Utang Bapak


 “Mas, kapan mau bayar utang? Udah setahun lho, jawabnya kok selalu besok-besok terus,” ujar seorang laki-laki kepada bapakku di ruang tamu.

Malam itu aku sedang belajar untuk tes masuk sebuah perguruan tinggi yang semua biaya kuliahnya ditanggung pemerintah. Aku memang sengaja memilih sekolah seperti itu untuk meringankan beban Bapak.

Aku mendengar dengan jelas percakapan Bapak dengan tamunya karena kamarku berada di depan dan pintunya berhadapan langsung dengan ruang tamu. Apalagi kamarku tak berpintu, hanya ditutupi gorden.

Akhir-akhir ini kulihat Bapak sedang kesulitan dalam hal keuangan. Apalagi ditambah utang yang menumpuk karena dulu Bapak banyak meminjam uang untuk modal pemilihan lurah di kampung kami. Jumlahnya sangat banyak sampai bapak menggadaikan rumah yang kami tempati.

Memang Bapak menang dan menjadi lurah, tapi utang yang terlanjur menumpuk sulit dibayar. Penghasilan Bapak sebagai lurah tak cukup banyak untuk menutupi utang.

“Kalau Mas Tarjo nggak bayar utang, terpaksa rumah ini saya ambil. Saya masih baik kali ini, masih mau kasih kesempatan. Tiga bulan lagi saya datang .”

Setelah itu aku tidak mendengar lagi percakapan antara Bapak dengan tamunya. Tak terbayangkan dari mana Bapak dapat uang untuk membayar utangnya. Bagaimana hidup kami kalau sampai rumah yang sudah kami tinggali bertahun-tahun sejak aku kecil berpindah tangan kepada orang lain. Di mana kami akan tinggal?

Kepalaku sungguh pening memikirkan keadaan keluargaku saat ini. Konsentrasiku terpecah karena memikirkan kata-kata tamu tadi. Aku adalah anak sulung, sehingga  harus bertanggung jawab atas keluargaku. Aku sudah tak sanggup lagi belajar karena pikiranmu melayang ke mana-mana. Malam itu akhirnya aku tertidur dengan segala permasalahan yang bermain di kepala.
                              ***
Selama tiga bulan aku ikuti proses penerimaan mahasiswa baru dengan harapan aku tetap bisa melanjutkan kuliah Walau ekonomi keluarga pas-pasan, aku tetap bertekad untuk bisa lolos seleksi. Harapanku tinggi agar dapat membantu Bapak dan Ibu keluar dari masalah ekonomi. Juga agar adik-adikku dapat sekolah setinggi-tingginya.

Akhirnya hari yang dinanti tiba. Waktu pengumuman tes seleksi datang juga. Dengan perasaan yang tak karuan aku membuka pengumuman pada website di warnet yang berada dekat rumahku. Tanganku gemetar memainkan mouse komputer untuk mencari laman pengumuman.

Mataku nanar menatap huruf-huruf kecil yang berisi nama-nama orang yang lolos menjadi calon mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang disingkat STISO. Degup jantungku serasa berhenti ketika nomor ujianku bersanding dengan namaku, Satria Pratama, sebagai peserta seleksi yang lolos dan diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang.

Setelah memastikan bahwa aku benar-benar lolos, aku berlari kencang menuju rumah. Rasanya berita ini patut diberitakan kepada seluruh penghuni rumah.  Aku ingin memberikan sedikit kesejukan ditengah suasana panas yang kerap terjadi di rumah.

“Pak, Bu, alhamdulillah aku lolos masuk STISO,” ujarku dengan gembira. Saat itu Bapak dan Ibu sedang duduk di teras rumah. Tak ada obrolan diantara keduanya.

“Ya Allah, alhamdulillah.”
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Ibu. Tangisannya cukup keras sehingga beberapa orang lewat menatap kami bertiga dengan heran.

“Nggak ada apa-apa. Istriku nangis bahagia,” begitu perkataan bapak kepada setiap orang lewat yang heran melihat Ibu.

“Beneran?” tanya Bapak setengah tak percaya.

Kuperlihatkan pengumuman yang tertera namaku di HP. Kebetulan aku memotretnya tadi sebelum aku pulang ke rumah. Setelah kutunjukkan, barulah Bapak percaya kalau aku memang lolos seleksi.

“Bapak seneng banget, Sat. Akhirnya kamu bisa juga kuliah. Alhamdulillah. Belajar yang bener ya, biar cepet lulus,” ujar Bapak.

“Doain aja, Pak,” jawabku.

“Oya, Bapak tahu kemarin kamu dengar percakapan bapak dengan Pak Kardi. Nggak usah dipikir ya. Bapak sudah punya uang untuk membayar utang. Kamu fokus belajar saja.”

Aku mengangguk. Dalam hati aku berpikir keras , dari mana Bapak mendapatkan uang untuk membayar utang. Ingin sekali aku bertanya tapi aku nggak ingin merusak suasana yang sedang bahagia.
                               ***
Aku menjalani kuliah dengan penuh semangat. Aku berusaha selalu mendapat nilai yang bagus agar aku menyelesaikan kuliah tepat waktu sehingga bisa lulus tepat waktu. Aku berharap bisa segera membantu ekonomi keluarga.

Kuhabiskan waktu selama kuliah dengan belajar. Jarang sekali aku pergi hangout bareng teman-temanku. Tak masalah bagiku dianggap kuper oleh teman-temanku. Tujuanku datang ke Jakarta dari kampung memang hanya untuk kuliah, bukan bersenang-senang.

Akhirnya masa empat tahun kuliah dapat kuselesaikan dengan baik. Aku lulus dengan nilai terbaik. Keluargaku kembali diliputi kegembiraan atas kelulusanku ini, atau tepatnya Bapak lega karena aku bisa segera bekerja dan mendapatkan gaji.

Aku ditempatkan di kota yang jauh dari keluarga, di luar pulau Jawa. Bagiku ini pengalaman baru yang menarik. Bapak dan Ibu mengantarkan kepergianku dengan penuh haru.

Ada harapan baru yang dibebankan di pundakku untuk seluruh keluargaku. Aku tahu diri bahwa aku harus membiayai keperluan sehari-hari seluruh anggota keluarga karena Bapak sudah pensiun jadi lurah. Aku menerimanya dengan ikhlas, toh utang Bapak sudah lunas.

Ibu menangis melepasku pergi. Bapak terlihat tegar. Begitu juga kedua adikku.

“Belajar yang giat, ya. Kalau ada perlu apapun telpon aja mas. Sering-sering bantu Ibu!” pesanku kepada adik-adik. Kulihat tangis Ibu semakin keras mendengar perkataanku kepada adik-adik.

“Sudah, Bu. Jangan nangis. Aku pasti sering telepon kok. Kapan-kapan aku ajak Bapak, Ibu dan adik-adik naik pesawat,”pesanku.

Kucium tangan Bapak dan Ibu. Berat memang meninggalkan mereka, tapi tugas negara memanggil, aku dan keluarga harus ikhlas.

Kutinggalkan mereka berempat dengan senyum. Aku tak tahu apakah Ibu masih menangis atau tidak. Aku berusaha untuk tidak  lagi  menengok ke belakang, takut langkahku menjadi berat. Kuusap air yang menetes di pipi dengan ujung kemeja.

Hatiku penuh dengan rasa penasaran seperti apakah rasanya melakukan perjalanan dengan pesawat . Hari ini adalah kali pertama aku naik pesawat . Hari ini adalah awal dari tahap kehidupanku selanjutnya. Bismillah.
                                 ***
“Sat, Bapak mau bicara!”
Bapak mendatangiku setelah aku selesai salat Isya di kamar. Aku melipat  sajadah dan menyimpannya di ujung kasur.

“Ada apa, Pak?” tanyaku.

“Duduklah!”

Bapak duduk di pinggir kasur. Aku pun mengikuti bapak duduk di pinggir kasur. Aku dan Bapak duduk berhadapan di kasur.

Saat itu kebetulan aku sedang pulang ke kampung karena aku mendapat tugas untuk mencari data di kota sekitar kampung halamanku. Kusempatkan untuk mampir ke rumah menengok keluargaku.

“Bapak mau minta tolong,” ujarnya pelan.

“Apa, Pak?” tanyaku.

“Kalau kamu punya uang tolong lunasi utang bapak ke Pak Darma.”

“Berapa, Pak?”

“Seratus juta.”

Jawaban Bapak membuatku kaget. Kugaruk kepala walaupun tak gatal. Aku berusaha bersikap tenang.

“Utang apa lagi, Pak? Bukannya kata Bapak dulu utangnya sudah lunas?”tanyaku heran.

“Sst, jangan keras-keras! Nanti ibumu denger.”  Telunjuk bapak menempel di bibirnya.

“Jadi, waktu itu Bapak melunasi utang itu ya dari hasil utangan ke Pak Darma. Sekarang udah jatuh tempo,” ujar Bapak.

“Ya Allah, Bapak!”

“Kamu punya, kan?”

“Ya ada sih, Pak. Aku nabung setiap bulan, tapi juga nggak sebanyak itu ….”

“Nggak apa-apa, nanti sisanya kamu cicil ya!” potong Bapak.

Setiap bulan sedikit demi sedikit uang kutabung untuk keperluan adikku sekolah atau kuliah. Aku juga ingin sedikit memperbaiki rumah di kampung agar tidak bocor. Sebagiannya akan kupergunakan untuk membeli keperluanku sendiri. Utang Bapak menghancurkan keinginanku saat ini.

Sayangnya aku tak tega melihat muka Bapak yang penuh dengan harapan. Aku juga tak ingin Bapak mendapatkan masalah karena utang ini. Dengan berat hati kupenuhi permintaan Bapak untuk membayar utangnya sebagian. Sisanya akan kucicil kemudian.

“Terima kasih banyak, Sat. Kamu memang anak kebanggaan bapak.”
Bapak memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecil melihat Bapak yang merasa lega karena bebannya selama ini dibawanya kemanapun ia pergi.

Aku tersenyum kecut. Bulan-bulan selanjutnya aku harus semakin berhemat karena aku berjanji kepada Bapak untuk mencicil utangnya.
Mungkin ini adalah jalanku untuk berbakti kepada Bapak. Masalah rumah, Ibu dan adik-adik akan kupikirkan belakangan.


                                              ***













2 komentar:

  1. cerpen Mbak Rini selalu menarik, meski ceritanya kadang miris menceritakan potret hidup sehari2 masyarakat kita. keep up the good work Mbak

    BalasHapus