Tampilkan postingan dengan label Rahman Gunawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rahman Gunawan. Tampilkan semua postingan

Menjemput Cinta (Bagian Keenam - Ending)

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Kinasih memasuki babak baru dalam episode kehidupannya menjadi seorang isteri. Kini, ia sedang menikmati masa kehamilan. Janin yang berada di dalam kandungannya merupakan buah cinta ia dan suaminya, Toni. Kandungan Kinasih kini sudah berusia 35 minggu, artinya, tidak lama lagi Kinasih akan menjalani proses persalinan. Semua perlengkapan untuk bersalin serta perlengkapan bayi sudah ia dan suaminya siapkan sejak dua bulan yang lalu. Hampir setiap bulan ia ditemani suaminya rutin memeriksakan kesehatan kandungannya. Memasuki bulan ke tujuh, janin yang berada didalam kandungan sudah diketahui jenis kelaminnya melalui proses pemeriksaan Ultrasonografi (USG). Betapa bahagianya Kinasih dan Toni ketika dokter kandungan menyampaikan bahwa kandungan Kinasih diperkirakan berjenis kelamin perempuan. Air mata menetes dari dipipi Kinasih, begitupula Toni, berkali-kali lisannya mengucapkan rasa syukur.

Disuatu hari Jum'at setelah shalat Subuh, Kinasih melakukan aktifitas seperti biasa, menyediakan sarapan pagi. Merebus air untuk membuat kopi dan teh manis, serta mengukus pisang tanduk dan ubi jalar. setelah matang, Kinasih membawa pisang dan ubi ke meja makan, kemudian ia keluar dapur menuju kamar. Namun ketika ia tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti, Kinasih merasakan sakit diperutnya.

"Ya Allah, uh....hiks...aaah..." bersandar didinding sambil mengusap-usap perutnya.

Demi mendengar suara rintihan isterinya, Toni yang sedang berada di dalam kamar, segera keluar. Demikian pula dengan ayah dan Ibu Kinasih.

"Sayang, kamu kenapa?" cemas.

"Perutku sakit, Mas" terus mengusap-usap perutnya.

"Masya Allah, Kalau gitu, kamu duduk dulu ya, Mas segera menyiapkan perlengkapan bersalin, kita langsung berangkat ke Rumah Sakit".

Toni segera menuju kamar, lalu keluar denga membawa sebuah tas berukuran sedang. Iapun segera merangkul isterinya berjalan menuju halaman.

"Apa kamu kuat berjalan?.

"Insyaa Allah, kuat Mas!" berusaha meyakinkan. "O iya Mas, nanti tolong telepon Pakde Yanto, untuk memberitahu Ayah dan Ibu" kembali mengusap-usap perutnya.

"Iya, nanti Mas Telepon"

Keduanyapun kini sudah berada didalam kendaraan menuju Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, dengan dibantu oleh dua orang perawat, Kinasih langsung dibawa ke ruang khusus pemeriksaan kandungan. Didalam, dokter sudah bersiap memeriksa kandungan Kinasih. Dokter meminta Kinasih untuk merebahkan diri di atas tempat ranjang khusus pasien. Kemudian dokter melakukan tugasnya. Toni berdiri disisi ranjang, terus memegang tangan Kinasih sambil memperhatikan dokter kandungan yang sedang bekerja.

Alhamdulillaah, sudah pembukaan delapan, Insyaa Allah sebentar lagi Ibu akan melahirkan" dokter memberikan informasi kepada Kinasih dan juga Toni. "Suster, tolong siapkan perlengkapan bersalin". Dengan sigap dua orang perawat segera melakukan tugasnya. "oh ya, Bapak mau menemani Isteri dalam proses persalinan?" pertanyaan dokter mengagetkan Toni. Toni menganggukan kepala tanda setuju. Maka, sejak saat itu hingga satu jam kemudian Toni mendampingi Isterinya dalam proses persalinan.

Tidak perlu menunggu waktu lama, Kinasihpun melahirkan anak pertamanya. Seketika ruang persalinan pecah oleh suara tangis bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Toni menatap anaknya yang berada dalam dekapan dokter kandungan. Melihat dengan detil bagaimana dokter memutus tali ari-ari dari perut sang bayi. Memasukan selang kecil kedalam mulut untuk mengeluarkan sisa air ketuban yang masuk kedalam tubuh sang bayi. Kemudian Toni menatap Kinasih dengan penuh kasih sayang, mengusap kening Kinasih yang basah oleh butiran keringat. Tonipun menitikka air mata. Demikian pula dengan Kinasih, iapun tak henti mengucapkan easa syukur. Kebahagiaan sedang meliputi sepasang suami isteri tersebut.

***

Satu tahun berlalu, bayi mungil berjenis kelamin perempuan itu diberi nama Kinanti. Kinanti menjadi pelengkap kebahagiaan rumah rangga Kinasih dan Toni. Demikian pula dengan kakek dan neneknya, ayah dan ibu Kinasih yang telah memiliki seorang cucu perempuan yang cantik dan aktif.

Suatu pagi, ketika Kinasih dan Toni sedang menikmati sarapan pagi sebelum beraktifitas. Toni menyampaikan sesuatu kepada Kinasih. Toni bercerita bahwa ia mendapat tugas dari sekolah tempat ia mengajar untuk menghadiri acara Bimbingan Teknis Guru se-Indonesia yang bertempat di Jakarta. Mendengar penuturan suaminya, Kinasih memberikan restunya. Ia dan Kinanti akan baik-baik saja selama Toni bertugas.

Hari yang dijadwalkan pun tiba. Selepas shalat Subuh Toni sudah berpakaian dinas rapih. Ia akan berangkat ke Jakarta bersama rombongan guru dari beberapa sekolah di wilayah tempat tinggalnya. Sesuangguhnya, berat hati Toni meninggalkan isteri dan anak perempuannya. Namun sudah menjadi tugas, iapun menjalaninya.

Setelah mencium kening Kinasih, iapun masuk kedalam kamar untuk berpamitan dengan anak perempuannya yang masih terlelap tidur. "Ayah pamit ya sayang, selama ayah pergi, Kinanti yang anteng ya!jadi anak rajin, cerdas, sholehah, seperti Bunda!" kemudian tersenyum menatap Kinasih. Kinasih yang duduk dipinggir kasur membalas senyum suaminya. Tidak ada satupun firasat bahwa pagi itu merupakan pagi terakhir ia bisa menatap wajah suaminya.

Ya, dalam perjalanan menuju Jakarta, kendaraan Bis yang ia tumpangi bersama rombongan para guru diwilayahnya mengalami kecelakaan, terperosok kedalam jurang hingga mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, salah satunya Toni, belasan mengalami luka-luka.

***

Bram masih berdiri di halaman rumah, tatapannya lurus ke arah jalan raya. Kedua tangannya erat mendekap Kinanti, puteri Kinasih. Jika Ibu dan Ratih tidak menegur Kinanti, mungkin Bram akan terus terpaku dalam lamunannya.

"Eeeh... ada keponakan kecilku yang cantiiik, dedek Kinantiiii....., sini kakak gendong!" tutur Ratih kemudian mengambil Kinanti dari dekapan Bram. 

"Kamu ndak ke toko, Bram?" tanya Ibu sambil mengusap kepala Kinanti yang kini sudah dalam dekapan Ratih.

"Hari ini Bram mau di rumah saja, Bu. Tadi Bram sudah telepon Mas Yuda untuk menjaga toko. Ada yang ingin Bram bicarakan ke Ibu".

Ibu dan Bram berjalan menuju ruang tamu, sedangkan Ratih sudah asik bermain dengan Kinanti.

"Bu, Bram mohon izin untuk membicarakan tentang Kinasih..." menghela napas. "Sepeninggal Mas Toni. Kinasih kini menjalani hidup sebagai orangtua tunggal. Ia harus membanting tulang mencari nafkah untuk puterinya dan juga membantu perekonomian kedua orangtuanya. Melihat kondisi Kinasih dan juga Kinanti saat ini, Bram ndak tega Bu. Selain itu, Ibu pasti sudah tahu jika sampai detik ini... Bram masih mencintai Kinasih..." menundukkan kepala.

"Ya... Ibu merasakan kesedihan yang sama, Bram. Perempuan sebaik Kinasih, harus mendapat cobaan yang demikian berat. Sewaktu mereka sedang dalam masa-masa bahagia atas hadirnya buah hati mereka, suaminya wafat dengan cara yang mengenaskan. Itulah rahasia kematian, Bram. Tidak ada satupun makhluk-NYA yang mengetahui kapan kematian akan menjemputnya. Namun Ibu yakin, Kinasih adalah sosok perempuan yang kuat" menatap Bram penuh kasih sayang. "Lalu... apa rencanamu, Bram?" tanya Ibu kemudian.

Beberapa saat Bram merasakan dadanya bergemuruh. Apa yang akan ia sampaikan ke Ibunya adalah satu hal yang akan mengubah kehidupannya.

"Bram memohon do'a dan restu Ibu untuk melamar Kinasih...".

Mendengar permintaan putera kesayangannya, Ibunha tidak mampu membendung air mata.

"Lakukan apa yang menurut kamu itu adalah yang terbaik, Bram. Ibu pasti akan memberikan do'a dan restu. Lamarlah Kinasih sebagaimana dahulu kamu sangat menginginkannya untuk menjadi pendamping hidupmu. Ibu hanya berpesan, luruskanlah niatmu agar Gusti Allah pun Ridho dengan keputusanmu".

Bram mengecup tangan Ibu serta memeluknya erat. 

"Kapan kamu akan mengutarakan keinginanmu melamar Kinasih, Bram?"

Bram terdiam beberapa saat.

"Sore nanti, disini, ketika Kinasih pulang untuk menjemput Kinanti".

***

Pagi berganti siang, kemudian perlahan cahaya matahari mulai bergeser ke arah barat. Sore haripun menjelang. Bram, Ibu, dan Ratih sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut Kinasih. Sedangkan Kinanti, setelah ba'da Ashar ia sudah dimandikan oleh Ratih, dibaluri minyak telon dan juga bedak, dipakaikan pakaian yang sudah dititipkan oleh Ibunya, serta diberikan wewangian khas aroma bayi. Kinanti terlihat sangat cantik dan menggemaskan.

Semua sudah bersiap-siap di ruang tamu. Waktu yang dinantikanpun tiba. Kinasih muncul dihalaman rumah, melepaskan sepatu, lalu berjalan ke arah pintu. Diucapkannya salam, dan iapun terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ya... Bram, Ibu, Ratih, dan Kinanti sudah duduk di kursi menyambutnya dengan wajah ceria.

Ibu mempersilahkan Kinasih masuk dan duduk disampingnya. Sedangkan Bram, duduk bersebelahan dengan Ratih sambil mendekap Kinanti.


"Kinasih, kesini Nak, ada yang ingin Bram sampaikan ke kamu".

Kinasih duduk disamping Ibu dengan raut wajah bingung, namun ia berusaha tutupi dengan menyunggingkan senyum manisnya.

"Silahkan Bram, sampaikan niatanmu.kepada Kinasih" pinta Ibu kepada Bram.

"Dek, sejak pertama aku jumpa denganmu di toko, ada benih cinta yang tumbuh dihatiku. Namun, niatanku untuk menyampaikan perasaan itu harus aku simpan bahkan harus aku hapuskan karena Mas Yuda memberitahukan aku bahwa kamu pada saat itu sudah dilamar seorang pria. Kini, sore ini, aku berniat melamar kamu. Aku sayang Kinanti, aku sayang sama kamu. Aku ingin menjadi imam kamu, dan juga menjadi ayah dari Kinanti. Mudah-mudahan, niat baikku dapat kamu terima".

Mendengar penuturan Bram, Kinasih tidak dapat berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir dipipinya. Iapun menganggukan kepala sebagai tanda menerima lamaran Bram.

Ibu dan Ratih bergantian memeluk Kinasih, kemudian mencium pipi Kinanti berkali-kali.

Seminggu kemudian, akad nikah dilangsungkan secara sederhana sebagaimana permintaan Kinasih, namun tidak mengurangi kebahagiaaan sepasang pengantin beserta keluarga besarnya. Bram dan Kinasih bersanding dipelaminan, sedangkan Kinanti berada dalam dekapan Bram yang sibuk menerima ucapan dan do'a tamu yang hadir.

Demikianlah kisah cinta Bram dan Kinasih. Kini keduanya membangun rumah tangga yang diliputi dengan kebahagiaan. Menjadi keluarga yang Sakkinah, Mawaddah, dan Warohmah.


Sekian.


Terimakasih untuk semua yang telah menyimak cerita Menjemput Cinta part 1 s.d. 6, semoga cerita tersebut dapat berkesan dihati.






Rindu Dikala Senja


Kusapa senja dari balik jendela kaca
Disebuah stasiun kereta
Di antara riuhnya suara yang beterbangan di udara

Selalu saja ada kerinduan disetiap senja
Rindu bercengkerama dengan orang-orang tercinta
Mereka yang selalu bersemayam didalam dada
Mendengarkan cerita, atau sekedar bersenda gurau penuh tawa

Lelahpun hilang seketika
Tatkala kutatap wajah mereka
Wajah-wajah yang membangkitkan semangat menggelora
Untuk senantiasa berdiri tegak menjalani setiap episode kehidupan didunia

Ah...rasanya kebersamaan takkan sempurna
Manakala tubuh bersama mereka namun jiwa berkelana
Maka, kuhadirkan segenap jiwa raga
Agar kebersamaan utuh tanpa cela
Untuk mereka, yang menghiasi kehidupan dengan penuh cinta

Renungan Senja



Terdamparku disini
Ditengah sesaknya deru nafas
Aliran keringat yang menderas
Wajah pias harap cemas
Menunggu kabar tak pasti

Tiba-tiba
Hey...dengarlah...!
Suara sayup menguap di atap langit
Merdu...syahdu...merindingku
Bersahutan, mengingatkan
Hayyaa 'alashsholaaah....(marilah kita shalat)
Hayyaa 'alal falaah... (mari berbuat kebajikan)

KeampunanMU kuharapkan
Atas kelalaian diri
Sibuk dengan duniawi
Hingga terlupa dengan kesejatian insani


Untuk Mas Pehix Snang Iteba (Mas Teba) ku


Ketika aku membantu mengangkat tubuhmu setelah dimandikan, aku termangu

Ketika helai demi helai kapas menutup tubuhmu, aku mulai tergugu

Ketika lembar demi lembar kain kafan membelit tubuhmu, aku tak kuasa menahan isak tangis

Ketika para  tercinta mencium wajahmu untuk terakhir kali, semakin deras air mataku

Hanya dzikir...dan dzikir yang terus terucap
Memohon keampunan dan kasih sayangNYA untukmu, Mas Teba-ku

Menjadi rekan kerjamu selama lebih dari 10 tahun, terlalu banyak kebersamaan yang akan selalu dikenang

Bahwa kamu adalah rekan kerja yang sangat baik, itu benar!

Bahwa kamu adalah Mas-ku yang selalu "ngemong" ketika aku menghadapi kesulitan dalam pekerjaan, itu benar!

Bahwa sewaktu aku kebingungan harus naik angkutan apa ketika pulang tugas tengah malam dari luar kota, lalu kamu menawarkan diri untuk mengantarku sampai rumah bersama Mba, itu benar!

Bahwa ketika kita masing-masing terpisah karena tugas, namun silaturahmi tetap terjalin, itu benar!

Sekarang, Mas sudah tenang dalam istirahat panjang
Kami yang masih hidup, hanya menunggu giliran
Hanya untaian do'a yang mampu aku panjatkan
Semoga Allah Swt karuniai RahmatNYA untukmu, Mas Teba...

Al Faatihah...





Malu dan Lelah

Seharusnya aku malu kepada matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi.

Seharusnya aku malu kepada burung-burung yang tak pernah lelah menjemput rezeki diwaktu pagi,  dan baru pulang diwaktu petang dalam keadaan kenyang.

Seharusnya aku malu kepada semut yang tak pernah lelah membawa makanan yang berukuran lebih besar dari tubuhnya yang mungil.

Dan... seharusnya aku malu kepada Allah SWT yang tak pernah lelah memberikan kasih dan sayangnya untukku, meski aku sering lalai dalam taat kepadaNYA.


Menjemput Cinta (Bagian Keempat)


"Ada hikmah dibalik setiap musibah"

Musibah yang menimpa Kinasih adalah sebuah takdir yang memberikan jalan kepada Bram untuk berkenalan dengannya.

***

Bram membuka pintu mobil, kemudian mempersilahkan Kinasih masuk. Setelah memastikan Kinasih duduk dengan nyaman, ia berputar ke arah samping kanan, masuk ke mobil lalu menyalakan mesin.

Beberapa saat kemudian mobil yang dikendarai Bram meluncur menuju rumah Kinasih.

Kinasih terdiam. Masih terlihat jelas rasa sedih di wajahnya akibat musibah yang baru  saja ia alami. Bram yang menyadari keadan tersebut, mencoba untuk membuka percakapan.

"Hhmm... Aku punya cokelat, kamu mau? Bram mengambil sebungkus cokelat yang tersimpan di dashboard mobil dan menyodorkannya ke Kinasih.

"Terimakasih, Mas, aku belum kepingin" tolak Kinasih.

"Baiklah... hhmm... padahal cokelatnya enak loh!" berusaha membujuk Kinasih. "konon kabarnya, cokelat bisa membuat orang yang memakannya merasa bahagia"

Kinasih menatap Bram sambil tersenyum. sejenak kemudian ia menerima tawaran Bram dan mengambil bungkusan cokelat.

"Alhamdulillaah... akhirnya" ujar Bram. "Eh... tapi jangan dihabiskan ya, itu cokelat kesukaan aku!" canda Bram kemudian yang disusul oleh tawa kecil Kinasih. Kini rona sedih diwajah cantiknya perlahan memudar.

Sebenarnya pada saat itu Bram merasa amat malu, namun demi mencairkan suasana agar tidak kaku selama perjalanan sekaligus menghibur Kinasih, ia mencoba melawannya.

"Terimakasih atas kebaikan Mas". ujar Kinasih disertai dengan senyuman.

"Sama-sama, sudah menjadi kewajiban saya untuk saling menolong" Bram sejenak menatap Kinasih. "Oh ya... namaku Bram Putra Pratama, panggil saja aku Bram. Kata Ibuku, Bram itu artinya gagah perkasa, sedangkan putra pratama mungkin karena aku anak lelaki pertamanya", jelas Bram sambil tersenyum.

Mendengar penuturan Bram, Kinasih tersenyum.

"Aku Sekar Kinasih, panggil saja Kinasih"

Bram sebenarnya telah mengetahui nama Kinasih dari Mas Yuda. Namun ia tidak ingin hal tersebut diketahui oleh Kinasih. Bram khawatir Kinasih akan berprasangka yang bukan-bukan kepadanya.

Mobil yang membawa Bram dan Kinasih terus melaju menyusuri jalan raya. Kinasih yang semula lebih banyak diam, lambat laun mulai merasakan kenyamanan berbicara dengan Bram. Demikian pula dengan Bram, ia merasa bahagia bisa mengantar Kinasih bahkan akhirnya berkenalan dengannya. Akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

Rumah dengan halaman rumput hijau itu terasa sejuk dipandang mata. Selain ditumbuhi oleh pepohonan yang rindang, beberapa tanaman bunga aneka warna menghiasi halaman.

Bram mematikan mesin mobil, kemudian keluar terlebih dahulu untuk membukakan pintu untuk Kinasih. Ia mempersilahkan Kinasih keluar. Kemudian iapun pamit untuk kembali ke toko. Namun tanpa ia duga, Kinasih memintanya untuk masuk kedalam rumah dan berkenalan dengan kedua orangtuanya. Bram yang sedikit canggung akhirnya menerima permintaan Kinasih. Keduanyapun berjalan menuju teras rumah.

Tanpa mereka sadari, sejak kendaraan yang membawa mereka memasuki halaman, kedua orang tua Kinasih yang sedang berada di ruang tamu memperhatikan dari balik jendela.

Sesampainya di depan pintu, Kinasih mengucapkan salam dan mempersilahkan Bram masuk, lalu ia memperkenalkan Bram kepada kedua orangtuanya. Bram kemudian menyapa kedua orangtua Kinasih dengan ramah. Beberapa saat kemudian ia dipersilahkan untuk duduk.

Kinasih menceritakan musibah yang baru saja ia alami hingga Bram menawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang. Mendengar cerita Kinasih, kedua orangtuanya terkejut, namun mereka bersyukur karena Kinasih pulang dalam keadaan sehat, serta berterimakasih kepada Bram atas pertolongan yang telah diberikan kepada puteri mereka.

Bram sedikit canggung mendapat ucapan terimakasih dari kedua orang tua Kinasih, namun ia segera memahaminya. Bagi Bram, kedua orang tua Kinasih adalah orang tua yang sangat baik. Berbicara dengan mereka layaknya berbicara dengan Ibu dan almarhum ayahnya. Bram merasakan kenyamanan mengobrol dengan kedua orang tua Kinasih.

beberapa waktu kemudian Bram pamit, ia akan kembali ke toko. Selesai mengucapkan salam, iapun masuk kedalam mobil lalu perlahan keluar dari halaman rumah Kinasih dan menghilang di persimpangan jalan.

Sekar Kinasih merupakan anak tunggal. Ibunya hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, sedangkan sang ayah merupakan pensiunan guru sekolah dasar. Sebagai anak perempuan satu-satunya, ia sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Selesai kuliah, ia mengikuti jejak ayahnya, mengajar. Ia mengajar disebuah Taman Kanak-Kanak. Alasannya sederhana, karena ia tidak mempunyai adik, maka dengan mengajar anak-anak TK ia bisa merasakan dirinya menjadi seorang kakak.

Berita tentang dilamarnya Kinasih oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru sebetulnya hanya diketahui oleh beberapa orang yang telah kenal dekat dengannya, salah satunya adalah Mas Yuda yang merupakan suami dari kawan Kinasih yang juga mengajar di TK yang sama tempat Kinasih mengajar.

Suatu pagi ketika jam istirahat, Kinasih bercerita kepada Ajeng ~ Isteri Mas Yuda ~ tentang musibah yang ia alami. Kemudian iapun bercerita tentang Bram yang telah baik hati mengantarnya pulang. Kemudian, Kinasihpun bercerita tentang perasaannya akhir-akhir ini, sejak Bram mengantarnya pulang, bayangan wajah Bram sering muncul di benaknya. Semakin hari sosok Bram semakin mengusik perasaan Kinasih. Iapun berusaha menepisnya, namun selalu gagal.

Mendengar cerita Kinasih, Ajeng yang semula merasa prihatin, balik menggoda Kinasih. Ajeng sebetulnya telah mengetahui musibah yang dialami Kinasih dari suaminya, kemudian Ajeng bercerita tentang sosok Bram yang ia ketahui.  Demi mendengar penuturan Ajeng tentang Bram, kekaguman Kinasih kepada Bram semakin membuncah di dadanya. Sejenak kemudian Kinasih terdiam, butiran air mata jatuh dipipinya. Kinasih tidak bisa membohongi hatinya jika ia sudah jatuh hati kepada Bram.

Melihat Kinasih menitikan air mata, seketika Ajeng memeluknya dengan erat layaknya seorang kakak yang berusaha menenangkan adiknya yang sedang dirundung duka. Ajeng sangat paham apa yang sebetulnya sedang terjadi di diri Kinasih. Ia pun telah pula mendapat kabar dari suaminya tentang ketertarikan Bram kepada Kinasih. Bak gayung bersambut, kini Kinasihpun telah jatuh hati kepada Bram. Namun hal itu menjadi dilema, karena ia tidak mungkin menyakiti orang lain yang telah melamarnya.

Beberapa saat kemudian ajeng melepaskan pelukannya, lalu ia menyeka air mata Kinasih.

***

Apa yang akan terjadi selanjutnya? simak kisah cinta Bram dan Kinasih pada cerpen/cerbung Menjemput Cinta bagian kelima.

Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.

Tanpa Judul

Sore itu, disebuah taman yang berada ditengah-tengah gedung bercat putih, duduk 3 orang pria. Satu dari ketiga orang tersebut memulai percakapan.

"Bagaimana soal rencana membangun sebuah hotel mewah bintang lima?Apa kalian sudah punya ide dimana lokasinya, dan berapa biaya yang diperlukan?" menatap kedua kawannya dengan raut wajah serius.

Mendengar suara si Pria, kedua kawannya saling berpandangan dengan raut wajah heran.  Tidak ada satupun yang berani menjawab. Si Pria kembali berbicara.

"Hey, apa kalian gak percaya sama saya?apa kalian pikir, cuma bangun satu hotel mewah saja saya gak sanggup?" matanya melotot seperti hendak keluar, "asal kalian tahu, uang saya banyak, membangun sepuluh hotel mewahpun saya sanggup, gak akan menghabiskan uang yang saya punya!" katanya kemudian berusaha meyakinkan.

"Coba kamu yang bawa kalkulator, sekarang hitung semua biaya yang diperlukan!" menatap salah satu kawannya yang sedari tadi memainkan alat hitung elektronik.

"Dan kamu, heeey....kamu jangan diam saja, keluarkan ide yang kamu punya!" dengan suara membentak.

Namun kawannya yang satu inipun hanya terdiam. Kemudian keduanya hanya saling berpandangan. Tidak ada satupun suara yang keluar dari bibir mereka.

Tanpa mereka sadari, tiba-tiba datang seorang perempuan berseragam serba putih bermaksud hendak mengakhiri pembicaraan

"Bapak-bapak yang baik, waktu bersantai ditaman sudah selesai. Ayo kita masuk!. Besok pagi lanjut lagi obrolannya ya....".



Menjemput Cinta (Bagian Ketiga)

Senja menyapa dengan sentuhan warnanya yang menarik pandangan siapapun yang menatapnya. Udara semakin dingin menyelimuti desa, seiring perlahan menghilangnya sang surya menuju peraduannya.

Pulang dari shalat Maghrib berjamaah di masjid, Bram bergabung dengan Ibu dan adiknya di ruang makan. Ia memimpin doa, lalu mempersilahkan Ibu untuk menyendok nasi dan lauk pauk terlebih dahulu. Disela-sela makan malam, Bram membuka percakapan. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Kinasih di toko hingga ada perasaan aneh yang terus mengusiknya akhir-akhir ini.

Bagi Bram, Ibu dan Ratih adalah dua makhluk Tuhan yang paling ia sayangi dan ia percayai untuk mencurahkan isi hati. Oleh karena itu, apapun yang Bram alami dan rasakan, ia tidak segan untuk bercerita dan meminta pendapat mereka.

Ibu dan Ratih menyimak cerita Bram dengan seksama. Selesai bercerita, Bram meminta pendapat sang Ibu terlebih dahulu. Ibu yang sejak awal menyimak, mengetahui apa yang putera kesayangannya rasakan saat ini.

"Apa kamu sudah mengenalnya, Bram?".

"Belum, Bu, Bram belum berkenalan. Tapi Bram sudah mengetahui namanya dari Mas Yuda ~ pegawai senior Bram" jawab Bram.

"Siapa nama perempuan itu, Bram"

"Kinasih, Bu" dengan raut wajah malu.

"Kalau sudah yakin perempuan itu sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan, ada baiknya kamu mulai memperkenalkan diri, lalu mencari tahu tentang dirinya termasuk keluarganya, Bram".

"Baik, Bu, Insya Allah besok Bram akan bertanya kepada Mas Yuda"

Adzan Isya terdengar dari kejauhan, Bram segera pamit kepada Ibu dan Ratih.

Bram adalah sosok pemuda yang pemalu. Wajah tampan yang Tuhan anugerahkan kepadanya tidak lantas membuat dirinya sombong. Ia sering menjadi bahan perbincangan para gadis di desanya. Entah sudah berapa banyak orang tua para gadis di desanya tersebut yang berusaha menjodohkan anaknya dengan Bram.

Keesokan harinya, seperti biasa pagi itu Bram mengantar Ratih ke sekolah lalu meluncur ke toko. Sebuah rencana sudah ia susun. Bram akan mencari informasi tentang sosok Kinasih kepada Mas Yuda. Tiba di toko, sebagian pegawainya terlihat sibuk merapihkan barang dagangan. Demi melihat mas Yuda yang sedang membersihkan lemari kaca, Bram pun menghampirinya. Kemudian setelah menyapa, Bram mengajak Mas Yuda ke ruang kecil yang digunakan untuk istirahat para pegawainya. Di ruang itulah beberapa pertanyaan tentang sosok Kinasih pun terlontar dari mulutnya. Termasuk keinginannya untuk berkenalan dengan Kinasih.

Mendengar pertanyaan dan keinginan yang disampaikan oleh Bram, Mas Yuda yang pada saat itu sebetulnya telah mengetahui perihal tentang Kinasih, menyampaikan informasi yang ia ketahui. 

Bram yang dilanda asmara, menerima kabar bahwa Kinasih telah dilamar oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru.

Mendengar kabar demikian, seketika Bram tertunduk, bibirnya tertutup, dan pandangan matanya sayup. Terlihat rona kesedihan di wajahnya. Ibarat mendung yang datang tiba-tiba, seperti itulah perumpamaan suasana hati Bram saat itu.

Demi melihat perubahan raut wajah Bram, timbul rasa empati di hati Mas Yuda, iapun memberi saran kepada Bram untuk melanjutkan niat berkenalan dengan Kinasih.

Beberapa saat Bram terdiam, mempertimbangkan saran yang disampaikan Mas Yuda. Sebelum ia menetapkan keputusannya, tiba-tiba datang salah satu pegawainya yang lain memberitahu bahwa ada seorang perempuan bernama Kinasih datang mencari Mas Yuda. Seketika itu Bram dan Mas Yuda saling berpandangan. Tanpa membuang waktu, keduanya keluar dan berjalan mengikuti si pegawai.

Kinasih duduk di kursi plastik yang disediakan pegawai toko. Kedua tangannya memegang segelas air putih kemasan yang isinya masih tersisa setengahnya. Melihat Mas Yuda datang , ia berdiri lalu mengucap kan salam. Bram yang berdiri disamping Mas Yuda turut membalas salam Kinasih, lalu pamit dengan alasan membantu pegawainya melayani pelanggan. Namun sebelum Bram melangkah, Mas Yuda memintanya untuk tetap berdiri disampingnya. Bram terlihat gugup, tapi karena ia melihat Kinasih yang tiba-tiba menitikan air mata, Bram menuruti permintaan Mas Yuda dan langsung bertanya kepada Kinasih apa yang sedang terjadi.

Kinasih menceritakan tentang musibah yang baru saja ia alami. Seorang pencopet berhasil merampas dan membawa kabur tasnya. Di dalam tas tersimpan dompet dan handphone. Meski kinasih berteriak, namun karena sedikit orang yang berada di lokasi, si pencopet kabur dengan leluasa. Ditengah rasa syok dan panik, ia teringat Mas Yuda. Oleh karena itu ia berkunjung ke toko bermaksud minta pertolongan. Kinasih hendak meminjam uang untuk ongkos pulang.

Mendengar penuturan Kinasih, Bram dan Mas Yuda terkejut dan merasa iba. Setelah menyampaikan keprihatinannya, tanpa  berpikir panjang Bram menawarkan bantuan. Ia menawarkan diri untuk mengantar Kinasih pulang. Kinasih dan Mas Yuda saling berpandangan. Lalu mas Yuda menganggukan kepala sebagai tanda agar Kinasih menerima tawaran Bram. Kinasihpun menerima tawaran Bram. Sejak saat itulah perkenalan dan kedekatan Bram dan Kinasih bermula.

(Bersambung)



Menjemput Cinta (Bagian Kedua)


Pagi itu suasana sekolah berlantai tiga yang berada dipinggir jalan raya terlihat ramai. Beberapa murid yang baru tiba segera masuk melalui gerbang utama. Disamping kanan terdapat sebuah lapangan olahraga yang cukup luas. Sekelompok murid terlihat sedang duduk santai di bawah pohon yang berada dipinggir lapangan sambil bercengkerama.
Mobil yang dikendarai Bram berhenti didepan gerbang utama sekolah. Beberapa detik kemudian Ratih membuka pintu mobil lalu pamit kepada kakaknya. Setelah memastikan adiknya masuk, Bram melanjutkan perjalanan menuju toko.
‘Toko Pakaian - Barokah, menyediakan Pakaian Muslim/Muslimah dan perlengkapan shalat’, demikian isi tulisan yang menempel pada sebuah Papan Nama di atas pintu toko. Pagi itu pelanggan mulai ramai berkunjung. Beberapa dari mereka membeli perlengkapan shalat maupun busana muslim. Bram turut melayani, sesekali ia yang mengambil barang permintaan pelanggan. Ditengah kesibukannya, tanpa ia sadari seorang wanita membuka pintu toko kemudian menyapa Bram.
Dialah Kinasih, seorang wanita berparas cantik dengan balutan busana muslimah yang terlihat fashionable. Kecantikannya membuat siapapun yang memandangnya merasakan keteduhan.
“Assalamu’alaykum, permisi mas, saya mau mencari jilbab dengan model seperti ini” tanya Kinasih sambil memperlihatkan gambar contoh jilbab yang sedang dicari.
“Wa’alaykumsalam, oh… ada Mba, mohon ditunggu” jawab Bram kemudian berjalan menuju lemari kaca disudut ruangan toko.
Ketika Bram sedang mengambil barang, salah satu pegawainya menyapa Kinasih. Rupanya ia sudah sangat mengenalnya. 
Beberapa saat kemudian…
“Ini koleksi jilbabnya, Mba, silahkan dipilih warna atau corak yang Mba inginkan?” ucap Bram kemudian sambil menyodorkan koleksi jilbab yang masih terbungkus rapih di dalam kantong plastik bening.
Setelah melihat satu persatu, Kinasih menetapkan pilihannya.
“Saya pilih yang ini saja, berapa harganya?” tanya Kinasih kemudian.
“tujuh puluh ribu, Mba” jawab Bram dengan senyum yang terlihat agak canggung.
“Baik, saya ambil tiga” ujar Kinasih sambil tersenyum.
Bram segera membungkus jilbab pilihan Kinasih lalu menyerahkannya.
Setelah memberikan sejumlah uang kepada Bram, Kinasih pamit.
“Terimakasih sudah bersedia berkunjung ke toko kami. Semoga pelayanan kami tidak mengecewakan” ucap Bram yang berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Mendengar ucapan Bram, Kinasih tersenyum kemudian segera balik badan menuju pintu. Bram yang sedari awal terlihat canggung hanya terdiam ditempat dimana dia berdiri, dan baru tersadar setelah salah satu  pegawai memanggilnya.
 Kehadiran Kinasih rupanya mengusik hati Bram. Entah kenapa jantungnya terasa berdebar. Bahkan hingga menjelang sore, pikirannya selalu tertuju pada sosok Kinasih. Bram berusaha mengusir perasaan itu, namun rasa itu terlalu kuat menancap di hatinya.
Menjelang sore, Bram pamit pada para pegawai untuk menjemput adiknya. Beberapa saat kemudian mobil yang dikendarai Bram meluncur menuju sekolah. Sesampainya di depan gerbang utama, Ratih sudah menunggu. Kemudian keduanya meluncur pulang.
Malam hari setelah shalat Isya berjama’ah di masjid, Bram pulang lalu pamit kepada Ibunya untuk masuk kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil menatap langit kamar. Sesekali ia terlihat tersenyum seperti ada sesuatu yang menggodanya. Beberapa menit kemudian ia mematikan lampur, berdoa lalu tertidur hingga waktu subuh menyapa.
Sejak Kinasih berkunjung ke toko beberapa hari yang lalu, kini Bram sering terlihat termenung. Sesekali tatapannya menuju ke arah pintu toko seperti sedang menantikan kehadiran seseorang. Tanpa ia sadari, salah satu pegawainya yang senior perlahan mengamati perubahan perilaku Bram. Kemudian si pegawai memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Bram, mohon maaf sebelumnya, boleh saya izin bertanya sesuatu?”
“Oh… silahkan, Mas” jawab bram sedikit terkejut.
“Akhir-akhir ini, Pak Bram saya perhatikan sering termenung. Apakah ada sesuatu yang menggangu pikiran Pak Bram?”
“Oh… Alhamdulillaah ndak, Mas,  semua berjalan normal seperti biasa” jawab Bram sambil tersenyum meyakinkan karyawannya.
“Syukurlah, saya hanya khawatir kalau Pak Bram sedang dalam masalah”
“Terimakasih atas perhatiannya, kamu memang karyawan saya yang baik” ujar Bram memuji.
“Kalau gitu, saya izin melanjutkan pekerjaan Pak!”
“Ya… ya… silahkan, saya juga mau keluar toko sebentar, mau menanyakan pesanan gamis di toko Bahagia”  kata Bram sambil berjalan menuju pintu toko.
Namun, ketika Bram hendak membuka pintu toko, tanpa ia sadari Kinasih sudah berdiri dibalik pintu sehingga Bram hampir menubruknya.
“Astaghfirullaah, maaf Mba, maaf… saya ndak melihat ada mba dibalik pintu” ucap Bram penuh penyesalan.
“Ndak apa, Mas, saya yang salah, harusnya saya menunggu Mas keluar dahulu” jawab Kinasih sambil tersenyum menahan tawa.
“Silahkan masuk, Mba. Ada pegawai saya yang akan melayani. Saya keluar dulu mengambil barang pesanan” ucap Bram dengan rasa malu yang disembunyikan.
“Terimakasih, Mas, silahkan” jawab Kinasih kemudian.
Kunjungan Kinasih di toko untuk yang kedua kali membuat Bram semakin salah tingkah. Jantungnya kembali berdebar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Jika saat itu ada orang yang memperhatikan wajah Bram, maka ia akan menemukan adanya perubahan warna kulit di wajahnya yang putih bersih.
Apakah Bram sedang jatuh cinta pada pandangan kedua?

***

Menjemput Cinta (Bagian Pertama)

 “Jika cinta datang terlambat, jangan pernah ragu untuk menjemputnya”


“Mas, Aku minta maaf karena sering merepotkan kamu”.
“Ndak apa, Dek, Mas sangat senang kalau kamu masih mempercayai Mas menjaga Kinanti. Selagi Mas dikaruniai kesehatan, mas akan menjaganya disaat kamu pergi bekerja. Lagipula, disini juga tidak ada anak kecil. Ibu dan Ratih juga sayang dengan Kinanti, kata mereka, Kinanti sudah seperti cucu dan keponakan sendiri”.
Setelah mendapat penjelasan Bram yang menyejukan hatinya, Kinasih hendak pamit. Sebelum melangkah keluar dari halaman rumah yang disisi kanan dan kirinya ditumbuhi rumput serta tanaman bunga beraneka warna, Kinasih  mencium pipi dan kening Kinanti, puteri satu-satunya yang baru berusia dua tahun.
“Ibu pamit ya sayang, Kinanti ndak boleh cengeng apalagi nakal, kasian nanti om Bramnya jadi repot” tutur Kinasih kepada puterinya penuh kasih sayang sambil sesekali pandangannya menangkap wajah Bram.
"Aku pamit, Mas. Terimakasih atas kebaikan Mas selama ini. Tolong sampaikan salamku untuk Ibu dan Ratih", ucap Kinasih sambil berlalu pergi.
Bram yang sedang menggendong Kinanti menatap Kinasih, mengangguk dan memberikan senyumannya yang tulus.
Kinasih yang telah pamit segera melangkah keluar halaman. Tanpa disadari olehnya, pandangan mata Bram terus tertuju kepadanya, menatap Kinasih hingga sosoknya menghilang di ujung jalan.
Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Bram saat itu. Pemuda tampan tersebut terlihat seperti sedang memendam suatu rasa yang sulit untuk di ungkapkan.
***
Beberapa tahun sebelumnya.

Matahari baru saja naik dari peraduannya. Udara dingin menyelimuti desa yang lokasinya berada di kaki gunung. Kicauan burung yang indah turut meramaikan suasana. Pagi itu penduduk desa memulai melakukan aktifitasnya. Ada yang pergi ke sawah, berladang, sekolah atau kuliah, ke pasar, maupun sekedar membersihkan halaman rumah dan jalan dari daun kering yang jatuh dari pepohonan.
Disebuah rumah dengan pekarangan rumput hijau serta tanaman bunga yang beraneka warna, sejak sebelum adzan subuh berkumandang penghuni rumah tersebut sudah terbangun. Bram memulai hari dengan shalat subuh berjamaah di masjid yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Ia tinggal bersama Ibu dan Ratih, adik satu-satunya. Sedangkan sang Ayah telah wafat ketika ia baru saja   lulus dari sebuah Perguruan Tinggi. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran sang Ayah. 
Bram adalah sosok lelaki idaman. Selain postur tubuhnya yang gagah serta wajahnya yang tampan, ia juga memiliki perilaku yang baik. Tidak heran jika Bram menjadi idola para gadis di Desanya. Tetangga dan teman-temannya memberikan julukan ‘pemuda tampan nan sholeh’  kepadanya. Ia juga merupakan sosok pemuda yang  tekun dalam menjalankan usaha dagang pakaian muslim dan muslimah di Pasar. Karena kegigihannya, usaha dagang yang dirintis sejak ia lulus Sekolah Menengah Kejuruan tersebut terus berkembang hingga ia bisa membangun sebuah toko pakaian yang cukup besar dan lengkap, serta memberdayakan karyawan sebanyak empat orang. Dari usahanya itulah ia mampu menafkahi Ibu dan adiknya.
“Bu, Bram pamit, mohon do’a Ibu” ucap bram sambil mencium tangan Ibunya.
“Hati-hati di jalan, Bram. Oh iya, adikmu bilang dia ada latihan menari sama kawan-kawannya siang nanti di Sekolah, mungkin sampai sore latihannya. Nanti tolong sekalian kamu jemput Ratih ya, Bram” kata ibu mengingatkan.
“Iya Bu, nanti Bram jemput" jawab Bram. 
"Dek, ayo kita berangkat! Dandannya jangan lama-lama, nanti terlambat loh!” teriak Bram memanggil Ratih yang masih berdiri di depan cermin.
“Iya sebentar lagi, Mas” jawab ratih setengah teriak dari dalam kamarnya.
Beberap detik kemudian Ratih keluar, mengambil sepatu, memakainya lalu pamit.
“Ratih berangkat ya Bu, do’ain Ratih biar ulangan pagi ini bisa dikerjakan dengan mudah”.
“Amiin, yang penting gak boleh nyontek ya, Dek!” ujar Bram meledek sambil masuk kedalam mobil untuk memanaskan mesin kendaraan.
“huuuh, mana mungkin adik Mas yang cantik ini berbuat tidak jujur” jawab ratih membela diri.
“Sudah-sudah, cepat jalan, nanti kamu terlambat sampai sekolah” ucap Ibu menengahi sambil tertawa.
“Assalamu’alaykum…” Bram dan Ratih kompak mengucapkan salam.
         Sang Ibu Menjawab ucapan salam sambil tersenyum, menatap kedua buah hatinya dengan penuh rasa syukur.  
Beberapa detik kemudian mobil yang dikendarai Bram keluar halaman dan menghilang di ujung jalan.

(Bersambung)