Morning

It all starts with a "Hello"
Then comes a cup of coffee

Then comes other cups of coffee
Suddenly comes milk and tea

Then a ride and a walk
Then one goes to a barbershop

Then one does house chores
Then ones having breakfast

Then ones exercising
Then ones are talking

Then ones are listening
Then ones are thinking

Then one says, "What?"
Then one says, "This"

Then one says, "Why?"
Then one says, "Because"

Then one says, "How?"
Then one says, "Look"

Then ones got confused
Then ones are upset

Then ones are interested
Then ones are nodding

Then ones are smiling
Then ones are giggling

It all starts with a "good morning"
But usually it all ends in laughter


NB: Tulisan ini terinspirasi percakapan di pagi hari

Sepi

Sepi tak berarti kosong
Sepi tak bermakna sunyi

Sepi adalah rehat
Sepi adalah ruang
Di antara makna
Satu sama lain

Sepi adalah indah
Lihatlah bunga merekah
Dalam sepi semalam

Sepi adalah kasih
Lihatlah nelayan
menangkap ikan
Kala kita masih terlelap

Sepi adalah pertaruhan nasib
Lihatlah siswa di ruang ujian

Sepi adalah tanda keahlian
Lihatlah dokter di kamar operasi

Sepi adalah bahasa hati
Ketika tak ada lagi
yang dapat diungkapkan

Biarlah sepi menunjukkan
Siapa kawan kita
dalam kesunyian

NB: Tulisan ini terinspirasi komentar seorang rekan mengenai sepi

Penasihat Yang Bertebaran

"Bu, ke pasar dulu ya," pamit pak Hasan, penjual jus buah di sekitar kantorku yang nampak terburu-buru, khawatir perjalanannya dikalahkan cepat oleh semburat sinar pagi yang lebih dulu menyelimuti pasar, tempat sang bapak biasa membeli buah-buahan. "Hati-hati ya, pak," jawab istrinya singkat sampai-sampai menitipkan kalimat penyemangat pun tak sempat lagi. Tapi sang bapak tahu, pesan singkat itu membawa sirat sebagai penyemangat di setiap mengawali hari-hari nya.

Ini dialog rutin yang sempat terbayang olehku, sepasang insan yang harus mengawali hari-hari menjemput rizqi-Nya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka adalah pejuang yang lebih dini harus mengalahkan rasa kantuk dan capeknya. Mereka harus berpeluh keringat lebih awal dari kebanyakan orang yang masih belum mau kehilangan kehangatan tidurnya. Tentu bukan hal yang ringan.

Pak Hasan dan istrinya, sepasang sosok bersahaja, sudah beberapa tahun ini jualan jus di depan masjid belakang kantorku. Meski aku tahu setiap hari yang datang akan dilewatinya dengan tidak mudah, tapi wajah-wajah polos cerianya tak pernah bermaksud menyembunyikan kenyataan bahwa mereka sangat bahagia, tak ada jejak-jejak beban yang terlihat pada raut muka yang hampir selalu dihiasi dengan senyuman dan kadang canda tawa.

***

Hari ini aku masih merasa tidak tenang setelah mendapat kepastian kabar sejak isu berseliweran di pojok-pojok tak resmi dalam kurun beberapa minggu terakhir ini. Mutasi dan promosi selalu menjadi isu yang menarik diperbincangkan di mana-mana dan sampai pada hari ketika ada kepastian nama-namanya, efeknya juga hampir sama, selalu mengecewakanku. Penyebabnya hanya satu : tidak ada namaku.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku, aku menjadi mudah marah, merasakan selalu ada dorongan-dorongan ambisi yang tak mudah aku kendalikan. Aku juga hampir selalu menemukan cara dan alasan untuk menunjukkan ke orang-orang bahwa akulah yang lebih baik, dan orang-orang yang namanya ada di lembaran keputusan yang baru ditetapkan kemarin itu tak lebih berhak daripada aku. Berdebat menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu, aku seperti menemukan panggung yang akan menjadikan aku sebagai pemeran utama yang akan diagungkan banyak orang. Aku sangat menikmatinya. Semua unsur ini terkombinasi secara sempurna yang menjadikan aku seperti sekarang ini. Rasanya aku sudah memasuki era tentang aku yang baru, bukan aku yang dulu. Entahlah.

Siang ini, mungkin masih terpengaruh oleh kekecewaanku, selera untuk makan siangku belum sepenuhnya seperti biasa, aku hanya ingin minum jus pak Hasan di belakang kantorku itu.

"Apa kabar, pak Hasan?" basa-basi tanyaku setelah beberapa lama aku memang tidak mampir beli jusnya. Seperti biasa, pak Hasan menjawab dengan sangat ramah menyampaikan kabar baiknya juga.

Tak lama kemudian pak Hasan menyodorkan segelas jus buah yang dikenal murah, enak, dan kental, setidaknya jika dibandingkan dengan jus sejenis yang dijual tak jauh dari tempat jualan pak Hasan. Rasa dan tingkat kekentalannya memang tidak berubah, ini yang menjadi daya tarik orang-orang lebih banyak beli jus pak Hasan.

"Lho harganya gak naik pak, kan harga gula sudah naik?" tanyaku penuh keheranan ketika mengeluarkan uang dari dompet lusuhku. Aku bukan pemerhati berita yang baik, tapi untuk hal-hal yang ramai dibicarakan, sedikit banyak aku juga tahu. Hari-hari terakhir ini memang lagi ramai dibicarakan kenaikan harga gula yang berlipat dari sebelumnya.

"Iya pak, belum, masih ada selisih kok, dengan harga yang sekarang ini," jawab pak Hasan yang diamini istrinya dengan senyum meyakinkan.

"Masih ada selisih." Jawaban ini cepat terngiang-ngiang di telingaku. Kalimat sederhana yang semilir dinginnya langsung sampai ke hati, adem rasanya. Aku hanya merasakan diriku terperangkap antara keharuan dan ketakjuban mendengar kalimat yang keluar dari energi kerendahhatian, kesyukuran, kemerasacukupan dan sangat jauh dari sifat ketamakan.

Sementara aku, masih tak lelah dengan ambisi yang tak bertepi, masih dengan ketamakan yang tak pernah menemukan ujung-ujungnya, masih terpenjara dengan kerasatinggidirian yang ternyata kesemuanya itu hanya memberikan ketidaktenangan yang tak berkesudahan.

Sosok sesederhana yang tertampak itu ternyata mampu membuat seseorang berjalan tertunduk, malu pada keinginan-keinginan liar yang selama ini menghantui dan merisaukan hatinya. Seseorang itu adalah aku, yang terkulai malu oleh kata-kata sederhana yang menyentak di saat yang tepat ketika aku sangat memerlukannya, untuk kembali ke era aku yang dulu.

Tuhan Maha Tahu melalui siapa peringatan-peringatan kebaikan itu akan diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Para penasihat akan kita temui di mana saja, seperti pak Hasan yang aku temui siang ini. Dia memberi contoh nyata, lalu dia mengatakan. Tidak seperti yang kebanyakan kita lihat dan dengar, ungkapan-ungkapan nasihat sering dikatakan mendahului sangat jauh dari tindakan-tindakan nyatanya.

Kisah Iteung, Episode Cantik

"Ibu Cantik, nasinya cukup?" tanya Ibu Kantin sambil menyodorkan piring yang terisi penuh nasi.
"Nggak salah nih, Iteung dipanggil cantik?" hati Iteung setengah percaya setengah nggak.
Ah, sepertinya cuma ilusi aja deh, saking Iteung ngarep dibilang cantik sama orang lain. Selama ini bisa dihitung jari orang yang muji Iteung. Jari jempol aja yang keitung. Satu-satunya orang yang pernah bilang Iteung cantik cuma si Akang. Itupun setelah Iteung acungin palu ke mukanya Akang.
"Ibu Cantik!" suara cempreng ibu Kantin mengagetkan Iteung. Berarti bener kan, Iteung dibilang cantik. Nambah satu jari deh orang yang bilang Iteung cantik.
"Tuh Kang, bener kan Iteung cantik," hati Iteung langsung bersenandung lagunya Kahitna. Ngebayangin Mario Kahitna nyanyi lagu "Cantik" sambil ngasih bunga ke Iteung, bikin Iteung senyum-senyum sendiri. Iteungnya malu-malu sambil muterin badan ke kiri dan kanan. Serasa jadi ABG.
"Bu Cantiiiiik!" teriakan bu Kantin membuyarkan lamunan Iteung.
Mata bu Kantin melotot dan bergerak ke arah belakang Iteung. Seperti kena hipnotis Romi Rafael, badan Iteung berbalik ke belakang. Antrian orang yang mau milih makanan berjejer di belakang Iteung. Kepala mereka kompak geleng-geleng ngeliat kelakuan Iteung. Kayak ngeliat film India.

Daripada panggilan cantik dicabut, Iteung buru-buru nunjukin lauk apa saja yang akan menemani nasi di pagi yang ceria dan bersahabat ini. Karena tqkut aura kecantikan Iteung pudar, Iteung koreksiƬ permintaan nasi dan lakunya.
"Nasinya kurangin Bu, nggak boleh banyak-banyak sama dokter kecantikan!"
Ibu Kantin mengurangi porsi nasi Iteung sambil menahan rasa mual kayaknya.
"Apa lauknya?"
"Tahu sama sayur sop aja!" jawab Iteung.
"Tumben, biasanya nasi sama lauknya banyak sampe tumpah dari piring," Bu Kantin membocorkan rahasia Iteung.
"Sst....jangan bongkar rahasia!" tangan Iteung ditempel di bibir.

Iteung berlalu dari booth bu Kantin. Orang-orang di barisan belakang memandangi Iteung. Kayaknya mereka kagum dengan kecantikan alami Iteung. Mungkin nanti bakalan banyak yang nanya apa rahasia kecantikan Iteung. Sepertinya Iteung harus bikin sharing session  di kantor untuk menjelaskan tips and trick menjaga kecantikan ala Iteung. Mulai hari ini Iteung harus menjaga sikap biar anggun, jadi kecantikan Iteung paripurna.

Seharian Iteung bolak-balik ke toilet untuk memastikan dandanan tetap oke.
"Bu, kok mondar-mandir ke toilet melulu," Mbak Cleaning Service sepertinya mulai kesel sama Iteung.
"Sembarangan, saya cuma mau memastikan kerjaan kamu beres nggak," ilmu ngeles Iteung keluar. Kalau soal ngeles, Iteung memang jago. Pernah belajar dua semester dulu, ilmu ngeles yang efektif di sekolah kepribadian ganda.

"Mirror, mirror on the wall, Iteung beneran cantik kan?" Iteung pengen memastikan.
"Woi...jangan berisik! Lagi konsentrasi nih," suara dari arah kloset menyadarkan Iteung bahwa cermin tidak bisa dijadikan alat ukur menilai kecantikan seseorang. Untung aja cerminnya nggak pecah.

Besok paginya, Iteung menemui bu Kantin lagi. Kali ini Iteung tampil lebih cantik dan anggun. Busana pun dipilih yang sophisticated.

Iteung antri di belakang.
"Mau makan apa, Cantik?" suara bu Kantin terasa merdu di telinga Iteung.
Iteung langsung lari ke depan antrian.
"Antri, Mbak!" teriak orang-orang di belakang Iteung.
Iteung lihat ibu Kantin melayani orang lain.
"Apa lagi, Cantik?"
"Tambah apa, Ganteng?"
"Lauknya apa, Cantik?"
"Minumnya apa, Ganteng?"
"Terima kasih, Cantik,"
Begitu terus ucapan bu Kantin kepada semua pelanggannya.
"Ibu Cantik, mau makan apa?"
Hilang sudah selera makan Iteung........

Jakarta, 18 Mei 2017


GEMESS (Garing mak kress) : Menuliskan Ide

Supangat sedang giat-giatnya belajar menjadi seorang penulis. Impiannya sejak kecil memang ingin menjadi penulis hebat. Namun karena kesibukan mengejar karir sebagai birokrat, baru akhir-akhir ini dia bisa meluangkan waktunya untuk kembali menekuni dunia tulis menulis. Demi meningkatkan kualitas tulisannya, Supangat juga tak segan untuk mengikuti berbagai pelatihan menulis dari banyak narasumber.

Hingga suatu hari, tanpa diduga di kantor Supangat diadakan pelatihan menulis untuk pegawai yang memang memiliki semangat tinggi untuk membuat karya dari goresan pena (meskipun kini sudah beralih ke keyboard komputer)

Mendengar info tersebut Supangat begitu bersemangat. Tak berpikir dua kali dia langsung menghubungi panitia untuk mendaftar menjadi peserta. Apalagi pembicaranya kali ini adalah seorang penulis yang sudah cukup punya nama.

Singkat cerita, hari itu tiba, Supangat yang sedari rumah sudah berbunga-bunga, segera mengambil bangku terdepan supaya lebih serius menyimak seluruh isi acara. Selama lebih satu jam narasumber menjabarkan berbagai tips dan trik membuat tulisan yang menarik dan disenangi pembaca. Bukan hanya itu, dari materi yang disampaikan juga diselipkan kata-kata motivasi yang sekiranya bisa membuat peserta tergugah untuk mulai mencoba menulis sebanyak-banyaknya.

Saking serunya, Supangat hanya bisa terperangah dengan mulut menganga diiringi anggukan kepala menyimak kalimat demi kalimat dari ahlinya. Dari raut wajahnya tampak rona berseri-seri sambil berimajinasi.

Tibalah saat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Supangat, sesi tanya jawab. Di benaknya sudah tercatat pertanyaan yang akan diutarakannya agar dapat diberikan solusi terbaik langsung dari pakarnya. Tak lama dari MC mempersilahkan bertanya, Supangat sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, untungnya sebelum berangkat kantor tadi Supangat tidak lupa mandi dan pakai minyak wangi.

Setelah dipersilahkan, Supangat langsung meraih mic yang sudah disediakan panitia. Setelah memperkenalkan diri, Supangat langsung mengutarakan pertanyaannya.

"Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Mbak, Jadi begini... " sejenak Supangat menghela nafas.

"Sebagai penulis pemula yang sedang mencoba semangat untuk konsisten menulis, seringkali saya mendapat masalah ketika ingin merealisasikan ide saya. Setiap hari saya selalu ada ide yang ingin saya tulis, tetapi sering kali hanya jadi wacana karena tersita kesibukan yang lain. Mohon pencerahannya Mbak bagaimana tips dan cara menyiasatinya?"
 "Makasih" Supangat menutup pertanyaannya.

Menanggapi pertanyaan Supangat, narasumber yang merupakan seorang wanita muda tampak berpikir sejenak sebelum mengangkat mic ke depan mulutnya.

"Baik, pertama saya apresiasi sekali ini mas Supangat yang selalu punya ide tiap hari karena yang mahal dari sebuah tulisan itu adalah ide nya. Banyak orang bahkan penulis profesional sekalipun yang malah kesulitan mencari ide tulisannya".

"Kalau dari saya mas, mungkin perlu dirasakan lagi seberapa ingin ide yang ada itu ingin Mas Supangat tulis dan sampaikan. Jadi kita harus benar-benar punya keinginan yang besar untuk menuangkan ide kita tersebut."

 "Tips yang mungkin bisa saya sarankan adalah cintai lah objek atau hal-hal dari ide yang Mas Supangat punya. Karena semua orang sudah pasti setuju bahwa jika kita mencintai sesuatu pasti kita akan berkorban dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya."

"Saya kira begitu juga dengan Mas Supangat, kalau Mas Supangat benar-benar mencintai apa yang menjadi ide Mas tadi, pasti akan berusaha sekuat tenaga dan meluangkan waktu untuk bisa menulisnya. Mungkin itu mas yang bisa saya sampaikan"

Narasumber dengan lugas dan jelas menjawab pertanyaan Supangat.

Mendengar jawaban dari pembicara, Supangat tampak malah menundukkan kepala dan mulai menitikkan air mata. Sontak seisi ruangan menjadi bingung, apalagi sang narasumber. Dia jadi salah tingkah dan jadi berfikir apa ada yang salah dengan jawabannya.

"Waduh, Mas apa jawaban saya ada yang salah atau menyinggung? Maaf lho mas" mbak narasumber mencoba mengkonfirmasi

"Ngga kok mbak, ga ada yang salah" jawab Supangat sambil tetap tertunduk.

"Benar yang mbak katakan tadi, kita memang harus benar-benar mencintai ide yang ingin kita tuliskan, tapi mbak... " kalimat dari mulut Supangat terhenti.

"Tapi mbak... masalahnya.... dia sudah punya suami..." Supangat mencoba melanjukan dengan suara yang mulai terasa berat dan air mata yang makin deras.

"Saya benar-benar mencintainya mbak, tapi dia lebih memilih orang lain...makanya saya selalu ga kuat menuliskan ide saya itu" Mas supangat malah terus curhat.

Sesaat kemudian Mas Supangat lari ke pojokan sambil sesenggukan berusaha menahan tangis dan sesekali menyeka air mata. Tamat!



CURCOL SI AKI (Episode II : Hari yang Melelahkan... )

Hari yang melelahkan.....

Pukul 08.30 kami sampai di insitusi penegak hukum. Berarti masih ada waktu setengah jam untuk bersiap-siap karena dalam surat panggilan yang diterima, pemeriksaan akan dilakukan pada pukul 09.00.  Pak Arham melakukan koordinasi dengan petugas penerima tamu sementara kami menunggu di ruang tunggu. Aku melihat ke sekelilingku. Kulihat banyak juga orang-orang yang sering kulihat di televisi sedang duduk menunggu pemeriksaan.. Ada mantan menteri, ada pejabat publik aktif, ada juga pengusaha terkenal. Kelihatannya korupsi di negeri ini telah merambah ke segala penjuru. Semoga saja mereka hanya sebagai saksi yang tidak terlibat dalam kejahatan kerah putih ini.
 Tiba saatnya giliran kami untuk diperiksa. Semua peralatan komunikasi diminta dimasukkan ke dalam locker yang telah disediakan dan selanjutnya kami menuju ruang pemeriksaan.

Ruang pemeriksaan yang cukup kecil menjadi terasa semakin sempit ketika kami berempat  masuk ke dalamnya. Ruang itu hanya berukuran 2x2 m dan di setiap sudut dilengkapi dengan cctv yang mengarah kepada orang yang diperiksa. Tak lama masuk pula 2 orang petugas. Yang seorang memperkenalkan diri sebagai ketua tim pemeriksa dan seorang lagi sebagai anggotanya. Setelah itu kami diminta mengisi formulir yang berisi isian penjelasan identitas kami secara singkat, baik nama, jabatan, tempat tanggal lahir, alamat, dan sebagainya.

“Selamat pagi Bapak-bapak. Bisa minta tolong dijelaskan sedikit apa yang Bapak ketahui mengenai kasus yang sedang kami tangani ini?” tanya Ketua Tim.

“Maaf Pak, saya masih baru menduduki jabatan kasubdit. Saya tidak tahu sama sekali permasalahan apa sebenarnya yang terjadi. Kejadian itu kalau tidak salah saya baca dalam surat panggilan terjadi 8 tahun yang lalu. Sementara saya menjabat baru setahun ini,” kata Pak Rusdi dengan sangat santun. Tak terlihat lagi kegagahan dan kegalakannya yang sering terlihat di kantor.

“Sama Pak, saya juga baru 1,5 tahun ini menjabat sebagai kepala seksi. Sampai saat ini pun saya masih dalam taraf belajar dengan pekerjaan saya ini,” sambung Mas Antok dengan pelan. Tak terlihat lagi sikap kritis dan percaya dirinya yang biasa terlihat sehari-hari.

Ketua Tim Pemeriksa itu mengangguk-angguk sambil membaca formulir yang telah diisi, lalu menatap ke arahku, “Berarti tinggal Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino yang memenuhi persyaratan untuk memberikan keterangan. Saudara ada pada saat kejadian dan kalau melihat latar belakang pendidikan Saudara yang sarjana pasti dapat menjelaskan dengan gamblang.”

Aku hanya terdiam dan tidak mengerti apa maksud perkataannya itu.

“Bapak-bapak yang lain kami persilahkan meninggalkan ruangan. Di luar tersedia ruang tunggu apabila Bapak akan menunggu. Akan tetapi apabila Bapak masih ada pekerjaan lain diperkenankan untuk kembali ke kantor dan kami ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak. Sementara Saudara Rocky kami tahan dulu disini untuk memberikan keterangan, semoga malam nanti sudah bisa pulang,” lanjut Sang Ketua Tim dan duerr....aku langsung syok mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya. “Seingatku aku diminta ikut untuk membantu membawa berkas dan tentu saja ditambah tugas tambahan yang kuajukan sebagai driver dadakan. Mengapa sekarang aku yang diperiksa dan mereka boleh pulang ?” kataku dalam hati.

Pak Rusdi menepuk bahuku dan berkata, “ Tinggal dulu ya Ki.Tolong bantu Bapak-bapak ini menjelaskan. Saya yakin kamu pasti bisa.”

Aku hanya melongo tidak menjawab sambil menatap semua orang termasuk petugas pemeriksa meninggalkan ruangan sempit itu.

Tak lama kemudian dua orang petugas yang berbeda masuk kembali ke dalam ruangan. Duduk manis dihadapanku (meskipun aku merasa sama sekali tidak manis, yang kurasakan malah super kecut dan pahit) kemudian memperkenalkan diri dan memulai pemeriksaan dengan kalimat tanya yang menurutku hanya formalitas belaka. “Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, apakah Anda dalam keadaan sehat dan siap menjalani pemeriksaan pemberian keterangan saat ini?” tanya salah seorang petugas.
Mau tidak mau kujawab “Sehat Pak. Saya siap memberikan keterangan.”
Aku tidak dapat membayangkan seandainya kujawab “ Saya sakit Pak. Saya terpaksa duduk di sini karena keadaan dan nasih buruklah yang membawa saya ke sini.”

Kalau kujawab seperti itu pasti pemeriksaan dihentikan dan bisa-bisa di kantor aku diamuk bukan hanya oleh Pak Rusdi tapi juga oleh Direkturku.

Kembali ke laptop...

Selanjutnya pemeriksa menjelaskan secara singkat kasus yang sedang mereka tangani dan kenapa mereka meminta perwakilan dari unit kerja kami untuk memberikan keterangan. Seperti yang kuduga ternyata diindikasikan terdapat pengeluaran fiktif dalam jumlah yang cukup besar (paling tidak cukup untuk membeli rumah mewah beserta isinya). Mereka juga menunjukkan dokumen-dokumen yang telah mereka peroleh dan yang mengejutkanku dokumen yang mereka miliki jauh lebih lengkap daripada  yang ada padaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen dimaksud. Selain menunjukan dokumen-dokumen yang mereka miliki, juga ditunjukan orang-orang yang telah mereka periksa yang sebagian besar adalah orang-orang yang kukenal dan sering hadir dalam rapat-rapat yang kami adakan.
Setelah menjelasakan secara singkat kasus yang mereka hadapi mereka mulai mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang menurutku tidak terlalu sulit,  yaitu mengenai prosedur pengalokasian beserta dasar hukumnya. Aku dapat menjelaskan dengan tenang karena suasana yang mereka bangun tidak seperti yang kubayangkan. Selama ini kubayangkan kalau berhubungan dengan aparat dimana kita sebagai “terperiksa” maka yang ada hanyalah bentakan-bentkana, intimidasi, atau sampai seperti yang pernah kubaca di suatu media, dimana ada edisi “injakan kaki” atau “sundutan rokok” dan sejenisnya. Suasana saat pemeriksaan cenderung santai dan lebih mirip dengan diskusi.

Akhirnya edisi diskusi penganggaran selesai juga. Sesi berikutnya cukup memeras otak. Bagaimana tidak, aku harus mengingat-ingat kejadian 8 tahun yang lalu. Siapa saja dan apa peran mereka maisng-masing dalam pengalokasian anggaran untuk kasus yang sedang diselidiki. Belum lagi dalam rapat-rapat yang diadakan ditanyakan siapa saja mitra kerja yang hadir dan apa peranan mereka. Aku sedikit khawatir jangan sampai apa yang kusampaikan tidak sesuai dengan dokumen yang telah mereka peroleh atau aku salah memberikan keterangan yang menyebabkan perubahan nasib seseorang dari “saksi” menjadi “tersangka”. Cara-petugas pemeriksa memberikan pertanyaan masih terlihat santai tetapi pertanyaannya jauh lebih mendalam dan mereka terlihat lebih serius. Beberapa kali aku ditinggal sendiri selama beberapa waktu. Tak jarang pula pertanyaan yang sama diulang-ulang setelah selang beberapa waktu.

“Baiklah Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 diskusi ini kita break dulu, silahkan kalau Saudara akan sholat nanti langsung saja ke musholla. Setelah selesai sholat silahkan kembali ke ruangan ini,” ujar petugas pemeriksa.

“Terima kasih atas bantuannya sejauh ini. Diskusi kita lanjutkan nanti setelah istirahat.,” lanjutnya lagi sambil beranjak dari ruangan.

Aku sebenarnya agak kurang setuju dengan istilah “diskusi” karena setelah sesi pertama selesai selanjutnya pertanyaan hanya searah, mereka bertanya dan aku yang harus menjawab semua pertanyaan. Tidak mungkin aku balik bertanya kepada mereka misalnya, mengenai “apa peranan mereka” atau “dimana mereka waktu kejadian itu” atau “dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen itu”. Kalau kutanyakan hal itu bisa jadi suasana malah menjadi runyam.

Sewaktu aku keluar ruangan aku terkejut, ternyata Pak Rusdi dan yang lain masih ada di luar.

“Wah, Bapak masih di sini. Saya jadi terharu ditungguin Bapak-bapak,” ujarku tersipu-sipu.

“ Bukan nungguin kamu Ki, tapii... mana kunci mobilnya. Bagaimana kami mau pulang kalau kunci mobil kamu pegang,” jawab Pak Rusdi.

“Hehehehe..” aku tertawa kecut sambil menyerahkan kunci mobil kepada Pak Rusdi.

“Bagaimana tadi di dalam?” tanya Pak Rusdi.

“Aman Pak. Pertanyaan-pertanyaannya hanya sekitar prosedur pengalokasian serta kejadian waktu rapat penelaahan dulu,” jawabku.

“Hanya saja banyak yang lupa Pak. Maklum 8 tahun yang lalu,” tambahku lagi.

“Tenang saja Ki, meski kami tidak bisa masuk tapi kami tetap dukung kamu dari jauh. Semoga lancar dan cepat selesai pemeriksaannya,” kata Pak Rusdi sambil menepuk bahuku.

“Terimak kasih Pak,” jawabku. Kami masih berbincang-bincang sebentar sampai kemudian Pak Rusdi dan yang lain pamit kembali ke kantor.

“Kalau sudah selesai pemeriksaanya, nanti telepon saja. Nanti akan ada yang menjemput kamu kembali ke kantor,” kata Pak Arham.

“Terima kasih Pak,” jawabku.

Setelah aku kembali ke ruangan mungilku yang penuh dengan pajangan CCTV kulihat di atas meja telah tersedia sajian makan siang. Tak seperti yang kubayangkan, menu makan siangnya ternyata jauh lebih menggairahkan dibandingkan nasi kotak di kantor. Aku tak tahu apakah itu betul-betul karena memang menunya yang menarik atau karena aku sedang kelaparan setelah dihujani pertanyaan bertubi-tubi selama hampir 3 jam.

Sesi selanjutnya kalau boleh kesebut sesi "remedial" atau sesi "deja vu". Pada sesi ini pertanyaan yang telah diajukan kembal dilontarkan dengan cara dan bahasa yang berbeda serta secara acak diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Petugas pemeriksanya pun bergantian dan kadang diselingi dengan menghilangnya pemeriksa dari hadapanku secara mendadak untuk beberapa menit bahkan pernah terjadi aku ditinggal sendiri sampai setengah jam.
Selama masa “break” itu yang terpikiri di benakku bukanlah mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tetapi justru aku teringat dengan nasib RKA-KL yang harus kuselesaikan. Sedari tadi Pak Rusdi tidak menyampaikan kalau aku mendapat dispensasi penyelesaian kewajibanku karena harus memenuhi panggilan tugas negara ini. Ini berarti mau tidak mau aku harus menyelesaikannya hari ini juga. Meskipun mas Ridho sudah menyanggupi untuk mengambil alih pekerjaanku hari ini tapi aku belum merasa tenang juga. Aku khawatir mas Ridho kesulitan menghadapi mitra kerjaku yang aneh bin ajaib itu.

Akhirnya menjelang maghrib edisi tanya jawab berakhir juga. Tinggal edisi selanjutnya yaitu edisi pemberkasan. Mengingat pemeriksaan yang dilakukan masih dalam tahap penyelidikan maka yang dibuat bukanlah BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tetapi semacam surat pernyataan pemberian keterangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan kepada saksi-saksi serta bukti-bukti yang dikumpulkan  baru nanti dapat diputuskan apakah kasus ini dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan dan ditetapkan tersangkanya.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang agak menegangkan bagiku adalah ketika petugas pemeriksa menyodorkan daftar nama yang sebgian aku kenal baik, sebagian lagi aku hanya tahu namanya, bahkan ada yang sama sekali tak kukenal. Pertanyaan yang diajukan adalah siapa saja yang aku kenal, dimana aku mengenalnya, sejauh mana aku mengenalnya, apa yang pernah mereka berikan kepadaku, apa yang pernah aku terima, dan seterusnya dengan kalimat tanya yang berbeda-beda dan berulang-ulang. Tentu saja semua pertanyaan itu kujawab apa adanya dan kalaupun aku lupa kujawab saja apa adanya bahwa aku lupa. Khusus untuk pertanyaan “Apakah Saudara pernah menerima sesuatu ?” dan pertanyaan sejenisnya, tentu saja kujawab apa adanya pula karena memang aku tidak pernah menerima sesuatu apa pun dari mitra kerjaku.

Ketika istirahat menjelang maghrib terdengar seseorang memanggiulku “Bro

Ki, masih betah di sini ?”

Aku menengok, ternyata dari balik sebuah pintu muncul sesosok wajah yang sangat kukenal. Teman sekantorku yang telah memutuskan bermigrasi menjadi bagian dari unit penegak hukum  ini meskipun tugasnya tetap sama dengan tugasnya yang lama, tidak jauh dari menghitung angka-angka.

“Tadi aku sempat ngobrol dengan Pak Rusdi, Pak Arham, dan mas Antok, “ lanjutnya lagi.

“Udah selesai belum ?”

“Belum, tapi katanya tinggal pemberkasan aja,” jawabku.

“Santai sih pemeriksaanya. Mereka juga baik-baik,” lanjutku.

“Ya santailah, kalau kamu kena OTT atau kamu pernah terima sesuatu baru beda rasanya. Kamu merasa gak terlalu tegang karena gak punya salah” katanya pula.

“Bener juga ya,” sahutku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

“Biasanya dipanggil lagi gak kalau begini? Tadi banyak yang aku lupa. Maklumlah udah 8 tahun yang lalu. Mana aku ingat detail kejadiannya,” tanyaku lagi.

“Tergantung kebutuhan juga sih. Tapi kalau level pelaksana dan gak menerima apapun atau gak liat suatu kejadian yang aneh biasanya jarang dipanggil lagi. Lagian sebenarnya kan bukan kamu yang dipanggil tapi kamu hanya mewakili institusi aja,” jawabnya lagi.

Aku hanya mengangugk-anggukkan kepalaku mendengar jawabannya.

Akhirnya sesi pemberkasan selesai sekitar pk.20.00 dan setelah prosesi penandatanganan surat keterangan dan berbasa-basi sebentar dengan para petugas yang setia menemaniku dari pagi hingga malam harinya akhirnya aku diperkenankan pulang dan diantar sampai ke pintu keluar. Tentu saja dengan sikap mereka yang tak berubah, tetap sopan dan ramah serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuanku seharian ini.

Sampai di luar, sesuai arahan Pak Arham agar segera menelepon kalau sesi pemeriksaan telah selesai,  maka kutelepon Pak Arham.

“Assalamualaikum Pak Arham. Ini Rocky Pak. Saya sudah selesai dan sudah boleh pulang Pak.”

“Wah mas Aki, maaf mas...saya sudah pulang. Ini saya sudah di rumah. Di kantor juga sudah pulang semua, jadi kelihatannya tidak ada yang bisa jemput mas Aki. Mas Aki bisa kan pulang sendiri? Tadi dibuatkan surat tugas tidak ? kalau ada surat tugas berarati mas Aki bisa langsung pulang ke rumah. Tidak perlu kembali ke kantor lagi,” Jawab Pak Arham.

Malangnya nasibku, karena rencana awal aku hanya membawakan berkas Pak Rusdi sehingga tidak disiapkan surat tugas buatku. Aku pun tak menyangka harus berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan selama ini.

Selanjutnya kutelepon Pak Rusdi. Ternyata tidak diangkat. Kucoba lagi sampai tiga kali ternyata tidak juga diangkat. Akhirnya kucoba telepon mas Antok.

“Mas, saya sudah selesi nih,” kataku.

“Waduh Ki, aku udah di KRL. Pak Rusdi juga tadi udah pulang duluan. Katanya ada keperluan,” jawab mas Antok.

Hmmm...ini berarti aku harus kembali ke kantor sendiri. Kubuka dompet ternyata aku lupa membawa uang. Kucoba merogoh saku celanaku, ternyata ada terselip beberapa koin seribuan dan limaratusan. Kuhitung 1..2..ada 2 koin seribuan. Lalu... 1..2..3.. ternyata ada 3 koin limaratusan. Jadi total ada uang Rp3.500,0. Pas sekali untuk ongkos naik bus Trans Jakarta.

Sesampainya di kantor aku segera ke ruanganku dan ternyata mas Ridho belum pulang dan masih menungguiku.

“Wah. Akhirnya pulang juga kamu Ki. Hampi aja aku nginep di kantor nunggguin kamu. Ini udah selesai semua mainan kamu,” katanya sambil menyerahkan berkas hasil penelaahan.

“Tadi sudah langsung mereka perbaiki. Besok tinggal kamu selesaikan aja proses administrasinya,” lanjutnya lagi.

“Terima kasih banyak mas. Jadi ngerepotin nih,” jawabku sambil betul-betul terharu atas bantuan mas Ridho. Aku betul-betul bersyukur memiliki teman seperti mas Ridho.

“Santai aja Ki. Gimana tadi di sana. Seru gak ?” tanyanya.

“Seru apanya mas..capeknya itu loh. Seharian ditanya-tanya terus,” kataku.

“Tapi alhamdulillah, udah selesai dan aman tentram damai. Kondisinya tidak seperti yang dibayangkan selama ini. Mereka betul-betul udah profesional kok,” lanjutku lagi.

“Siiplah kalau begitu. Sekarang kita pulang dulu, istirahat. Apalagi kamu seharian nonstop. Besok dilanjut lagi ceritanya,” ujar mas Ridho sambil bersiap-siap untuk pulang.

Setelah kejadian itu aku mencoba mencari informasi mengenai kemungkinan kelanjutan hasil pemeriksaanku. Sebagian besar orang yang kutanya berpendapat tidak akan ada kelanjutan panggilan lagi mengingat yang kutahu hanya sedikit dan jawaban yang dapat kuberikan lebih banyak bersifat normatif dan prosedural saja. Ada teman yang ahli hukum mengatakan kalau aku bukan saksi penting karena sebenarnya aku tidak tahu apa-apa atas kasus tersebut.

Setelah berselang hampir 2 tahun dari kejadian itu dapat kukatakan kalau aku sudah hampir lupa dengan kejadian tersebut. Tiba-tiba...

“Ting..tong..ting..tong...” terdengar ponselku berdering. Kulihat di layar tertera nama istriku yang baru kunikahi 3 bulan yang lalu.

“Assalamu'alaikum... ada apa Honey ?” ujarku menjawab panggilan telepon itu.

Terdengar suara istriku bergetar di seberang sana seolah akan menangis, “ Wa'alaikumsalam, Mas ini Bapak, Ibu sama kakak kakak sedang kumpul di rumah. Waktu sedang ngobrol di teras barusan ada tamu datang pakai seragam. Dia bawa surat panggilan pemeriksaan atas kasus korupsi untuk kamu. Ada apa sebenarnya Mas ?”
Kemudian terdengar pelan isak tangis istriku.

“Haaah...” aku ternganga.

Gerimis Menangis

Bocah kurus yang beringus
Melangkah terus menenteng kardus
Wajah tirus menatap lurus
Terberangus raga tak terurus

Wanita menjelang senja
Bergaya layaknya remaja
Terlupa mahligai keluarga
Terbawa pesona pemuda

Lelaki berkumis yang tak lagi klimis
Hati miris ucap tak digubris
Kekasih manis beri luka mengiris
Mimpi dikais di ujung gerimis


Edisi bengong dalam bus jurusan Senen-Cimone yang ngetem

Tanpa Judul

Sore itu, disebuah taman yang berada ditengah-tengah gedung bercat putih, duduk 3 orang pria. Satu dari ketiga orang tersebut memulai percakapan.

"Bagaimana soal rencana membangun sebuah hotel mewah bintang lima?Apa kalian sudah punya ide dimana lokasinya, dan berapa biaya yang diperlukan?" menatap kedua kawannya dengan raut wajah serius.

Mendengar suara si Pria, kedua kawannya saling berpandangan dengan raut wajah heran.  Tidak ada satupun yang berani menjawab. Si Pria kembali berbicara.

"Hey, apa kalian gak percaya sama saya?apa kalian pikir, cuma bangun satu hotel mewah saja saya gak sanggup?" matanya melotot seperti hendak keluar, "asal kalian tahu, uang saya banyak, membangun sepuluh hotel mewahpun saya sanggup, gak akan menghabiskan uang yang saya punya!" katanya kemudian berusaha meyakinkan.

"Coba kamu yang bawa kalkulator, sekarang hitung semua biaya yang diperlukan!" menatap salah satu kawannya yang sedari tadi memainkan alat hitung elektronik.

"Dan kamu, heeey....kamu jangan diam saja, keluarkan ide yang kamu punya!" dengan suara membentak.

Namun kawannya yang satu inipun hanya terdiam. Kemudian keduanya hanya saling berpandangan. Tidak ada satupun suara yang keluar dari bibir mereka.

Tanpa mereka sadari, tiba-tiba datang seorang perempuan berseragam serba putih bermaksud hendak mengakhiri pembicaraan

"Bapak-bapak yang baik, waktu bersantai ditaman sudah selesai. Ayo kita masuk!. Besok pagi lanjut lagi obrolannya ya....".



hujan

aku masih bingung
apakah aku yang beruntung disentuh rintikmu hujan, atau kau yang bahagia bisa membasahiku.
entahlah

Beban APBN Untuk Pemindahan Ibu Kota Negara

Wacana pemindahan Ibu Kota Negara yaitu DKI Jakarta mulai didengungkan kembali, hal ini pertama kali didengungkan pada saat pemerintahan Presiden Soekarno yang ingin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangka Raya, tetapi sebelum hal ini terealisasi, Presiden Soekarno sudah lengser terlebih dahulu. Kemudian wacana pemindahan Ibu kota Negara kembali digulirkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, diusulkan pemindahan ibu kota negara ke Jonggol, tetapi lagi-lagi hal ini tidak terealisasi kembali hingga berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kemudian masa pemerintahan Presiden SBY juga mewacanakan isu pemindahan ibu kota negara hingga masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Wacana pemindahan ibu kota negara pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, sedang dalam tahap kajian di Bappenas. Lokasi ibu kota masih belum ditetapkan, ada yang menyebutkan Jonggol hingga Palangka Raya atau kota lain di Kalimantan.
Tulisan ini bukan merupakan kajian yang komprehensif mengenai pemindahan ibu kota negara, tidak mengkaji kota mana yang tepat menjadi ibu kota negara baru, tidak mengkaji perlu atau tidaknya pemindahan ibu kota negara, tetapi melihat secara sederhana dampak anggaran yang ditimbulkan dari pemindahan ibu kota negara. Karena, pemindahan ibu kota negara mau tidak mau, besar maupun kecil, pasti akan membebani APBN. Sebesar apa beban APBN kita? saya akan coba uraikan satu-satu dengan asumsi ibu kota negara pindah ke Palangka Raya.

Pertama, apa yang paling dibutuhkan suatu pemerintahan? tentu saja adalah gedung pemerintahannya. Hingga tahun 2017 ini, terdapat 88 Kementerian Negara/Lembaga dan apabila benar-benar terjadi pemindahan ibu kota negara, maka kemungkinan besar 88 Kementerian Negara/Lembaga (K/L) tersebut juga akan dipindahkan (tentu saja kalo saat pemindahan nanti jumlahnya masih 88, semoga saya juga tidak salah ngitung jumlah K/L). Dengan jumlah 88 K/L, maka perlu 88 ruangan untuk Menteri dan Pimpinan Lembaga serta jajarannya. Dengan menggunakan standar ruangan dari Kementerian PU-PR dan jumlah PNS Pemerintah Pusat dari BPS, maka perhitungan kebutuhan gedung adalah sebagai berikut:
Sumber : Kementerian PUPR
(Keterangan : standar rata-rata ruang kantor tingkat Direktorat (Unit Eselon II) adalah 10 m2/pegawai (angka rata2 termasuk Direktur dan Kasubdit))

Sumber : Pemerintah Kota Palangka Raya


Jumlah PNS Menurut Jenis Kepegawaian dan Jenis Kelamin, Desember 2013 dan Desember 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik

Apabila melihat dari data harga satuan tertinggi gedung negara untuk kota Palangka Raya dan data jumlah PNS Pemerintah Pusat, maka didapat angka kebutuhan anggaran gedung kantor dengan perhitungan sebagai berikut:

Total Menteri                 = 406 m2 x 89
(Pimpinan Lembaga)      = 36.134 m2
Biaya Total Menteri       = 36.134 x 4.172.000
                                    = 150.751.048.000                           
Total Eselon I                = 197 m2 x 306
                                    = 60.282 m2
Biaya Total Eselon I       = 60.282 x 4.172.000
                                     = 251.496.504.000
Total Direktorat              = 10 m2 x 909.426
                                     = 9.094.260 m2
Biaya Total Direktorat     = 9.094.260 x 4.172.000
                                     = 37.941.252.720.000
Total Biaya                     = 150.751.048.000 + 251.496.504.000 + 37.941.252.720.000
                                     = 38.343.500.272.000

Berdasarkan hasil perhitungan, maka anggaran yang dibutuhkan untuk membangun gedung Pemerintah Pusat adalah sebesar Rp38.343.500.272.000,00. Angka tersebut merupakan perhitungan paling minimal yang harus dipenuhi karena menggunakan angka untuk pembangunan gedung bertingkat sederhana.
Pembangunan gedung juga memerlukan pengadaan tanah terlebih dahulu, dengan menggunakan luas minimal yaitu untuk total gedung Menteri (dan pimpinan lembaga), Eselon I, dan Direktorat, maka luas keseluruhan dalam m2 adalah 36.134 m2 + 60.282 m2 + 9.094.260 m2 = 9.190.676 m2 dan NJOP Kota Palangka Raya sebesar Rp400.000,00 per m2 (sesuai dengan Perda Kota Palangka Raya), maka kebutuhan anggaran untuk pengadaan tanah adalah sebesar 9.190.676 x 400.000 = Rp3.676.270.400.000,00.
        Selain kebutuhan anggaran untuk pembangunan gedung dan pengadaan tanah, perlu anggaran untuk belanja barang operasional. Mengambil data dari BI Anggaran untuk tahun anggaran 2017, belanja barang operasional untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga di Kantor Pusat adalah sebesar Rp26.564.170.166.000,00.
(Keterangan: data diambil dengan memfilter untuk seluruh belanja barang operasional dan seluruh K/L yang berlokasi di DKI Jakarta, Satker yang berlokasi di DKI Jakarta masuk kedalam penghitungan).
        Dengan melakukan penghitungan untuk biaya pembangunan gedung dan kebutuhan belanja barang oprasional, maka suatu gedung pemerintahan agar dapat digunakan memerlukan biaya total untuk seluruh Kementerian Negara/Lembaga adalah sebesar :
Rp38.343.500.272.000,00+Rp3.676.270.400.000,00+Rp26.564.170.166.000,00=Rp68.583.940.838.000,00. Hasil perhitungan tersebut merupakan angka minimal, dan kemungkinan besar bisa 2 kali lipat kebutuhan yang perlu dianggarkan.

           Kedua, perlunya perumahan bagi PNS. Penyediaan perumahan bagi PNS yang ikut pindah, hal ini dapat diberikan berupa subsidi, pembiayaan dengan bunga rendah, atau membangun rumah dinas untuk seluruh PNS. Apakah akan membebani APBN? Apabila bentuknya adalah keringanan pembiayaan, tidak akan membebani APBN, tapi apabila harus diberikan subsidi dan memberikan seluruh PNS rumah dinas, maka ini akan sangat membebani APBN. Apabila  seluruh PNS diberikan rumah dinas, dengan anggaran per rumah Rp200.000.000,00, maka untuk memenuhi kebutuhan 909.426 PNS adalah sebesar Rp181.885.200.000.000,00.

            Ketiga, pemindahan Ibu Kota Negara juga perlu memikirkan penambahan pembangunan untuk pengelolaan air bersih, pemenuhan energi, transportasi, jalan, ruang terbuka hijau, sanitasi, drainase, penambahan rumah sakit, penambahan sekolah, dan lain sebagainya. Kebutuhan tersebut dapat dibebankan oleh APBD karena nantinya akan dikelola oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Perlu ada kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah, bahwa untuk penyediaan transportasi dan infrastruktur dasar, dapat dibebankan melalui APBD, BUMD, maupun BUMN.

                Keempat, sesuai hasil penghitungan sederhana yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan anggaran yang akan dibebankan oleh APBN, seminimalnya adalah untuk pembangunan gedung pemerintahan beserta pengadaan tanah dan apabila dimungkinkan adalah membangun perumahan bagi seluruh PNS. Berdasarkan dua hal itu saja, maka anggaran yang akan dibebankan pada APBN adalah sebesar Rp68.583.940.838.000 + Rp181.885.200.000.000,00 = Rp250.469.140.838.000,00 (250,5 triliun). Kebutuhan 250,5 triliun dapat dibebankan selama beberapa tahun anggaran dan untuk kebutuhan rumah bagi PNS dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD maupun Swasta agar memperoleh skema yang lebih meringankan terhadap beban APBN.

(tulisan ini dibuat dalam rangka iseng-iseng belaka, apabila ada yang tidak berkenan, dapat didiskusikan secara santai dan mungkin bisa sambil ngopi-ngopi..hehehe)

Menjemput Cinta (Bagian Ketiga)

Senja menyapa dengan sentuhan warnanya yang menarik pandangan siapapun yang menatapnya. Udara semakin dingin menyelimuti desa, seiring perlahan menghilangnya sang surya menuju peraduannya.

Pulang dari shalat Maghrib berjamaah di masjid, Bram bergabung dengan Ibu dan adiknya di ruang makan. Ia memimpin doa, lalu mempersilahkan Ibu untuk menyendok nasi dan lauk pauk terlebih dahulu. Disela-sela makan malam, Bram membuka percakapan. Ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Kinasih di toko hingga ada perasaan aneh yang terus mengusiknya akhir-akhir ini.

Bagi Bram, Ibu dan Ratih adalah dua makhluk Tuhan yang paling ia sayangi dan ia percayai untuk mencurahkan isi hati. Oleh karena itu, apapun yang Bram alami dan rasakan, ia tidak segan untuk bercerita dan meminta pendapat mereka.

Ibu dan Ratih menyimak cerita Bram dengan seksama. Selesai bercerita, Bram meminta pendapat sang Ibu terlebih dahulu. Ibu yang sejak awal menyimak, mengetahui apa yang putera kesayangannya rasakan saat ini.

"Apa kamu sudah mengenalnya, Bram?".

"Belum, Bu, Bram belum berkenalan. Tapi Bram sudah mengetahui namanya dari Mas Yuda ~ pegawai senior Bram" jawab Bram.

"Siapa nama perempuan itu, Bram"

"Kinasih, Bu" dengan raut wajah malu.

"Kalau sudah yakin perempuan itu sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan, ada baiknya kamu mulai memperkenalkan diri, lalu mencari tahu tentang dirinya termasuk keluarganya, Bram".

"Baik, Bu, Insya Allah besok Bram akan bertanya kepada Mas Yuda"

Adzan Isya terdengar dari kejauhan, Bram segera pamit kepada Ibu dan Ratih.

Bram adalah sosok pemuda yang pemalu. Wajah tampan yang Tuhan anugerahkan kepadanya tidak lantas membuat dirinya sombong. Ia sering menjadi bahan perbincangan para gadis di desanya. Entah sudah berapa banyak orang tua para gadis di desanya tersebut yang berusaha menjodohkan anaknya dengan Bram.

Keesokan harinya, seperti biasa pagi itu Bram mengantar Ratih ke sekolah lalu meluncur ke toko. Sebuah rencana sudah ia susun. Bram akan mencari informasi tentang sosok Kinasih kepada Mas Yuda. Tiba di toko, sebagian pegawainya terlihat sibuk merapihkan barang dagangan. Demi melihat mas Yuda yang sedang membersihkan lemari kaca, Bram pun menghampirinya. Kemudian setelah menyapa, Bram mengajak Mas Yuda ke ruang kecil yang digunakan untuk istirahat para pegawainya. Di ruang itulah beberapa pertanyaan tentang sosok Kinasih pun terlontar dari mulutnya. Termasuk keinginannya untuk berkenalan dengan Kinasih.

Mendengar pertanyaan dan keinginan yang disampaikan oleh Bram, Mas Yuda yang pada saat itu sebetulnya telah mengetahui perihal tentang Kinasih, menyampaikan informasi yang ia ketahui. 

Bram yang dilanda asmara, menerima kabar bahwa Kinasih telah dilamar oleh seorang pria yang berprofesi sebagai guru.

