Sebagai orang
yang hidup pada jaman milenial atau jaman “now”, saya sangat akrab dengan
berbagai jenis transportasi publik. Mulai dari angkot, angkutan online baik
roda dua maupun roda empat, segala jenis bis baik dalam maupun luar kota, dan
kereta Jabodetabek maupun kereta luar kota. Kali ini saya akan menuliskan kisah
mengenai pengalaman saya bersama kereta Jabodetabek atau lebih terkenal dengan
nama KRL. KRL adalah kepanjangan dari kereta rel listrik.
Bukan soal
teknis kelistrikannya yang ingin saya ceritakan disini, tapi pengalaman batin
saya bertahun-tahun intim dengan KRL. Saya akan ajak pembaca berkelana dari
mulai lobby stasiunnya. Kebetulan saya biasa naik dari stasiun Depok Baru.
Stasiun Depok Baru berada diantara stasiun Depok Lama dan stasiun Pondok Cina.
Dari arah Jakarta stasiun Depok Baru berada setelah stasiun Pondok Cina.
Sedangkan dari arah Jakarta, berada setelah stasiun Depok.
Biasanya saya
sudah berada di stasiun Depok adalah pukul 05.25 pagi (perjuangan yang lumayan
keras ya). Saya biasa naik KRL jurusan Depok-Jakarta Kota dengan jadwal jam
05.30. Saya memilih jadwal perjalanan pagi karena biasanya KRL belum terlalu
penuh sehingga saya masih bisa berdiri dengan nyaman tanpa bersentuhan bahu
dengan penumpang lain.
Hal yang
paling mudah diamati dalam perjalanan pergi pulang ke dan dari kantor adalah
sikap-sikap manusia yang menggunakan moda transportasi KRL jabodetabek.
Berbagai macam tingkah manusia yang kadang bisa bikin tersenyum manis, tertawa,
tersenyum kecut atau pun cemberut dan kesal berkepanjangan. Saya paling senang
memperhatikan tingkah laku para penumpang KRL (tapi saya tidak termasuk ya
karena tidak etis juga menilai diri sendiri).
Biasanya di
loket pembelian kartu yang berlaku sebagai tiket, banyak orang antri menunggu
gilirannya dilayani petugas. Kebetulan di stasiun Depok Baru belum ada mesin
tiket jadi masih manual. Disitulah bisa terlihat kalau sebagian penumpang KRL
belum bisa mendisiplinkan diri sendiri. Struk pembelian kartu banyak berserakan
di lantai padahal tempat sampah terdapat tidak jauh dari pandangan mata mereka.
Mungkin mereka merasa bahwa toh nantinya ada petugas yang akan membersihkannya.
Ah terlalu memang.
Beralih ke
gerbang “pengetapan” (maafkan saya apabila kata yang dipakai tidak ada dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Orang biasanya bergegas ketika baru memasuki gerbang
stasiun tapi announcer sudah mengumumkan
bahwa kereta akan masuk stasiun. Tentu saja orang yang terburu-buru mengejar
kereta akan berlari sekuat tenaga
bagaikan tokoh Forrest Gump yang diperankan aktor Tom Hanks dalam film berjudul
sama. Saya pun pernah melakukan hal seperti itu. Saking takutnya ketinggalan
kereta yang biasa dinaikin pada jadwal yang sama setiap harinya, kadang saya
lupa kalau usia saya sudah menjelang senja dan lutut sulit berbohong bahwa saya
masih sekuat dulu.
Saya bisa agak
lebih santai apabila datang lebih pagi dari kereta yang biasa dinaikin. Jadi
saya bisa menunggu di peron stasiun. Biasanya saya duduk dengan posisi
punggung-punggungan romantis dengan penumpang lainnya pada kursi yang menurut
saya lebih mirip jemuran.
Pada saat menunggu
biasanya ada orang yang membaca koran (walau jaman “now” sudah jarang orang
yang membaca koran karena kebanyakan jadi korban gadget), ngobrol dengan teman atau pasangannya, dan bengong
sendirian kalau orang itu masih jomblo (mungkin juga sambil matanya jelatatan,
siapa tahu ada cewek atau cowok yang bening).
Setelah
melakukan pengamatan mendalam, bisa saya pastikan kalau 9 dari 10 orang sedang
memegang ponsel (betapa kurang gaulnya manusia jaman “now” ini). Kalaupun
mereka berkelompok, seringkali mereka lebih sering berkomunikasi dengan
ponselnya masing-masing (tentu saja termasuk saya).
Ada kebiasaan
orang kalau duduk di kursi “jemuran” yang menyulitkan orang lain yang sehingga
mengurangi jatah orang lain yaitu menyimpan barang bawaannya di bangku.
Menyulitkan karena otomatis ketika seseorang ingin duduk, orang tersebut harus
mengeluarkan bunyi dari mulutnya untuk memohon agar bisa diberikan peluang
untuk duduk juga. Mungkin seharusnya orang yang sedang duduk mengerti keinginan
orang lain untuk duduk tanpa diminta.
Ketika kereta
datang dan kemudian pintu terbuka, orang akan berebut masuk. Padahal sebenarnya
kan bisa saja antri satu persatu. Bahkan bisa saja sikut mengenai tubuh orang
lain. Apalagi kalau seseorang ngintip dari jendela kereta terlihat ada bangku
yang kosong, jangan harap orang itu akan tertib masuk kedalam kereta, siap-siap
saja ada yang jadi korban. Setelah kaki menginjak kereta langsung orang tersebut
lari ke arah bangku kosong agar tidak keduluan orang lain untuk duduk tanpa
peduli ada orang kesenggol atau jatuh karena ulahnya. Untuk yang satu ini saya
akui, saya juga pernah berebutan tempat duduk walau seringnya saya kalah
langkah dan akhirnya menunggu belas kasihan orang lain untuk duduk. Biasanya
kalau lawannya banyak saya kalah atau mengalah. Kecuali kalau lawannya cuma
satu dan bapak-bapak pula saya bisa menang.