Suka tapi Benci

Sunyi mulai hadir meskipun malam belum terlalu larut. Perut sudah mulai gelisah ditinggal logistik yang terakhir dipasok sebelum maghrib tadi. Mulut pun kompak ikut menyuarakan aspirasinya, ingin mengunyah sesuatu. Entah ini memang lapar karena belum makan atau sekedar lelah membayangkan Raisa bersanding di pelaminan.

Yang pasti, seketika itu aku beranjak menuju dapur mengecek hidangan apa yang tersedia. Dan sudah kuduga, tersaji berbagai macam makanan yang bahan dasarnya sama, daging sapi. Masih kental aroma Idul Adha di hari tasyrik kedua ini. Namun berbagai olahan daging sapi qurban ini tak sedikitpun membuatku berselera. Bukan bosan karena sudah dua hari makan daging sapi, tapi dari dulu aku memang tak terlalu doyan hasil olahan daging qurban. Padahal biasanya aku doyan sekali daging sapi. Mungkin ini efek melihat proses penyembelihannya, jadi sedikit ga tega.

Makin lama perut makin tak berkompromi, memaksa aku berpikir keras menentukan menu alternatif malam ini. Akhirnya, tak jauh-jauh, pilihan paling gampang jatuh pada mie instan. Ya, mie instan favorit hampir semua orang di bumi Indonesia, sebut saja merk nya mieindo. Varian rasa mie gorengnya tak ada duanya. Sejak zaman inneke koesherawati suka pakai rok mini hingga kini penampilannya sudah syar'i, aku belum pernah menemukan rasa mie goreng seenak milik mieindo ini. Alhasil, dengan sigap aku merebus air sebagai langkah awal. Aku sangat menikmati proses sederhana membuat mieindo ini. Bagian favoritnya tentu saat mencampurkan mie yang sudah ditiriskan dengan bumbu yang sudah disiapkan. Semerbak wangi mie goreng akan menyeruak ke segala penjuru mata angin. Aroma khas yang bisa membuat orang puasa berkurang pahalanya.

Sebagai orang Indonesia tulen, kurang rasanya kalau makan belum pakai nasi. Jadilah diciduk dua entong nasi ke atas mie yang tampak mengkilap kuning kecoklatan. Banyak orang bilang bahwa yang aku lakukan ini sia-sia, karena nasi dan mie sama saja, kadungan utamanya karbohidrat. Tapi biarlah kafilah berlalu, yang penting perut kenyang dan air liur mengental. Menu mieindo plus nasi ini sudah jadi menu istimewaku sejak zaman taman kanak-kanak dulu.

Oh iya, sejak dulu mieindo ini sudah kerap ditimpa isu tak sedap terkait kandungannya. Ada yang mengungkit-ungkit kadar MSG yang katanya bikin makin bodoh. Belum lagi lapisan lilin pada bagian mie nya yang katanya berbahaya dan memicu kanker. Tapi faktanya, mieindo tetap digdaya dan jadi pilihan masyarakat seantero negeri. Tanya saja anak kosan, pekerja kantoran dan serabutan, ibu-ibu rumah tangga, sampai anak sekolahan, semua pasti doyan. Apalagi saat tanggal tua melanda. Warung penjual mieindo juga bertebaran di mana-mana.

Akhirnya, tibalah kini di saat yang paling ditunggu sekaligus dibenci. Saat di mana mieindo dan nasi sudah terhidang dan tinggal ditelan masuk ke kerongkongan. Ya, itu memang yang ditunggu-tunggu, apalagi dari tadi aromanya sudah menggambarkan seberapa nikmat rasanya. Nasi dan mie goreng di piring sudah tandas tanpa perlu menunggu lama. Yang tersisa tinggallah goresan-goresan bekas bumbu mie goreng yamg tampak berminyak di sudut-sudut piring. Kadang menggerakkan hati untuk menjilatinya sampai bersih tak bersisa. Sungguh nikmat tak terhingga. Tapi bersamaan dengan itu, aku membenci bagian ini. Bagian dimana aku lahap menghabiskan mieindo ku.
Perjuanganku selama hampir sepuluh menit seolah terhapuskan hanya kurang dari lima menit.

Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar