juve, storia di un grande amore

  Ketika di menit menit akhir pertandingan Buffon kembali memungut bola dari gawang untuk ketiga kalinya, hp saya makin riuh berbunyi tanda banyaknya pesan yang masuk ke inbox saya. Dan deretan kalimat ucapan “selamat” bertubi tubi dari segala penjuru, beberapa di antaranya dengan bumbu gambar dan emoticon yang sadis.

    Dinihari tadi mungkin bukan harinya juve dan harinya saya. main di kandang pada leg pertama perdelapan final, juve harus mengakui ketangguhan madrid dengan skor telak 0-3. Meski ada leg kedua nanti di kandang madrid, tetapi rasanya peluangnya cukup berat. Bahkan sang ilcapitano, Buffon dalam laman resmi UEFA menyatakan bahwa kemungkinan besar Juve tak akan lolos ke tahap selanjutnya. 
bagi saya, dinihari tadi adalah kali pertama dalam beberapa tahun terakhir, bisa menonton siaran langsung juve pada saat dinihari. Bukan karena saya sudah berpaling hati ke lain klub, tapi karena bu menteri kominfo yang di rumah, membatasi jam tayang televisi di malam hari. Salah satu yang dilakukan bu menteri kominfo untuk menegakan aturan itu adalah membacakan “peringatan pemerintah menonton televisi kemalaman bisa menyebabkan kantuk esok hari, masuk angin, telat subuh, telat mandi, telat ngantor, gangguan kehamilan, Impo***** dan bla bla bla. Biasanya saya malas untuk bersilat lidah untuk hal hal seperti ini, toh ini juga untuk kebaikan saya. Kebetulan saja, sejak minggu lalu bu menteri kominfo lagi saya ungsikan ke Bandung karena anak anak libur sekolah. Sehingga dari sore sebelumnya, saya sudah kabar kabari teman teman yang saya tahu  madridista (pendukung madrid) untuk sama sama bangun dan nonton siaran langsung Juve Madrid (tentu saja dengan sedikit  bumbu  provokasi).
Apesnya, kali ini Juve kalah di kandang. Kalimat kalimat horor melalui wa sudah mulai saya terima sejak  pertandingan baru berjalan tiga menit saat Ronaldo membuat gol pertama. Teror  itu semakin menjadi ketika  Ronaldo  membukukan gol keduanya, pada sepuluh menit awal babak kedua. 
Penderitaan saya ternyata berlanjut sampai sore harinya, beberapa teman masih terus "menghibur" saya dengan memposting aneka komen dan meme  terkait kekalahan Juve . Ada yang meledek saya dengan pertanyaan "ngapain atau kenapa jadi Juventini"? 

duh.... 
kecintaan pada sebuah klub bola memang aneh dan penuh misteri. Tak tahu bagaimana datangnya, tetiba saja kita senang menonton, mencari berita, mengumpulkan pernak pernik berbau klub atau ungkapan kecintaan lain. Kalau ada teori dari jawa tengah, bahwa timbulnya cinta muncul karena kebiasaan bertemu, witing trisno jalaran soko kulino, maka teori itu tidak berlaku saat saya memulai menjadi Juventini. Pada masa itu, RCTI menyiarkan langsung maupun tunda  hampir semua pertandingan tim tim besar Seri A Italia secara bergantian, tidak hanya pertandingan Juve. Kalau misalnya kecintaan itu muncul karena performa juventus, Pada masa itu juve juga gak bagus bagus amat, dalam beberapa kesempatan Juve kalah bertanding, bermain jelek dan tidak enak ditonton. 

Menjadi Juventini juga tidak bisa dipaksakan. Bak kisah Siti Nurbaya, saya pernah mencoba mencekoki tiga anak laki laki saya Damar, Surya dan Lintang dengan virus Juventini. Saya belikan kaos hitam putih Juve, Saya pasang poster juve, sprei bergambar juve, berharap mereka akan mengikuti jejak saya. 
Tapi begitu ngerti sepakbola , anak saya pertama malah lebih memilih menjadi pendukung Chelsea dan anak kedua memilih menjadi pendukung Manchester City. 

Mungkin ada yang nyinyir, ini mah juventini kelas kroco?
Masing masing juventini mungkin punya level fanatisme yang berbeda beda. Ada yang menunjukannya dengan selalu berusaha menyaksikan semua siaran pertandingan juve,(bahkan mungkin bagi yang berpunya,  berusaha nonton langsung ke stadion), hoby berburu pernak pernik berbau juve, bergabung di group juventus fans club. sementara  saya mungkin kategori yang biasa biasa saja. Beli pernak pernik Juve, kalau pas punya duit saja, nonton siaran langsung kalau situasi memungkinkan saja, rasa penasaran saya akan hasil pertandingan cukup terpuaskan  dengan berselancar ke web-nya juve, media oline lain maupun nungguin berita di televisi. Meski begitu sepengetahuan saya, para juventini punya kesamaan dalam satu hal, yaitu  juve menang atau kalah, bermain bagus atau jelek, promosi atau degradasi tetap menjadi juventini, tidak berpaling ke klub sepakbola lain. 

Di kampungnya sana,
Juventini mengungkapkan kecintannya dengan berbagai cara. Membuat yel dan koreografi dukungan sepanjang pertandingan, memasang spanduk dan bendera bendera besar klub di setiap sudut stadion, menyanyikan mars dan lagu pemompa semangat agar juve menjadi yang terbaik. Di bagian lain belahan bumi, ada ribuan atau bahkan jutaan juventini yang tidak hadir di stadion, tetapi mempunyai kecintaan dan harapan yang sama (dalam kadar yang berbeda termasuk saya). Cerita tentang kecintaan dan harapan inilah yang tertuang dalam  lagu "juve, storia di un grande amore". lagu yang yang selalu dinyanyikan oleh para supoter sebelum pertandingan kandang berlangsung. Dalam bahasa Indonesia, judul lagu ini di terjemahkan sebagai juve, kisah cinta yang besar.

Begitulah, 
sekian lama menjadi Juventini saya juga bisa belajar dan bisa memahami kalau ada teman teman lain yang ternyata memilih menjadi madr****** pendukung sang juara liga champion,  atau memilih menjadi ro*******, pendukung klub yang seingat saya baru tiga kali jadi juara seria A dan belum sekalipun pernah jadi finalis champion(mohon maaf kalau saya salah). Karena keliatannya menjadi pecinta dan pemuja, kadang tak perlu punya alasan.
 
Bekasi, 5 April 2018