Gelombang protes dan demonstrasi yang belakangan terjadi di berbagai wilayah tanah air merupakan tanda bahwa bangsa ini sedang diuji. Rasa ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap sikap sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap arogan dalam merespons aspirasi publik telah memunculkan ketegangan. Apalagi, dalam peristiwa kerusuhan beberapa waktu lalu, terlihat adanya lapisan masyarakat seperti para pengemudi ojek online (ojol) yang justru menjadi korban terpinggirkan. Mereka terjebak di antara dinamika politik, aspirasi rakyat, dan tindakan aparat di lapangan.
Namun,
di tengah situasi ini, ada satu hal yang harus kita jaga bersama: persatuan dan
kerukunan masyarakat Indonesia. Bangsa ini berdiri kokoh bukan hanya karena
kesamaan bahasa, tanah air, dan sejarah perjuangan, tetapi juga karena semangat
persaudaraan yang menembus sekat perbedaan. Bila persatuan runtuh, maka peluang
keluar dari krisis akan semakin tipis.
Tulisan
ini bukan untuk menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain. Justru
sebaliknya, tulisan ini hendak mengajak kita semua—baik rakyat, wakil rakyat,
pemerintah, komunitas ojol, maupun kelompok masyarakat lain—untuk menurunkan
tensi emosi, saling memahami, dan kembali kepada cita-cita besar: menjaga
keutuhan bangsa.
Luka
Kolektif yang Perlu Diobati
Setiap
kerusuhan meninggalkan luka. Luka bagi masyarakat yang merasa suaranya
diabaikan. Luka bagi aparat yang dituduh represif, meski sebagian dari mereka
hanya menjalankan tugas. Luka bagi anggota dewan yang merasa citranya
digeneralisasi buruk, meski ada juga yang tulus memperjuangkan rakyat. Dan
tentu, luka bagi para pekerja lapangan seperti pengemudi ojol, pedagang kecil,
atau buruh harian yang harus menanggung kerugian tanpa tahu bagaimana awal mula
masalahnya.
Luka-luka
ini bila dibiarkan akan berubah menjadi dendam. Dendam itu berbahaya, karena
bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia bisa menyuburkan
siklus kebencian yang tiada akhir. Sejarah bangsa kita, maupun bangsa lain,
menunjukkan bahwa dendam sosial adalah api yang membakar peradaban. Maka,
sebelum luka itu menjadi busuk, kita harus bersama-sama mengobatinya dengan
pendekatan persaudaraan dan musyawarah.
Indonesia
adalah negara demokrasi. Demokrasi mengandaikan bahwa suara rakyat didengar,
diakomodasi, dan dihormati. Namun demokrasi juga menuntut kesabaran, karena
tidak semua aspirasi dapat diwujudkan sekaligus. Persoalannya, ketika ada jarak
yang terlalu lebar antara harapan rakyat dengan sikap para wakilnya, muncul
rasa ditinggalkan.
Kasus
arogansi sebagian anggota dewan yang enggan mendengar masukan masyarakat adalah
alarm keras. Aspirasi rakyat bukan sekadar formalitas; ia adalah inti dari
mandat konstitusional. Para wakil rakyat perlu kembali merenungkan mengapa
mereka ada di kursi legislatif: bukan untuk mempertebal gengsi, melainkan untuk
memperjuangkan kepentingan bersama.
Namun
rakyat pun harus mengingat bahwa menyampaikan aspirasi mesti dilakukan dengan
damai. Demo adalah hak, tapi demo juga harus menjaga martabat. Kerusuhan hanya
akan melukai sesama anak bangsa. Dalam kerusuhan, yang jatuh bukan hanya gedung
atau kendaraan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu
sendiri. Selanjutnya semua pihak harus menyadari, para pekerja informal seperti
ojol adalah penopang ekonomi perkotaan. Mereka bukan hanya pengantar makanan
atau penjemput penumpang; mereka adalah bagian vital dari ekosistem keseharian
kita. Jika mereka terluka, sesungguhnya yang terluka adalah denyut kehidupan
kota itu sendiri.
Oleh
karena itu, dalam setiap peristiwa politik atau sosial, kelompok masyarakat
yang lemah posisinya justru harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai mereka
menjadi pihak
Persatuan sebagai Pondasi Kerukunan
Bangsa
ini pernah melewati masa sulit yang lebih besar. Krisis ekonomi 1998 misalnya,
mengguncang sendi kehidupan rakyat. Namun Indonesia bisa bangkit karena rakyat
tidak kehilangan pegangan utama: semangat persatuan. Gotong royong antarwarga,
solidaritas komunitas, dan rasa kebersamaan menolong bangsa ini melewati badai.
Kini,
di tengah gejolak demo dan kerusuhan, kita perlu kembali menyalakan energi
persatuan itu. Persatuan bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan,
melainkan menegakkan kebenaran tanpa menimbulkan perpecahan. Persatuan artinya
kita mampu mengkritik dengan santun, menegur dengan kasih, dan memperbaiki
dengan cara damai.
Kerukunan
masyarakat adalah modal sosial yang tak ternilai. Bila modal ini hancur, kita
tidak hanya kehilangan rasa aman, tapi juga melemahkan daya saing bangsa.
Investor ragu menanamkan modal, ekonomi tersendat, dan pembangunan terhambat.
Karena itu, menjaga kerukunan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan juga
strategi ekonomi dan politik jangka panjang.
Menumbuhkan Empati dan Dialog
Pertama,
empati. Para wakil rakyat perlu berempati pada masyarakat yang kecewa. Mereka
harus hadir secara nyata, tidak hanya saat kampanye. Empati juga perlu dari
rakyat kepada aparat yang bekerja di lapangan; mereka manusia biasa yang juga
punya keluarga dan risiko. Begitu juga, masyarakat luas harus berempati kepada
kelompok rentan seperti pengemudi ojol yang terdampak.
Kedua,
dialog. Dialog yang sejati bukan sekadar formalitas dalam ruang rapat, melainkan
mendengarkan dengan hati. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog yang
inklusif, menghadirkan semua elemen, termasuk kelompok yang paling sering
terpinggirkan. Dialog ini harus menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan
kebijakan publik.
Bangsa
ini terlalu besar untuk diselamatkan oleh satu pihak saja. Kita memerlukan
kerja kolektif seluruh elemen. Bagi rakyat, mari menyampaikan aspirasi dengan
damai, bijak dalam bereaksi, dan tetap menjaga martabat bangsa. Bagi DPR, saatnya kembali ke nurani,
meninggalkan arogansi, dan benar-benar mendengar suara rakyat. Bagi pemerintah
dan aparat, keadilan dan proporsionalitas harus menjadi pegangan dalam setiap
tindakan. Jangan biarkan masyarakat kecil semakin terhimpit. Bagi kelompok
pekerja seperti ojol, jangan merasa sendirian. Kehadiran komunitas, dukungan
masyarakat, dan perhatian kebijakan harus diperjuangkan untuk mereka. Bagi
media, berperanlah sebagai penyampai kebenaran, bukan pemantik provokasi. Media
bisa menjadi ruang edukasi damai bagi publik.Ketika semua lapisan saling
merangkul, kita bisa memutus rantai saling curiga yang selama ini memperlebar
jurang perpecahan.
Dari
Konflik Menuju Rekonsiliasi Sosial
Bangsa
yang besar bukan bangsa yang tidak pernah konflik, tetapi bangsa yang mampu
mengubah konflik menjadi rekonsiliasi. Kita harus berani melangkah lebih jauh
dari sekadar menahan amarah. Kita harus mengubah energi amarah itu menjadi
energi perubahan sosial yang positif.
Rekonsiliasi sosial bukan berarti melupakan peristiwa, melainkan mengingatnya dengan cara yang sehat. Ia adalah proses kolektif untuk berkata: "Ya, kita pernah berbeda, kita pernah marah, tetapi kita memilih untuk melanjutkan perjalanan bersama". Rekonsiliasi inilah yang akan memastikan bahwa anak cucu kita tidak mewarisi luka, melainkan warisan berupa kedewasaan berdemokrasi.
Indonesia tidak sendirian menghadapi ujian sosial-politik seperti demonstrasi dan kerusuhan. Sejumlah negara lain menjadi pelajaran penting tentang betapa mahalnya harga sebuah konflik sosial bila tidak dikelola dengan baik. Kita bisa melihat Suriah, misalnya. Demonstrasi yang awalnya hanya menyuarakan tuntutan keadilan berubah menjadi perang saudara berkepanjangan. Akibatnya, jutaan rakyat mengungsi, ribuan kota hancur, dan ekonomi nasional runtuh. Semua itu berawal dari ketidakmampuan elite dan masyarakat untuk membangun dialog dan menjaga kerukunan.
Contoh lainnya adalah Sri Lanka. Ketika krisis ekonomi menghantam, rakyat melakukan protes besar-besaran. Alih-alih merangkul dan mendengarkan, pemerintah saat itu merespons dengan cara represif. Akhirnya, protes berubah menjadi kerusuhan yang menjatuhkan rezim. Negara itu butuh bertahun-tahun untuk kembali pulih. Kita juga bisa belajar dari Venezuela, di mana ketidakpuasan terhadap pemerintah dan DPR yang dianggap tidak mewakili rakyat menimbulkan krisis legitimasi. Aksi protes yang awalnya damai berubah menjadi konflik sosial yang melumpuhkan ekonomi nasional. Negara yang kaya minyak itu justru mengalami kemiskinan masif akibat hilangnya kepercayaan sosial.
Dari
contoh-contoh tersebut, pelajaran paling penting adalah bahwa konflik sosial
yang tidak direspons dengan empati dan dialog bisa membawa negara pada
keterpurukan. Indonesia harus belajar agar tidak terjebak dalam jalan yang
sama. Kita memiliki kearifan lokal berupa musyawarah mufakat, gotong royong,
dan budaya kekeluargaan yang seharusnya menjadi benteng kuat mencegah
disintegrasi.
Kerukunan Bukan Sekedar Wacana Moral
Indonesia
memiliki sejumlah fakta empirik yang bisa menjadi bahan renungan bersama. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan
publik terhadap DPR hanya berkisar 49 persen. Angka ini termasuk rendah bila
dibandingkan dengan lembaga lain seperti TNI atau Presiden yang berada di atas
70 persen. Rendahnya kepercayaan publik ini menjadi indikator adanya jurang
antara aspirasi rakyat dengan perilaku sebagian elite politik.
Badan
Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat lebih
dari 2.600 peristiwa konflik sosial di berbagai daerah, baik dalam bentuk
demonstrasi, bentrokan antarwarga, maupun gesekan antara masyarakat dengan
aparat. Angka ini meningkat sekitar 12 persen dibanding tahun sebelumnya,
menandakan adanya ketegangan sosial yang perlu segera direspon dengan bijak.
Sementara
itu, data Polri menyebutkan bahwa demonstrasi yang berujung ricuh sebagian
besar dipicu oleh isu ketidakadilan ekonomi, kebijakan publik yang tidak
populer, dan lemahnya komunikasi antara wakil rakyat dengan masyarakat. Data
ini selaras dengan temuan akademik bahwa ketidakpuasan publik cenderung
melahirkan aksi jalanan ketika saluran formal aspirasi dianggap buntu.
Data-data
ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa menjaga persatuan dan kerukunan bukan
sekadar wacana moral, melainkan kebutuhan nyata yang sangat mendesak. Bila
angka ketidakpercayaan dan konflik sosial ini tidak ditekan, Indonesia
berpotensi menghadapi krisis kepercayaan yang serius terhadap institusi
demokrasi. Di titik inilah pentingnya semua pihak menurunkan ego dan lebih
mengutamakan kepentingan bangsa.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih jalan perpecahan yang hanya akan membawa keterpurukan, atau jalan persatuan yang akan membuka masa depan cerah. Demo dan kerusuhan hanyalah gejala; yang lebih penting adalah bagaimana kita menanggapi gejala itu. Mari kita kembali pada semangat gotong royong, saling menghormati, dan musyawarah mufakat. Mari kita rawat persatuan sebagai warisan para pendiri bangsa. Mari kita jaga kerukunan sebagai napas kehidupan berbangsa. Karena pada akhirnya, tidak ada kemenangan sejati bila yang kalah adalah bangsa sendiri. Yang kita butuhkan bukan sekadar kemenangan kelompok, melainkan kemenangan Indonesia.
Dr. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, KPDDP Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar