Pencapaian...Pemahaman...Titik Akhir Suatu Perjalanan

Suatu pagi, disaat 'kesibukan' rutin keluarga, tiba-tiba si Adek (panggilan kami buat si bungsu) mengambil kuas make-up mami-nya dan menjadikannya semacam 'mic'. Dengan 'mic' tersebut adek berlagak sebagai wartawati mewawancarai saya;
Adek: "Nama bapak siapa?"
Saya: "Indra"
Adek: "Hobi Pak Indra apa?"
Saya: "Taekwondo"
Adek: "Wow...interesting, sabuk apa?"
Saya: "Sabuk merah"
Adek: "Kan sudah lama latihannya, kok nggak sabuk hitam?"
Saya: "Papi emang gak mau dek"
Adek: (sambil ngeloyor pergi) "ah gak selesai itu namanya"


Percakapan yang tidak sampai 5 menit tersebut cukup membuat saya berpikir berhari-hari. Saat ini si Adek sedang semangat-semangatnya latihan Taekwondo, dan kelihatannya lebih berbakat dibanding Kakaknya. Salah satu motivasi mereka memang karena ingin seperti papi-nya. Makanya, dialog singkat tadi sedikit banyak membuat saya khawatir akan mendemotivasi semangat latihan mereka.

Saya mulai berlatih Taekwondo sejak tahun 1989, saat menginjak kelas 1 SMA. Cinta pertama saya terhadap olahraga beladiri, sampai saat ini. 2 tahun kemudian saya sudah mengenakan sabuk merah, dan jauh sebelum itu saya sudah dipercaya menjadi asisten pelatih dan menjadi 'rujukan' khusus taegeuk (semacam tarian jurus dalam Taekwondo). Pelatihan di sekolah saya sangat keras, bukan saja metode latihannya, tapi juga keras dalam hal nilai-nilai dan idealisme. Taekwondo diajarkan bukan hanya sekedar alat untuk membela diri, namun juga sebagai nilai-nilai keseharian. Kerasnya pelatihan tersebut membuat tidak banyak siswa yang mampu bertahan. Dari puluhan siswa di angkatan saya pun hanya tersisa tidak lebih dari 10 orang, termasuk saya. Di Palembang, waktu itu, klub Taekwondo kami termasuk yang disegani. Militansi kami diacungi jempol, termasuk keberanian kami 'memboikot' ujian kenaikan tingkat yang diadakan Pengurus Daerah (Pengda) Taekwondo Sumatera Selatan. 

Era tahun 1990-an masih merupakan masa 'jahiliyah'. Sabuk bisa dibeli. Suatu hal yang sangat ditabukan di klub kami. Bagi kami, sabuk bukanlah sekedar penanda tingkatan. Sabuk itu adalah kehormatan. Seorang Taekwondoin harus mampu mencerminkan perilaku, keahlian, kekuatan, kecerdasan dan pemahaman sesuai dengan warna sabuknya. Idealisme tersebut membuat kami tidak terlalu mementingkan kenaikan tingkat. Kami dapat mempertanggungjawabkan setiap warna sabuk yang kami pakai.

Akibat mempertahankan idealisme, sabuk saya tetap berwarna merah saat meninggalkan Palembang untuk merantau ke Jakarta, bahkan sampai saat ini. Tahun-tahun awal di Jakarta pun saya ditawari untuk 'membeli' sabuk hitam, tapi saya tolak. Saya sudah merasa nyaman dengan sabuk merah ini dan merasa tidak perlu menjadi sabuk hitam.

Kembali ke dialog dengan Adek tadi, bagaimana menjelaskan hal-hal tersebut kepada anak umur 8 tahun yang kosa kata bahasa Indonesia-nya saja masih sangat terbatas? Mereka mau berlatih pun sudah membuat saya bersyukur, meskipun situasi pelatihannya berbeda jauh. Sekarang mereka masih bisa tertawa-tawa sehabis latihan, dulu, jangankan tertawa, senyumpun susah hahaha. Apa yang saya pahami dari pemikiran Adek adalah sudah ada konsepsi bahwa saya harus mengakhiri apa yang sudah saya mulai. Dalam pemahaman yang masih sangat muda, Tekwondo itu ya dimulai dari sabuk putih dan berakhir di sabuk hitam. Selesai. Pemahaman yang tidak sepenuhnya salah, namun tidak ada gunanya juga menjejali alam pikirannya dengan nilai-nilai dan idealisme Taekwondo. Bukan tidak perlu, tapi belum saatnya.

Apa yang akhirnya saya lakukan kemudian adalah menunjukkan pada mereka, bahwa kemampuan saya sesuai dengan warna sabuk, bahkan lebih. Setiap ada kesempatan saya bergabung latihan dengan mereka, supaya mereka bisa melihat bedanya 26 tahun sabuk merah dengan 2-3 tahun sabuk merah atau 4-5 tahun sabuk hitam. Agar mereka bisa merasakan adanya nilai-nilai yang tetap terjaga.Perlahan membangkitkan pemahaman bahwa ada perbedaan antara pencapaian dengan tingkat pemahaman.

Pencapaian dari suatu perjalanan kadangkala bukanlah titik akhir dari perjalanan tersebut. Pemahaman yang mendalam atas keseluruhan perjalanan tersebutlah yang menjadi pencapaian sesungguhnya.



   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar