Berpikir Tanpa Kotak

Sambil gowes tadi pagi saya mikir: apakah selalu berpikir "out of the box" itu bagus? Mungkin iya apabila pikiran itu benar-benar "keluar dari kotak", tapi bagaimana bila ternyata pikiran yang "out of the box" tadi ternyata masuk ke "another box"? Keluar dari kotak yang satu, masuk ke kotak yang lain.
Pikiran tersebut dipicu oleh maraknya pemberitaan di radio tentang ruwetnya peraturan-peraturan di Indonesia. Sampai-sampai Pak Jokowi dengan geram menyampaikan kekesalannya akan hal tersebut. Pak Jokowi menyoal tentang bangsa Indonesia yang memiliki banyak sumber daya, banyak investor yang berminat menanamkan modal, tapi semuanya sia-sia karena aturan-aturan yang ruwet. Terkait hal tersebut, Pak Jokowi bahkan 'mengultimatum' para menteri agar tidak lagi membuat aturan-aturan yang bikin ruwet.
Kekesalan Pak Presiden tersebut dapat dipahami. Bagaimana tidak? Tidak terhitung banyak peluang investasi yang terhambat bahkan hilang hanya karena aturan yang tidak memungkinkan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai kebijakan deregulasi, yang intinya untuk menyederhanakan semua aturan-aturan terkait. Alih-alih tercapai, deregulasi yang dilakukan malah menghasilkan regulasi baru yang justru menghambat kegiatan investasi. Dalam sebuah wawancara, seorang anggota KADIN menyampaikan bahwa nyatanya masih banyak ego-kementerian dalam penyusunan suatu regulasi.
Dalam praktek terbaik, deregulasi memang banyak dilakukan untuk memangkas regulasi yang tumpang tindih, memotong rantai birokrasi, meningkatkan efisiensi dengan regulasi yang lebih sedikit dan sederhana. Adanya regulasi baru yang dihasilkan dari proses deregulasi bukanlah sesuatu yang salah. Namun ketika regulasi baru tersebut kemudian tidak mendukung tujuan dilakukannya deregulasi, maka masalah baru pun timbul.
Melakukan deregulasi di tengah carut marutnya regulasi negara ini bukanlah hal yang mudah. Regulasi tumpang tindih, duplikasi tugas dan fungsi adalah sebagian kecil gambaran wajah regulasi kita. Upaya deregulasi yang sifatnya parsial cenderung tidak efektif karena selalu terbentur dengan "ego-kementerian". Arahan pimpinan untuk mencari solusi yang "out of the box" malah menghasilkan solusi "inside another box" .
Para pembuat kebijakan publik atau para menteri harusnya sadar  bahwa "kotak kementerian-nya" hanyalah untuk membatasi tugas, fungsi dan kewenangannya. "Kotak-kotak" tersebut dibuat untuk merapikan susunan, struktur dan untuk mempertegas bahwa "isi kotak" yang satu tidak tercampur dengan "isi kotak" yang lain. Ketika bicara kepentingan nasional seharusnya semua "kotak" itu tersusun rapi sehingga terlihat "tanpa kotak" hanya satu "kotak" besar yaitu INDONESIA.
Apa yang terjadi sekarang, dan itu yang dikeluhkan sebagai "ego-kementerian" adalah bahwa pemikiran-pemikiran hanya terkungkung dalam satu kotak masing-masing atau terjebak ke dalam kotak yang lain. Benar apabila dikatakan bahwa masing-masing mengatakan bahwa kebijakannya adalah untuk kepentingan negara, sesuai amanat undang-undang atau sesuai dengan arahan presiden. Namun tidak disadari bahwa hal tersebut dapat menyebabkan "susunan kotak-kotak" itu tidak rapi lagi, bahkan menghalangi "kotak-kotak" yang lain. Melakukan deregulasi sama halnya dengan mengurai benang kusut. Ketika kita hanya berkutat  pada inti benang kemungkinan yang terjadi adalah benang semakin kusut, terikat mati atau bahkan putus. Tapi ketika kita mengurai satu demi satu dari posisi benang terluar, yang paling terlihat dan yang paling bebas, kemungkinan untuk berhasil akan sangat besar. Demikian pula halnya dengan deregulasi. Semua regulasi harus diurai dan dilihat satu persatu, dari yang terkait langsung, terkait tidak langsung bahkan yang kemungkinan akan terkait. Para pemangku kepentingan harus diidentifikasi dengan jelas, siapa saja dan berada di layer yang mana. Dampak regulasi yang baru harus benar-benar diukur untuk mendapatkan manfaat bersih yang sebesar-besarnya. Konsekuensi kebijakan juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati termasuk mitigasi risiko yang mungkin terjadi.
Tidak mudah? Iya, karena deregulasi seharusnya memang dilakukan secara bertahap dan dibuatkan peta jalannya. Deregulasi yang dilakukan dalam waktu yang sempit peluang keberhasilannya akan sangat kecil. Akan banyak regulasi yang terlewat, banyak pemangku kepentingan yang tidak teridentifikasi dan tidak diajak konsultasi. Satu-satunya jalan untuk memperbesar peluang tersebut adalah dengan "thinking without the box". Semua pembuat kebijakan terkait duduk bersama tanpa "kotak" masing-masing. Yang dicari adalah "win some-loose some solution", bukan "win-win solution" karena jika demikian akan ada yang menang banyak dan menang sedikit. Semua harus berpikir untuk kepentingan yang lebih besar dan lebih penting daripada "kotak"-nya. Berpikir tanpa kotak dapat membuat kita melihat permasalahan secara keseluruhan. Membuat kita melihat lebih jelas hambatan-hambatan yang ada dan yang mungkin ada. Saya yakin apabila para menteri dan pembuat kebijakan publik mampu berpikir tanpa kotak maka masalah-masalah bangsa ini akan terselesaikan dengan cepat, tepat dan rendah biaya.



*tulisan ini juga dimuat di https://ikoerba.wordpress.com/2017/07/26/berpikir-tanpa-kotak/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar