Kirimkan Saja Alif Doa, Bu


Waktu akan ditinggal ibunya sekolah lagi di tahun 2009, Alif yang belum genap berusia 7 tahun adalah anak kecil yang sangat bergantung pada ibu. Kegagapannya dalam mengekspresikan rasa sayang kepada sang adik, membuat dia cenderung cengeng dan pencemburu, sehingga kurang cocok dengan ayahnya. Jadilah ibu sebagai pelabuhan kegalauan dan pencurah perhatian buatnya.

Ibu hanya marah besar, sampai kepalanya berasap dan keluar tanduk, kalau Alif tidak mau makan dan susah mandi. Kalau Alif tidak mau sholat, ibu cuma berkata,”Lihat, Kak! Tabungan pahala kakak di pojok kamar sana berkurang banyak sekali.” Dan kadang-kadang sugesti imajinasi ini lebih berhasil daripada gelegar suara tegas sang Ayah.

Atau kalau Alif pulang dari sholat berjamaah bersama Rozi di mesjid, sesampainya di rumah dan mencium tangan ibu, ibu dengan ekspresif membentangkan tangannya satu ke atas dan satu ke bawah seolah-olah membawa tumpukan barang yang banyak dan berat. Lalu ibu berkata,”Aduh lihat, kak! Pahalanya banyak sekali sampai 27 derajat karena kakak mau sholat berjamaah di mesjid. Kita simpan di pojok kamar lagi, ya?” Dan sepertinya Alif senang, karena tabungan yang satu ini tak akan habis dipakainya untuk membeli mainan.

Ibu paling senang saat-saat menjelang tidur, dan mungkin momen itu juga berkesan sekali buat Alif. Mereka akan membaca setidaknya satu buku anak-anak, atau satu bab dari novel dewasa. Mulai dari buku-buku flip off, bebek yang malas belajar mengerami telur, Totto Chan, Laskar Pelangi, bahkan terakhir, mereka sudah membaca satu bab dari buku Sang Pemimpi.

“Engga apa-apa ya, kak ibu belajar dulu. Yang bayarin sekolah ibu pemerintah Jepang, kak. Jadi, ibu harus sekolah di Jepang.” Alif selalu berusaha mengerti permohonan ibunya, tapi sepertinya tetap saja ia sulit memahami kenapa ibunya mau saja sekolah di Jepang dan meninggalkan dia.

Yang dia faham, dia harus tetap bermain untuk melewati waktunya tanpa ibu, makan yang benar supaya sehat dan tidak bikin ibu sedih, sholat lima waktu mendoakan ibu cepat pulang. Tanpa dia tahu, dia bahkan membuat ibunya tertawa dan bahagia di ujung seberang lautan saat berkali-kali dia berinisiatif bermain tebak-tebakan setiap ibunya menelfon.

“Bu, kenapa Superman takut sama matahari?”

Jawaban a,b,c, … sampai e dari ibu salah dan ibu menyerah,”Kenapa dong, kak?”

“Karena takut eS-nya meleleh bu.” Oooo … ibu bengong.

“Trus, kenapa coba Bu, Superman terbang?”

“Kan punya sayap, kak. Namanya juga Superman.”

“Ya salah, lah Bu. Karena … kalo dia setir mobil, namanya Sopir, man!” Kikikik … ibu mulai tergelitik lucu.

“Ibu payah nih. Sekarang coba apa bedanya pintu, wayang, sama bau?”

“Aduh, susah amat sih kak.” Dan seperti biasa, jawaban a sampai r ibu salah.

“Yang betul, kalo pintu di ketuk, wayang di kotak dan bau …. Hahahaha … di ketek, bu!” Kali ini ibu tertawa nguakaaak.

Setelah puas mengerjai ibunya yang hampir master tapi ga becus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolnya, dia memberi kesempatan ibunya untuk memberinya tebakan. Dan ibu selalu sok ilmiah.

“Sekarang gantian, kak. Kalo ibu kota Jepang apa?” Inggris, Jerman, India, Belanda, Malaysia, Indonesia, Banten? Kalo pertandingan bola, ibu sudah babak belur kebobolan goal.

“Kalo gunung yang ada di antara pulau Sumatera dan Jawa, namanya gunung apa?” Pasti yang ini dia ga bisa. Di globe kan ga jelas.

“Krakatau, bu.” Ibu heran,”Kok kakak tahu?”

“Kan ibu cerita waktu kita jalan-jalan ke Cibodas,” jawabnya yakin membuat ibu tambah bangga.

Lain waktu, setelah tak pernah berhasil memberi jawaban tepat atas tebakan Alif, ibu yang sok ilmiah ingin memantau kemampuan perkalian anaknya. Kan sudah kelas dua SD! Fikir ibu.

“2 x 3?” Tanya ibu. “6!” Jawab suara mungil di seberang sana. “Alhamdulillah, anak ibu ingat.

“3 x 3?”. Sepi merayap di ujung sana. Hmmm … Alif berfikir. Batin ibu senang.

“Sebelumnya pertanyaan ibu berapa kali berapa?” Ibu lalu mengulang dan mencoba memberi petunjuk.

“Ohh .. 9 bu, jawabannya”. Lalu, dengan suara bangga yang lebay, ibu menjawab,”Subhanallah… anak ibu pintar”.

“3 x 4 …. 3 x 5 …. 3 x 6 ….” Lho? Kok menjawabnya dalam hitungan kurang dari satu menit semua?

“Wah … kakak udah hafal ya perkalian 3?” Tanya ibu ge-er.

“Belum, bu. Kan ada kalkulator di handphone.” Suaranya begitu polos tak berdosa …

Ibu cuma menghela nafas … Setidaknya dia kenal manfaat lain dari tekhnologi bernama telefon genggam.

Begitulah … sebelum ia faham apa artinya menjadi dewasa, Alif menjadi pribadi yang lebih dewasa menguatkan ibunya. Mandiri dan pengertian, meski masih sering pemberontak kalau di suruh sholat dan belajar oleh pengasuhnya.

Sebulan di Jepang, ibu mengirim paket pakaian dari Niigata. Ibu bahkan lupa melihat catatan di brand nya, apakah made in Japan, China, atau Indonesia.

Alif, Najib dan Tante Dhilah senang-senang saja dapat kiriman dari Jepang mampir ke rumah mereka yang masih tak berbentuk di desa sederhana di pedalaman Tangerang (ironisasi …)

Bulan kedelapan, ketika adiknya Najib berulang tahun, ibu mengirim lagi dua buah mainan Hercules yang bisa terbang dengan remote control. Dan Alif bertanya,”Emang kalo kirim hadiah dari Jepang ga mahal, bu?”

Lalu ibu menjawab dengan mengatakan bahwa biaya kiriman itu setara dengan SPP nya di SD Islam satu bulan.

“Wah … mahal, ya bu.” Haa … apa matematikanya ada kemajuan?

“Kalau gitu … ibu ga usah kirim-kirim lagi aja. Nanti aja bawa pesanan aku kalau ibu pulang.”

“Kan, kakak mau ulang tahun?”

“Ga papa … bu. Ibu kirim doa aja … supaya aku bisa jawab kalo ulangan.”

Ibu senyum-senyum mendengarnya. Rapor sudah dua kali dibagikan dalam setahun mereka berpisah. Ibu tahu mulai banyak nilai 6 yang ‘unjuk gigi’ padahal sebelumnya tak pernah punya kesempatan tampil di rapor Alif.

“Iya, sayang … ibu selalu doain kakak, kok. Tapi … kalo mau bisa jawab ulangan itu … ga cukup cuma berdoa, kakak. Kakak juga harus belajar. Ngerti, sayang?” Ah … ibu! Kau paksa lagi Alif untuk menjawab,”Iya …bu.”

Tapi … malam itu ibu senang. Pengembaraannya mencari ilmu di negeri orang akan segera berakhir. Berkat doa keluarga dan kedewasaan Alif yang menenangkan. Siawase desu yoo. 🌾

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Buat pertimbangan kalo ibu rumah tangga mo belajar lagi di rantau, pak 😁

      Hapus
  2. Ini salah satu tulisan yg saya suka, inspiratif, keren!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, mas Gun. Tapi blm bisa buat cerbung dari imajinasi sendiri seperti mas Gun, kereen.

      Hapus