Belajar Menjadi …

 Betapa indahnya jika kita bisa berbagi dan berempati terhadap sesama sesuai dengan ajaran Rasulullah. Berbagi dan berempati tidak harus menjadi orang pintar dengan lulus dari perguruan tinggi terkenal, cukup dengan belajar menjadi orang yang peduli terhadap sesama dan memliki sense of emphaty terhadap orang-orang yang berkekurangan. Sungguh mulia jika ada manusia seperti Rasulullah dengan banyak ilmu tetapi tidak pelit untuk berbagi. Seperti ilmu padi, semakin berisi, semakin merunduk.

        Saya memang bukan orang yang pintar dan sukses dalam kehidupan baik pekerjaan dan pendidikan, tapi saya coba belajar menjadi orang yang bersyukur, qona’ah dan berempati. Kita bisa berempati terhadap sesama yang memilki kekurangan baik fisik dan non fisik. Cerita berikut ini mengenai empati saya terhadap istri, anak-anak dan ibu mertua. Awalnya cerita empati ini karena saya ingin mendampingi anak saya yang akan menghadapi ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama. Sebenarnya momen ujian nasional sih biasa aja jika dibanding dengan ujian nasional pada tahun-tahun sebelumnya. Karena ada perubahan kebijakan atas kurikulum yang digunakan makanya ujian nasional tahun ini tidak seheboh tahun-tahun sebelumnya. Tapi si umi tetap mengalami ketar-ketir jika anaknya tidak masuk sekolah negeri. Makanya saya mencoba berempati untuk menanggung burden itu dengan mengajukan libur saat anak akan menghadapi ujian nasional dan sekaligus pelajaran berharga dalam hidup bahwa liburan di rumah pun dapat memberikan manfaat yang tidak kalah dengan liburan di luar rumah. Meskipun saya tipe orang yang senang terhadap proses bukan hasil. Jadi jika hasilnya nanti tidak masuk ke sekolah menengah negeri, saya tetap dukung atas hasilnya.

Pelajaran pertama, saya belajar menjadi seorang istri. Bagaimana sibuknya seorang istri mengurus kebutuhan anak-anak dan suami hingga urusan rumah tangga. Seorang istri harus segera bertindak cepat ketika ada anggota keluarga sakit. Seorang istri juga harus pandai mengatur kebutuhan harian dan bulanan dalam rumah tangga. Bagaimana mereka harus sibuk agar semuanya dapat terpenuhi tanpa kekuarangan sesuatu apapun. Sungguh sebuah kesalahan jika para suami marah terhadap istri yang sudah banyak melakukan tugas rumah tangga dengan segala kekurangan dan kelebihan. Saya pun salut kepada para wanita yang bekerja dengan kemampuan ganda, berpikir untuk tempat kerja dan rumah tangga. Salam hormat untuk para wanita pekerja. Akhirnya saya merasakan suasana hening di suatu momen untuk dapat rehat sejenak dari kesibukan rumah tangga. Makanya para  ibu rumah tangga memang perlu liburan sejenak dari segala rutinitas untuk melepas lelah, penat dan aktifitas rumah tangga lainnya. Makanya saya tidak akan pernah bisa menjadi seorang istri yang sempurna karena belajar menjadi seorang istri tidaklah mudah karena banyak hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh suami, misalnya melakukan tugas dapur, antar jemput anak-anak sekolah, memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan bersikap sabar saat segala sesuatunya tidak sesuai dengan keinginan.  

Pelajaran kedua, saya belajar menjadi seorang anak. Membimbing anak dalam belajar tidaklah mudah. Alhamdulillah, anak saya termasuk independent student, kecuali jika menemui kesulitan baru bertanya kepada saya. Saya sebisa mungkin akan memberikan jawaban sesuai kemampuan berpikirnya. Alhamdulillah juga, saya masih bisa menjangkau pengetahuan tingkat sekolah menengah pertama dimana hampir seluruh mata pelajarannya sudah masuk ke tingkat sekolah menengah atas. Makanya saya berlibur di rumah untuk bisa mendampingi dan menemani jika si anak mengalami kesulitan tanpa harus menelpon ke kantor jika saya tidak libur. Tidak mudah dan tidak sulit untuk belajar menjadi anak, karena pada dasarnya mereka hanya ingin diperhatikan dan dipenuhi segala keinginannya. Hal terpenting adalah bagaimana menjelaskan dengan bahasa yang santai dan enak agar mereka bisa menerima penjelasan atas alasan kita. Tidak ada resep yang pas dalam mendidik anak bahkan resep yang ampuh pun tidak ada di dunia, karena setiap anak itu memilki keunikan tersendiri dan setiap keluarga juga memiliki cerita yang berbeda-beda. Itulah pelajaran kedua saya, belajar menjadi anak yang ternyata cukup seru untuk dipahami.

Pelajaran ketiga adalah belajar menjadi ibu mertua. Ibu mertua masih tinggal dengan saya setelah bapak mertua meninggal pada tahun 2013. Ibu mertua sudah cukup lama ikut kami. Tidak mudah bagi beliau untuk bisa beradaptasi dengan saya selaku kepala rumah tangga. Pasti ada hal-hal yang menjadi kerikil-kerikil masalah di suatu saat nanti. Kondisi kesehatan beliau juga tidak sesehat dulu ketika masih ada bapak mertua. Dengan segala kondisi ibu mertua, beliau tetap semangat untuk belajar memahami Al Qur’an dan terjemahannya dan terkadang juga menghadiri beberapa maj’lis untuk sekedar menambah pengetahuan tentang Islam dan kesibukan di hari tuanya. Alhamdulillah, sejauh ini kondisi ibu mertua masih lebih baik dengan pengobatan rawat jalan. Makanya kami pun juga sepakat beliau tetap bersama kami. Saya belum tentu bisa menjadi beliau sekarang karena kondisinya akan berbeda nanti. Makanya saya belajar untuk bisa berempati dengan kondisi beliau sekarang. Saya jadi teringat pesan dari Ibnu ‘Abbas tentang “Manfaatkanlah 5 perkara sebelum 5 perkara”. Maka jika sudah teringat hal ini, saya langsung semangat lagi untuk bisa belajar menjadi orang lain.

Pelajaran keempat, adalah belajar menjadi kepala keluarga. Jujur saya sampaikan bahwa hingga saat ini saya belum yakin apakah saya ini adalah kepala keluarga yang sempurna. Masih banyak kekurangan yang perlu saya perbaiki. Dengan segala kekurangan itu, kita selalu bisa berkaca dengan baik dan obyektif bahwa selalu ada kesempatan untuk berbuat baik dan berempati kepada orang lain, baik istri, anak, ibu mertua, kawan, rekan kerja, orang-orang yang tidak beruntung dan masih banyak lagi. Jika sudah melihat ke kaca ada yang tidak pas, maka kita cenderung untuk merapihkan. Demikian juga dengan kekurangan kita, kekurangan sebagai kaca yang bisa membantu kita untuk melakukan perbaikan. Setelah perbaikan dilakukan dan hasilnya tetap sama, maka kita perlu bersyukur sehingga nanti hasil yang kita peroleh adalah keberkahan.

        Mari kita lakukan 5 perkara sebelum datang 5 perkara. Tidak juga menggurui dan tidak juga memaksa, cerita ini merupakan refleksi saya selama liburan menemani dan mendampingi anak ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama. Berkah dari itu adalah adanya cerita yang telah saya sampaikan sebelumnya. Silahkan diambil yang baik dan positif, karena masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam diri saya. Makanya kekurangan sebagai cermin untuk melakukan perbaikan. Dengan melakukan perbaikan dengan cermin yang terbatas itu, saya mencoba belajar menjadi orang lain dan mencoba berempati dengan keadaan orang lain. Jika kekuatan itu bisa muncul dengan orang-orang terdekat, maka semangat itu juga bisa menyebar ke orang-orang yang tidak kita kenal. Mari kita bisa mengambil ilmunya padi, “Semakin berisi, semakin merunduk. Saya hanya ingin berbagi pengalaman alam raga saya dalam sebuah tulisan yang nantinya bisa dinikmati oleh berbagai macam orang. Semoga berkenan untuk membaca dan menghayati. 

Tulisan ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id

The Plant of Immortality






The plant of immortality or the plant of wonders refers to a plant the image of which was on the stone in the Egypt era, six thousand years ago. It is a plant name that is found in Ebers Papyrus (Egyptian medical record in The 16th Century BC) which today is widely known as Aloe Vera. The plant originally comes from Africa and Mediterranian. Aloe itself ia a genus  containing more than five hundreds flowering succulent species. Aloe Vera has been used for centuries and it is cultivated worldwide to crop the gel even the leaf is said beneficial too. Aloe Vera is used for many purposes such as food, cosmetic, supplement, herbal medicine, etc. 

Even though the benefits of Aloe Vera are said endless, not all of them are backed up strongly with scientific research. Some studies prove the use of Aloe Vera to fight cavities, help diabetic-induced foto ulcer, potentially protect skin from UVB and be a good source of antioxidants. It is also proved that patient treated with Aloe Vera is remarkably healed earlier than those who are treated with 1% ssd in the wound burn case.

Beside those scientific research,  so many uses of Aloe Vera are well known, such as for hair loss cure, skin beautifier, constipation treatment, and even i consume it to calm my gastric. Aloe Vera is found as anti inflammation and it penetrate skin even faster than water, hence aloe vera is also suggested to cure itches, stings, burns, etc. It is also believed that using Aloe Vera internally and externally give benefits to the body. 

However, please be careful when you consume Aloe Vera due to its laxative trait. Also be careful for those who interested to have it internally but having kidney problem. 

References:
https://nccih.nih.gov/health/aloevera
http://www.medicalnewstoday.com/articles/265800.php
http://herbandspices.weebly.com/lidah-buaya--aloe-vera.html
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/10/inilah-manfaat-lidah-buaya-yang-harus-anda-ketahui

Menjemput Cinta (Bagian Pertama)

 “Jika cinta datang terlambat, jangan pernah ragu untuk menjemputnya”


“Mas, Aku minta maaf karena sering merepotkan kamu”.
“Ndak apa, Dek, Mas sangat senang kalau kamu masih mempercayai Mas menjaga Kinanti. Selagi Mas dikaruniai kesehatan, mas akan menjaganya disaat kamu pergi bekerja. Lagipula, disini juga tidak ada anak kecil. Ibu dan Ratih juga sayang dengan Kinanti, kata mereka, Kinanti sudah seperti cucu dan keponakan sendiri”.
Setelah mendapat penjelasan Bram yang menyejukan hatinya, Kinasih hendak pamit. Sebelum melangkah keluar dari halaman rumah yang disisi kanan dan kirinya ditumbuhi rumput serta tanaman bunga beraneka warna, Kinasih  mencium pipi dan kening Kinanti, puteri satu-satunya yang baru berusia dua tahun.
“Ibu pamit ya sayang, Kinanti ndak boleh cengeng apalagi nakal, kasian nanti om Bramnya jadi repot” tutur Kinasih kepada puterinya penuh kasih sayang sambil sesekali pandangannya menangkap wajah Bram.
"Aku pamit, Mas. Terimakasih atas kebaikan Mas selama ini. Tolong sampaikan salamku untuk Ibu dan Ratih", ucap Kinasih sambil berlalu pergi.
Bram yang sedang menggendong Kinanti menatap Kinasih, mengangguk dan memberikan senyumannya yang tulus.
Kinasih yang telah pamit segera melangkah keluar halaman. Tanpa disadari olehnya, pandangan mata Bram terus tertuju kepadanya, menatap Kinasih hingga sosoknya menghilang di ujung jalan.
Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Bram saat itu. Pemuda tampan tersebut terlihat seperti sedang memendam suatu rasa yang sulit untuk di ungkapkan.
***
Beberapa tahun sebelumnya.

Matahari baru saja naik dari peraduannya. Udara dingin menyelimuti desa yang lokasinya berada di kaki gunung. Kicauan burung yang indah turut meramaikan suasana. Pagi itu penduduk desa memulai melakukan aktifitasnya. Ada yang pergi ke sawah, berladang, sekolah atau kuliah, ke pasar, maupun sekedar membersihkan halaman rumah dan jalan dari daun kering yang jatuh dari pepohonan.
Disebuah rumah dengan pekarangan rumput hijau serta tanaman bunga yang beraneka warna, sejak sebelum adzan subuh berkumandang penghuni rumah tersebut sudah terbangun. Bram memulai hari dengan shalat subuh berjamaah di masjid yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Ia tinggal bersama Ibu dan Ratih, adik satu-satunya. Sedangkan sang Ayah telah wafat ketika ia baru saja   lulus dari sebuah Perguruan Tinggi. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran sang Ayah. 
Bram adalah sosok lelaki idaman. Selain postur tubuhnya yang gagah serta wajahnya yang tampan, ia juga memiliki perilaku yang baik. Tidak heran jika Bram menjadi idola para gadis di Desanya. Tetangga dan teman-temannya memberikan julukan ‘pemuda tampan nan sholeh’  kepadanya. Ia juga merupakan sosok pemuda yang  tekun dalam menjalankan usaha dagang pakaian muslim dan muslimah di Pasar. Karena kegigihannya, usaha dagang yang dirintis sejak ia lulus Sekolah Menengah Kejuruan tersebut terus berkembang hingga ia bisa membangun sebuah toko pakaian yang cukup besar dan lengkap, serta memberdayakan karyawan sebanyak empat orang. Dari usahanya itulah ia mampu menafkahi Ibu dan adiknya.
“Bu, Bram pamit, mohon do’a Ibu” ucap bram sambil mencium tangan Ibunya.
“Hati-hati di jalan, Bram. Oh iya, adikmu bilang dia ada latihan menari sama kawan-kawannya siang nanti di Sekolah, mungkin sampai sore latihannya. Nanti tolong sekalian kamu jemput Ratih ya, Bram” kata ibu mengingatkan.
“Iya Bu, nanti Bram jemput" jawab Bram. 
"Dek, ayo kita berangkat! Dandannya jangan lama-lama, nanti terlambat loh!” teriak Bram memanggil Ratih yang masih berdiri di depan cermin.
“Iya sebentar lagi, Mas” jawab ratih setengah teriak dari dalam kamarnya.
Beberap detik kemudian Ratih keluar, mengambil sepatu, memakainya lalu pamit.
“Ratih berangkat ya Bu, do’ain Ratih biar ulangan pagi ini bisa dikerjakan dengan mudah”.
“Amiin, yang penting gak boleh nyontek ya, Dek!” ujar Bram meledek sambil masuk kedalam mobil untuk memanaskan mesin kendaraan.
“huuuh, mana mungkin adik Mas yang cantik ini berbuat tidak jujur” jawab ratih membela diri.
“Sudah-sudah, cepat jalan, nanti kamu terlambat sampai sekolah” ucap Ibu menengahi sambil tertawa.
“Assalamu’alaykum…” Bram dan Ratih kompak mengucapkan salam.
         Sang Ibu Menjawab ucapan salam sambil tersenyum, menatap kedua buah hatinya dengan penuh rasa syukur.  
Beberapa detik kemudian mobil yang dikendarai Bram keluar halaman dan menghilang di ujung jalan.

(Bersambung)

sebab kau

aku tak bisa pergi jauh lagi
semenjak kusadari tepi fulan fehan yang tak terjangkau menutupi pandanganku
aku tersuruk.
dan savana liar di kepalaku,
sudah cukup untuk sebuah pemberontakan.

Catatan Perjalanan : Suatu Berkah atau Keprihatinankah?


Tebing-tebing kapur menjulang tinggi, membentuk suatu tembok raksasa putih di sekeliling kami. Satu-dua orang menyelesaikan pekerjaan mereka, mengeruk dinding bukit kapur dengan bantuan mesin buldozer. Sisa kerukannya membentuk satu cekungan besar dalam permukaan bumi, yang apabila terisi air hujan,  seakan menyerupai danau buatan. 




Gradasi warna yang ditimbulkannya sangat memukau, apalagi bila cahaya mentari mengenai permukaan air dalam cekungan, berpendar...
berbaur dengan warna alami tebing kapur. Hijau terlihat mata. Sangat indah.




Oleh penduduk sekitar, objek ini dijadikan salah satu tujuan wisata yang dapat dikunjungi dengan nama  Danau Biru, Bukit Kapur. Terletak di desa Jaddih, kabupaten Bangkalan, Madura. Perjalanan dari kota Surabaya melintasi jembatan Suramadu menuju ke lokasi kurang lebih 45 menit, dengan jarak 15 km, melewati pusat kota Bangkalan.

Lokasi yang awalnya dijadikan pertambangan kapur oleh penduduk sekitar, menjadi cukup terkenal karena pemandangannya yang menarik untuk berfoto-ria. Untuk dapat masuk ke lokasi, pengunjung dikenakan harga tiket masuk sebesar Rp. 5000,- per orang, dan untuk mobil dikenakan tarif  Rp. 10.000,- per mobil. Harga yang cukup murah untuk dapat sekedar memanjakan mata.




Bila kita mau sejenak memikirkan fakta di balik keindahan itu, apakah rasa yang sebaiknya muncul, atau respon yang lebih tepat kita tampilkan, prihatin ataukah ini suatu keberkahan? Prihatin dengan nasib Bukit Kapur yang semakin menipis demi pembangunan, atau berkah bagi penduduk sekitar dengan adanya objek wisata seperti ini? Padahal dalam perjalanan menuju "objek jadi-jadian" ini, kami melihat gua-gua alami dalam tebing-tebing yang tidak terurus, dan cenderung diabaikan. Bila gua-gua alami ini dapat dieksplore dan dijadikan objek wisata juga, tentunya akan lebih membawa manfaat bagi penduduk sekitar.







Entah sampai kapankah kita bisa menikmati segala keindahan ini. 
Prihatin dengan nasib yang alami-alami? atau sekarang ini kita cenderung suka pada produk jadi-jadian yang hanya dapat memuaskan mata kita, sesaat?


Rumah Harapan, Pertaruhan Daffa


Kubereskan buku-buku pelajaran kelas enam SD yang berserakan di lemari anakku. Anakku sudah tidak mungkin lagi memakainya karena dia sudah melewati masa Sekolah Dasar beberapa tahun yang lalu.
“Assalamualaikum!” terdengar salam dari depan pintu.
Kutatap jam di tanganku. Beberapa saat lagi aku harus membimbing anak-anak sekitar rumahku belajar Bahasa Inggris.
“Waalaikum salam!” jawabku sambil membukakan pintu.
Daffa, seorang anak yang berumur dua belas tahun berdiri di depan pintu. Senyuman tersungging di bibirnya.
“Tumben, kamu datang cepat,” ujarku.
Daffa hanya tersenyum mendengar perkataanku.
“Bukunya sudah saya bereskan, Daffa. Kamu boleh memakainya. Belajar yang benar biar nilai ujianmu bagus, jadi kamu bisa meneruskan sekolah tanpa biaya!” aku menasehati Daffa.
Saat ini Daffa duduk di bangku kelas enam SD. Aku sengaja membereskan buku peninggalan anakku untuk diberikan kepada Daffa.
“Tenang aja, pak!” ujar Daffa sambil tersenyum simpul.
“Tenang bagaimana?”
“Hehehe.” Daffa hanya tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
Aku penasaran kenapa Daffa tak menjawab pertanyaanku. Kupandangi wajah Daffa yang seolah memberiku teka-teki yang tak terjawab.
“Daffa, jawab!” perintahku tak sabar.
“Ada orang yang menawarkan kunci jawaban untuk Ujian Nasional, pak. Saya dan beberapa teman ditawari untuk membelinya. Harganya murah kok.” Terang Daffa.
Aku terdiam. Kupandangi wajah Daffa yang masih berdiri di depan pintu. Perasaan kecewa menjalari pikiranku.
“Assalamualaikum!” ucapan salam dari beberapa anak lainnya membuyarkan pikiranku.
“Waalaikum salam!” balasku.
“Daffa, percakapannya nanti kita lanjutkan setelah belajar, ya!” ujarku.

Malam itu, aku tidak begitu berkonsentrasi mengajar. Pikiranku tertuju pada Daffa. Aku berpikir bagaimana caranya mayakinkan Daffa untuk tetap belajar.
“Siapa disini yang akan menghadapi Ujian Nasional?” tiba-tiba terpikir olehku untuk membahas masalah Daffa bersama anak-anak anggota kelompok belajar.
“Saya…saya!” dua orang anak mengacungkan tangannya, termasuk juga Daffa.
“Berarti Daffa dan Putri akan lulus SD tahun ini ya?”
Daffa dan Putri mengangguk.
“Kebetulan saya selesai membereskan buku pelajaran kelas enam SD. Daffa dan Putri boleh menggunakan buku-buku itu,” aku menunjuk ke arah tumpukan buku di lemari.
“Kalian belajar bersama, ya! Boleh juga kalau kalian berdua mau belajar disini. Kalau ada yang tidak paham boleh tanya ke saya.” Aku melanjutkan sambil menunggu reaksi Daffa dan Putri.
“Siap!” teriak Putri bersemangat.
“Daffa?” kupalingkan wajahku ke arah Daffa.
“Iya, pak!” jawab Daffa perlahan.
Aku tersenyum dan melanjutkan pelajaran Bahasa Inggris .
“Khusus Daffa, jangan dulu pulang!” ujarku menutup pelajaran.
Teriakan gembira anak-anak menutup pertemuan malam ini. Berebutan mereka meraih tanganku sampai aku kewalahan. Terkadang aku menolak tangan mereka, agar mereka tidak saling berebut.

“Daffa, kamu harus mulai belajar ya untuk Ujian kamu!”
Daffa terdiam.
“Minta bantuan Putri atau saya kalau ada pelajaran sulit. Saya akan menyisihkan waktu untuk membantu kamu. Kita belajar bersama-sama!” lanjutku berusaha meyakinkan Daffa.
“Memang sih berat di awal. Waktu main kamu berkurang, tapi semua orang hebat pasti mengalami kesulitan di awal. Anggaplah belajar itu bermain. Bermain ke rumah saya.”
Kulihat Daffa mulai berpikir.
“Kalau kamu mau melupakan pembelian kunci jawaban dan mulai berusaha belajar tekun, kamu adalah anak hebat. Apapun hasilnya nanti,” lanjutku.
Kulihat Daffa sudah mulai terpengaruh perkataanku. Walau diam, sepertinya dia mulai mencerna perkataanku.
“Sekarang kamu boleh pulang! Pikirkan di rumah. Besok malam kembali ke sini. Kita mulai program belajar kita!”
“Iya pak!” jawab Daffa.
Tanganku diraihnya dan dicium. Daffa berlalu di kegelapan malam. Sejuta harapku besok dia kembali dengan keyakinan meraih sukses dengan berusaha.
Semoga.

Depok, 6 Mei 2017

Pada Mulanya Mantra


Mantra itu hanya lima kata 
Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan dan Kesempurnaan         
Mantra yang diucapkan berulang-ulang
Dengan suara keras dan tangan tergenggam
Mantra yang akan menjaga organisasi kita
Dalam kemajuan, dihadapan tantangan jaman
Mari kita suarakan, mari kita tanamkan



 
Tetapi mantra hanyalah kata                                                                    
Bagaimana mungkin ia cukup kuat dan nyata
bagi organisasi kita?

Integritas telah menjadi barang langka
Hingga kita akan bingung mesti mencarinya dimana
dan harus bertanya pada siapa

Profesionalisme menuntut konsekuensi biaya
Karena profesionalisme bukan hanya tentang
bagaimana menjadi ahli dalam melakukan pekerjaan
tetapi juga  tingkat bayaran yang layak didapatkan

Sinergi adalah masalah klasik negeri ini
Demikian klasiknya hingga ia bukan lagi dianggap sebagai masalah
Tetapi telah menjadi sesuatu yang sudah sama kita maklumi

Pelayanan?
Tanyalah pada masyarakat yg punya urusan dengan birokrat

Dan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan!
Mantra yang mustahil bagi saya



 
Oh.. Kawanku                                                                  
Begitu mustahilnyakah itu bagimu?
Hanya mustahil bagimu atau bagi kita semua?

Bagi semua!                                                                                        
Hmm. tapi.. tidak.. tidak.. mungkin hanya bagiku
Atau mungkin sebagian besar dari kita
Aku mengenal beberapa orang
dimana mantra-mantra itu bekerja bagi mereka
Integritas yang mereka bangun dari religiusitas
Profesionalisme dalam pengabdian bukan melulu bayaran
Sinergi yang berangkat dari kerendahan hati  demi solusi
Pelayanan dengan rasa senang karena bisa berarti bagi banyak orang
Walaupun.. sepertinya  mereka belumlah tampak sempurna



 
Jadi kita punya contoh-contoh bukan?                                   
Orang-orang yang mungkin sudah mempraktekkan
Mantra organisasi kita bahkan sebelum mantra itu
Secara resmi bergaung dimana-mana

Ya.. kita punya contoh         
Walau hanya beberapa
Dan tidak sempurna

Beberapa yang engkau kenal kawan                                                           
Beberapa juga yang aku kenal
Beberapa lainnya yang kawan-kawan kita kenal
Walau bukan mayoritas tetapi punya kualitas
Walau hanya beberapa bukan berarti tak berpengaruh apa-apa
Setidaknya mereka bisa mengendurkan kemustahilanmu itu
Setidaknya mereka memberi pesan pada kita semua
bahwa mantra itu bisa bekerja



 
Ya.. Mungkin kau benar kawan                                                                       
Setidaknya, kau ada benarnya
Walau untuk menjadi seperti itu akan berat dan tak cukup sesaat
Lagi pula ia hanya mantra
Bagi kebanyakan kita, masih cuma kata-kata
Tak menggetarkan jiwa, belum memberi pengaruh apa-apa
Mantranya belum banyak bekerja
walau harus kuakui itu adalah mantra yang baik
dan layak untuk dijelmakan dalam kenyataan



 
Pada mulanya mantra kawan                                                                   
Hanya kata-kata
Tetapi bila telah kita terima
Dan terus kita ucapkan berulang-ulang
Lambat laun ia akan meninggalkan kesan
Dan kemudian perlahan rasa percaya mulai menghampiri kita
Bahwa kita juga bisa menjelmakan mantra
Seperti mereka yang telah berhasil melakukannya


 
Tapi tak cukup hanya mantra kawan                                                                 
Tak cukup hanya orang yang berubah
Sistem harus diperbaiki, prosedur harus dibenahi
Agar mantra itu tak bekerja sendiri
Agar orang-orang yang memperbaiki diri terlindungi
Agar mantra itu semakin mudah menjelma dalam organisasi kita
Agar ia tidak menjadi kata-kata yang tak juga menjelma, lalu menjadi purba
Sampai akhirnya kita lupa karena kurang memberi ruang tumbuh kembangnya

Aku setuju denganmu kawan                                                          
Mantra itu tak cukup hanya kita ulang
Tetapi juga harus terus diberi ruang
Ketika mantra lima kata telah saling menguatkan
dengan perbaikan sistem yang dilakukan
ia akan tumbuh dan bekembang
ia tidak hanya akan menjadi kata yang terucap
ia akan menjadi nilai-nilai yang melekat dan mengendap
Menjadikan organisasi dan orang-orang didalamnya
Dalam kesatuan dan kekuatan untuk mencapai tujuan

Mari kita suarakan bersama mantra itu :
Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, Kesempurnaan

Kita memang tak bisa mencapai nilai sempurna
Karena sempurna hanya milik-Nya
Tetapi kita bisa berjalan ke arah sana

J200314



Rumah Harapan, Semangat Sandriana

Pelan-pelan kakinya melangkah menuju rumahku. Kumatikan rem motor yang baru saja kukendarai. Dengan sigap direngkuhnya tanganku dan diciumnya. Ungkapan hormat yang kadang kuanggap berlebihan.

Dengan menahan ragu, gadis kecil itu menginjakkan kakinya di rumahku. Dirinya duduk bersama anak-anak lain yang sedang bercengkrama.

Sandrina, nama gadis kecil itu. Dia selalu datang setiap Selasa dan Kamis malam ke rumahku. Harapannya ditaruh di tanganku, agar mendapatkan pengetahuan lebih banyak.

Kupandangi Sandrina yang selalu lirih ketika berbicara. Sandrina anak yang istimewa dengan bekas jahitan di bibirnya. Dua kali Sandrina terbaring di meja operasi untuk memperbaiki bibirnya. Bicaranya agak sengau. Tugasku adalah membuatnya percaya kepada dirinya sendiri.

Malam itu kelas riuh sekali. Anak-anak bersahutan saling mengejek. Kutiup peluit untuk menghentikannya.

"Assalamualaikum!" sapaku dengan suara keras.
"Waalaikumsalam!" jawab anak-anak serempak.
"Siapa yang bawa buku PR?" aku bertanya sambil menatap wajah polos anak-anak itu.
Hanya beberapa anak yang mengacungkan tangannya. Kulihat Sandrina salah satunya.
"Sandrina, coba bacakan soal pertama dari PR yang sudah dikerjakan!" perintahku sambil kutatap Sandrina.
"Wh...at..do you..do?" lirih suara Sandrina nyaris tenggelam diantara riuh suara teman-temannya.
"Coba, kalian belajar mendengarkan temannya bicara!" ujarku menghentikan suara riuh anak-anak.
"Lanjutkan, Sandrina!"
"I..am a teacher." Sandrina melanjutkan.
"Hebat!" seruku pada Sandrina.
Kulihat Sandrina tersenyum bangga mendengar pujianku.
"Saya harap kalian harus berani menjawab semua pertanyaan. Kalian semuanya hebat!" ujarku memberi semangat kepada Sandrina dan semua teman-temannya.

Malam itu giliran Sandrina yang bertubi-tubi kuminta menjawab soal yang kuberikan. Beberapa kali Sandrina salah mengucapkan kata dalam bahasa Inggris. Tapi seringkali juga Sandrina membacakan kalimat dengan pengucapan yang hampir benar.

Suatu saat, aku bertanya kepada Sandrina tentang keluarganya.
"Bapak kamu kerja dimana, Sandrina?"
"Sopir taksi, pak," jawabnya.
"Ibu kamu?" tukang pijat keliling sekaligus kerja di laundry," jawab Sandrina.
Ada rasa bangga dari pancaran mata Sandrina ketika menjawabku tentang orang tuanya. Sepertinya Sandrina mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Aku tersenyum lega.
"Kamu harus bersemangat terus sekolah dan datang kesini, ya Sandrina! pintaku padanya yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Kamu harus jadi anak hebat!" sambungku.
Sandrina kembali menganggukan kepalanya tanpa bersuara.
Entahlah, Sandrina mengerti atau tidak dengan kata-kataku. Kuharap dia akan selalu mengingat perkataanku untuk selalu hebat.

Jakarta, 5 Mei 2017