Dua Puntung Rokok

Di suatu pagi ...
Sudah satu bulan belakangan ini, ketika terjaga, aku selalu mendapati meja kerja di sudut kamar yang tertimbun berbagai kertas, dengan laptop yang masih menyala, beberapa gelas sisa kopi, dan asbak yang penuh dengan puntung rokok yang abunya pun sebagian berceceran hingga di sekitar kaki meja.

Aku melirik sejenak ke tempat tidur, melihat dia tergolek pulas. “Ah, pasti baru tidur,” gerutuku. “Mereka mana mau ngerti kalo disini sudah subuh, kalo ada kerjaan ya pada kaya’ orang gila, workaholic ga jelas ... Shubuh disini ‘kan udah tengah malem di London, berarti mereka juga lembur,” dia menjelaskan panjang lebar saat aku protes dengan pola tidurnya yang tidak normal lagi.

Aku membereskan meja seperti biasa lalu tenggelam di dapur, memasak adalah agenda rutinku setiap akhir pekan Ketika beberapa jam kemudian aku mendengar suara panggilan dari kamar dan mendapati wajahnya yang kusut karena lelah. “Rokok mana?”, dia bertanya sambil mencari-cari sesuatu dari balik tumpukan kertas. Aku melihat sekilas kopi yang sudah kusiapkan sejak tadi tersisa setengah. “Rokok apaan? Ga liat, biasanya naro dimana?”, aku balik bertanya acuh dan bersiap kembali ke dapur. “Kamu tadi beresin meja emang ga liat rokok? ‘kan ada 2 batang yang baru aku isep setengahnya di asbak, kamu buang?”, suaranya mulai meninggi.

Deg. Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Belum pernah aku melihatnya sekesal ini, penuh emosi. Secepat kilat aku memutar ingatanku lalu terbayang 2 puntung rokok yang masih setengah batang terjepit di bibir asbak diantara puntung-puntung lainnya. “Aku buanglah, mana juga aku tau kalo masih mau diisep,” aku menjawab dengan agak ketus. Kesal sekali rasanya, bangun tidur kok ya marah-marah, padahal aku juga cape sejak shubuh berkutat di dapur.

Aku melirik jam dinding, pukul 10.30. Lalu baru akan bergegas keluar kamar ketika suaranya kali ini begitu keras,”Gue kan sudah bilang berkali-kali, gue ga bisa kerja kalo ga ada rokok, apalagi bangun tidur harus ada rokok. Lu kan tau semalem stok rokok tinggal sebungkus dan itu sengaja gue sisain untuk ngopi pagi ini. Dasar TOLOL !!!”, bentaknya dalam amarah yang benar-benar memuncak.

Aku terperangah sebelum akhirnya ikut terpancing emosi. Ada puluhan kata yang ingin aku muntahkan ke mukanya, tapi semua tertahan di kerongkongan. Nanar aku menatap lekat ke arahnya, mencoba meyakinkan jika pendengaranku salah dan berharap itu kekhilafannya sesaat lalu dia merangkulku meminta maaf. Sia-sia. Ekspresi wajahnya begitu memuakkan. Sesaat kemudian, aku merasakan air mukaku merah padam, lalu dengan sekuat hati aku menekan pitam yang berbalut aneka rasa; terhina, marah, sakit hati, sedih juga. Laki-laki yang baru menikahiku kurang dari satu tahun ini tega mengeluarkan makian hanya karena 2 puntung rokok. Jika aku bersabuk mungkin sudah kuarahkan kakiku ke perutnya, atau jika aku tak ingat apa yang ibuku ajarkan tentang rasa hormat kepada suami, pasti telah kulayangkan tamparan terhebatku ke mukanya.

Alih-alih mengikuti nafsu setan untuk balas mencaci, aku hanya mampu mengeluarkan satu kata dengan suara yang bergetar “Astaghfirullahal’adziim ...”, lalu berlari mengunci diri di kamar mandi di sisi meja. Aku membuka keran, membasahi wajahku yang lebih dulu basah. Menangis sejadi-jadinya meluapkan emosiku. Dalam isak, aku meratap pada Tuhan,” Ya Allah, ujian kesabarankah ini? Hanya karena 2 puntung rokok?”

#wikenvibes



Tidak ada komentar:

Posting Komentar