Nama Baru Cama Cami : LOCOM... !!!

Hari pertama mahasiswa/i baru dikumpulkan untuk diberi pengarahan betul-betul menjadi hari yang penuh ketegangan. Yang pertama adalah bahwa kita ternyata belum bisa menjadi mahasiswa/i, masih calon !!! Makanya kemudian kita dipanggil ‘cama’ dan ‘cami’, calon mahasiswa dan calon mahasiswi. Untuk bisa menjadi mahasiswa/i, harus melewati dulu masa orientasi MPK (Masa Pengenalan Kampus) yang penuh dengan ‘teror’, dan waktu dikumpulkan pertama kali itu lah ‘teror’ itu dimulai…

Pantas atau Tidak Pantas ?

Sering kali saya melewati stasiun kereta baik saat berangkat kantor, pulang kerja, jalan bersama dengan keluarga naik kereta (emang gak ada kendaraan ? - saat itu sensasi naik kereta lebih menyenangkan) atau hanya untuk memenuhi perintah atasan melalui diklat dan ijin lainnya.

Stasiun saat ini, berbeda dengan stasiun sebelum masa kepemimpinan Ignasius Jonan. Masyarakat dirubah cara pandangnya terhadap stasiun. Kalau dulu stasiun terkesan kumuh, tidak teratur, jorok, tidak nyaman, tidak aman, dan banyak hal negatif lainnya. Namun pak Ignasius Jonan telah merubah paradigma atau stigma itu. Saat ini stasiun itu lebih teratur (tidak semrawut), tertib, rapih, bersih, nyaman dan aman. Bahkan kalau pun harus keliling Jabodetabek dari stasiun ke stasiun, cukup enak dan nyaman sepanjang tidak melakukan tap out dari barier gate nya. Arena food court dekat stasiun juga lumayan enak.

Namun ada hal aneh yang belum bisa berubah dari masyarakat kita meskipun sudah melek dengan gawai atau gadget. Pernahkah melihat tempat duduk di stasiun yang bertuliskan frasa "tempat duduk prioritas" Jika pernah melihat, seharusnya penumpang yang menggunakan gawai seharusnya bisa membaca tanda dari frasa dimaksud. Frasa "tempat duduk prioritas" itu hanya diperuntukan bagi penumpang lansia, wanita membawa balita, disabilitas, wanita hamil. Frasa ini juga berlaku di setiap gerbong kereta commuter line di seluruh Jabodetabek tanpa kecuali. Namun dari 4 jenis penumpang yang paling banyak menggunakan "tempat duduk prioritas" ini adalah wanita hamil bukan pria hamil ya ? (maaf bukan menghina pria prenagen). Berkaca atas kejadian di setiap gerbong, dimana para penumpang sudah paham, namun berbeda perlakuan dan sikap saat di setiap stasiun. Karena frasa "tempat duduk prioritas" di stasiun tidak berlaku untuk para penumpang prioritas itu. Kursi prioritas di stasiun tidak berlaku untuk penumpang penumpang lansia, wanita membawa balita, disabilitas, wanita hamil melainkan olahragwan, orang sehat, orang yang pegang gawai dan notebook, orang yang pakai dasi, orang yang mengerti baca dan tulis, orang yang mampu segala nya. Saya tergelitik mengangkat hal ini karena meskipun stasiun dan fasilitas kereta sudah berubah, ternyata merubah habit dan paradigma juga tidak serta merta merubah pola pikir setiap orang yang terkadang sudah canggih dan pandai baca dengan beberapa gawai di tangan. Jadi pertanyaannya adalah pantas atau tidak pantas mereka duduk di kursi prioritas itu ? Terlepas apakah kursi itu ada orangnya atau tidak, dan jika ada orangnya lantas kita langsung beranjak dari tempat duduk. Saya jarang melihat orang yang langsung beranjak dari tempat duduk meski orang yang dianggap prioritas itu ada di sekitarnya.  

Saya cuma ingin berbagi bahwa kemajuan dan ketertiban dari sebuah fasilitas publik perlu juga ada sedikit edukasi untuk para penumpang yang memang tidak beruntung atau yang diprioritaskan agar tetap menjadi penumpang yang diprioritaskan.

Salam selalu

sumber:https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Mimpi dan Kenyataan

Haga Kyrkogata, October 2013  (foto: koleksi pribadi)


Sewaktu kecil, mimpi saya adalah menjadi ibu rumah tangga. Belajar memasak, menghias rumah, menunggu suami pulang sambil bercengkerama dengan anak-anak yang manis dan menyenangkan di rumah.  Apa daya sampai usia melewati kepala tiga, saya belum mendapatkan jodoh. Dan tentu saja banyak hal yang terjadi sejak impian masa kecil saya sampai menginjak usia dewasa. Kalau boleh jujur, apa yang terjadi sepanjang hidup ini banyak yang tidak sinkron dengan karakter asli saya. Namun demikian, bukan berarti saya tidak menikmatinya ... dan mensyukurinya. 

Selama lebih dari 10 tahun, saya adalah wanita karir, dengan lingkungan pekerjaan yang sangat maskulin. Bila saya hanya mengikuti naik-turunnya perasaan, mungkin dunia karir sudah saya tinggalkan sejak lama. Ini adalah tantangan untuk seorang introvert yang cita-cita mulanya adalah ibu rumah tangga, setelah mentok menyadari bahwa bolak-balik ke planetarium tidak serta-merta menjadikan saya sebagai astronot. Ketika akhirnya saya menemukan jodoh, dia adalah seseorang yang berkata, "aku tidak bisa membayangkan punya istri yang tidak bekerja." Sosok yang sama yang mendukung saya untuk bersekolah di luar negeri. Saat ini kami hidup terpisah 15.000 kilometer jauhnya, dan ini adalah keputusan kami juga, setelah diskusi serius di warung pecel lele, ketika saya berkata, "bagaimana dengan kita?" ... dia hanya berkata, kira-kira seperti ini "ini zaman modern dan teknologi sudah semakin canggih". Entah apa maksudnya.

Jadilah saya mengembangkan sayap, dan terdampar di Swedia. Dalam kurun tiga bulan pertama, sudah lumayan pahit manisnya yang saya rasakan.  Dari hidup menumpang di rumah teman, melamar ratusan apartemen sampai akhirnya mendapatkan tempat 5 bulan kemudian, atau pengalaman kehilangan dompet dan mengantri di kantor polisi sampai jam 9 malam di area yang tidak saya kenal. Ketika tiba waktunya liburan musim dingin dan kami mampir di Austria dan Republik Ceko selama seminggu, saya harus menerima kenyataan jebloknya nilai ujian dan menyadari bahwa semestinya saya menggunakan waktu itu untuk belajar. Pengalaman yang mirip terjadi lagi 8 bulan kemudian, namun waktu itu karena saya terlalu berkabung dengan kehilangan ayah saya sehingga tidak konsentrasi ujian. Namun demikian tidak ada yang saya sesali. Nilai akademik sangat memuaskan juga tidak jarang saya dapatkan, dan yang terpenting adalah kekayaan non-materi berupa beragam pengalaman hidup.

Tujuan semula adalah sederhana yaitu menuntut ilmu. Yang saya temukan, bertambahnya kenalan, teman, dan di antaranya ada yang terasa dekat seperti keluarga sendiri. Saya menikmati keterasingan, menjadi orang asing, di negeri yang asing ... bukan karena segalanya terasa lebih mudah dan nikmat dibanding negeri sendiri. Tidak jarang juga ada hal-hal sederhana yang saya rindukan tentang Indonesia ... terutama sebagai anak Jakarta yang bisa senyum-senyum sendiri mendengar bahasa slank semacam "yo, ma men", "mas bro" "sumpeh lo" "buset dah" atau "pala loe bau jengkol".

Menjadi orang asing artinya memulai semua dari nol. Di dalam ketidakberdayaan dan gegar budaya, saya menemukan sisi lain dari diri sendiri yang belum disadari selama ini. Uniknya, kita lebih sering berusaha sebaik mungkin ketika menyadari bahwa kita tidak punya apa-apa untuk ditawarkan selain menjadi diri sendiri.  Ketika memberanikan diri untuk pertama kalinya naik kendaraan umum, pergi ke pasar, atau berjalan kaki sendirian di negeri orang, di situlah kesempatan bagi saya untuk berinteraksi dengan orang lain yang tidak tahu (atau bahkan tidak peduli) dengan masa lalu saya. Percakapan pertama saya dengan penduduk asli Swedia bukan terjadi di ruang tamu yang aman dan nyaman ... akan tetapi bermula di bangku taman ketika karakter Indonesia saya keluar dengan menawarkan sepotong cokelat untuk dibagi dengan ibu-ibu yang duduk termenung di sebelah saya. Dalam hitungan menit, dia juga berbagi keluhan mengenai penyakit dan kesehatannya.  Bukan berarti perilaku ini selalu bermanfaat, sebab saya pernah menyia-nyiakan waktu mendengarkan filosofi seseorang di bangku stasiun kereta api Serpong sebelum teman memberitahu saya bahwa orang ini tidak waras.

Di sisi lain, keterbiasaan membuat kita menganggap semuanya sebagai keharusan. Pasangan harus mencintai kita. Orangtua harus mengerti kita. Anak-anak harus menghormati kita. Teman harus menerima kita. Presiden, bintang film, dokter, guru, atau siapa saja yang kita tahu namanya ... harus bisa membuat hidup kita lebih baik. Akan tetapi, menjadi terasing dan orang asing mengajarkan saya bahwa orang lain tidak jauh berbeda dengan diri kita sendiri. Tidaklah nasib kita berubah, sebelum kita merubahnya sendiri. Dengan bersikap baik, dan membawakan diri dengan baik seolah-olah ini adalah waktu terakhir kita di dunia ... siapa tahu kejutan apa yang menanti di lembaran baru kisah hidup kita di masa depan.

Gothenburg, 9 Februari 2015

Pencapaian...Pemahaman...Titik Akhir Suatu Perjalanan

Suatu pagi, disaat 'kesibukan' rutin keluarga, tiba-tiba si Adek (panggilan kami buat si bungsu) mengambil kuas make-up mami-nya dan menjadikannya semacam 'mic'. Dengan 'mic' tersebut adek berlagak sebagai wartawati mewawancarai saya;
Adek: "Nama bapak siapa?"
Saya: "Indra"
Adek: "Hobi Pak Indra apa?"
Saya: "Taekwondo"
Adek: "Wow...interesting, sabuk apa?"
Saya: "Sabuk merah"
Adek: "Kan sudah lama latihannya, kok nggak sabuk hitam?"
Saya: "Papi emang gak mau dek"
Adek: (sambil ngeloyor pergi) "ah gak selesai itu namanya"

Transformasi Bukan Roda Besi

Ide untuk "menghidupkan" Pojok Transformasi oleh para Duta Transformasi DJA patut diacungi jempol. Bagaimana tidak? Pojok Transformasi yang berlokasi di salah satu sudut lobi gedung Sutikno Slamet tersebut selama ini "mati suri", tidak ada tanda-tanda "kehidupan". Jangankan mengundang minat orang untuk mampir melihat apa yang ada disana, keberadaannya pun mungkin diabaikan. Makanya ketika salah satu Duta mem-posting undangan "mampir ngopi dan diskusi" di Pojok Transformasi, saya sempatkan mampir. Rugi kalau tidak hehehe, pertama karena 75% dari duta transformasi tersebut adalah wanita cantik, yang kedua karena ada kopi gratis hahaha.

Hijaukan mata, tenggelamkan warga

Coba perhatikan rumah kita, komplek atau cluster perumahan kita, seberapa banyak kita menemukan pohon dan rerumputan di sana?. Masih seringkah kita mendengar suara burung berkicau yang hinggap di ranting-ranting pohon seputar tempat tinggal kita? Alhamdulillah kalau masih banyak hijau-hijaunya, kalau masih ada suara burungnya. Mungkin ada yang berpendapat wajar karena kita kan hidup di Ibukota ataupun pinggiran kota yang terimbas pesatnya pembangunan Ibukota. Kalau mau lihat hijau-hijau atau mau mendengar suara burung berkicau, ya pergilah ke desa.

Shalat itu boleh di langgar

Kalimat di atas tentu akan mengagetkan banyak orang karena dalam tradisi keberagamaan tidak mengenal istilah 'langgar'. Dalam ungkapan lisan memang ini cukup menarik karena terdengar tanpa beda antara 'di' yang dipisah dengan 'langgar' yang menunjukkan keterangan tempat dan 'di' yang digabung dengan kata 'langgar' yang menunjukkan kata kerja.

Mabuk Durian : Mitos atau Fakta ?

Durian selalu menjadi topik menarik karena rasanya yang sanggup memberi sensasi hebat bagi para penikmatnya. Buah ini sangat pupoler terutama pada saat musimnya, bahkan saking populernya tak jarang kita temukan kata durian ini di beberapa peribahasa kita.