg-halves with Toasted Skagen Black Caviar, atau uniknya cita rasa Beet Root, Herring Marinated with Creme Fraiche, dan Mushroom Quiche. Namun demikian, dengan sedikit pembenaran diri bahwa pencuci mulut adalah tidak sama dengan makanan, kupersilahkan diriku mengambil satu piring terakhir demi sedapnya Apple Pie with Vanilla Sauce dan ... tentu saja, renyahnya Blueberry Pie dengan buah asli. Semuanya sedap, semuanya nikmat, dan hatiku tersentuh ketika mendengar bahwa sajian di malam halal bihalal ini adalah sama istimewanya dengan hidangan hari raya Natal di kampung halaman mereka. Sungguh suatu kehormatan bisa menghadiri undangan ini.

Ada suatu kejadian menarik selama makan malam buffet yang berlangsung informal ini. Sewaktu para tamu menikmati hidangan sambil mengobrol, duduk-duduk atau berdiri di ruang tengah, alih-alih ikut makan, duta besar malah sibuk berkeliling membawa mangkuk untuk menawarkan sambal. Tampaknya beliau mempertimbangkan sekiranya lidah kami perlu bantuan selera Indonesia bila masih merasa kurang cocok dengan hidangan internasional yang disajikan. Aku yang sedang sibuk makan di sofa pun tidak luput dari keramah-tamahan ini, dan tampangku yang kaget ditawari sambal oleh seorang bule pun dimaknai sebagai tidak suka yang pedas-pedas, "No? You don't want it? OK, It is alright."

Masih terngiang-ngiang di telingaku nasihat orangtua untuk mendengarkan masukan sebanyak mungkin. Masuk akal, terutama karena inilah pertama kalinya aku akan pergi ke negeri asing ... sekaligus jauh. Naik pesawat terbang ke sana paling cepat 18 jam tanpa transit. Dengan transit, waktunya lebih bervariasi, dari 22 jam sampai 32 jam, bisa-bisa bokongku panas setelah duduk sekian lama. Mengikuti nasihat orangtua, aku mengambil kesempatan untuk mendengarkan saran-saran dari beberapa alumni yang ada. Tidak dipungkiri bahwa acara ini memang serius dan penting, namun sebaiknya aku sadar juga bahwa nuansanya tetap silaturahmi dan keakraban.




Percakapan yang semulanya standar dan lurus-lurus saja, dengan mudahnya menjadi sarana pertemanan dan pertukaran selera humor. Seorang bapak-bapak melihat kerudung yang kukenakan, spontan berkata, "Hati-hati lho, di sana nanti laki-lakinya banyak yang ganteng banget, dan perempuannya banyak yang luar biasa cantik." Kebingungan aku pun berkata, "Terus kenapa jadinya kalau ada yang cantik dan ganteng?" Bapak itu pun melanjutkan sambil terkekeh-kekeh, "Yah, semoga kerudungmu jangan sampai dilepaskan. Asal tahu saja, godaannya luar biasa besar sekali." Oh, iya, batinku ... mudah-mudahan saya mampu menjalaninya.

Pada kesempatan lainnya, aku bertanya kepada beberapa orang perihal pengalaman pribadi dengan penerbangan internasional. Dari penjelasan panjang lebar tentang perbedaan sistem transit bagasi penerbangan internasional dan lokal, hingga ke nasihat untuk tidak kelayapan atau asyik berfoto-foto di luar bandara, akhirnya sampailah ke obrolan santai, dengan canda dan gelak tawa. Ketiga teman baruku tergelak-gelak membayangkan worst case scenario, sekiranya koperku sudah tiba dengan selamat di Swedia sementara akunya sendiri masih berputar-putar tersesat di Amsterdam, Paris, atau Istambul.

Meski menyenangkan, kutahan godaan untuk berlama-lama di kelompok yang asyik ini. Aku sengaja berpindah-pindah grup dan tempat duduk, karena waktuku semakin berkurang dan masih banyak yang belum kuajak bicara. Sampailah pada kesempatan untuk mengobrol dengan beberapa staf kedutaan, mengenai kota-kota yang aman untuk ditinggali, kesan-kesan mereka mengenai Jakarta, hingga tak sengaja menyentuh harga sembako a.k.a sembilan kebutuhan pokok. "Bapak berasal dari Stockholm? Itu kota yang mahal bukan?" kataku. "Tergantung" jawabnya, "yang mahal di sini pun bisa jadi murah di sana". Dengan sekejap, aku jadi tahu bahwa harga ayam satu kilogram atau jus buah satu liter adakalanya lebih murah di Stockholm daripada di Jakarta. Yang masih belum bisa kucerna tapi tak relevan untuk ditanyakan, mengapa harga petai bisa lebih mahal dari daging sapi?

Jarum jam pun bergerak ke angka 9. Aku mulai celingak-celinguk bertanya ke kiri dan kanan, mencari standar atau adab yang paling sopan untuk berpamitan. Tampaknya waktu telah mengizinkan, dan aku pun memulainya dengan bapak-bapak asal Stockholm yang mengobrol denganku tadi. "Ooh" ujarnya, "es-em-pe nih yeee ... sudah-makan-pulang, he he he ... " Bule ini pun tertawa melancarkan sindiran dengan bahasa Indonesia yang sempurna, dan aku hanya bisa melongo menahan malu.

Bagaimanapun, aku tidak tega membuat keluargaku berlama-lama menungguku pulang. Setelah berpamitan kepada semua yang kira-kira kukenali di acara ini, aku pun menutupnya dengan bertemu nyonya rumah. Selain mengucapkan terimakasih atas perhatian, keramahan, dan hidangan yang lezat, kusampaikan bahwa studiku adalah tugas belajar dari instansi. Duta Besar pun memuji tempatku bekerja sebagai pelopor reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, ia menegaskan sepanjang karirnya di sini tidak pernah mempunyai pengalaman buruk atau melihat hal-hal yang kurang terpuji dari instansiku. Alhamdulillah, betapa bangganya.

Kredit foto: Kedutaan Besar Swedia.

Catatan:

Tulisan ini saya buat beberapa tahun yang lalu. Setelah lama merasa ragu, saya rasa kini adalah momentum yang tepat untuk untuk membagikannya di sini. Beberapa hari belakangan, banyak bermunculan berita mengenai situasi yang semakin memanas di kawasan Timur Tengah, khususnya mengenai aksi boikot-memboikot antara Qatar dan negara-negara tetangganya.

Tak lama setelah jamuan makan malam pada 14 Agustus 2013 itu, masih teringat betapa terkejutnya saya membaca berita bahwa Sang Nyonya Rumah mendapatkan surat tugas mendadak, ditunjuk untuk pindah menjadi Dubes di Qatar sampai dengan sekarang. Awalnya semua terasa tidak relevan. Seperti mutasi biasa. Tapi kini saya baru menyadari bahwa ada sesuatu yang penting terjadi, sehingga mutasi yang terasa mendadak itu kini menjadi masuk akal. Mungkinkah situasi kemelut yang terlalu 'panas' lebih membutuhkan diplomasi yang feminin daripada kekuatan adu otot dan argumentasi?

Selain itu, tulisan ini juga saya buat demi mengobati penyesalan karena semalam tidak memenuhi undangan jamuan buka puasa bersama Dubes Denmark. Saya baru membaca berita, bahwa ia adalah Digital Ambassador pertama di dunia. Pelopor "techplomacy," yaitu suatu strategi baru di bidang kebijakan publik dalam era digital ini, yang (mungkin) akan saya kupas pada tulisan berikutnya.

Dusk






This is twilight
rapidly becoming dusk
Clouds are flying
like motors on the streets

People are rushing
going home to find comfort
Aren't we all tired,
hoping for some peace and quiet?

The sun is setting
Therefore darkness falls
Not long before the lights are up 
floating like fireflies on paddy fields

Mellow tunes are playing
amidst traffic, weather forecasts, 
and radio shows

Despite all of these noises,
mere hearts only wish 
for a simple thought:
"What is it for dinner tonight?"

Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.

Review Buku: Physics of The Impossible


Sejak awal peradaban, manusia diciptakan berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena adanya impian atau cita-cita. Di dalam bukunya "The Evolving Self," Mihalyi Csikszentmihalyi memperlihatkan betapa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang berpikir tentang hari esok. Adapun mamalia lainnya hanya mengolah informasi yang dijumpai seketika pada lingkungan di sekitarnya saja. Hanya manusia yang bisa mengangankan ingin punya pasangan hidup seperti apa, pekerjaan seperti apa, atau kegiatan apa saja yang ingin dilakukannya bila ia mempunyai keleluasaan dalam hal waktu atau kesempatan. 

Tengoklah anak-anak kecil, mereka adalah contoh paling tepat yang menggambarkan betapa kita semua pada mulanya (dan fitrahnya) adalah pemimpi. Anak-anak akan mengkhayalkan kehidupan yang paling menarik yang mungkin terbayangkan sejauh pengetahuan atau kosakata yang mereka miliki saat ini. Keponakan saya mengkhayalkan bila dewasa nanti ia akan mengelola dua toko cupcakes (kue mangkok dengan buttercream warna-warni) yang masing-masing akan mempunyai dua tema yang berbeda: tema romantis dan lembut seperti kartun "Frozen" dan juga tema misterius dan unik seperti kartun "Transylvania." Saya hanya bisa terkekeh-kekeh sambil mengangguk sepakat dengan cita-citanya ini ... terutama saat dengan seriusnya ia berkata, "Nanti kalau sudah jadi tokonya, aku akan gratiskan cupcakes-nya untuk Tante Embun dan Bunda ... selamanya." Tak perlu dikuatirkan kapan ia akan balik modal, atau apakah cupcakes gratis ini malah akan membuat rugi karena saya yang terlalu sering diundang berkunjung ke tokonya.

Uniknya, pengalaman saya memperlihatkan bahwa kapasitas manusia dewasa untuk bermimpi cenderung menurun seiring pertambahan usia. Uniknya lagi, kemampuan bermimpi secara masif malah lebih sering dikembangkan oleh mereka yang profesinya menuntut rasionalitas penuh, yaitu dunia sains dan teknologi. Contohnya antara lain bidang fisika, komputer, astronomi, kimia, atau kedokteran. Di sisi lain, sikap pragmatis atau bahkan pesimis terhadap angan-angan manusia malah lebih sering saya temukan pada mereka yang jenjang karir atau akademisnya lebih berkenaan dengan sisi manusiawi, seperti ahli ekonomi, psikologi, atau sosiologi.

Di dalam bukunya, "The Physics of The Impossible," Dr. Michio Kaku menggambarkan secara gamblang segala perkembangan riset terkini (khususnya yang terkait dengan bidang beliau, fisika teoritis) yang pada dasarnya semua bermula dari impian manusia. Menurut Dr. Kaku, pada awalnya semua hal adalah mustahil. Apakah yang dimaksud dengan mustahil itu? Menurutnya, mustahil itu ada level-levelnya ... dan ini mengingatkan saya dengan level-level kepedasan keripik Maicih. Menurut Professor Kaku, tingkat kemustahilan dalam dunia fisika sangat erat kaitannya dengan kemajuan peradaban manusia. Dengan kata lain, mustahil itu relatif dengan soal waktu. Apa yang dulu mustahil belum tentu sekarang mustahil, dan apa yang sekarang mustahil belum tentu mustahil di masa depan. 

Dr. Kaku membagi mustahil ke dalam 3 kelas, yaitu: Mustahil Level 1, Mustahil Level 2, dan Mustahil Level 3. Level pertama dari 'mustahil' adalah sesuatu yang secara teoritis adalah mungkin, namun belum pernah diimplementasikan dalam kenyataan. Biasanya hal-hal semacam ini telah diujicobakan di laboratorium namun masih dalam taraf 'rahasia' atau hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Beberapa contoh Mustahil Level 1, antara lain terkait penelitian mengenai teleportasi, telepati, psikonesis, makhluk luar angkasa, teknologi tak kasat mata, dan sejenisnya. Lima tahun yang lalu, Mercedes Benz telah memperkenalkan teknologi tak kasat mata dengan prototipe sedan F-Cell, yang bukan hanya lolos dari pandangan mata semua pengguna jalan, namun juga ramah lingkungan karena sama sekali tidak menghasilkan polusi (zero emission) berkat bahan bakar hidrogen yang berlimpah pada air dan udara bersih. Mereka menggunakan teknik tipuan mata dengan bantuan cermin dan kamera mikro.

Adapun psikonesis adalah kemampuan menggerakkan atau memindahkan suatu benda tanpa menyentuhnya sama sekali dengan anggota tubuh kita. Sebenarnya psikonesis dapat memberikan manfaat yang jauh lebih penting dari sekadar gaya-gayaan atau pertunjukan sulap. Bila di kemudian hari teknologinya dapat diterapkan secara luas, psikokinesis akan sangat membantu pasien stroke dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Teknik dasarnya kira-kira seperti ini: Dengan bantuan sinyal listrik dari gelombang otaknya yang terhubung dengan semacam alat 'penerjemah' sinyal, pasien stroke akan dapat menyalakan mesin, menulis dengan komputer, dan mengoperasikan benda-benda lainnya yang bersumber daya listrik ... tanpa tergantung dengan bantuan suster atau anggota keluarga. Masih banyak lagi contoh dari Mustahil Level 1, dan bisa dikatakan bahwa contohnya jauh lebih banyak daripada Mustahil Level 2 ataupun Level 3 karena tingkat pemahaman yang dibutuhkannya kini sudah banyak tersedia di banyak laboratorium, perpustakaan, atau media secara umum. Untuk referensi Mustahil Level 1, menurut saya, mungkin kita bisa melihatnya dalam film-film action seperti Minority Report, Mission Impossible, Bourne Trilogy, dan sejenisnya.

Beranjak ke Mustahil Level 2, ia didefinisikan sebagai mustahil karena peluang penerapannya hanya bisa dikatakan mungkin dalam kurun waktu ribuan atau bahkan jutaan tahun ke depan, itu pun dengan asumsi bahwa masih ada manusia yang tersisa untuk menikmatinya. Beberapa contohnya antara lain mesin waktu, perjalanan antar galaksi, dan perjalanan lintas lorong antar dimensi yang lazim kita kenal dalam bidang astronomi sebagai "wormhole." Untuk referensi Mustahil Level 2, menurut saya, mungkin kita bisa menonton film science fiction seperti Back to The Future, Jurassic Park, Star Trek, dan Star Wars.

Terakhir, Mustahil Level 3 yang dikatakan mustahil karena bertentangan dengan hukum fisika yang kita kenal saat ini. Menurut hemat saya, inilah menariknya ilmu pasti apabila dibandingkan dengan ilmu sosial. Ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu pasti (matematika, fisika, kimia) selalu menerima kemungkinan bahwa pada suatu ketika di masa depan bisa jadi teori mereka tidak akan berlaku lagi karena ada teori baru yang lebih kuat dan lebih mampu menjelaskan fenomena alam secara konsisten. Menurut Dr. Kaku, contoh dari mustahil yang (saat ini) sangatlah mustahil adalah mesin yang bekerja terus-menerus selamanya tanpa kehabisan energi (perpetual motion machine). 

Sebagaimana kita ketahui, salahsatu prinsip fisika mengenai "energi" yaitu bahwa "energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dihilangkan." Energi hanya berpindah-pindah atau berubah bentuk saja. Energi angin dapat menggerakkan turbin karena ia berubah menjadi energi gerak (kinetik) lalu turbin mengubah energi gerak itu menjadi energi listrik ... yang sampai ke rumah kita untuk digunakan menyalakan pesawat televisi yang mengubah energi itu menjadi energi suara dan cahaya. Tanpa adanya pasokan tersebut, televisi tidak akan menyala sehingga kita pun menggunakan energi kalori dari makanan yang kita santap untuk melakukan aktivitas lain, seperti berpikir, berbicara, menulis, menyapu rumah atau bahkan tidur. Tidur adalah aktivitas yang menggunakan energi, khususnya karena dalam kondisi itulah tubuh manusia 'mereparasi' dirinya dan mengganti sel-sel rusak dengan sel-sel baru yang bekerja secara optimal. Inilah sebabnya mengapa setiap bangun tidur biasanya kita merasa lapar. Sebagai suatu sistem yang bekerja secara otomatis pun, tubuh manusia selalu perlu suplai energi. Sebelum ada penemuan baru yang membuktikan bahwa ada mesin yang bisa bekerja tanpa suplai energi, maka perpetual motion machine (sampai dengan saat ini) adalah mustahil yang paling mustahil untuk diwujudkan dalam bidang fisika.

Suatu waktu saya pernah menonton film "2001: Space Odyssey"  produksi tahun 1968. Semula saya hanya menikmatinya sebagai film futuristik biasa. Bahkan saya bersiap-siap untuk tertawa apabila ada special effect yang terasa sangat jadul untuk ukuran teknologi sekarang. Di luar dugaan, saya menemukan suatu adegan yang tak terlupakan; yaitu ketika sang astronot mengutak-atik benda tipis berbentuk persegi panjang seperti buku .... sebab itu ternyata mirip dengan iPad! Setahu saya benda ini baru populer pada tahun 2011. Ternyata sutradara film itu sudah membayangkannya akan tersedia pada tahun 2001. Adegan lainnya yang tidak kalah mencengangkan adalah ketika sang astronot menyalakan layar untuk teleconference dengan anak dan istrinya di bumi. Saya benar-benar syok melihatnya ada di film tahun 1968! Sebab teknologi ini pun belum populer pada tahun 1990-an ... dimana pada masa itu telpon genggam masih berbentuk batako dan harganya lebih mahal dari motor. Demikianlah, jangan takut untuk bermimpi .... sebab mustahil hanya soal waktu.

Referensi:

Physics of The Impossible by Dr. Michio Kaku (2008) https://g.co/kgs/wULe8g
The Evolving Self by Mihalyi Csikszentmihalyi (1993) https://g.co/kgs/Ip8xK6
2001: Space Odyssey by Stanley Kubrick (1968) https://g.co/kgs/fiYMyI

Morning

It all starts with a "Hello"
Then comes a cup of coffee

Then comes other cups of coffee
Suddenly comes milk and tea

Then a ride and a walk
Then one goes to a barbershop

Then one does house chores
Then ones having breakfast

Then ones exercising
Then ones are talking

Then ones are listening
Then ones are thinking

Then one says, "What?"
Then one says, "This"

Then one says, "Why?"
Then one says, "Because"

Then one says, "How?"
Then one says, "Look"

Then ones got confused
Then ones are upset

Then ones are interested
Then ones are nodding

Then ones are smiling
Then ones are giggling

It all starts with a "good morning"
But usually it all ends in laughter


NB: Tulisan ini terinspirasi percakapan di pagi hari