Book Review: “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” karya Idrus (1948)
Bang Toyib
Bang Toyib...
Usah gundah, wahai sahabat karib,
Sudah lumrah dan memang galib,
Dalam hidup ada saja si paling ajaib,
Yang lupa kalau roda nasib,
Kadang berputar dan membawa semua raib
Satu persatu tersingkaplah aib,
Terbuka jelas, tak lagi gaib
(celetukan menjelang Maghrib, 211125)
Prasangka
Prasangka ,
Kadang makin tanak
Ketika kita membuat jarak
Kadang pelahan hilang
Seusai sedikit bincang
Kadang kian mereda
Setelah bicara terbuka
Maka,
Seandai tak bisa
Tak berprasangka
Lekaslah berbincang atau bicara
Sebelum semua membuncah jadi prahara
Satu Hari di Bulan Oktober
dalam ringkuk kepada Tuhan maaf aku lancang menyebut nama lengkapmu
doaku bersajak semata merayu-Nya agar kali ini saja takdir berpihak kepadaku
bukan aku memaksa, hanya saja seumur hidup aku mau lihat lesung pipimu.
entah nanti kau seatap dengan siapa
ah, kuharap itu denganku.
entah nanti kau sebut namaku dengan lantang dalam jabat tangan ayahku
atau malah kau revisi sumpahmu malam itu kepadaku
ah, mungkin hanya Tuhan yang tahu.
aku terbiasa jalani duniaku dalam hitam-putih dunia
tak banyak warna sampai kamu ada
aku diam sebentar sadar kamulah mahakarya-Nya.
sepucuk doa menjawab kegelisahanmu dari pembicaraan yang selalu kuhindarkan
menepis ketakutanku akan sebuah ikatan
sehingga kita tak harus lagi berjalan di tempat
yakin hati sudah kutempatkan pada orang yang tepat.
jika tulisan ini sampai di ponselmu suatu hari…
kau mungkin sadar bercandaku kali ini menjauh, semata-mata agar seriusku kau ketahui
karena tak kan ada langkah mundur untukmu
apa yang membuat kita bisa bersama, maka segera itu dalam persiapanku.
-y-
Kinerja Ekonomi Indonesia per September 2025
27 Oktober 2025
Kinerja Ekonomi Indonesia
Hingga 30 September 2025, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia menunjukkan kondisi fiskal yang sehat dan terkendali. Pendapatan negara mencapai Rp1.863,3 Triliun, sebagian besar didukung oleh Penerimaan Pajak dan PNBP. Di sisi belanja, total realisasi mencapai Rp2.234,8 Triliun, dengan alokasi terbesar untuk Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Keseimbangan antara pendapatan dan belanja menghasilkan Defisit APBN yang rendah, yaitu Rp371,5 Triliun ($1,56\%$ dari PDB), dan Keseimbangan Primer yang surplus sebesar Rp18,0 Triliun. Ini mencerminkan pengelolaan keuangan negara yang hati-hati dan menjadi fondasi kuat untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global.
Kekuatan
ekonomi domestik tercermin dari aktivitas masyarakat dan dunia usaha yang tetap
ekspansif. Tren penjualan ritel dan
Indeks Aktivitas Manufaktur Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan positif,
ditopang oleh tingginya proporsi belanja Konsumsi
Masyarakat ($75,1\%$). Pertumbuhan ini juga didukung oleh sektor bisnis dan
industri, yang tercermin dari kenaikan positif pada konsumsi listrik mereka.
Sementara di tingkat global, Neraca Perdagangan Indonesia tetap tangguh, mencatatkan
surplus kumulatif USD46,1 Miliar
berkat kontribusi besar dari sektor Non Migas, membuktikan daya saing produk
ekspor nasional di pasar internasional. Pemerintah juga turut mendukung
likuiditas ekonomi dengan menyalurkan dana sebesar Rp112,4 Triliun melalui
perbankan untuk realisasi kredit.
Sebagai inspirasi bagi kegiatan
ekonomi sehari-hari, data ini menyajikan sinyal
optimisme yang kuat: fondasi negara solid dan permintaan domestik bergairah.
Masyarakat diimbau untuk melanjutkan
konsumsi yang bijak dan berorientasi pada produk lokal untuk menjaga
momentum pertumbuhan. Bagi individu, momen ini ideal untuk meningkatkan disiplin keuangan, yakni menyeimbangkan antara
aktivitas konsumsi dengan penguatan Tabungan ($13,7\%$) dan investasi.
Sementara bagi pelaku usaha, sinyal ekspansi ini adalah peluang untuk memanfaatkan dukungan kredit perbankan
untuk ekspansi dan inovasi, memastikan partisipasi aktif dalam roda
perekonomian nasional yang tengah bergerak positif. 🇮🇩
Saya Menulis, Karena Saya Belum Selesai Bodohnya
Saya menulis,
bukan karena tahu semua jawaban,
tetapi karena pertanyaan masih menempel
di dinding kepala,
bergaung seperti gema yang enggan padam.
Saya menulis,
sebab kebodohan saya bukan akhir,
ia hanya jalan lengang
yang menuntut langkah,
sebuah kesalahan yang menuntut koreksi,
sebuah ketidaktahuan yang memohon cahaya.
Saya menulis,
karena di setiap kata ada kemungkinan,
di setiap kalimat ada celah belajar,
dan di setiap salah eja,
ada pintu menuju pengertian baru.
Saya menulis,
karena saya masih bodoh,
dan mungkin akan selalu bodoh,
tapi di antara huruf-huruf ini,
saya belajar mencintai kebodohan saya,
sebagai alasan untuk terus mencari,
sebagai alasan untuk tidak berhenti
Jadi, jangan kira saya menulis karena sudah sampai.
Saya menulis karena saya masih berjalan.
Saya menulis karena saya masih bodoh,
dan barangkali akan terus begitu.
Tapi biarlah,
selama tinta ini mengalir,
kebodohan saya tidak diam,
ia terus belajar,
ia terus mencari,
ia terus menulis.
Dr. M. Lucky Akbar, KPDDP Jambi
Gebrakan Danantara dan Koperasi Desa Merah Putih dalam Menggedor Pertumbuhan Ekonomi
Mencari Arah Baru Pertumbuhan Ekonomi
Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan ekonomi nasional
Indonesia banyak bertumpu pada sektor-sektor perkotaan dan industri berskala
besar. Namun, realitas menunjukkan bahwa lebih dari 40% penduduk Indonesia
tinggal di perdesaan, dengan sektor pertanian, perikanan, dan UMKM menjadi
tulang punggung ekonomi lokal. Ketimpangan pembangunan antara kota dan desa
menjadi perhatian besar, dan upaya untuk meratakan akses terhadap sumber daya
ekonomi mulai menunjukkan gejala positif. Salah satu terobosan menarik yang
muncul dalam konteks ini adalah hadirnya dua inisiatif strategis: Danantara dan
Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih.
Keduanya tidak sekadar proyek pemberdayaan, melainkan
ekosistem terintegrasi yang memadukan
teknologi digital, kelembagaan gotong‑royong, dan investasi berbasis komunitas.
Makalah ini mengeksplorasi desain, capaian, serta tantangan keduanya, seraya
menakar prospek mereka sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi inklusif di era
transformasi digital.
Danantara: Menjembatani Digitalisasi dan Kedaulatan Ekonomi Desa
Danantara, yang merupakan singkatan dari "Dana
Nusantara Raya", adalah inisiatif keuangan digital inklusif yang berbasis
pada teknologi blockchain dan terhubung langsung dengan ekosistem digital desa.
Dirancang sebagai platform teknologi untuk mempercepat literasi keuangan dan
pembangunan infrastruktur digital desa, Danantara menawarkan solusi inovatif
terhadap keterbatasan akses modal, perbankan, dan investasi produktif di
wilayah-wilayah tertinggal.
Model bisnis Danantara didasarkan pada prinsip “desa sebagai
pusat inovasi ekonomi”. Melalui sistem e-wallet lokal, token digital berbasis
aset produktif, serta integrasi dengan produk-produk UMKM, Danantara mampu
mendorong perputaran ekonomi lokal tanpa harus menunggu intervensi dari pusat.
Salah satu pilot project-nya di Kabupaten Gunungkidul berhasil meningkatkan
volume transaksi ekonomi lokal sebesar 35% dalam waktu satu tahun, sekaligus
memperluas pasar produk lokal ke luar pulau.
Lebih jauh, Danantara juga menghubungkan para pelaku ekonomi
desa dengan investor diaspora dan filantropi melalui platform crowdfunding
berbasis proyek desa. Proyek-proyek seperti pembangunan irigasi mikro,
pengembangan rumah produksi, dan sekolah vokasi desa kini bisa dibiayai secara
mandiri dan transparan. Ini bukan hanya memperkuat akuntabilitas dana
pembangunan desa, tetapi juga membentuk budaya baru: desa yang mandiri, berdaya,
dan terhubung secara digital.
Koperasi Desa Merah Putih: Katalis Ekonomi Gotong Royong
Jika Danantara bergerak di sisi teknologi dan pembiayaan,
maka Kopdes Merah Putih hadir sebagai bentuk kelembagaan rakyat berbasis
nilai gotong royong yang terorganisir. Kopdes Merah Putih adalah koperasi
multi-pihak yang menyatukan petani, nelayan, pelaku UMKM, pemuda desa, dan
perangkat desa dalam satu wadah produksi, distribusi, dan pemasaran bersama.
Berikutnya Kopdes Merah Putih juga berfungsi sebagai agregator
produk desa baik dari sisi hulu (bahan baku) maupun hilir (produk olahan dan
jasa). Dengan pendekatan koperasi modern, Kopdes Merah Putih menyelenggarakan
pelatihan manajemen keuangan, pendampingan produksi, hingga sertifikasi halal
dan izin edar BPOM. Lebih dari itu, Kopdes Merah Putih secara strategis bekerja
sama dengan platform e-commerce dan logistik nasional untuk membuka jalur
distribusi produk ke pasar nasional dan bahkan ekspor.
Salah satu kisah sukses Kopdes Merah Putih misalnya pada di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana Kopdes Merah Putih menggandeng petani
kelor dan pengrajin tenun untuk membentuk entitas bisnis berbasis koperasi
dengan sistem bagi hasil adil. Dalam kurun dua tahun, nilai ekspor kelor olahan
dari koperasi ini meningkat 300%, dan lebih dari 120 rumah tangga petani
berhasil keluar dari kemiskinan ekstrem.
Melalui skema kepemilikan bersama, setiap anggota koperasi
tidak hanya berperan sebagai produsen, tetapi juga sebagai pemilik dari usaha
itu sendiri. Model ini terbukti efektif dalam meningkatkan kesejahteraan
anggota, menumbuhkan loyalitas produksi, dan memperkuat daya tawar desa
terhadap pasar.
Kolaborasi Strategis Danantara dan Kopdes Merah Putih
Keberhasilan kedua inisiatif ini tidak terlepas dari sinergi
yang terbangun antara teknologi dan kelembagaan rakyat. Integrasi Danantara dan
Kopdes Merah Putih menciptakan ekosistem ekonomi desa yang saling mendukung:
Dana digital dari Danantara dapat digunakan oleh anggota koperasi untuk membantu
permodalan usaha mikro, sedangkan Kopdes Merah Putih menyediakan produk riil
dan jaringan komunitas bagi transaksi di ekosistem Danantara.
Salah satu contoh kolaborasi konkret adalah pengembangan “Desa
Pintar”, di mana sistem pembukuan koperasi diintegrasikan dengan blockchain
Danantara untuk memastikan transparansi transaksi dan efisiensi manajemen
keuangan. Desa-desa yang tergabung dalam program ini menunjukkan peningkatan
PDRB desa rata-rata sebesar 20% dalam dua tahun terakhir.
Bahkan, kolaborasi ini telah dilirik oleh pemerintah pusat
sebagai model percontohan pembangunan ekonomi berbasis desa dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Beberapa pemerintah
daerah juga mulai mengadopsi pendekatan serupa, termasuk integrasi aplikasi
Danantara ke dalam sistem informasi desa (SID) dan penguatan koperasi sebagai
bagian dari strategi pengentasan kemiskinan struktural.
Dampak ekonomi dari gebrakan Danantara dan Kopdes Merah
Putih setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek: (1) peningkatan nilai tambah
produk lokal, (2) peningkatan daya serap tenaga kerja desa, dan (3)
diversifikasi sumber pendapatan masyarakat. Dalam laporan evaluasi independen
tahun 2024 yang dilakukan oleh LPEM UI, disebutkan bahwa rata-rata pendapatan
rumah tangga peserta program meningkat hingga 37% dalam kurun dua tahun.
Selain itu, aspek inklusi keuangan juga mengalami lonjakan.
Lebih dari 40 ribu kepala keluarga yang sebelumnya unbankable kini memiliki
akun keuangan digital Danantara yang dapat digunakan untuk menabung, menerima
dana program, hingga melakukan investasi mikro. Di sisi lain, koperasi desa
yang tergabung dalam jaringan Kopdes Merah Putih menunjukkan pertumbuhan aset
rata-rata 18% per tahun dan mulai merambah bisnis lintas desa seperti
pengolahan pangan, agroeduwisata, dan transportasi lokal.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Isu literasi digital,
keterbatasan infrastruktur, dan regulasi yang belum sepenuhnya adaptif menjadi
pekerjaan rumah besar yang harus segera dituntaskan. Untuk itu, diperlukan
dukungan berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah, serta kemitraan aktif
dengan sektor swasta dan akademisi untuk memperkuat kapasitas kelembagaan desa.
Desa Bukan Lagi Objek, Melainkan Subjek Pertumbuhan
Gebrakan Danantara dan Koperasi Desa Merah Putih adalah
bukti bahwa transformasi ekonomi nasional bisa dimulai dari desa. Dengan
pendekatan berbasis teknologi dan kelembagaan rakyat, desa-desa di Indonesia
kini mulai menapaki peran baru: bukan sekadar penerima program, tetapi sebagai
penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Momentum ini harus dijaga dan diperluas. Karena ketika desa
maju, Indonesia pun akan tumbuh dari akarnya. Danantara dan Kopdes Merah Putih telah
membuktikan bahwa kemandirian ekonomi tidaklah utopia, melainkan hasil dari
kerja bersama, strategi tepat, dan semangat gotong royong yang menjadi jati
diri bangsa.
Dr. Lucky Akbar, KPDDP Jambi
Rekonsiliasi Nasional Demi Menjaga Kerukunan dan Stabilitas
Gelombang protes dan demonstrasi yang belakangan terjadi di berbagai wilayah tanah air merupakan tanda bahwa bangsa ini sedang diuji. Rasa ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap sikap sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap arogan dalam merespons aspirasi publik telah memunculkan ketegangan. Apalagi, dalam peristiwa kerusuhan beberapa waktu lalu, terlihat adanya lapisan masyarakat seperti para pengemudi ojek online (ojol) yang justru menjadi korban terpinggirkan. Mereka terjebak di antara dinamika politik, aspirasi rakyat, dan tindakan aparat di lapangan.
Namun,
di tengah situasi ini, ada satu hal yang harus kita jaga bersama: persatuan dan
kerukunan masyarakat Indonesia. Bangsa ini berdiri kokoh bukan hanya karena
kesamaan bahasa, tanah air, dan sejarah perjuangan, tetapi juga karena semangat
persaudaraan yang menembus sekat perbedaan. Bila persatuan runtuh, maka peluang
keluar dari krisis akan semakin tipis.
Tulisan
ini bukan untuk menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain. Justru
sebaliknya, tulisan ini hendak mengajak kita semua—baik rakyat, wakil rakyat,
pemerintah, komunitas ojol, maupun kelompok masyarakat lain—untuk menurunkan
tensi emosi, saling memahami, dan kembali kepada cita-cita besar: menjaga
keutuhan bangsa.
Luka
Kolektif yang Perlu Diobati
Setiap
kerusuhan meninggalkan luka. Luka bagi masyarakat yang merasa suaranya
diabaikan. Luka bagi aparat yang dituduh represif, meski sebagian dari mereka
hanya menjalankan tugas. Luka bagi anggota dewan yang merasa citranya
digeneralisasi buruk, meski ada juga yang tulus memperjuangkan rakyat. Dan
tentu, luka bagi para pekerja lapangan seperti pengemudi ojol, pedagang kecil,
atau buruh harian yang harus menanggung kerugian tanpa tahu bagaimana awal mula
masalahnya.
Luka-luka
ini bila dibiarkan akan berubah menjadi dendam. Dendam itu berbahaya, karena
bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia bisa menyuburkan
siklus kebencian yang tiada akhir. Sejarah bangsa kita, maupun bangsa lain,
menunjukkan bahwa dendam sosial adalah api yang membakar peradaban. Maka,
sebelum luka itu menjadi busuk, kita harus bersama-sama mengobatinya dengan
pendekatan persaudaraan dan musyawarah.
Indonesia
adalah negara demokrasi. Demokrasi mengandaikan bahwa suara rakyat didengar,
diakomodasi, dan dihormati. Namun demokrasi juga menuntut kesabaran, karena
tidak semua aspirasi dapat diwujudkan sekaligus. Persoalannya, ketika ada jarak
yang terlalu lebar antara harapan rakyat dengan sikap para wakilnya, muncul
rasa ditinggalkan.
Kasus
arogansi sebagian anggota dewan yang enggan mendengar masukan masyarakat adalah
alarm keras. Aspirasi rakyat bukan sekadar formalitas; ia adalah inti dari
mandat konstitusional. Para wakil rakyat perlu kembali merenungkan mengapa
mereka ada di kursi legislatif: bukan untuk mempertebal gengsi, melainkan untuk
memperjuangkan kepentingan bersama.
Namun
rakyat pun harus mengingat bahwa menyampaikan aspirasi mesti dilakukan dengan
damai. Demo adalah hak, tapi demo juga harus menjaga martabat. Kerusuhan hanya
akan melukai sesama anak bangsa. Dalam kerusuhan, yang jatuh bukan hanya gedung
atau kendaraan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu
sendiri. Selanjutnya semua pihak harus menyadari, para pekerja informal seperti
ojol adalah penopang ekonomi perkotaan. Mereka bukan hanya pengantar makanan
atau penjemput penumpang; mereka adalah bagian vital dari ekosistem keseharian
kita. Jika mereka terluka, sesungguhnya yang terluka adalah denyut kehidupan
kota itu sendiri.
Oleh
karena itu, dalam setiap peristiwa politik atau sosial, kelompok masyarakat
yang lemah posisinya justru harus menjadi perhatian utama. Jangan sampai mereka
menjadi pihak
Persatuan sebagai Pondasi Kerukunan
Bangsa
ini pernah melewati masa sulit yang lebih besar. Krisis ekonomi 1998 misalnya,
mengguncang sendi kehidupan rakyat. Namun Indonesia bisa bangkit karena rakyat
tidak kehilangan pegangan utama: semangat persatuan. Gotong royong antarwarga,
solidaritas komunitas, dan rasa kebersamaan menolong bangsa ini melewati badai.
Kini,
di tengah gejolak demo dan kerusuhan, kita perlu kembali menyalakan energi
persatuan itu. Persatuan bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan,
melainkan menegakkan kebenaran tanpa menimbulkan perpecahan. Persatuan artinya
kita mampu mengkritik dengan santun, menegur dengan kasih, dan memperbaiki
dengan cara damai.
Kerukunan
masyarakat adalah modal sosial yang tak ternilai. Bila modal ini hancur, kita
tidak hanya kehilangan rasa aman, tapi juga melemahkan daya saing bangsa.
Investor ragu menanamkan modal, ekonomi tersendat, dan pembangunan terhambat.
Karena itu, menjaga kerukunan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan juga
strategi ekonomi dan politik jangka panjang.
Menumbuhkan Empati dan Dialog
Pertama,
empati. Para wakil rakyat perlu berempati pada masyarakat yang kecewa. Mereka
harus hadir secara nyata, tidak hanya saat kampanye. Empati juga perlu dari
rakyat kepada aparat yang bekerja di lapangan; mereka manusia biasa yang juga
punya keluarga dan risiko. Begitu juga, masyarakat luas harus berempati kepada
kelompok rentan seperti pengemudi ojol yang terdampak.
Kedua,
dialog. Dialog yang sejati bukan sekadar formalitas dalam ruang rapat, melainkan
mendengarkan dengan hati. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog yang
inklusif, menghadirkan semua elemen, termasuk kelompok yang paling sering
terpinggirkan. Dialog ini harus menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan
kebijakan publik.
Bangsa
ini terlalu besar untuk diselamatkan oleh satu pihak saja. Kita memerlukan
kerja kolektif seluruh elemen. Bagi rakyat, mari menyampaikan aspirasi dengan
damai, bijak dalam bereaksi, dan tetap menjaga martabat bangsa. Bagi DPR, saatnya kembali ke nurani,
meninggalkan arogansi, dan benar-benar mendengar suara rakyat. Bagi pemerintah
dan aparat, keadilan dan proporsionalitas harus menjadi pegangan dalam setiap
tindakan. Jangan biarkan masyarakat kecil semakin terhimpit. Bagi kelompok
pekerja seperti ojol, jangan merasa sendirian. Kehadiran komunitas, dukungan
masyarakat, dan perhatian kebijakan harus diperjuangkan untuk mereka. Bagi
media, berperanlah sebagai penyampai kebenaran, bukan pemantik provokasi. Media
bisa menjadi ruang edukasi damai bagi publik.Ketika semua lapisan saling
merangkul, kita bisa memutus rantai saling curiga yang selama ini memperlebar
jurang perpecahan.
Dari
Konflik Menuju Rekonsiliasi Sosial
Bangsa
yang besar bukan bangsa yang tidak pernah konflik, tetapi bangsa yang mampu
mengubah konflik menjadi rekonsiliasi. Kita harus berani melangkah lebih jauh
dari sekadar menahan amarah. Kita harus mengubah energi amarah itu menjadi
energi perubahan sosial yang positif.
Rekonsiliasi sosial bukan berarti melupakan peristiwa, melainkan mengingatnya dengan cara yang sehat. Ia adalah proses kolektif untuk berkata: "Ya, kita pernah berbeda, kita pernah marah, tetapi kita memilih untuk melanjutkan perjalanan bersama". Rekonsiliasi inilah yang akan memastikan bahwa anak cucu kita tidak mewarisi luka, melainkan warisan berupa kedewasaan berdemokrasi.
Indonesia tidak sendirian menghadapi ujian sosial-politik seperti demonstrasi dan kerusuhan. Sejumlah negara lain menjadi pelajaran penting tentang betapa mahalnya harga sebuah konflik sosial bila tidak dikelola dengan baik. Kita bisa melihat Suriah, misalnya. Demonstrasi yang awalnya hanya menyuarakan tuntutan keadilan berubah menjadi perang saudara berkepanjangan. Akibatnya, jutaan rakyat mengungsi, ribuan kota hancur, dan ekonomi nasional runtuh. Semua itu berawal dari ketidakmampuan elite dan masyarakat untuk membangun dialog dan menjaga kerukunan.
Contoh lainnya adalah Sri Lanka. Ketika krisis ekonomi menghantam, rakyat melakukan protes besar-besaran. Alih-alih merangkul dan mendengarkan, pemerintah saat itu merespons dengan cara represif. Akhirnya, protes berubah menjadi kerusuhan yang menjatuhkan rezim. Negara itu butuh bertahun-tahun untuk kembali pulih. Kita juga bisa belajar dari Venezuela, di mana ketidakpuasan terhadap pemerintah dan DPR yang dianggap tidak mewakili rakyat menimbulkan krisis legitimasi. Aksi protes yang awalnya damai berubah menjadi konflik sosial yang melumpuhkan ekonomi nasional. Negara yang kaya minyak itu justru mengalami kemiskinan masif akibat hilangnya kepercayaan sosial.
Dari
contoh-contoh tersebut, pelajaran paling penting adalah bahwa konflik sosial
yang tidak direspons dengan empati dan dialog bisa membawa negara pada
keterpurukan. Indonesia harus belajar agar tidak terjebak dalam jalan yang
sama. Kita memiliki kearifan lokal berupa musyawarah mufakat, gotong royong,
dan budaya kekeluargaan yang seharusnya menjadi benteng kuat mencegah
disintegrasi.
Kerukunan Bukan Sekedar Wacana Moral
Indonesia
memiliki sejumlah fakta empirik yang bisa menjadi bahan renungan bersama. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan
publik terhadap DPR hanya berkisar 49 persen. Angka ini termasuk rendah bila
dibandingkan dengan lembaga lain seperti TNI atau Presiden yang berada di atas
70 persen. Rendahnya kepercayaan publik ini menjadi indikator adanya jurang
antara aspirasi rakyat dengan perilaku sebagian elite politik.
Badan
Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat lebih
dari 2.600 peristiwa konflik sosial di berbagai daerah, baik dalam bentuk
demonstrasi, bentrokan antarwarga, maupun gesekan antara masyarakat dengan
aparat. Angka ini meningkat sekitar 12 persen dibanding tahun sebelumnya,
menandakan adanya ketegangan sosial yang perlu segera direspon dengan bijak.
Sementara
itu, data Polri menyebutkan bahwa demonstrasi yang berujung ricuh sebagian
besar dipicu oleh isu ketidakadilan ekonomi, kebijakan publik yang tidak
populer, dan lemahnya komunikasi antara wakil rakyat dengan masyarakat. Data
ini selaras dengan temuan akademik bahwa ketidakpuasan publik cenderung
melahirkan aksi jalanan ketika saluran formal aspirasi dianggap buntu.
Data-data
ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa menjaga persatuan dan kerukunan bukan
sekadar wacana moral, melainkan kebutuhan nyata yang sangat mendesak. Bila
angka ketidakpercayaan dan konflik sosial ini tidak ditekan, Indonesia
berpotensi menghadapi krisis kepercayaan yang serius terhadap institusi
demokrasi. Di titik inilah pentingnya semua pihak menurunkan ego dan lebih
mengutamakan kepentingan bangsa.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih jalan perpecahan yang hanya akan membawa keterpurukan, atau jalan persatuan yang akan membuka masa depan cerah. Demo dan kerusuhan hanyalah gejala; yang lebih penting adalah bagaimana kita menanggapi gejala itu. Mari kita kembali pada semangat gotong royong, saling menghormati, dan musyawarah mufakat. Mari kita rawat persatuan sebagai warisan para pendiri bangsa. Mari kita jaga kerukunan sebagai napas kehidupan berbangsa. Karena pada akhirnya, tidak ada kemenangan sejati bila yang kalah adalah bangsa sendiri. Yang kita butuhkan bukan sekadar kemenangan kelompok, melainkan kemenangan Indonesia.
Dr. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, KPDDP Jambi
Upaya Dana Desa Membangun Persada
Representasi
Keadilan fiskal
Sejak
digulirkan menjadi salah satu kebijakan keuangan negara pada tahun 2015, Dana
Desa telah menjadi simbol komitmen negara dalam mewujudkan pemerataan
pembangunan di Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, pemerintah menghadirkan skema pembiayaan langsung dari APBN ke lebih dari
75.000 desa di seluruh Indonesia. Tujuannya bukan hanya soal pembangunan fisik,
tetapi juga untuk membangun kemandirian desa sebagai pilar utama Indonesia yang
sejahtera dan inklusif.
Dana
Desa bukan sekadar alokasi anggaran, tetapi juga representasi keadilan fiskal.
Desa yang selama ini termarginalkan kini memiliki akses terhadap dana
pembangunan, yang penggunaannya ditentukan sendiri melalui musyawarah desa.
Inilah bentuk desentralisasi fiskal yang paling nyata dan menyentuh akar
rumput.
Pada
tahun anggaran 2025, pemerintah mengalokasikan Dana Desa sebesar Rp71 triliun.
Hingga 14 Juli 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa Dana Desa
yang telah dikucurkan mencapai Rp40,34 triliun atau 58,46% dari total pagu.
Sebagian besar dana ini dimanfaatkan untuk program prioritas seperti
pembangunan infrastruktur desa, pemberdayaan ekonomi lokal, dan bantuan sosial
melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa.
Untuk BLT Desa sendiri telah dialokasikan sebesar Rp1,62 triliun dari total penggunaan dan manfaatnya telah menjangkau hampir 8.000 desa. Sehingga hal ini menunjukkan bagaimana Dana Desa juga memainkan peran sebagai bantalan sosial, terutama saat desa menghadapi tekanan akibat inflasi atau ketidakpastian ekonomi global.
Ketahanan
Sosial Ekonomi
Salah
satu pilar utama pemanfaatan Dana Desa adalah pembangunan infrastruktur dasar:
jalan desa, jembatan, saluran irigasi, dan air bersih. Inilah fondasi bagi
mobilitas warga, konektivitas ekonomi, dan pemerataan layanan dasar. Selain
itu, Dana Desa juga menyasar program ketahanan sosial: mulai dari layanan
kesehatan, penguatan gizi anak, pendidikan anak usia dini, hingga pelatihan
keterampilan masyarakat. Tak sedikit desa yang telah berhasil menekan angka
stunting dan meningkatkan angka partisipasi sekolah dasar berkat pemanfaatan
Dana Desa yang tepat.
Transformasi
penting yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya
pemanfaatan Dana Desa untuk membentuk dan memperkuat Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes). Dengan mengangkat potensi local seperti pertanian, peternakan,
kerajinan, hingga desa wisata—BUMDes mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan
nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan asli desa (PADes).
Desa
Pujon Kidul di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan salah satu contoh sukses
pemanfaatan Dana Desa untuk pembangunan ekonomi produktif. Dengan menggandeng
masyarakat secara aktif, desa ini membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
yang mengelola potensi wisata lokal berupa agrowisata dan kafe sawah. Berkat
dukungan Dana Desa, mereka berhasil menyulap kawasan pertanian biasa menjadi
destinasi wisata yang menarik ribuan pengunjung setiap pekan. Pendapatan asli desa
(PADes) yang semula hanya puluhan juta rupiah per tahun, melonjak menjadi lebih
dari Rp1,5 miliar pada 2019. Pujon Kidul kini menjadi ikon desa wisata dan
kerap dijadikan lokasi studi tiru oleh desa lain di Indonesia.
Selain
Pujon Kidul, Desa Ponggok di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, juga menunjukkan
keberhasilan serupa. Melalui BUMDes Tirta Mandiri, desa ini mengelola Umbul
Ponggok yaitu sebuah mata air yang disulap menjadi tempat wisata bawah air yang
unik. Dengan dukungan Dana Desa dan partisipasi warga, pendapatan BUMDes
mencapai miliaran rupiah per tahun, dan lebih dari 80% warga desa merasakan
dampak ekonominya. Bahkan, BUMDes ini memiliki anak usaha di berbagai sektor,
mulai dari pertanian, ritel, hingga properti.
Kisah
sukses lainnya datang dari Desa Kutuh, Bali, yang dikenal dengan pengelolaan
wisata Pantai Pandawa. Dana Desa digunakan untuk membangun akses jalan dan
fasilitas publik, sehingga desa tersebut kini menghasilkan PADes hingga Rp10
miliar per tahun. Kutuh juga menunjukkan bahwa sinergi antara Dana Desa,
kearifan lokal, dan manajemen profesional mampu mengangkat desa menjadi motor
ekonomi regional.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Dana Desa bukan hanya untuk "belanja" operasional atau pembangunan fisik, melainkan juga dapat dioptimalkan sebagai instrumen investasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Tantangan
Transparansi dan Kapasitas
Di
balik capaian yang menggembirakan, tak sedikit tantangan yang masih menghadang.
Salah satunya adalah praktik penyelewengan dan lemahnya kapasitas tata kelola.
Data menunjukkan bahwa sejak 2015 hingga awal 2025, terdapat ratusan kasus
korupsi Dana Desa yang melibatkan aparat desa. Ini menandakan masih lemahnya
sistem pengawasan, transparansi, dan partisipasi publik. Tantangan lain adalah
rendahnya kapasitas teknis aparatur desa dalam merancang, melaksanakan, dan
mempertanggungjawabkan penggunaan dana. Banyak desa yang masih belum siap dari
sisi SDM maupun infrastruktur pendukung.
Salah
satu kasus korupsi Dana Desa yang mencuat adalah di Kabupaten Pamekasan, Jawa
Timur. Pada tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap lima orang
dalam operasi tangkap tangan (OTT), termasuk kepala desa dan pejabat
inspektorat. Modusnya adalah pengaturan audit laporan keuangan desa yang
bermasalah, dengan imbalan suap agar temuan penyimpangan tidak diproses hukum.
Kasus ini membuktikan bahwa bukan hanya kepala desa, tetapi juga aparat
pengawas lokal bisa terlibat dalam jaringan penyelewengan Dana Desa. Menurut
data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015–2022 tercatat lebih dari
900 kasus korupsi terkait Dana Desa, dengan nilai kerugian negara mencapai
ratusan miliar rupiah. Hal ini mencerminkan lemahnya sistem akuntabilitas dan
minimnya partisipasi warga dalam mengawasi penggunaan anggaran.
Selain itu masalah kapasitas pelaksana Dana Desa
juga menjadi tantangan tersendiri. Misalnya di Kabupaten Buru Selatan, Maluku,
sebuah studi oleh Kemendesa PDTT (2022) menemukan bahwa banyak kepala desa dan
perangkat desa kesulitan memahami perencanaan program berbasis kebutuhan
masyarakat. Hal ini menyebabkan program pembangunan yang dilaksanakan tidak
tepat sasaran, seperti pembangunan balai desa mewah di desa dengan akses air
bersih yang masih sangat terbatas. Imbas dari perencanaan yang tidak tepat
sasaran adalah pelaporan keuangan desa pun seringkali bermasalah. Masih banyak
desa yang menyusun laporan secara manual atau tidak sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan desa. Ketiadaan pendamping teknis yang memadai serta
minimnya pelatihan membuat desa tidak mampu memanfaatkan Dana Desa secara
efektif dan akuntabel.
Ke
depan, digitalisasi dapat menjadi kunci memperkuat tata kelola Dana Desa.
Penggunaan aplikasi pelaporan keuangan desa, sistem monitoring berbasis GPS,
serta keterbukaan data publik melalui papan informasi digital, dapat menekan
praktik korupsi sekaligus mempercepat penyaluran dan evaluasi. Selain itu, Dana
Desa juga diarahkan untuk memperkuat desa digital. Internet masuk desa,
pelatihan literasi digital, dan pengembangan layanan publik berbasis teknologi
menjadi agenda penting membangun desa yang inklusif dan kompetitif di era
digital.
Selanjutnya agar Dana Desa semakin berdampak, beberapa langkah strategis perlu diambil yaitu: yang pertama, memperkuat pendampingan dan pelatihan bagi aparat desa agar memiliki kapasitas yang mumpuni dalam perencanaan dan pelaporan. Selanjutnya kedua, membuka ruang partisipasi masyarakat desa dalam seluruh tahapan penggunaan Dana Desa. Transparansi berbasis digital harus dijadikan standar. Berikutnya ketiga, mendorong penggunaan Dana Desa untuk kegiatan produktif dan berkelanjutan. Program padat karya, pengembangan BUMDes, dan desa wisata harus menjadi prioritas jangka panjang. Serta yang keempat, adalah dengan memperluas skema Alokasi Kinerja agar desa yang transparan dan inovatif mendapat insentif lebih besar ssehingga mencerminkan asas keadilan dalam apresiasi yang diberikan.
Membangun
Persada Bukan Sekedar Angka
Dana Desa telah menjadi
instrumen strategis dalam membangun persada di setiap desa di Indonesia yaitu
dalam hal ini memperkuat pelayanan dasar, menumbuhkan ekonomi lokal, dan
mempersempit kesenjangan pembangunan. Dengan realisasi lebih dari Rp 40
triliun per 14 Juli 2025, sebesar 58,46% dari pagu Rp 69 s.d 71 triliun, program ini menunjukkan kemajuan
nyata dalam penyebaran manfaat dan jangkauan luasnya
Lebih dari sekadar angka, dampak pembangunan dari
Dana Desa terlihat dari semakin banyaknya akses jalan dan irigasi, BUMDes yang
produktif, layanan pendidikan dan kesehatan yang modern, hingga bentuk dukungan
langsung kepada keluarga miskin melalui BLT Desa. Namun, tantangan seperti
korupsi, kapasitas rendah, dan keterbatasan transparansi harus tetap menjadi
perhatian serius dan dicarikan solusinya.
Dengan penguatan tata kelola, transparansi, moral
masyarakat, dan digitalisasi, Dana Desa dapat dikelola lebih efektif dan
berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat, akademisi,
dan lembaga pemantau independen menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap
rupiah yang digulirkan benar-benar berjalan sesuai harapan untuk membangun
persada yang merupakan tanah leluhur, untuk menjadikannya desa mandiri dalam
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif dan merata.
Geliat Ekonomi 80 Tahun Kemerdekaan Menuju Indonesia Emas 2045
Kemerdekaan Membuka Jalan
Pertumbuhan Ekonomi
Delapan dekade sudah Indonesia merdeka. Dari
sebuah bangsa yang lahir di tengah keterbatasan infrastruktur, teknologi, dan
sumber daya manusia terdidik, Indonesia kini bertransformasi menuju salah satu
kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah
pembangunan fisik, tetapi juga transformasi struktur ekonomi, kebijakan
strategis, dan daya juang masyarakat yang membentuk fondasi menuju cita-cita
besar: Indonesia Emas 2045.
Perjalanan ekonomi Indonesia sejak tahun 1945
dapat dibagi dalam tiga babak besar. Babak pertama (1945–1965) adalah fase
bertahan hidup, di mana tantangan terbesar adalah memulihkan stabilitas politik
dan ekonomi pasca perang. Inflasi pernah mencapai lebih dari 600% di awal tahun
1960-an, namun masa ini juga menjadi tonggak pembentukan berbagai lembaga
negara dan infrastruktur dasar.
Babak kedua (1966–1998) ditandai dengan
pembangunan ekonomi yang terarah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% di era tahun 1970-1980, dimana
hal tersebut ditopang oleh ekspor minyak serta industrialisasi awal. Namun
demikian pada krisis moneter tahun 1997–1998 menjadi pukulan keras bagi
perkeonomian Indonesia, yang ditandai nilai tukar rupiah terjun bebas dari
Rp2.500 menjadi lebih dari Rp15.000 per dolar AS, dan angka kemiskinan melonjak
menjadi 24%.
Babak ketiga (1999–2025) adalah masa reformasi
dan integrasi global. Sistem demokrasi yang lebih terbuka dan desentralisasi
fiskal mendorong pemerataan pembangunan daerah. Pertumbuhan PDB Indonesia sejak
tahun 2000 konsisten berada di kisaran 5%–6% per tahun (kecuali saat pandemi
COVID-19), sehingga hal itu menjadikan Indonesia anggota G20 dan ekonomi
terbesar di Asia Tenggara.
Kemajuan yang Nyata dan
Berkelanjutan
Transformasi ekonomi Indonesia tercermin jelas
dalam angka-angka. PDB per kapita yang hanya sekitar US$ 56
pada 1967 kini telah mencapai US$ 5.242 pada tahun tahun 2024
(Laporan BPS, 2024). Tingkat kemiskinan turun dari 40% pada
1976 menjadi 9,36% pada tahun 2023, dimana kondisi tersebut
adalah terendah sepanjang sejarah. Sehingga tingkat inflasi yang dulu pernah
triple digit kini terkendali di kisaran 2,8%–3,2% dalam
beberapa tahun terakhir.
Selanjutnya dari sisi perdagangan, ekspor
Indonesia pada tahun 2024 mencapai US$ 258,8 miliar, didorong
oleh komoditas unggulan seperti batu bara, CPO, nikel, dan produk manufaktur
seperti otomotif serta elektronik. Sektor jasa, terutama pariwisata, juga
mencatat rebound kuat pasca pandemi dengan 11,7 juta kunjungan wisatawan
mancanegara tahun lalu.
Berikutnya dalam hal investasi asing langsung
(FDI) pertumbuhannya berlangsung dengan cepat, ysitu mencapai US$ 47,7
miliar pada tssun 2024, dengan fokus pada industri hilirisasi mineral,
energi terbarukan, dan ekonomi digital. Nilai kapitalisasi pasar saham
Indonesia kini menembus Rp10.500 triliun, dan hal itu menggambarkan
kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi nasional.
Tantangan dan Strategi Menuju
Indonesia Emas 2045
Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan,
melainkan target konkret untuk menjadi negara berpendapatan tinggi dengan PDB
di atas US$ 9 triliun dan PDB per kapita sekitar US$ 25.000. Untuk itu, ada dua
jalur besar yang harus ditempuh: penguatan ekonomi makro dan optimalisasi
ekonomi mikro.
Dari sisi makro, stabilitas fiskal dan moneter
menjadi harga mati. Defisit APBN harus dijaga di bawah 3% PDB dengan fokus pada
pembiayaan produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan riset teknologi.
Transformasi energi menuju sumber terbarukan perlu dipercepat untuk mengurangi
ketergantungan pada fosil dan menjaga daya saing jangka panjang.
Sementara dari sisi mikro, penguatan UMKM sebagai
tulang punggung ekonomi harus diprioritaskan. Data Kemenkop UKM menunjukkan
UMKM menyumbang lebih dari 60,5% PDB dan menyerap 97%
tenaga kerja. Sehingga melalui berbagai upaya digitalisasi usaha,
akses pembiayaan murah, serta peningkatan kualitas SDM, semua itu akan menjadi
katalis agar UMKM Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga naik kelas ke
pasar global.
Membangun Indonesia melalui
Manusia dan Inovasi
Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tak lepas dari
pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia telah meningkat
dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 74,39 pada tahun 2023, namun demikian
kondisi tersebut masih tertinggal dibanding negara-negara OECD. Jepang,
misalnya, mencatat IPM sebesar 90,1 pada tahun 2023, sementara Korea Selatan
berada di angka 92,2 dan Australia di 93,0. Lebih jauh lagi, laju kenaikan IPM
di negara-negara tersebut tetap konsisten meskipun mereka sudah berada di
kategori sangat tinggi, yang menunjukkan adanya fokus berkelanjutan pada
peningkatan kualitas manusia, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, dan
untuk itu investasi pada pendidikan vokasi, riset teknologi, dan literasi
digital harus ditingkatkan.
Selanjutnya pembangunan ekonomi berbasis inovasi
juga menjadi kunci. Potensi ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$
360 miliar pada 2030 (Google-Temasek-Bain, 2023). Hilirisasi sumber
daya alam harus beriringan dengan penciptaan ekosistem startup teknologi,
bioteknologi, dan industri kreatif yang mampu mengekspor produk bernilai tambah
tinggi. Perjalanan ekonomi Indonesia selama 80 tahun adalah kisah tentang daya
tahan, adaptasi, dan tekad untuk terus maju. Dari negara agraris pasca kemerdekaan
hingga ekonomi digital yang terkoneksi global, kemajuan ini bukanlah akhir,
melainkan batu loncatan.
Pada
sektor ekonomi digital, Indonesia kini menjadi rumah bagi lebih dari 2.500
startup teknologi (Startup Ranking, 2024), menjadikannya salah satu ekosistem
startup terbesar di Asia Tenggara. Nama-nama seperti Gojek, Tokopedia,
Traveloka, dan Xendit telah menembus pasar internasional, menjadi bukti bahwa
inovasi anak bangsa mampu bersaing di tingkat global. Pemerintah mendukung ini
dengan membentuk Indonesia Digital Economy Roadmap 2021–2030, yang menargetkan
transformasi sektor-sektor strategis melalui adopsi artificial intellegence,
big data, dan blockchain.
Sedangkan
pada sektor bioteknologi, rintisan seperti PT Etana Biotechnologies Indonesia
telah memproduksi vaksin mRNA dalam negeri yang setara kualitasnya dengan
produk luar negeri. Lembaga Eijkman dan BRIN juga aktif mengembangkan riset
genomic untuk kesehatan dan pertanian, membuka jalan bagi peningkatan
produktivitas pangan dan kemandirian farmasi nasional.
Selanjutnya
untuk bidang industri kreatif, ekspor produk fesyen, animasi, gim, dan
kerajinan terus meningkat. Menurut data dari Kementerian Perdagangan
menunjukkan nilai ekspor produk kreatif Indonesia menembus US$ 25 miliar pada
2023, dengan pasar utama di Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah. Sedangkan
contoh kesuksesan ekonomi digital dari permainan yang dibuat anak bangsa adalah
seperti “coffee talk” karya Toge Productions yang meraih penghargaan global
menjadi simbol bahwa karya digital lokal mampu diterima luas masyarakat dunia.
Berikutnya dari hilirisasi sumber daya alam juga
mulai menghasilkan output bernilai tambah. Hal ini diwujudkan antara lain
melalui ekspor feronikel dan produk turunan
nikel dari kawasan industri Morowali dan Weda Bay yang kini
memasok bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik dunia. Pemerintah
mengintegrasikan kebijakan ini dengan pembangunan Indonesia Battery
Corporation (IBC) untuk menggarap rantai pasok EV dari hulu ke hilir.
Berdasarkan hal-hal yang telah dicapai tersebut, Indonesia
akan mampu menjaga stabilitas makro, memperkuat ekonomi mikro, serta memacu
inovasi dan inklusi, sehingga cita-cita Indonesia Emas 2045 bukan lagi mimpi,
tetapi takdir yang sedang dibentuk. Seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno
mengenai jas merah yaitu jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Karena dari
sejarah itulah kita belajar bahwa kemandirian ekonomi dan keadilan sosial bukan
hanya tujuan, tetapi fondasi kemerdekaan yang sejati.
Insomnia
I
Seorang perempuan terjaga
Ketika dunia telah tertidur
Hatinya terobek luka
Ketika lelakinya tak sengaja
Menoleh pada sapa goda
perempuan malam yang kesepian,
Seorang perempuan terjaga
Ketika dunia telah tertidur
lelakinya, tergolek disisinya,
matanya terpejam tapi tak sepenuhnya tidur
terngiang berulang perempuan telah bertanya
"Apakah kini aku telah memudar di matamu?"
Seorang perempuan terjaga,
Ketika dunia telah tertidur
yang berulang dieja dan dibaca
pada sampulnya tertulis tebal
"Seni memaafkan "
II
lelaki masih terjaga,
di antara lelahnya,
setumpukan berkas kerja,
telah rapi diselesaikannya,
matanya tak juga bisa terpejam
sebaris tanya menganggu pikirnya
"besok pakai baju warna apa?"
III
Anakmu Dari Masa Depan
"Aku Sore, Istri Kamu dari Masa Depan."
Kalimat ini berseliweran dan terngiang dalam kepala yang sebenarnya sudah penuh kecamuk.
Ya, beberapa pekan terakhir film SORE: Istri dari Masa Depan sedang menjadi tren pembicaraan. Lini masa media sosial hingga siniar-siniar di Youtube gencar membahas dan mempromosikan film karya Yandy Laurens ini. Bahkan beberapa akun media sosial instansi pemerintah ikut-ikutan membuat konten yang berbau SORE. Sungguh berhasil membuat saya penasaran untuk menontonnya. Tapi apa daya, bagi seorang Bapak beranak kecil tiga, menonton ke bioskop jadi hal langka yang mungkin hampir punah.
Saya belum membaca resensinya. Trailer-nya hanya sekelebat terllihat. Bahkan, baru tahu juga kalau film yang dibintangi Dion Wiyoko dan Sheila Dara ini berawal dari sebuah webseries. Ceritanya katanya ga benar-benar sama sih. Katanya ya. Tapi berbekal perbincangan dari beberapa siniar di Youtube, jadi sedikit tahu bahwa cerita filmnya tentang time traveler atau perjalanan waktu dari seorang Sore. Di tengah rasa penasaran tapi hanya bisa pasrah menunggu filmnya tayang di Netflix, hari Minggu yang lalu saya akhirnya memutuskan menonton webseries Sore sebagai obat penawar.
Hari Jum’at dan Sabtu sebelumnya, saya mengikuti pelatihan parenting di sekolah anak. Lah, apa hubunganya? Bridging-nya kasar banget kalau kata host-host, hehehe. Tapi ternyata ada keterkaitan antara keduanya. Saya juga ngeh baru saja, setelah menyelesaikan sembilan episode Sore webseries.
Pada pelatihan parenting itu, salindia yang pertama muncul mengatakan bahwa inti dari pembelajaran kali ini adalah menjadi bersyukur dan sabar paripurna, khususnya dalam mengasuh buah hati kita. Dua hal simpel yang rumit mewujudkannya. Salah satu langkah untuk merintis menuju ke sana adalah berdamai dengan masa lalu. Sering kali masa lalu membuat kita melupakan banyak anugerah yang telah diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Belum lagi ikatan-ikatan kenangan lampau menjadi pemberat langkah kita saat ingin melaju ke depan. Dalam konteks parenting, narasumber menekankan bahwa memaafkan kesalahan pola asuh orang tua kepada kita di masa lalu merupakan elemen penting untuk memulai perbaikan pola asuh kita kepada anak kita.
Di salah satu sesi, peserta pelatihan diminta memejamkan mata di tengah redup cahaya yang sepertinya sudah setting-an. Sambil menatap gelap, seluruh yang ada di ruangan diminta untuk kembali ke masa lalu. Bayangan perjalanan hidup dari mulai masa kecil hingga remaja dan dewasa dihadirkan. Bukan untuk mencoba merubahnya, hanya berusaha kembali melihat dengan tenang peristiwa-peristiwa indah yang mungkin waktu itu tidak disadari. Meskipun tak bisa dipungkiri, momen-momen mengesalkan juga akan turut datang kembali menghantui.
Mayoritas peserta dibesarkan dengan model pengasuhan VOC. Kenyataan pahit ini membuat banyak luka-luka masa lalu yang membekas. Bekas luka memang tidak bisa hilang, tapi kalau perihnya masih terasa padahal sudah berlangsung lama tentu akan jadi masalah. Bekas-bekas luka akan menuntun alam setengah sadar untuk meluapkan perihnya menjadi pedihnya pola pengasuhan ke anak kita.
Pernah tidak merasa anak kita merepotkan lah, nakal lah, dan jelek-jelek apa lah saat mereka tidak patuh atau berbuat kesalahan? Kalau saya sering. Saat kondisi jiwa baik, ilmu-ilmu parenting yang telah banyak ditumpuk dalam lemari di pikiran akan mengajak melihat hal tersebut sebagai suatu yang positif dari tumbuh kembang anak. Respon yang akan keluar berupa ketenangan, kesabaran, dan pengertian.
Tapi lain cerita saat dalam kondisi capek, banyak urusan, banyak tuntutan, atau situasi mendesak lainnya. Secara setengah sadar, pola-pola pengasuhan orang tua kita dulu akan kembali hadir dari masa lalu. Bangunan-bangunan sabar yang sedikit demi sedikit disusun tiba-tiba hilang bak disapu badai kenangan kelam pengasuhan masa lalu. Hingga akhirnya tembok syukur runtuh tak bersisa. Seolah-olah anak-anak kita jadi manusia terburuk di dunia. Padahal beberapa detik sebelumnya mungkin beragam pujian tersemat padanya. Semuanya bak langsung rusak karena setitik nila. Setelah kesadaran pelan-pelan kembali, yang hadir tinggal berbagai penyesalan dan kata maaf.
Anak tentu serta merta akan memaafkan karena buatnya orang tua adalah orang paling berharga. Tapi tetap saja, luka sudah membekas pada ingatannya. Entah kelak sudah tidak berasa atau malah sering kembali terasa perihnya. Fenomena ini akan terus berlangsung turun temurun. Alam setengah sadar anak kita, di masa depan nanti akan sering melampiaskan perihnya luka pengasuhan kita menjadi pedihnya kemarahan pada anaknya. Tak lain dan tak bukan karena anak kita di masa depan adalah sikap kita di masa sekarang. Wah dari sini saya jadi termenung. “Time traveler nih,” gumam dalam hati.
Obat mujarab untuk luka masa lalu agar perihnya tak kembali datang di masa depan adalah memaafkan. Kita maafkan pola-pola pengasuhan VOC yang kita terima dulu. Betul, tak mudah dan lukanya tak akan bisa hilang. Tujuannya memang bukan melenyapkan bekas luka, tapi membuat perihnya tak kambuhan lagi. Dengan begitu kita akan bisa lebih kokoh dalam bersabar dan bersyukur saat membesarkan anak-anak. Tentu harapan semua orang tua melihat di masa depan anaknya menjadi orang yang jauh lebih baik dari dirinya pada berbagai sisi kehidupan. Impian itu tidak akan terwujud jika sekarang kita masih sering menjadi masa depan pola asuh salah orang tua kita. Jadi kita dulu jadi lebih baik, kelak anak kita akan menjadi jauh lebih baik. Ada satu kalimat penutup menyentuh yang disampaikan oleh pembawa acara sebagai simpulan pelatihan. Kurang lebih seperti ini, “Memaafkan masa lalu, untuk memperbaiki masa depan”.
Dari sini saya merasa tertampar. Mulai lagi menata pikiran untuk berusaha memaafkan masa lalu agar bisa mengasuh anak dengan lebih baik. Sambil bercermin saya bertanya pada sosok di baliknya, “Siapa kamu?”. Dia dengan bangga menjawab, ”Aku Sori, anak kamu dari masa depan".
Pada simpang Ruang Kerja
(sebuah kado pelepasan)
Kita pernah duduk di meja yang sama,
Berbagi cerita di sela tumpukan kerja,
Tertawa di tengah tekanan,
Menemukan arti teman di balik peran.
Hari-hari berlalu dalam jejak langkah yang
saling menguatkan,
Kopi pagi, candaan ringan, rapat yang kadang membingungkan,
Semuanya jadi lembar kenangan,
Yang tak akan mudah dilupakan.
Kini, waktunya tiba untuk melangkah,
Bukan berpisah karena luka,
Tapi karena SK memanggil ke arah berbeda,
Namun, kisah kita tetap terjaga.
Terima kasih untuk kebersamaan yang tulus,
Untuk bahu yang diam-diam menopang,
Untuk semangat yang tak pernah putus,
Dan tawa yang selalu datang tanpa ditentang.
Meski ruang kerja tak lagi sama,
Tapi hati kita tetap saling menyapa,
Doa kami menyertaimu di setiap langkah baru,
Sampai jumpa lagi, di persimpangan ruang kerja dan waktu

