I'm a schizophrenia [1]


Teng, teng, teng, teng ... Pukul 4 sore. Suara bandulan jam setinggi 2.10 M berukir kayu jati di pojok ruang menggema membuyarkan obrolanku dengan teman-temanku. Sontak mereka berteriak ramai, “Saatnya jalan-jalan ...”. Aku berpaling sejenak ke jendela kaca besar bertirai sutra tipis putih, “Sore yang cerah”, batinku, lalu tersenyum dan setengah berlari menjejak satu per satu anak tangga menuju kamarku di lantai atas.

Perlahan aku menarik kursi meja riasku, kemudian duduk menatap cermin. “Make-up minimalis aja ya, Neng ... ,” salah satu temanku berkata. Aku mengangguk, menyapu pandang ke peralatan dandan yang berserak di muka cermin, lalu mulai memoles wajahku dengan bedak padat berwarna ivory, mewarnai kelopak mataku dengan eye-shadow berwarna merah muda, memoles blush-on dengan warna senada, dan membubuhkan lipstik berwarna merah menyala. Setelah itu, aku meraih spidol besar yang biasa aku gunakan untuk menuliskan sesuatu di dinding kamarku sebagai pengganti pinsil alis, menebalkan rambut halus diatas mataku,  kanan dan kiri. Kata teman-temanku, alisku terlihat lebih tebal dan menarik. “Taraaaa ... selesai, sudah oke kan?”, tanyaku pada teman-temanku tanpa melepas pandang dari cermin yang memantulkan wajah cantikku. “Perfecto ...,” teman-temanku menjawab. “Rambutnya dikuncir aja, Neng ,,, biar keliatan lebih fresh”, salah satu temanku berkata. Dengan cekatan aku mulai menguncir rambutku, satu .. dua ... tiga ... delapan kuncir selesai dengan karet warna warni kesukaanku.

Aku berdiri, kembali melihat pantulan wajahku pada cermin, memastikan bahwa riasanku sudah sempurna, lalu bergegas meninggalkan kamarku. Ketika menuruni anak tangga, seperti biasa, aku melihat ibu yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Neng jalan ya bu,” ... aku mengambil 2 plastik besar berisi berbagai makanan yang sejak tadi ibu pegang. Ibu mengangguk seraya berkata, “Sampaikan salam ibu untuk pak Usatdz,   “Gute Reise ... kalau sudah selesai langsung pulang. Jangan ladeni orang-orang yang mengusik kamu”. “Gute, mom ...,” aku mengangguk, mengucap salam dan beranjak pergi.

Bismillahi tawakkaltu ‘ala allahi laa hawla walaa quwwata illaa billaah ...

Perlahan ku dorong pagar tinggi besar rumahku. Sesaat sebelum kulihat beberapa ibu kompleks yang setiap sore berkumpul di depan rumah bu David, tetanggaku. Sudah kuduga, begitu mereka melihatku, gelak mereka langsung pecah, ramai memekakkan telinga. “Wah si Eneng sore ini mukanya kalerpul,” ujar ibu berdaster biru  dengan logat Sundanya yang kental. “Kaya’ lenong ...”, timpal si ibu berkerudung coklat. “Dasar orang gila,” ibu berbaju hijau mencibir ke arahku. Lalu mereka kembali tergelak.

“Orang-orang aneh, cuekkin aja Neng ... ayo kita kemon,” teman-temanku berbisik. Aku tertawa, lalu mengaitkan slot pagar yang sudah tertutup rapat. Baru beberapa langkah berjalan, samar terdengar lagi suara dari salah seorang ibu-ibu itu berkata, “Dulu almarhum bapaknya pesugihan kali, makanya anaknya kena tumbal”. Aku tak peduli. Suara merekapun akhirnya hilang seiring langkahku yang semakin cepat. Aku harus tiba di panti segera, anak-anak pasti sudah menanti kedatanganku.

Sepanjang jalan aku bersenda gurau dengan teman-temanku. Mereka penghibur terbaikku, penghilang lelah langkahku. Aku melewati kampung belakang dan hanya tertawa menanggapi berbagai celotehan dan pandangan dari orang-orang yang berpapasan denganku. Suara teman-temanku riuh rendah mengisi pendengaranku. Beberapa saat kemudian, panti sudah terlihat. Dari kejauhan aku melihat anak-anak sudah berkumpul ramai di teras, lalu bersorak meyambut kedatanganku. “Tante Neng datang, tante Neng datang ....”, teriak mereka riang.

“Assalammu’alaikum ...”, salamku sambil meletakkan plastik yang kubawa, lalu membiarkan anak-anak itu berebutan mengambil isinya; ada susu kotak kecil, wafer, coklat, roti dan berbagai makanan lainnya. Aku menatap senang ke arah mereka, melupakan sejenak teman-temanku.

Tiba-tiba aku mendengar suara pak Ustadz memanggil,”Neng, sini ... bapak kenalkan dengan tamu bapak.” Aku mendekat, memberi salam pada sepasang bapak ibu tamu pak Ustadz. Mereka belum pernah aku lihat sebelumnya. Setelah itu, aku duduk di kursi berjarak sekitar 1,5 M dari mereka. Aku masih ingin menikmati keceriaan anak-anak yang belum selesai mengunyah sambil bercanda. Sesaat kemudian, jelas aku dengar pak Ustadz berbicara pada tamunya, “ Almarhum ayahnya si Eneng dulu donatur tetap panti asuhan ini. Beliau seorang pengusaha sukses, kaya raya, namun sangat rendah hati. Dua tahun yang lalu pak Asep mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Kepergiannya yang mendadak menjadi pukulan berat bagi si Eneng. Eneng ini anak tunggal dan sangat dekat dengan ayahnya. Awal-awal ditinggal almarhum, si Eneng yang ceria mendadak mengurung diri dan tidak mau bertemu dengan orang. Kata psikiater yang mengobati, dalam kesedihannya si Eneng mulai sering berhalusinasi, dia mengidap schizophrenia. Seperti mendengar suara-suara yang selalu menemani dan mengajaknya bicara. Sewaktu masih ditangani psikiater, kondisinya seperti orang normal saja karena rutin diberi obat penenang. Namun, sejak ibunya sakit-sakitan, si Eneng mulai menolak terapi. Bosan minum obat alasannya begitu. Kasian, tapi jiwa dermawannya sama seperti ayahnya. Setiap sore, hujan sekalipun, dia selalu datang membawa berbagai makanan untuk anak-anak panti. Berjalan kaki sejauh hampir 3 kilo dari rumahnya kesini.”


Tiba-tiba terlintas kerinduanku pada ayah. Aku baru akan menangis ketika kudengar salah seorang temanku mengingatkan, “Ayo pulang Neng, ibu pasti sudah menunggu ...”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar