Sofi berdecak kagum sambil matanya
terus menatap layar ponselnya. Tangannya bergerak memencet tombol di ponselnya.
Badannya tetap terbaring di tempat tidur. Kebetulan Deni, suaminya belum pulang
kerja. Anak-anaknya sudah tidur. Sambil iseng menunggu suaminya pulang kerja,
Sofi membuka-buka ponselnya.
“Duh cantiknya. Awet muda pula, pake
kosmetik apa sih?” Sofi menuliskan kalimat pujian di foto yang diposting Asti,
teman SMA nya di media sosial.
“Kosmetiknya standar kok, nggak ada
istimewa, hehehe,” jawab Asti menjawab pertanyaan Sofi.
“Tapi kok kulit wajahmu bisa
sebening itu ya, bikin iri aja,” Sofi masih terus memuji Asti di media sosial.
“Ah, bisa aja kamu,” Asti
membubuhkan emoticon tersipu menjawab
pujian Sofi. Setelah itu banyak sekali pujian kepada Asti karena memang di foto
itu Asti sangat cantik. Seperti gadis muda 20 an tahun, walau sebenarnya
umurnya sudah diatas 40 tahun. Beberapa teman dunia maya pun mengamini apa yang
dibilang Sofi kepada Asti. Semua mengagumi kecantikan Asti.
Sofi bangkit dari tempat tidurnya.
Dia menatap wajahnya di cermin yang tergantung di kamar tidurnya. Bibirnya
digerakkan ke kiri dan kanan. Tampak olehnya kerutan di daerah sekitar bibirnya
yang bertambah dari hari ke hari. Kemudian Sofi menggerakkan kelopak matanya dan
ia juga mendapati daerah sekitar matanya pun sudah mulai banyak kerutan.
Sofi menghela nafas panjang. Belum
lagi flek hitam yang semakin menyebar ke seluruh wajah semakin menambah
kegalauan Sofi. Sebagian rambutnya mulai
memutih membuat Sofi merasa semakin galau. Sangat jauh berbeda dengan wajah Asti
yang dilihatnya di media sosial.
“Kamu lagi ngapain?” tiba-tiba Deni
sudah muncul di kamarnya.
“Kok udah disini aja, nggak
kedengaran suaramu,” Sofi berusaha menghindar dari pertanyaan Deni. Sofi merasa
malu suaminya memergoki apa yang dilakukannya.
“Kamu masih cantik kok, walau nggak secantik
dulu,” goda Deni seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Sofi.
“Gombal!” balas Sofi.
“Beneran kok, istriku masih cantik,”
Deni mencoba meyakinkan Sofi.
“Buktinya aku nggak malu kok bawa
kamu kemana-mana,” goda Deni sambil memeluk istrinya. Pelukan hangat suaminya
menentramkan hati Sofi.
“Tapi temanku waktu SMA, kok masih
tetap kinyis-kinyis ya. Wajahnya
masih segar, kulitnya mulus. Cantik banget, malah lebih cantik daripada waktu
sekolah dulu.”
Deni tersenyum mendengar celotehan
Sofi. Rupanya pancingan Deni berhasil membuat Sofi mengeluarkan isi hatinya.
“Nggak apa-apa kok, setiap orang
punya kelebihan dan keberuntungan masing-masing,”
“Kelebihanku apa ya?” Sofi masih
belum puas.
“Kelebihanmu punya suami yang baik
dan ganteng, hahaha,” canda Deni.
“Narsis ah,” balas Sofi sambil
tertawa lepas.
***
“Sofi, ketemuan yuk!” begitu pesan
yang diterima Sofi dari Asti.
“Aku kangen,” Asti melanjutkan
pesannya.
Sekilas Sofi membaca pesan Asti.
Saat itu Sofi sedang menyelesaikan pesanan kue dari beberapa orang ibu-ibu yang
sering bersama-sama dengan Sofi menunggui anaknya di sekolah. Diletakkannya
ponselnya tanpa menjawab pesan Asti.
Ponselnya kembali berbunyi. Sofi
masih belum bisa membuka pesan di ponselnya. Dia masih sibuk menata kue kering
yang sudah masak ke dalam toples. Setelah toples ditutup, Sofi mencuci
tangannya dan mengelapnya sampai kering. Sofi mengambil ponselnya dan membuka
pesan yang belum sempat dibacanya tadi.
Ternyata Asti kembali mengirimkan
pesan kepada Sofi.
“Sofi sayaaaaaang,” Sofi tersenyum.
“Iya sayaaaaaang,” balas Sofi sambil
membubuhkan emoticon hati.
“Besok yuk ketemuan, aku pengen
ngobrol sama kamu,” ujar Asti.
“Aku minta ijin suamiku dulu ya.
Kalau bisa siang, pas anakku sekolah,” jawab Sofi.
“Kutunggu kamu di restoran Ceria ya,
besok. Daag,” Sofi tersenyum membaca pesan Asti.
Sofi langsung berpikir baju apa yang
akan dikenakannya waktu bertemu Asti besok. Asti pasti datang dengan dandanan
yang elegan dan semua benda yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang yang
mahal harganya. Suami Asti adalah seorang pengacara dengan bayaran yang mahal
dan sering wara wiri di layar kaca menemani kliennya. Perasaan minder
menghinggapi Sofi.
Sofi merasa hidupnya bak bumi dan
langit apabila dibandingan dengan kehidupan Asti. Walaupun suaminya bekerja di
perusahaan besar, tapi posisinya hanya pegawai terendah di perusahaan itu.
Makanya Sofi menerima pesanan kue-kue kering. Hanya itu yang bisa Sofi lakukan
untuk meringankan beban suaminya membiayai kehidupan keluarga.
Hati Sofi deg-degan akan kembali
bertemu dengan Asti. Rasanya ingin sekali Sofi membatalkan janji bertemu Asti.
Di sisi lain, Sofi sangat ingin ketemu dengan Asti, teman sebangkunya ketika
SMA dulu. Masa sekolah dulu, Asti adalah teman terdekat Sofi. Kemana-mana
mereka berdua selalu bersama dan tak pernah terpisahkan. Mengingat itu, Sofi
melupakan perasaan mindernya dan menguatkan tekad bertemu dengan teman lamanya
itu.
***
“Mas, saya turun disini aja deh.”
“Restorannya masih di depan lho.”
“Nggak apa-apa deh, disini saja. Saya
mau ambil uang dulu ke ATM.”
“Disini mana ada mesin ATM, Bu.
Adanya di depan restoran itu.”
Sofi tersipu malu mendengar
perkataan pengemudi ojek online yang
dipesannya.
“Nggak apa-apa mas, saya mau
melemaskan kaki. Pegal juga duduk di motor sedari tadi,” ujar Sofi. Pengemudi
ojek menghentikan motornya. Sofi mengeluarkan dompetnya dan memberi sejumlah
uang kepada pengemudi ojek tersebut.
“Terima kasih, Bu,” ujar pengemudi
ojek sambil berlalu dari hadapan Sofi.
Sofi berjalan di tengah teriknya
matahari siang itu. Jangan sampai Asti tahu kalau dia menumpang ojek siang itu.
Sampai di restoran, terlebih dahulu Sofi menuju toilet. Sofi menyapukan bedak
di wajahnya. Bibirnya diolesi lipstik berwarna lembut. Kemudian disisirnya
rambut pendeknya biar terlihat lebih rapi. Sofi menghela nafas, bersiap diri
bertemu dengan Asti yang sempurna di mata Sofi. Asti yang cantik, bersuamikan
orang kaya, ganteng dan terkenal.
Sofi duduk menunggu Asti yang belum
muncul dengan gelisah. Sofi belum berani memesan makanan karena takut Asti
tidak jadi datang. Dari mana Sofi sanggup membayar makanan di restoran sebagus
ini. Bisa dipastikan uang belanja seminggu bakal habis untuk satu kali makan
disini.
“Hai, Sofii,” tiba-tiba Asti datang
memeluk Sofi. Tercium wangi yang dari sekujur tubuh Asti.
“Pasti parfum yang mahal yang
dipakai Asti. Ah beruntungnya kamu, Asti,” Sofi bergumam dalam hatinya. Sebelum
berangkat tadi, Sofi pun sempat menyemprotkan minyak wangi remaja milik Rena,
anak gadisnya yang banyak diiklankan di layar kaca.
“Apa kabar, Sofi sayang?” sapa Asti
ramah.
“Baik, As. Kamu tambah cantik aja.”
“Ah kamu juga cantik kok,” jawab
Asti sambil duduk di depan Sofi.
Asti mengambil buku menu dan memesan
makanan. Sofi hanya mengikuti apa yang dipesan Asti karena Sofi tidak terbiasa
makan di tempat mewah.
“Takut salah pesan,” begitu alasan
yang disampaikan Sofi kepada Asti.
“Kamu ngapain aja, Sof?”
“Aku di rumah, jagain anak-anak.
Kadang kalau ada yang pesan kue kering, aku bikini juga. Kamu pesan ya sama
aku,” jawab Sofi sekalian promosi kue kering buatannya.
“Tenang, nanti aku pesan banyak ya,”
jawab Asti sambil tersenyum.
Sofi memandangi Asti dengan kagum.
Kulit Asti mulus dan bersinar. Make up yang digunakan sangat pas, pasti Asti
memakai make up yang mahal. Rambut Asti yang bergelombang dan berwarna coklat
kemerahan sangat serasi dengan bentuk wajahnya. Asti memang sosok yang
sempurna.
Sofi melirik ke tas yang diletakkan
di atas meja. Sofi menelan ludah, sepertinya tas yang dipakai Asti adalah tas
mewah yang sering dipakai selebriti di layar kaca. Baju yang dipakai Asti pun
pasti rancangan desainer ternama. Sofi semakin minder berhadapan dengan Asti.
Sofi penasaran dengan sepatu yang
dikenakan Asti. Dengan sengaja Sofi menjatuhkan tasnya. Kepalanya masuk ke
kolong meja untuk mengambil tasnya dan mencuri pandang sepatu yang dikenakan
Asti. Mata Sofi semakin membelalak setelah tahu sepatu yang dikenakan Asti.
Sofi meneguk air minum yang tersedia.
“Kenapa, Sofi?” tanya Asti.
“Kamu beruntung ya, memiliki
segalanya,”
“Kamu lebih beruntung, fi. Kamu
punya segalanya,” ujar Asti.
Sofi heran mendengar jawaban Asti.
“Kamu terlihat sangat bahagia, fi.
Dulu Deni mengejar-ngejarmu sampai jadian. Aku yakin Deni pasti memperlakukan
kamu dengan baik. Deni pasti sangat mencintai kamu. Kamu juga punya anak-anak
yang manis. Aku iri sama kamu, fi,” Air mata Asti jatuh di pipi.
“Aku nggak punya anak. Suamiku jarang pulang.
Malah dia sudah punya anak dengan perempuan lain. Suamiku menganggap kemewahan
yang diberikannya padaku sudah cukup sehingga dia merasa tidak punya kewajiban
untuk pulang ke rumah. Aku bertahan karena aku nggak mau ibu bapakku kecewa.
Aku nggak kuat, fi,” tangis Asti pecah.
Sofi terkejut melihat reaksi Asti.
Ditatapnya wajah Asti. Terlihat guratan kepedihan di matanya. Kepedihan yang
tersembunyi di balik pulasan bedak merek terkenal. Sofi tak berani berkata-kata
lagi. Sofi takut Asti semakin terluka. Sofi hanya bisa memeluk Asti dan
membiarkan Asti mengeluarkan segala unek-uneknya.
Sofi ingin sekali berlari pulang ke
rumah. Sofi akan memeluk Deni dan kedua anaknya, hanya untuk mengucapkan terima
kasih atas kebahagiaan yang diberikan selama ini.
Jakarta, 15 Juni 2017