Pada simpang Ruang Kerja
(sebuah kado pelepasan)
Kita pernah duduk di meja yang sama,
Berbagi cerita di sela tumpukan kerja,
Tertawa di tengah tekanan,
Menemukan arti teman di balik peran.
Hari-hari berlalu dalam jejak langkah yang
saling menguatkan,
Kopi pagi, candaan ringan, rapat yang kadang membingungkan,
Semuanya jadi lembar kenangan,
Yang tak akan mudah dilupakan.
Kini, waktunya tiba untuk melangkah,
Bukan berpisah karena luka,
Tapi karena SK memanggil ke arah berbeda,
Namun, kisah kita tetap terjaga.
Terima kasih untuk kebersamaan yang tulus,
Untuk bahu yang diam-diam menopang,
Untuk semangat yang tak pernah putus,
Dan tawa yang selalu datang tanpa ditentang.
Meski ruang kerja tak lagi sama,
Tapi hati kita tetap saling menyapa,
Doa kami menyertaimu di setiap langkah baru,
Sampai jumpa lagi, di persimpangan ruang kerja dan waktu
Aku, Dia dan Hubungan Hemat Kuota Tanpa Rasa
Senin,
06.30 A.M
Dia : "Pagi Mas.."
Aku : "Pagi Sayangku, dah dimana?"
Dia : "Sudah di tol"
Aku : "Ok, sarapan?"
Dia : "Aku puasa Mas"
07.16 A.M
Dia : "@ofis"
Aku : "same here, selamat beraktivitas 😘😘"
Dia : "😘😘"
12.01 P.M
Dia : "Mas udah makan?"
Aku : "udah, nitip OB tadi"
16.47 P.M
Dia : "Aku pulang ya Mas"
Aku : "Ok"
18.24 P.M
Dia : "@hom"
Aku : "Ok"
21.53
Dia : "nite Mas"
Aku : "nite Sayang"
Selasa....Rabu...Kamis...
Jumat
06.24 A.M
Dia : "Pagi Mas"
Aku : "Pagi Sayang"
07.12 A.M
Dia : "@ofis"
Aku : "Ok, selamat beraktivitas
Dia : "😘"
11.49 A.M
Dia : "Aku maksi sama temen ya"
Aku : "Ok
16.57 P.M
Dia : "Aku pulang ya"
Aku : "Ok"
Dia : "Happy weekend Mas"
Aku : "Thanks, U too"
19.21 P.M
Dia : "@hom, miss U 😔"
Aku : "miss U more 😔"
22.15 P.M
Dia : "nite Mas"
Aku : "nite..."
Sabtu..Minggu...
Senin (back to the first paragraph)
Jakarta, 08072025
ADA SAJA
Surat untuk Bapak
teruntuk Yth. Pak Lisbon Sirait,
Direktur dan Bapaknya warga DSP
Bapak...
Waktu seperti
melesat deras,
Rentangnya bak
masa yang ringkas
Menyisakan
kenangan kenangan bernas,
Tentang
kebersamaan terlintas
Yang jauh dari
kaku formalitas
Terpampang
semua nya kini bak lukisan indah pada kanvas
Bapak,
Pada awalnya,
hadirnya Bapak seumpama tuas
Yang menggerakan rasa was was dan cemas
Kita sungguh
tak terbiasa Pak, gelegar suara Bapak yang keras
Wajah
berkumis tebal dan tatapan tegas
Arahan-arahan
pelaksanaan tugas
Yang
sering tanpa basa basi dan cenderung lugas
Saat
itu, bagi kami panggilan menghadap ke lantai empat belas
seperti gelegar
petir yang menghempas
Tapi itu tak
lama , Bapak,
Kesan baru
kemudian hadir lekas
Seperti
tetumbuhan yang terus bertunas
pertemuan
pertemuan kita berikutnya
tak ubah
seperti kelas,
Yang memberi
ruang bebas
Pada
pertarungan argumen penyelesaian tugas
Terkadang
lembut suara, terkadang keras
Kata Bapak,
itu hanyalah pendekatan berkelas
untuk memaksa
kami berpikir lebih keras, berpikir lebih cerdas
Tak ada ,
tersisa sakit hati dan dendam membekas
Pertemuan-pertemuan
kita berikutnya
Kadang terselip
perbincangan santai yang mengalir seperti utas
Sambung
bersambung liar tanpa topik pembatas
Hobi, diet
,olahraga ,ekonomi atau topik ringan seumpama kapas
Menjadi teman
penghabis kopi dalam gelas
Bapak ,
Mungkin saja
pernah sekali waktu
Terdengar di
ruang-ruang itu
Teguran Bapak
dengan nada seru
Atau ada
ungkapan tak setuju
" Bukan
begituuuu,
Kalian
ini bagaimana siih ,
Masa begini
saja tidak tahu "
kata-kata itu, kini jadi amunisi yang meledakkan kenang dan rindu
sebab biasanya
tak lama berikutnya Bapak akan melucu
atau lekas
menanyakan ke kasubbag TU,
Mana ini , pesanan makan siang atau kue penawar jemu ?
Bapak,
Kami mungkin
tak bisa memutar waktu ,
Mundur ke
belakang mengulang masa itu
Sebetapapun
keinginan kami begitu memalu
Tetapi kali ini
waktu seperti membeku
Berhenti
sejenak oleh rasa haru
Melepas Bapak
ke tempat Baru
Ijinkan kami ,
pak
Melangitkan doa
doa yang mengharu biru
Agar
bapak senantiasa sukses sehat dan gembira selalu
Ijinkan kami ,
pak
Mengungkap rasa
sesal dan pinta maaf bertalu
Untuk salah dan
kurang kami di masa itu
Ijinkan kami ,
bapak
Menghaturkan
terima kasih beribu ribu
Untuk
perhatian, arahan serta ilmu
Yang bapak
berikan tanpa rasa jemu
Dari kami geng
lantai telu
Si Pujangga Itu dan Mesin Ketiknya
Aku ...
LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN TENTANG HUJAN
"Hujaaann...!", teriak serempak Lelaki Ini dan Perempuan Itu.
Sedetik, lalu mereka tertawa. Penuh arti. Mengeratkan jemari. Menikmati titik-titik air yang membasahi kaca depan Benzo, panggilan untuk mobil mereka. Hujan, bagi mereka bukan sekedar fenomena alam. Hujan itu sakral. Hujan itu kenangan, rasa. Hujan itu pesan rindu yang tertumpah.
"Mas tau gak?", Perempuan Itu merajuk. "Hujan itu kan pesan kangenku", lanjutnya.
"Hahaha...gombillll..!!!", gelak Lelaki Ini. Sambil mencubiti gemas pipi gembil Perempuan Itu. Bibirnya manyun, menggemaskan. "Ya udah kalo Mas ga percaya", Perempuan Itu merajuk. "Biar rindu ini aku tahan sendiri". Alih-alih kesal, Lelaki Ini malah tambah gemas. Rindu mereka pun tumpah ruah. Bagai magnet yang saling menarik. Bergerak harmoni ditingkahi air hujan yang kian deras menjejaki bumi.
*
Hari ini, belum genap satu bulan dari hujan yang lalu. Lelaki Ini sendiri. Menyesap keheningan yang mulai menjadi biasa. Menatap orang-orang lalu lalang di bawah sana. Tergesa bahkan berlari. Lelaki Ini baru sadar. Mendung begitu pekat. Tak sampai hitungan detik, ribuan panah air terhunjam tanpa ampun. Bumi pasrah, pohon-pohon bergoyang. Entah suka atau tersiksa. Orang-orang tadi pun basah, tanpa sempat menghindar. Hanya berusaha agar segera mendapatkan pelindung untuk berteduh. Makian tak terdengar, tapi pasti ada. Lelaki Ini menghela nafas. Meraih gawai. Membuka aplikasi percakapan. Memilih satu nama, lalu mulai mengetik: hujan. Enter. Menunggu. Lama. Di seberang sana, Perempuan Itu menatap jendela berkabut di hadapannya. Hujan. Gawainya bergetar. Pesan dari Lelaki ini. Tersenyum. Getir. Hasratnya begitu kuat untuk membalas. Menumpahkan segala rasa yang ada. Tapi, hatinya bertahan. Luka itu belum sembuh benar. Perempuan Itu sangat mencintai Lelaki Ini. Seluruh hidupnya. Dengan segala ketidaksempurnaannya. Tapi, entah apa yang merasuki Lelaki Ini, hingga dia selalu salah. Lelaki Ini menuntut dari yang seharusnya. Tidak pernah mau mengerti keterbatasan yang ada. Perempuan Itu terluka. Jika ada kata di atas sedih, mungkin dia akan menggunakannya. Hanya diam yang dia bisa. Meski, dia tahu diamnya juga melukai Lelaki Ini.
Silakan pergi, ku tak rasa kalah
Namun, percayalah, sejauh mana kau mencari
Takkan kau temukan yang sebaik ini*
*
Hujan. Bukan basa-basi jika mereka percaya magisnya. Buktinya hari ini. Hujan selalu bisa meluruhkan amarah. Lelaki Ini dan Perempuan Itu kembali disini. Berdiam menikmati dinginnya hari. Diguyur tumpahan rasa yang tidak terbendung lagi. Luka itu masih ada. Berbekas, dan mungkin masih terasa. Mereka sadar, takdir belum dapat menyatukan mereka. Tapi, rasa mereka tak berubah, tak bergeming walau dihajar badai.
*
Perempuan Itu terlelap. Penat jiwa dan raganya. Lelaki Ini mengeratkan pelukannya. Mencoba menghangatkan. Menatap kosong layar TV yang telah mati. Gelap. Sunyi. Hanya dengkur halus Perempuan Itu, dan derik kipas pendingin ruangan. Lelaki Ini mencium lembut Perempuan Itu. Hangat. Perempuan Itu terlalu lelah untuk meresponnya. Lelaki Ini tersenyum. Belum mampu memejamkan mata. Tidak mau, tepatnya. Menikmati keindahan dalam pelukannya. Menikmati cinta seutuhnya. Entah, sampai takdir menyatukan mereka, atau bahkan memisahkan mereka. Mereka hanya bisa pasrah, menikmati apa yang bisa dinikmati.
Kuhentikan hujan. Kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan —
ada yang berdenyut
dalam diriku:
menembus tanah basah;
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari.
Tak bisa kuhentikan matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga.**
Jakarta, 21022025
*Tutur Batin, Yura Yunita
**Kuhentikan Hujan, Sapardi Djoko Damono