Gebrakan Danantara dan Koperasi Desa Merah Putih dalam Menggedor Pertumbuhan Ekonomi

Mencari Arah Baru Pertumbuhan Ekonomi

Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan ekonomi nasional Indonesia banyak bertumpu pada sektor-sektor perkotaan dan industri berskala besar. Namun, realitas menunjukkan bahwa lebih dari 40% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan, dengan sektor pertanian, perikanan, dan UMKM menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Ketimpangan pembangunan antara kota dan desa menjadi perhatian besar, dan upaya untuk meratakan akses terhadap sumber daya ekonomi mulai menunjukkan gejala positif. Salah satu terobosan menarik yang muncul dalam konteks ini adalah hadirnya dua inisiatif strategis: Danantara dan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.

Keduanya tidak sekadar proyek pemberdayaan, melainkan ekosistem terintegrasi yang memadukan teknologi digital, kelembagaan gotong‑royong, dan investasi berbasis komunitas. Makalah ini mengeksplorasi desain, capaian, serta tantangan keduanya, seraya menakar prospek mereka sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi inklusif di era transformasi digital.

Danantara: Menjembatani Digitalisasi dan Kedaulatan Ekonomi Desa

Danantara, yang merupakan singkatan dari "Dana Nusantara Raya", adalah inisiatif keuangan digital inklusif yang berbasis pada teknologi blockchain dan terhubung langsung dengan ekosistem digital desa. Dirancang sebagai platform teknologi untuk mempercepat literasi keuangan dan pembangunan infrastruktur digital desa, Danantara menawarkan solusi inovatif terhadap keterbatasan akses modal, perbankan, dan investasi produktif di wilayah-wilayah tertinggal.

Model bisnis Danantara didasarkan pada prinsip “desa sebagai pusat inovasi ekonomi”. Melalui sistem e-wallet lokal, token digital berbasis aset produktif, serta integrasi dengan produk-produk UMKM, Danantara mampu mendorong perputaran ekonomi lokal tanpa harus menunggu intervensi dari pusat. Salah satu pilot project-nya di Kabupaten Gunungkidul berhasil meningkatkan volume transaksi ekonomi lokal sebesar 35% dalam waktu satu tahun, sekaligus memperluas pasar produk lokal ke luar pulau.

Lebih jauh, Danantara juga menghubungkan para pelaku ekonomi desa dengan investor diaspora dan filantropi melalui platform crowdfunding berbasis proyek desa. Proyek-proyek seperti pembangunan irigasi mikro, pengembangan rumah produksi, dan sekolah vokasi desa kini bisa dibiayai secara mandiri dan transparan. Ini bukan hanya memperkuat akuntabilitas dana pembangunan desa, tetapi juga membentuk budaya baru: desa yang mandiri, berdaya, dan terhubung secara digital.

Koperasi Desa Merah Putih: Katalis Ekonomi Gotong Royong

Jika Danantara bergerak di sisi teknologi dan pembiayaan, maka Kopdes Merah Putih hadir sebagai bentuk kelembagaan rakyat berbasis nilai gotong royong yang terorganisir. Kopdes Merah Putih adalah koperasi multi-pihak yang menyatukan petani, nelayan, pelaku UMKM, pemuda desa, dan perangkat desa dalam satu wadah produksi, distribusi, dan pemasaran bersama.

Berikutnya Kopdes Merah Putih juga berfungsi sebagai agregator produk desa baik dari sisi hulu (bahan baku) maupun hilir (produk olahan dan jasa). Dengan pendekatan koperasi modern, Kopdes Merah Putih menyelenggarakan pelatihan manajemen keuangan, pendampingan produksi, hingga sertifikasi halal dan izin edar BPOM. Lebih dari itu, Kopdes Merah Putih secara strategis bekerja sama dengan platform e-commerce dan logistik nasional untuk membuka jalur distribusi produk ke pasar nasional dan bahkan ekspor.

Salah satu kisah sukses Kopdes Merah Putih misalnya pada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana Kopdes Merah Putih menggandeng petani kelor dan pengrajin tenun untuk membentuk entitas bisnis berbasis koperasi dengan sistem bagi hasil adil. Dalam kurun dua tahun, nilai ekspor kelor olahan dari koperasi ini meningkat 300%, dan lebih dari 120 rumah tangga petani berhasil keluar dari kemiskinan ekstrem.

Melalui skema kepemilikan bersama, setiap anggota koperasi tidak hanya berperan sebagai produsen, tetapi juga sebagai pemilik dari usaha itu sendiri. Model ini terbukti efektif dalam meningkatkan kesejahteraan anggota, menumbuhkan loyalitas produksi, dan memperkuat daya tawar desa terhadap pasar.

Kolaborasi Strategis Danantara dan Kopdes Merah Putih

Keberhasilan kedua inisiatif ini tidak terlepas dari sinergi yang terbangun antara teknologi dan kelembagaan rakyat. Integrasi Danantara dan Kopdes Merah Putih menciptakan ekosistem ekonomi desa yang saling mendukung: Dana digital dari Danantara dapat digunakan oleh anggota koperasi untuk membantu permodalan usaha mikro, sedangkan Kopdes Merah Putih menyediakan produk riil dan jaringan komunitas bagi transaksi di ekosistem Danantara.

Salah satu contoh kolaborasi konkret adalah pengembangan “Desa Pintar”, di mana sistem pembukuan koperasi diintegrasikan dengan blockchain Danantara untuk memastikan transparansi transaksi dan efisiensi manajemen keuangan. Desa-desa yang tergabung dalam program ini menunjukkan peningkatan PDRB desa rata-rata sebesar 20% dalam dua tahun terakhir.

Bahkan, kolaborasi ini telah dilirik oleh pemerintah pusat sebagai model percontohan pembangunan ekonomi berbasis desa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Beberapa pemerintah daerah juga mulai mengadopsi pendekatan serupa, termasuk integrasi aplikasi Danantara ke dalam sistem informasi desa (SID) dan penguatan koperasi sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan struktural.

 Menakar Dampak Ekonomi dan Prospek Ke Depan

Dampak ekonomi dari gebrakan Danantara dan Kopdes Merah Putih setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek: (1) peningkatan nilai tambah produk lokal, (2) peningkatan daya serap tenaga kerja desa, dan (3) diversifikasi sumber pendapatan masyarakat. Dalam laporan evaluasi independen tahun 2024 yang dilakukan oleh LPEM UI, disebutkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga peserta program meningkat hingga 37% dalam kurun dua tahun.

Selain itu, aspek inklusi keuangan juga mengalami lonjakan. Lebih dari 40 ribu kepala keluarga yang sebelumnya unbankable kini memiliki akun keuangan digital Danantara yang dapat digunakan untuk menabung, menerima dana program, hingga melakukan investasi mikro. Di sisi lain, koperasi desa yang tergabung dalam jaringan Kopdes Merah Putih menunjukkan pertumbuhan aset rata-rata 18% per tahun dan mulai merambah bisnis lintas desa seperti pengolahan pangan, agroeduwisata, dan transportasi lokal.

Namun demikian, tantangan tetap ada. Isu literasi digital, keterbatasan infrastruktur, dan regulasi yang belum sepenuhnya adaptif menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera dituntaskan. Untuk itu, diperlukan dukungan berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah, serta kemitraan aktif dengan sektor swasta dan akademisi untuk memperkuat kapasitas kelembagaan desa.

Desa Bukan Lagi Objek, Melainkan Subjek Pertumbuhan

Gebrakan Danantara dan Koperasi Desa Merah Putih adalah bukti bahwa transformasi ekonomi nasional bisa dimulai dari desa. Dengan pendekatan berbasis teknologi dan kelembagaan rakyat, desa-desa di Indonesia kini mulai menapaki peran baru: bukan sekadar penerima program, tetapi sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Momentum ini harus dijaga dan diperluas. Karena ketika desa maju, Indonesia pun akan tumbuh dari akarnya. Danantara dan Kopdes Merah Putih telah membuktikan bahwa kemandirian ekonomi tidaklah utopia, melainkan hasil dari kerja bersama, strategi tepat, dan semangat gotong royong yang menjadi jati diri bangsa.

Dr. Lucky Akbar, KPDDP Jambi

Rekonsiliasi Nasional Demi Menjaga Kerukunan dan Stabilitas

Gelombang protes dan demonstrasi yang belakangan terjadi di berbagai wilayah tanah air merupakan tanda bahwa bangsa ini sedang diuji. Rasa ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap sikap sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap arogan dalam merespons aspirasi publik telah memunculkan ketegangan. Apalagi, dalam peristiwa kerusuhan beberapa waktu lalu, terlihat adanya lapisan masyarakat seperti para pengemudi ojek online (ojol) yang justru menjadi korban terpinggirkan. Mereka terjebak di antara dinamika politik, aspirasi rakyat, dan tindakan aparat di lapangan.

Namun, di tengah situasi ini, ada satu hal yang harus kita jaga bersama: persatuan dan kerukunan masyarakat Indonesia. Bangsa ini berdiri kokoh bukan hanya karena kesamaan bahasa, tanah air, dan sejarah perjuangan, tetapi juga karena semangat persaudaraan yang menembus sekat perbedaan. Bila persatuan runtuh, maka peluang keluar dari krisis akan semakin tipis.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain. Justru sebaliknya, tulisan ini hendak mengajak kita semua—baik rakyat, wakil rakyat, pemerintah, komunitas ojol, maupun kelompok masyarakat lain—untuk menurunkan tensi emosi, saling memahami, dan kembali kepada cita-cita besar: menjaga keutuhan bangsa.

Luka Kolektif yang Perlu Diobati

Setiap kerusuhan meninggalkan luka. Luka bagi masyarakat yang merasa suaranya diabaikan. Luka bagi aparat yang dituduh represif, meski sebagian dari mereka hanya menjalankan tugas. Luka bagi anggota dewan yang merasa citranya digeneralisasi buruk, meski ada juga yang tulus memperjuangkan rakyat. Dan tentu, luka bagi para pekerja lapangan seperti pengemudi ojol, pedagang kecil, atau buruh harian yang harus menanggung kerugian tanpa tahu bagaimana awal mula masalahnya.

Luka-luka ini bila dibiarkan akan berubah menjadi dendam. Dendam itu berbahaya, karena bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia bisa menyuburkan siklus kebencian yang tiada akhir. Sejarah bangsa kita, maupun bangsa lain, menunjukkan bahwa dendam sosial adalah api yang membakar peradaban. Maka, sebelum luka itu menjadi busuk, kita harus bersama-sama mengobatinya dengan pendekatan persaudaraan dan musyawarah.

Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi mengandaikan bahwa suara rakyat didengar, diakomodasi, dan dihormati. Namun demokrasi juga menuntut kesabaran, karena tidak semua aspirasi dapat diwujudkan sekaligus. Persoalannya, ketika ada jarak yang terlalu lebar antara harapan rakyat dengan sikap para wakilnya, muncul rasa ditinggalkan.

Kasus arogansi sebagian anggota dewan yang enggan mendengar masukan masyarakat adalah alarm keras. Aspirasi rakyat bukan sekadar formalitas; ia adalah inti dari mandat konstitusional. Para wakil rakyat perlu kembali merenungkan mengapa mereka ada di kursi legislatif: bukan untuk mempertebal gengsi, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

Namun rakyat pun harus mengingat bahwa menyampaikan aspirasi mesti dilakukan dengan damai. Demo adalah hak, tapi demo juga harus menjaga martabat. Kerusuhan hanya akan melukai sesama anak bangsa. Dalam kerusuhan, yang jatuh bukan hanya gedung atau kendaraan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. Selanjutnya semua pihak harus menyadari, para pekerja informal seperti ojol adalah penopang ekonomi perkotaan. Mereka bukan hanya pengantar makanan atau penjemput penumpang; mereka adalah bagian vital dari ekosistem keseharian kita. Jika mereka terluka, sesungguhnya yang terluka adalah denyut kehidupan kota itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam setiap peristiwa politik atau sosial, kelompok masyarakat yang lemah posisinya justru harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai mereka menjadi pihak

Persatuan sebagai Pondasi Kerukunan

Bangsa ini pernah melewati masa sulit yang lebih besar. Krisis ekonomi 1998 misalnya, mengguncang sendi kehidupan rakyat. Namun Indonesia bisa bangkit karena rakyat tidak kehilangan pegangan utama: semangat persatuan. Gotong royong antarwarga, solidaritas komunitas, dan rasa kebersamaan menolong bangsa ini melewati badai.

Kini, di tengah gejolak demo dan kerusuhan, kita perlu kembali menyalakan energi persatuan itu. Persatuan bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan, melainkan menegakkan kebenaran tanpa menimbulkan perpecahan. Persatuan artinya kita mampu mengkritik dengan santun, menegur dengan kasih, dan memperbaiki dengan cara damai.

Kerukunan masyarakat adalah modal sosial yang tak ternilai. Bila modal ini hancur, kita tidak hanya kehilangan rasa aman, tapi juga melemahkan daya saing bangsa. Investor ragu menanamkan modal, ekonomi tersendat, dan pembangunan terhambat. Karena itu, menjaga kerukunan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan juga strategi ekonomi dan politik jangka panjang.

Menumbuhkan Empati dan Dialog

Bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran ketegangan ini? Jawabannya ada pada dua hal: empati dan dialog.

Pertama, empati. Para wakil rakyat perlu berempati pada masyarakat yang kecewa. Mereka harus hadir secara nyata, tidak hanya saat kampanye. Empati juga perlu dari rakyat kepada aparat yang bekerja di lapangan; mereka manusia biasa yang juga punya keluarga dan risiko. Begitu juga, masyarakat luas harus berempati kepada kelompok rentan seperti pengemudi ojol yang terdampak.

Kedua, dialog. Dialog yang sejati bukan sekadar formalitas dalam ruang rapat, melainkan mendengarkan dengan hati. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog yang inklusif, menghadirkan semua elemen, termasuk kelompok yang paling sering terpinggirkan. Dialog ini harus menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan publik.

Bangsa ini terlalu besar untuk diselamatkan oleh satu pihak saja. Kita memerlukan kerja kolektif seluruh elemen. Bagi rakyat, mari menyampaikan aspirasi dengan damai, bijak dalam bereaksi, dan tetap menjaga martabat bangsa.  Bagi DPR, saatnya kembali ke nurani, meninggalkan arogansi, dan benar-benar mendengar suara rakyat. Bagi pemerintah dan aparat, keadilan dan proporsionalitas harus menjadi pegangan dalam setiap tindakan. Jangan biarkan masyarakat kecil semakin terhimpit. Bagi kelompok pekerja seperti ojol, jangan merasa sendirian. Kehadiran komunitas, dukungan masyarakat, dan perhatian kebijakan harus diperjuangkan untuk mereka. Bagi media, berperanlah sebagai penyampai kebenaran, bukan pemantik provokasi. Media bisa menjadi ruang edukasi damai bagi publik.Ketika semua lapisan saling merangkul, kita bisa memutus rantai saling curiga yang selama ini memperlebar jurang perpecahan.

Dari Konflik Menuju Rekonsiliasi Sosial

Bangsa yang besar bukan bangsa yang tidak pernah konflik, tetapi bangsa yang mampu mengubah konflik menjadi rekonsiliasi. Kita harus berani melangkah lebih jauh dari sekadar menahan amarah. Kita harus mengubah energi amarah itu menjadi energi perubahan sosial yang positif.

Rekonsiliasi sosial bukan berarti melupakan peristiwa, melainkan mengingatnya dengan cara yang sehat. Ia adalah proses kolektif untuk berkata: "Ya, kita pernah berbeda, kita pernah marah, tetapi kita memilih untuk melanjutkan perjalanan bersama". Rekonsiliasi inilah yang akan memastikan bahwa anak cucu kita tidak mewarisi luka, melainkan warisan berupa kedewasaan berdemokrasi.

Indonesia tidak sendirian menghadapi ujian sosial-politik seperti demonstrasi dan kerusuhan. Sejumlah negara lain menjadi pelajaran penting tentang betapa mahalnya harga sebuah konflik sosial bila tidak dikelola dengan baik. Kita bisa melihat Suriah, misalnya. Demonstrasi yang awalnya hanya menyuarakan tuntutan keadilan berubah menjadi perang saudara berkepanjangan. Akibatnya, jutaan rakyat mengungsi, ribuan kota hancur, dan ekonomi nasional runtuh. Semua itu berawal dari ketidakmampuan elite dan masyarakat untuk membangun dialog dan menjaga kerukunan.

Contoh lainnya adalah Sri Lanka. Ketika krisis ekonomi menghantam, rakyat melakukan protes besar-besaran. Alih-alih merangkul dan mendengarkan, pemerintah saat itu merespons dengan cara represif. Akhirnya, protes berubah menjadi kerusuhan yang menjatuhkan rezim. Negara itu butuh bertahun-tahun untuk kembali pulih. Kita juga bisa belajar dari Venezuela, di mana ketidakpuasan terhadap pemerintah dan DPR yang dianggap tidak mewakili rakyat menimbulkan krisis legitimasi. Aksi protes yang awalnya damai berubah menjadi konflik sosial yang melumpuhkan ekonomi nasional. Negara yang kaya minyak itu justru mengalami kemiskinan masif akibat hilangnya kepercayaan sosial.

Dari contoh-contoh tersebut, pelajaran paling penting adalah bahwa konflik sosial yang tidak direspons dengan empati dan dialog bisa membawa negara pada keterpurukan. Indonesia harus belajar agar tidak terjebak dalam jalan yang sama. Kita memiliki kearifan lokal berupa musyawarah mufakat, gotong royong, dan budaya kekeluargaan yang seharusnya menjadi benteng kuat mencegah disintegrasi.

Kerukunan Bukan Sekedar Wacana Moral

Indonesia memiliki sejumlah fakta empirik yang bisa menjadi bahan renungan bersama. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya berkisar 49 persen. Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan lembaga lain seperti TNI atau Presiden yang berada di atas 70 persen. Rendahnya kepercayaan publik ini menjadi indikator adanya jurang antara aspirasi rakyat dengan perilaku sebagian elite politik.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 2.600 peristiwa konflik sosial di berbagai daerah, baik dalam bentuk demonstrasi, bentrokan antarwarga, maupun gesekan antara masyarakat dengan aparat. Angka ini meningkat sekitar 12 persen dibanding tahun sebelumnya, menandakan adanya ketegangan sosial yang perlu segera direspon dengan bijak.

Sementara itu, data Polri menyebutkan bahwa demonstrasi yang berujung ricuh sebagian besar dipicu oleh isu ketidakadilan ekonomi, kebijakan publik yang tidak populer, dan lemahnya komunikasi antara wakil rakyat dengan masyarakat. Data ini selaras dengan temuan akademik bahwa ketidakpuasan publik cenderung melahirkan aksi jalanan ketika saluran formal aspirasi dianggap buntu.

Data-data ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa menjaga persatuan dan kerukunan bukan sekadar wacana moral, melainkan kebutuhan nyata yang sangat mendesak. Bila angka ketidakpercayaan dan konflik sosial ini tidak ditekan, Indonesia berpotensi menghadapi krisis kepercayaan yang serius terhadap institusi demokrasi. Di titik inilah pentingnya semua pihak menurunkan ego dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa.

Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih jalan perpecahan yang hanya akan membawa keterpurukan, atau jalan persatuan yang akan membuka masa depan cerah. Demo dan kerusuhan hanyalah gejala; yang lebih penting adalah bagaimana kita menanggapi gejala itu. Mari kita kembali pada semangat gotong royong, saling menghormati, dan musyawarah mufakat. Mari kita rawat persatuan sebagai warisan para pendiri bangsa. Mari kita jaga kerukunan sebagai napas kehidupan berbangsa. Karena pada akhirnya, tidak ada kemenangan sejati bila yang kalah adalah bangsa sendiri. Yang kita butuhkan bukan sekadar kemenangan kelompok, melainkan kemenangan Indonesia.


Dr. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, KPDDP Jambi