LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN DUA HATI YANG TAK LAGI SATU

Perempuan itu menuliskan hidupnya. Tintanya air mata, jeluangnya serpihan hati. Merangkai diksi dengan hati-hati. Penuh arti namun tetap tersembunyi. Perempuan itu tahu, tak mungkin bebas dari terungku. Tidak saat ini, disaat masih memperjuangkan buah hati. Entah nanti, meski dia tahu mungkin itu artinya mati. Perempuan itu lelah. Perjalanan melelahkan ini tak pernah terangan-angan olehnya. Namun semua  sudah tertulis, tiada daya kecuali berprasangka baik bahwa inilah yang terbaik. Perempuan itu juga sadar, dirinya tangguh, harus begitu. Tak boleh luluh. Tidak saat ini, saat cita-cita hampir diraih.

***

Di sudut lain kota, hanya berjarak sekian depa, lelaki ini terlucuti. Membaca cerita yang penuh drama. Seolah tak nyata namun penuh fakta. Ada tawa di sana, banyak juga air mata. Bagai piala, berpindah-pindah di tangan sang jawara. Lelaki ini terkadang bahagia, dirinya bukan satu-satunya. Tapi kisah-kisah itu memaksa untuk percaya bahwa dia-lah penyebab semua malapetaka.

***

"Kamu tahu gak?" rajuk perempuan itu. Lelaki ini hanya menunggu, sambil tetap menjaga kehangatan tubuh. Perempuan itu bercerita tentang sang ayah kebanggaannya. Ayahnya pernah berkata dia akan kaya dan bahagia. Lelaki ini hanya tertawa. Indeed, I always remember that your ambition is to be a shopisticated woman. Perempuan merengut dan membelalakkan mata. Dia bahkan sudah lupa, apakah dia pernah punya cita-cita.

***

Hidup memang tidak semakin mudah. Jiwa-jiwa dewasa yang menentukannya. Perempuan itu terus berkutat dengan air mata, yang mungkin hanya tinggal nama, karena telah mengering sekian lama. Cinta pertama ternyata tak menjanjikan bahagia, hanya cerca dan kata-kata hina. Apakah dia salah? Cinta tak pernah salah, hati manusia yang mudah berubah.

***

Lelaki ini sudah tak mau membuka kisah lama. Dulu, dia pernah bercerita tentang hari ini. Hari ini, dia bahkan tak ingin dulu itu ada. Sudah terlalu banyak babak. Tak mungkin mengulang roman lama. Lelaki ini tetap peduli, tapi tak mungkin untuk mengasihi. Hidup harus terus bergerak, entah di persimpangan ke berapa cinta kembali bersua, atau, mungkin tidak akan pernah. Menyerah bukanlah pilihan, tapi tak bijak memperjuangkan hati yang sudah lama merdeka.

Jakarta, 30S2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar