Tanpa Judul

Sore itu, disebuah taman yang berada ditengah-tengah gedung bercat putih, duduk 3 orang pria. Satu dari ketiga orang tersebut memulai percakapan.

"Bagaimana soal rencana membangun sebuah hotel mewah bintang lima?Apa kalian sudah punya ide dimana lokasinya, dan berapa biaya yang diperlukan?" menatap kedua kawannya dengan raut wajah serius.

Mendengar suara si Pria, kedua kawannya saling berpandangan dengan raut wajah heran.  Tidak ada satupun yang berani menjawab. Si Pria kembali berbicara.

"Hey, apa kalian gak percaya sama saya?apa kalian pikir, cuma bangun satu hotel mewah saja saya gak sanggup?" matanya melotot seperti hendak keluar, "asal kalian tahu, uang saya banyak, membangun sepuluh hotel mewahpun saya sanggup, gak akan menghabiskan uang yang saya punya!" katanya kemudian berusaha meyakinkan.

"Coba kamu yang bawa kalkulator, sekarang hitung semua biaya yang diperlukan!" menatap salah satu kawannya yang sedari tadi memainkan alat hitung elektronik.

"Dan kamu, heeey....kamu jangan diam saja, keluarkan ide yang kamu punya!" dengan suara membentak.

Namun kawannya yang satu inipun hanya terdiam. Kemudian keduanya hanya saling berpandangan. Tidak ada satupun suara yang keluar dari bibir mereka.

Tanpa mereka sadari, tiba-tiba datang seorang perempuan berseragam serba putih bermaksud hendak mengakhiri pembicaraan

"Bapak-bapak yang baik, waktu bersantai ditaman sudah selesai. Ayo kita masuk!. Besok pagi lanjut lagi obrolannya ya....".



hujan

aku masih bingung
apakah aku yang beruntung disentuh rintikmu hujan, atau kau yang bahagia bisa membasahiku.
entahlah

Beban APBN Untuk Pemindahan Ibu Kota Negara

Wacana pemindahan Ibu Kota Negara yaitu DKI Jakarta mulai didengungkan kembali, hal ini pertama kali didengungkan pada saat pemerintahan Presiden Soekarno yang ingin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangka Raya, tetapi sebelum hal ini terealisasi, Presiden Soekarno sudah lengser terlebih dahulu. Kemudian wacana pemindahan Ibu kota Negara kembali digulirkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, diusulkan pemindahan ibu kota negara ke Jonggol, tetapi lagi-lagi hal ini tidak terealisasi kembali hingga berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kemudian masa pemerintahan Presiden SBY juga mewacanakan isu pemindahan ibu kota negara hingga masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Wacana pemindahan ibu kota negara pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, sedang dalam tahap kajian di Bappenas. Lokasi ibu kota masih belum ditetapkan, ada yang menyebutkan Jonggol hingga Palangka Raya atau kota lain di Kalimantan.
Tulisan ini bukan merupakan kajian yang komprehensif mengenai pemindahan ibu kota negara, tidak mengkaji kota mana yang tepat menjadi ibu kota negara baru, tidak mengkaji perlu atau tidaknya pemindahan ibu kota negara, tetapi melihat secara sederhana dampak anggaran yang ditimbulkan dari pemindahan ibu kota negara. Karena, pemindahan ibu kota negara mau tidak mau, besar maupun kecil, pasti akan membebani APBN. Sebesar apa beban APBN kita? saya akan coba uraikan satu-satu dengan asumsi ibu kota negara pindah ke Palangka Raya.

Pertama, apa yang paling dibutuhkan suatu pemerintahan? tentu saja adalah gedung pemerintahannya. Hingga tahun 2017 ini, terdapat 88 Kementerian Negara/Lembaga dan apabila benar-benar terjadi pemindahan ibu kota negara, maka kemungkinan besar 88 Kementerian Negara/Lembaga (K/L) tersebut juga akan dipindahkan (tentu saja kalo saat pemindahan nanti jumlahnya masih 88, semoga saya juga tidak salah ngitung jumlah K/L). Dengan jumlah 88 K/L, maka perlu 88 ruangan untuk Menteri dan Pimpinan Lembaga serta jajarannya. Dengan menggunakan standar ruangan dari Kementerian PU-PR dan jumlah PNS Pemerintah Pusat dari BPS, maka perhitungan kebutuhan gedung adalah sebagai berikut:
Sumber : Kementerian PUPR
(Keterangan : standar rata-rata ruang kantor tingkat Direktorat (Unit Eselon II) adalah 10 m2/pegawai (angka rata2 termasuk Direktur dan Kasubdit))

Sumber : Pemerintah Kota Palangka Raya


Jumlah PNS Menurut Jenis Kepegawaian dan Jenis Kelamin, Desember 2013 dan Desember 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik

Apabila melihat dari data harga satuan tertinggi gedung negara untuk kota Palangka Raya dan data jumlah PNS Pemerintah Pusat, maka didapat angka kebutuhan anggaran gedung kantor dengan perhitungan sebagai berikut:

Total Menteri                 = 406 m2 x 89
(Pimpinan Lembaga)      = 36.134 m2
Biaya Total Menteri       = 36.134 x 4.172.000
                                    = 150.751.048.000                           
Total Eselon I                = 197 m2 x 306
                                    = 60.282 m2
Biaya Total Eselon I       = 60.282 x 4.172.000
                                     = 251.496.504.000
Total Direktorat              = 10 m2 x 909.426
                                     = 9.094.260 m2
Biaya Total Direktorat     = 9.094.260 x 4.172.000
                                     = 37.941.252.720.000
Total Biaya                     = 150.751.048.000 + 251.496.504.000 + 37.941.252.720.000
                                     = 38.343.500.272.000

Berdasarkan hasil perhitungan, maka anggaran yang dibutuhkan untuk membangun gedung Pemerintah Pusat adalah sebesar Rp38.343.500.272.000,00. Angka tersebut merupakan perhitungan paling minimal yang harus dipenuhi karena menggunakan angka untuk pembangunan gedung bertingkat sederhana.
Pembangunan gedung juga memerlukan pengadaan tanah terlebih dahulu, dengan menggunakan luas minimal yaitu untuk total gedung Menteri (dan pimpinan lembaga), Eselon I, dan Direktorat, maka luas keseluruhan dalam m2 adalah 36.134 m2 + 60.282 m2 + 9.094.260 m2 = 9.190.676 m2 dan NJOP Kota Palangka Raya sebesar Rp400.000,00 per m2 (sesuai dengan Perda Kota Palangka Raya), maka kebutuhan anggaran untuk pengadaan tanah adalah sebesar 9.190.676 x 400.000 = Rp3.676.270.400.000,00.
        Selain kebutuhan anggaran untuk pembangunan gedung dan pengadaan tanah, perlu anggaran untuk belanja barang operasional. Mengambil data dari BI Anggaran untuk tahun anggaran 2017, belanja barang operasional untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga di Kantor Pusat adalah sebesar Rp26.564.170.166.000,00.
(Keterangan: data diambil dengan memfilter untuk seluruh belanja barang operasional dan seluruh K/L yang berlokasi di DKI Jakarta, Satker yang berlokasi di DKI Jakarta masuk kedalam penghitungan).
        Dengan melakukan penghitungan untuk biaya pembangunan gedung dan kebutuhan belanja barang oprasional, maka suatu gedung pemerintahan agar dapat digunakan memerlukan biaya total untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga adalah sebesar :
Rp38.343.500.272.000,00+Rp3.676.270.400.000,00+Rp26.564.170.166.000,00=Rp68.583.940.838.000,00. Hasil perhitungan tersebut merupakan angka minimal, dan kemungkinan besar bisa 2 kali lipat kebutuhan yang perlu dianggarkan.

           Kedua, perlunya perumahan bagi PNS. Penyediaan perumahan bagi PNS yang ikut pindah, hal ini dapat diberikan berupa subsidi, pembiayaan dengan bunga rendah, atau membangun rumah dinas untuk seluruh PNS. Apakah akan membebani APBN? Apabila bentuknya adalah keringanan pembiayaan, tidak akan membebani APBN, tapi apabila harus diberikan subsidi dan memberikan seluruh PNS rumah dinas, maka ini akan sangat membebani APBN. Apabila  seluruh PNS diberikan rumah dinas, dengan anggaran per rumah Rp200.000.000,00, maka untuk memenuhi kebutuhan 909.426 PNS adalah sebesar Rp181.885.200.000.000,00.

            Ketiga, pemindahan Ibu Kota Negara juga perlu memikirkan penambahan pembangunan untuk pengelolaan air bersih, pemenuhan energi, transportasi, jalan, ruang terbuka hijau, sanitasi, drainase, penambahan rumah sakit, penambahan sekolah, dan lain sebagainya. Kebutuhan tersebut dapat dibebankan oleh APBD karena nantinya akan dikelola oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Perlu ada kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah, bahwa untuk penyediaan transportasi dan infrastruktur dasar, dapat dibebankan melalui APBD, BUMD, maupun BUMN.

                Keempat, sesuai hasil penghitungan sederhana yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan anggaran yang akan dibebankan oleh APBN, seminimalnya adalah untuk pembangunan gedung pemerintahan beserta pengadaan tanah dan apabila dimungkinkan adalah membangun perumahan bagi seluruh PNS. Berdasarkan dua hal itu saja, maka anggaran yang akan dibebankan pada APBN adalah sebesar Rp68.583.940.838.000 + Rp181.885.200.000.000,00 = Rp250.469.140.838.000,00 (250,5 triliun). Kebutuhan 250,5 triliun dapat dibebankan selama beberapa tahun anggaran dan untuk kebutuhan rumah bagi PNS dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD maupun Swasta agar memperoleh skema yang lebih meringankan terhadap beban APBN.

(tulisan ini dibuat dalam rangka iseng-iseng belaka, apabila ada yang tidak berkenan, dapat didiskusikan secara santai dan mungkin bisa sambil ngopi-ngopi..hehehe)

Menjemput Cinta (Bagian Ketiga)

Senja menyapa dengan sentuhan warnanya yang menarik pandangan siapapun yang menatapnya. Udara semakin dingin menyelimuti desa, seiring perlahan menghilangnya sang surya menuju peraduannya.

Pulang dari shalat Maghrib berjamaah di masjid, Bram bergabung dengan Ibu dan adiknya di ruang makan. Ia memimpin doa, lalu mempersilahkan Ibu untuk menyendok nasi dan lauk pauk terlebih dahulu. Disela-sela makan malam, Bram membuka percakapan. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Kinasih di toko hingga ada perasaan aneh yang terus mengusiknya akhir-akhir ini.

Bagi Bram, Ibu dan Ratih adalah dua makhluk Tuhan yang paling ia sayangi dan ia percayai untuk mencurahkan isi hati. Oleh karena itu, apapun yang Bram alami dan rasakan, ia tidak segan untuk bercerita dan meminta pendapat mereka.

Ibu dan Ratih menyimak cerita Bram dengan seksama. Selesai bercerita, Bram meminta pendapat sang Ibu terlebih dahulu. Ibu yang sejak awal menyimak, mengetahui apa yang putera kesayangannya rasakan saat ini.

"Apa kamu sudah mengenalnya, Bram?".

"Belum, Bu, Bram belum berkenalan. Tapi Bram sudah mengetahui namanya dari Mas Yuda ~ pegawai senior Bram" jawab Bram.

"Siapa nama perempuan itu, Bram"

"Kinasih, Bu" dengan raut wajah malu.

"Kalau sudah yakin perempuan itu sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan, ada baiknya kamu mulai memperkenalkan diri, lalu mencari tahu tentang dirinya termasuk keluarganya, Bram".

"Baik, Bu, Insya Allah besok Bram akan bertanya kepada Mas Yuda"

Adzan Isya terdengar dari kejauhan, Bram segera pamit kepada Ibu dan Ratih.

Bram adalah sosok pemuda yang pemalu. Wajah tampan yang Tuhan anugerahkan kepadanya tidak lantas membuat dirinya sombong. Ia sering menjadi bahan perbincangan para gadis di desanya. Entah sudah berapa banyak orang tua para gadis di desanya tersebut yang berusaha menjodohkan anaknya dengan Bram.

Keesokan harinya, seperti biasa pagi itu Bram mengantar Ratih ke sekolah lalu meluncur ke toko. Sebuah rencana sudah ia susun. Bram akan mencari informasi tentang sosok Kinasih kepada Mas Yuda. Tiba di toko, sebagian pegawainya terlihat sibuk merapihkan barang dagangan. Demi melihat mas Yuda yang sedang membersihkan lemari kaca, Bram pun menghampirinya. Kemudian setelah menyapa, Bram mengajak Mas Yuda ke ruang kecil yang digunakan untuk istirahat para pegawainya. Di ruang itulah beberapa pertanyaan tentang sosok Kinasih pun terlontar dari mulutnya. Termasuk keinginannya untuk berkenalan dengan Kinasih.

Mendengar pertanyaan dan keinginan yang disampaikan oleh Bram, Mas Yuda yang pada saat itu sebetulnya telah mengetahui perihal tentang Kinasih, menyampaikan informasi yang ia ketahui. 

Bram yang dilanda asmara, menerima kabar bahwa Kinasih telah dilamar oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru.

Mendengar kabar demikian, seketika Bram tertunduk, bibirnya tertutup, dan pandangan matanya sayup. Terlihat rona kesedihan di wajahnya. Ibarat mendung yang datang tiba-tiba, seperti itulah perumpamaan suasana hati Bram saat itu.

Demi melihat perubahan raut wajah Bram, timbul rasa empati di hati Mas Yuda, iapun memberi saran kepada Bram untuk melanjutkan niat berkenalan dengan Kinasih.

Beberapa saat Bram terdiam, mempertimbangkan saran yang disampaikan Mas Yuda. Sebelum ia menetapkan keputusannya, tiba-tiba datang salah satu pegawainya yang lain memberitahu bahwa ada seorang perempuan bernama Kinasih datang mencari Mas Yuda. Seketika itu Bram dan Mas Yuda saling berpandangan. Tanpa membuang waktu, keduanya keluar dan berjalan mengikuti si pegawai.

Kinasih duduk di kursi plastik yang disediakan pegawai toko. Kedua tangannya memegang segelas air putih kemasan yang isinya masih tersisa setengahnya. Melihat Mas Yuda datang , ia berdiri lalu mengucap kan salam. Bram yang berdiri disamping Mas Yuda turut membalas salam Kinasih, lalu pamit dengan alasan membantu pegawainya melayani pelanggan. Namun sebelum Bram melangkah, Mas Yuda memintanya untuk tetap berdiri disampingnya. Bram terlihat gugup, tapi karena ia melihat Kinasih yang tiba-tiba menitikan air mata, Bram menuruti permintaan Mas Yuda dan langsung bertanya kepada Kinasih apa yang sedang terjadi.

Kinasih menceritakan tentang musibah yang baru saja ia alami. Seorang pencopet berhasil merampas dan membawa kabur tasnya. Di dalam tas tersimpan dompet dan handphone. Meski kinasih berteriak, namun karena sedikit orang yang berada di lokasi, si pencopet kabur dengan leluasa. Ditengah rasa syok dan panik, ia teringat Mas Yuda. Oleh karena itu ia berkunjung ke toko bermaksud minta pertolongan. Kinasih hendak meminjam uang untuk ongkos pulang.

Mendengar penuturan Kinasih, Bram dan Mas Yuda terkejut dan merasa iba. Setelah menyampaikan keprihatinannya, tanpa  berpikir panjang Bram menawarkan bantuan. Ia menawarkan diri untuk mengantar Kinasih pulang. Kinasih dan Mas Yuda saling berpandangan. Lalu mas Yuda menganggukan kepala sebagai tanda agar Kinasih menerima tawaran Bram. Kinasihpun menerima tawaran Bram. Sejak saat itulah perkenalan dan kedekatan Bram dan Kinasih bermula.

(Bersambung)



GEMESS (Garing mak Kress) : Cantik

Jam dinding telah menunjukkan pukul 21.30. Di luar rumah terdengar suara tetesan air masih cukup deras turun dari langit. Suasana malam yang dingin menyeruak ke segala penjuru rumah. Kenyataan bahwa malam itu adalah malam jumat menambah sakral aura yang terpancar di dalam kamar.

Belum selesai angan melayang, terlihat daun pintu terbuka perlahan. Nampak sosok wanita pendamping hidup memasuki kamar dengan derap langkah yang nyaris tak terdengar. Kubayangkan dia berjalan melenggak-lenggok bak model kawakan. Bajunya tipis menerawang membuat settingan ruangan berubah menjadi peragaan busana musim panas. Bukan... yang dikenakannya bukan lingerie, hanya sisa kaos kampanye salah satu politisi. Dalam genggamannya sudah ada dua gelas teh manis hangat untuk kami berdua, meniru iklan di televisi.

Di sampingku yang sedari tadi berbaring santai, sang istri duduk perlahan dan menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

"Pah, ini tehnya diminum dulu mumpung masih hangat" istriku berujar sambil meletakkan gelas satunya di atas meja.

Tak lama kemudian dia melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di samping bantal.

"Kalau ga pakai kaca mata gini, mamah kelihatan lebih cantik ya" aku memulai obrolan dengan menyeruput teh hangat yang begitu nikmat membasahi kerongkongan.

"Ah, Papah gombal banget, mentang-mentang malam jumat, modus nih.. modus.." cibir istriku

"Beneran ini mah, papah ga bohong" aku coba meyakinkan.

"Papah ih, mamah kan jadi malu. Kalau gitu, apa mamah pakai kontak lens aja mulai sekarang? Tapi berarti besok harus beli Pah, mamah kan belum punya" cerocos istriku dalam satu helaan nafas.

"Loh.. loh.. kok bisa tiba-tiba nyambung ke situ? aku mengernyitkan dahi.

"Ya kan supaya aku selalu terlihat lebih cantik di depan suami, Pah. Jadi ga perlu pakai kaca mata lagi, sesuai keinginan Papah tadi. Ooh, apa sekalian operasi lasik aja ya Pah?" Istriku terus saja nyerocos tak terhentikan.

"Oalah mamah, maksud papah tadi, kalau papah lagi ga pakai kaca mata gini, mamah terlihat lebih cantik, beneran deh, kelihatannya agak buram-buram gitu" aku coba menjelaskan

Seketika pandanganku yang semula buram menjadi gelap dipenuhi kunang-kunang dengan remote TV masih tergeletak di atas kepala. Headshot!

Nasi Goreng Buatan Ibu


Bawang merah dan bawang putih itu kini telah menjadi irisan kecil, kemudian tinggal kutambahkan beberapa buah cabai rawit dan cabai merah keriting ke dalam blender. Trus apa lagi ya pikirku, ponsel yang sedari tadi ada di meja dapur menjadi sasaran keingintahuanku. Melihat macam-macam resep nasi goreng yang ada di menu masakan milik "Mbah Google" sepertinya ini sama saja seperti bumbu-bumbu yang biasa kubuat ketika bikin nasi goreng.
Kemiri, sedikit terasi...yah boleh juga buat variasi, supaya rasanya agak beda sedikit dari yang biasa kuracik. Bumbu sudah semua masuk, tinggal memasukkan blender ke dalam mesin pemutar.

Seperti biasa, setiap Hari Sabtu dan Minggu pagi, menu ini seolah sudah menjadi menu wajib buat Raihan, anak bungsuku. Selepas dia bangun tidur, ketika kutawarkan, 'Raihan, mau makan apa? Nasi goreng mau enggak?"
Dia pasti menjawab dengan cepatnya  "Mauuu..."

Entah kenapa,
padahal menurutku, rasa nasi goreng bikinanku biasa saja, tidak istimewa. Aku bingung kenapa dia bisa suka sekali masakan itu, sedangkan aku sendiri saja kadang bosan memakannya. Kakak perempuannya yang baru turun dari lantai atas bertanya,
"Kok sarapannya nasi goreng melulu sih De, memang nasgor buatan Ibu enak?"
"Enak...," kata Raihan santai sambil memainkan HP nya.
Si Kakak masih penasaran,
"Enaknya gimana sih?" tanyanya lagi sambil senyum-senyum usil.
Raihan berkata, "Ya gitu deh... ada asin-asinnya."
Hahahaha....
Spontan, si Kakak tertawa. Aku pun ikut tertawa. Lah wong kebanyakaan garem kok dibilang enak. Semoga ini bukan karena rumor garem itu ya. Malu.

Karena menu andalan bikinan sendiri ke anak adalah nasi goreng, pernah suatu ketika, saking inginnya membuat variasi nasi goreng yang baru buat Raihan, aku bereksperimen dengan salah satu bumbu dapur yaitu kencur. Dengan pedenya, karena aku juga pernah mencicipi nasi goreng kencur di rumah salah seorang adikku dan rasanya lumayan enak, seger di mulut... jadilah sang kencur kutambahkan... beserta kelengkapannya, telur ceplok, bakso, dan udang.

Segera kuhidangkan pada Raihan yang melihat pada nasi goreng itu dengan curiga. Sedang aku pura-pura mengerjakan hal lainnya, dengan maksud menghindari pertanyaan Raihan. Mudah-mudahan saja dia suka, dan tidak mempermasalahkannya. Wah, kalo mesti bikin ulang nasi goreng males banget nih pikirku.

"Kok warnanya agak beda, Bu?" tanyanya,
"Iya, itu cuma warnanya aja kok de, cobain deh rasanya pasti enak,"  kataku, sok tahu. Padahal waktu memasak tadi, aku cuma masuk-masukin bumbunya saja, tidak kucicipi.
Raihan memasukkan sesendok nasi goreng kemulutnya, kemudian diam sejenak...
"Ibuuuu..." teriaknya tak lama kemudian.  "Ini jamu apa nasi goreng..." serunya sambil minum air putih...banyak sekali...
(kayanya aku terlalu semangat nambahin kencurnya kali yaa...hehe)

Demikianlah, "si Ibu yang sok tahu ini" tidak pernah jera bereksperimen dengan nasi goreng. Pernah ditambahin ikan asep, kornet, sampai keju, tapi yang terakhir itu, sumpah rasanya enak kok.

Dan Raihan juga tak pernah "kapok" makan nasi goreng buatan Ibu. Setiap hari Sabtu dan Minggu pagi,  selepas bangun tidur, demo masak nasi goreng ala Ibu dimulai dengan aba-aba,
"Buu....bikinin nasi goreng doong..."





Ikan Hiu di Tangkapan Nelayan

Konon, sekelompok nelayan Jepang mengangkut tangkapan mereka ke pasar untuk dijual. Tapi, pagi itu lebih banyak ikan yang tidak laku. Sang Kapten meminta salah seorang anggota kelompoknya untuk menyelidiki kenapa ikan-ikan itu tidak laku terjual.

“Lapor, Kapten. Saya sudah cukup mendapat informasi yang bisa dipercaya,” lapor Sang Anggota.

“Baik, apa itu?” Kapten menjawab tanpa basa-basi.

“Saya mencari informasi dari pedagang yang menjual ikan kita dan sekitar separuh konsumen di pasar ikan ini. Kata mereka, daging ikan tangkapan kita kurang segar, jadi kurang sedap dimakan.”

Kapten berfikir keras,”Mmm … begitu kah? … mungkin karena kita bawa ikan-ikan itu ke darat hanya ditimbun es agar tidak membusuk saja. Tapi, mereka sudah mati. Kamu ada ide apa?”

“Ahh, jika begitu, tempat penampungan yang biasa kita pakai, diberi air saja Kapten. Supaya ikan-ikan tangkapan kita tetap hidup sampai di darat.” Sang Anggota mengusulkan.

“Hmm… Patut dicoba”.

Malamnya, mereka kembali berlayar untuk menangkap ikan dengan perlengkapan yang dimodifikasi. Tempat penampungan yang biasanya diisi dengan timbunan es batu, kini diisi air laut. Ikan-ikan tangkapan mereka tetap hidup. Namanya juga usaha.

Keesokan paginya, ikan-ikan tangkapan mereka terjual lebih banyak dari hasil tangkapan kemarin, tapi tetap tidak habis. Kali ini, Kapten tidak meminta anggotanya untuk mencari tahu. ‘Besok mungkin makin baik,’ ia membatin.

Seperti kemarin, malam hari mereka kembali gigih menangkap ikan di laut. Setelah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan dan mereka hendak kembali pulang, tiba-tiba saja seekor ikan hiu terjebak jala mereka.

 “Awas, hati-hati. Kita pisahkan saja di geladak!” Teriak seorang anggota kapal, yang disetujui anggota yang lain.

“Tidak! Masukkan juga hiu ini ke kolam tangkapan kita. Jadikan satu dengan ikan-ikan hidup yang lain,” Kapten punya pendapat berbeda, dan tentu saja dipatuhi oleh anggota lainnya.

Kedatangan hiu di kolam tangkapan, tentu mengejutkan ikan-ikan yang pada awalnya berenang dengan tenang, nyaris tidak bergerak malahan. Mereka jadi sibuk berenang ke sana dan ke mari demi menghindari kejaran hiu ketika lapar. Gimana ya kalau jadi ikan-ikan itu? Lolos dari kejaran hiu pun, mereka akan berakhir di pelelangan ikan.

Tapi begitu lah legenda yang pernah saya dengar dari seorang kawan yang bernama BungA, sebut saja namanya begitu. Pada saat ikan-ikan itu hanya dimasukkan dalam penampungan yang berisi air laut, mereka berenang dengan tenang, merasa damai-damai saja, karena mungkin belum menyadari perubahan kondisi apa yang akan terjadi.

BungA menganalogikan keadaan ikan-ikan yang tenang berenang itu dengan suasana tempat dia bekerja dulu. Rasa aman, lingkungan nyaris homogen, menciptakan zona nyaman yang cenderung membuat kebanyakan kita, menurut BungA nih yaaa, terlihat kurang semangat bekerja, menyiapkan apa adanya, sering tidak fokus karena merasa ada kesempatan untuk memperbaiki besok atau lusa.

Dengan  kedatangan seekor hiu dalam legenda tersebut, menurut BungA, penutur awal legenda ini hendak menganalogikan suasana yang berbeda saat mereka memiliki Pimpinan yang sangat menuntut tapi ekspresif sekali dalam mengemukakan ketidakpuasan. Bahan rapat harus cepat, data harus akurat, informasi harus kredibel, siap dihubungi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan tampilan tayangan presentasi terlihat tidak ideal pun harus siap menuai kritik pedas.

Saat itu, meski rasanya di bawah tekanan, tapi semua orang terlihat sigap dan antisipatif. Setiap tingkatan manajemen sampai ke staf mawas diri dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut BungA lagi, suasana kerja justru lebih bergairah. Tambahan lagi, ikatan persaudaraan sesama mereka jadi lebih kuat karena semua merasa senasib sepenanggungan pernah kena imbas ekspresif sang Pimpinan.

Saya sih tidak sanggup membayangkan situasi kerja seperti yang disebut BungA sebagai bergairah. Pengalaman saya selama 15 tahun, lingkungan saya bekerja terlihat sigap-sigap saja walaupun karakter pimpinan kami sekalem permukaan air laut di pagi buta saat angin malas bertiup. Atasan langsung saya rajin menyiapkan alternatif karena Bos selalu memberi argumentasi sampai dia yakin solusi yang dipilih tepat. Pun, tidak selalu argumen Bos yang akhirnya jadi solusi. Data-data tetap disiapkan tanpa tambahan waktu lembur di kantor, apalagi di rumah. Dokumen yang harus ditanggapi atau diselesaikan tetap siap sesuai jadwal. Kenapa ya? Karena keteladanan kah? Rasa keterlibatan kah?

Oh iya, ikan-ikan yang berhasil dijual kelompok nelayan di awal cerita, kata BungA, jumlahnya jadi lebih sedikit setelah kedatangan hiu. Tapi harganya bisa lebih mahal karena lebih banyak konsumen yang berminat membeli. Daging ikannya jauh lebih segar, kenyal, dan lezat, katanya. Bisa jadi, ikan yang berhasil tetap selamat, adalah ikan-ikan yang paling lincah bergerak menghindar kejaran hiu 🤔. 🌾

Kisah Iteung, Episode Tester Roti

Iteung mah selalu betah kalau berada di mal. Adem banget. Kalau boleh sih mau bawa kasur dan bantal biar dibolehin tidur di mal. Soalnya di rumah nggak punya pendingin ruangan. Cuma punya kipas angin. Itupun baru nyala kalau udah ditepuk-tepuk bagian atasnya sambil dibacain mantra biar nyala. Anginnya pun bercampur sama debu. Iteung males nyuci kipas angin.

Cuma pak Satpam udah melotot duluan waktu Iteung bawa  tenda dan perlengkapan tidur. Padahal cuma semalam Iteung pengen ngerasain tidur di mal yang dingin. Baiklah, Iteung nurut aja deh, daripada pak Satpamnya stress ngadepin Iteung.

Keliling mal rasanya nggak afdol kalo Iteung nggak beli makanan. Buat pencitraan aja kalau udah jalan-jalan di mal. Mau pamer sama ceu Kokom, tetangga sebelah kalau Iteung sudah seperti orang-orang kaya belanja di mal.

Kalau beli baju mah tetep di mang Ujang, tukang kredit dari daerah Singaparna. Jualan mang Ujang mah komplit. Dari mulai daster sampe panci ada. Bisa dicicil sepuluh kali, sehari boleh tiga kali cicilan.

Keluhan mang Ujang adalah, para customer itu kalau mau ambil barang semua muncul didepan rumah. Giliran bayar pada ngumpet, bahkan pura-pura lagi pergi. Kenapa Iteung ngelantur ya?

Di depan toko roti Iteung berhenti sambil celingak celinguk.
"Masuk aja Bunda!" ujar seorang perempuan dengan rok pendek dan celemek putih.
Iteung senyum aja, agak bingung baca nama toko yang susah dibaca dengan lidah Iteung yang terbiasa makan singkong.
"Ada testernya kok, Bunda," sambungnya lagi.
Mendengar kata "tester", alam bawah sadar Iteung langsung bereaksi. Pikiran Iteung menuntun raga memasuki toko roti itu.

"Ini lho, roti isi kacang merah. Paling favorit disini. Coba aja dulu!" si mbak meyakinkan Iteung.
"Biasanya kalau di kampung mah dibikin sayur lho, mbak," ujar Iteung.
Si mbak cuma diam, mungkin kesal juga, ada orang kok noraknya nggak ketulungan.
Iteung nyobain potongan kecil roti. Satu potong belum berasa enaknya. Potongan kedua mulai kerasa kacang merahnya, potongan ketiga baru pas rasanya.
"Iya mbak, enak rotinya," suara Iteung keluar nggak jelas karena mulut masih penuh roti.
"Mau ambil berapa, Bunda?" si Mbak minta kepastian Iteung. Sepertinya Mbaknya pengalaman digantungin sama cowok deh.
"Sebentar...." Iteung melangkah ke sisi sebaliknya.
"Ini rasa apa, Mbak?"
"Rasa orange, Bunda," si Mbak masih sabar.
Iteung ambil tiga potong kecil roti. Rasanya memang enak. Wajah si Mbak mulai prihatin ngelihat Iteung.
Iteung muter lagi nyari roti rasa yang lain. Semuanya enak.
"Kalau ini rasa apa, Mbak?" ini potongan terakhir yang akan Iteung cobain.
"Itu rasa kesal yang tertinggal di hati ," ujar si Mbak sambil cemberut.
"Jangan cemberut Mbak, nanti susah dapet jodoh."
Muka si Mbak tambah serem. Alisnya naik. Baki yang dipegang diayun-ayun.
"Ibu mau beli yang mana?"
"Nggak jadi Mbak. Saya udah kenyang," Iteung tutup wajah pake tas takutnya baki mendarat di kepala Iteung.
Si mbak udah nggak tahan lagi sama Iteung. Iteung digiring keluar dari toko roti.

"Pertanyaan terakhir Mbak. Ada tester minuman nggak?"
Si Mbak menangis keras di pojokan mal sambil garuk-garuk tembok.

Jakarta, 12 Mei 2017