Mendengar kabar demikian, seketika Bram tertunduk, bibirnya tertutup, dan pandangan matanya sayup. Terlihat rona kesedihan di wajahnya. Ibarat mendung yang datang tiba-tiba, seperti itulah perumpamaan suasana hati Bram saat itu.

Demi melihat perubahan raut wajah Bram, timbul rasa empati di hati Mas Yuda, iapun memberi saran kepada Bram untuk melanjutkan niat berkenalan dengan Kinasih.

Beberapa saat Bram terdiam, mempertimbangkan saran yang disampaikan Mas Yuda. Sebelum ia menetapkan keputusannya, tiba-tiba datang salah satu pegawainya yang lain memberitahu bahwa ada seorang perempuan bernama Kinasih datang mencari Mas Yuda. Seketika itu Bram dan Mas Yuda saling berpandangan. Tanpa membuang waktu, keduanya keluar dan berjalan mengikuti si pegawai.

Kinasih duduk di kursi plastik yang disediakan pegawai toko. Kedua tangannya memegang segelas air putih kemasan yang isinya masih tersisa setengahnya. Melihat Mas Yuda datang , ia berdiri lalu mengucap kan salam. Bram yang berdiri disamping Mas Yuda turut membalas salam Kinasih, lalu pamit dengan alasan membantu pegawainya melayani pelanggan. Namun sebelum Bram melangkah, Mas Yuda memintanya untuk tetap berdiri disampingnya. Bram terlihat gugup, tapi karena ia melihat Kinasih yang tiba-tiba menitikan air mata, Bram menuruti permintaan Mas Yuda dan langsung bertanya kepada Kinasih apa yang sedang terjadi.

Kinasih menceritakan tentang musibah yang baru saja ia alami. Seorang pencopet berhasil merampas dan membawa kabur tasnya. Di dalam tas tersimpan dompet dan handphone. Meski kinasih berteriak, namun karena sedikit orang yang berada di lokasi, si pencopet kabur dengan leluasa. Ditengah rasa syok dan panik, ia teringat Mas Yuda. Oleh karena itu ia berkunjung ke toko bermaksud minta pertolongan. Kinasih hendak meminjam uang untuk ongkos pulang.

Mendengar penuturan Kinasih, Bram dan Mas Yuda terkejut dan merasa iba. Setelah menyampaikan keprihatinannya, tanpa  berpikir panjang Bram menawarkan bantuan. Ia menawarkan diri untuk mengantar Kinasih pulang. Kinasih dan Mas Yuda saling berpandangan. Lalu mas Yuda menganggukan kepala sebagai tanda agar Kinasih menerima tawaran Bram. Kinasihpun menerima tawaran Bram. Sejak saat itulah perkenalan dan kedekatan Bram dan Kinasih bermula.

(Bersambung)



GEMESS (Garing mak Kress) : Cantik

Jam dinding telah menunjukkan pukul 21.30. Di luar rumah terdengar suara tetesan air masih cukup deras turun dari langit. Suasana malam yang dingin menyeruak ke segala penjuru rumah. Kenyataan bahwa malam itu adalah malam jumat menambah sakral aura yang terpancar di dalam kamar.

Belum selesai angan melayang, terlihat daun pintu terbuka perlahan. Nampak sosok wanita pendamping hidup memasuki kamar dengan derap langkah yang nyaris tak terdengar. Kubayangkan dia berjalan melenggak-lenggok bak model kawakan. Bajunya tipis menerawang membuat settingan ruangan berubah menjadi peragaan busana musim panas. Bukan... yang dikenakannya bukan lingerie, hanya sisa kaos kampanye salah satu politisi. Dalam genggamannya sudah ada dua gelas teh manis hangat untuk kami berdua, meniru iklan di televisi.

Di sampingku yang sedari tadi berbaring santai, sang istri duduk perlahan dan menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

"Pah, ini tehnya diminum dulu mumpung masih hangat" istriku berujar sambil meletakkan gelas satunya di atas meja.

Tak lama kemudian dia melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di samping bantal.

"Kalau ga pakai kaca mata gini, mamah kelihatan lebih cantik ya" aku memulai obrolan dengan menyeruput teh hangat yang begitu nikmat membasahi kerongkongan.

"Ah, Papah gombal banget, mentang-mentang malam jumat, modus nih.. modus.." cibir istriku

"Beneran ini mah, papah ga bohong" aku coba meyakinkan.

"Papah ih, mamah kan jadi malu. Kalau gitu, apa mamah pakai kontak lens aja mulai sekarang? Tapi berarti besok harus beli Pah, mamah kan belum punya" cerocos istriku dalam satu helaan nafas.

"Loh.. loh.. kok bisa tiba-tiba nyambung ke situ? aku mengernyitkan dahi.

"Ya kan supaya aku selalu terlihat lebih cantik di depan suami, Pah. Jadi ga perlu pakai kaca mata lagi, sesuai keinginan Papah tadi. Ooh, apa sekalian operasi lasik aja ya Pah?" Istriku terus saja nyerocos tak terhentikan.

"Oalah mamah, maksud papah tadi, kalau papah lagi ga pakai kaca mata gini, mamah terlihat lebih cantik, beneran deh, kelihatannya agak buram-buram gitu" aku coba menjelaskan

Seketika pandanganku yang semula buram menjadi gelap dipenuhi kunang-kunang dengan remote TV masih tergeletak di atas kepala. Headshot!

Nasi Goreng Buatan Ibu


Bawang merah dan bawang putih itu kini telah menjadi irisan kecil, kemudian tinggal kutambahkan beberapa buah cabai rawit dan cabai merah keriting ke dalam blender. Trus apa lagi ya pikirku, ponsel yang sedari tadi ada di meja dapur menjadi sasaran keingintahuanku. Melihat macam-macam resep nasi goreng yang ada di menu masakan milik "Mbah Google" sepertinya ini sama saja seperti bumbu-bumbu yang biasa kubuat ketika bikin nasi goreng.
Kemiri, sedikit terasi...yah boleh juga buat variasi, supaya rasanya agak beda sedikit dari yang biasa kuracik. Bumbu sudah semua masuk, tinggal memasukkan blender ke dalam mesin pemutar.

Seperti biasa, setiap Hari Sabtu dan Minggu pagi, menu ini seolah sudah menjadi menu wajib buat Raihan, anak bungsuku. Selepas dia bangun tidur, ketika kutawarkan, 'Raihan, mau makan apa? Nasi goreng mau enggak?"
Dia pasti menjawab dengan cepatnya  "Mauuu..."

Entah kenapa,
padahal menurutku, rasa nasi goreng bikinanku biasa saja, tidak istimewa. Aku bingung kenapa dia bisa suka sekali masakan itu, sedangkan aku sendiri saja kadang bosan memakannya. Kakak perempuannya yang baru turun dari lantai atas bertanya,
"Kok sarapannya nasi goreng melulu sih De, memang nasgor buatan Ibu enak?"
"Enak...," kata Raihan santai sambil memainkan HP nya.
Si Kakak masih penasaran,
"Enaknya gimana sih?" tanyanya lagi sambil senyum-senyum usil.
Raihan berkata, "Ya gitu deh... ada asin-asinnya."
Hahahaha....
Spontan, si Kakak tertawa. Aku pun ikut tertawa. Lah wong kebanyakaan garem kok dibilang enak. Semoga ini bukan karena rumor garem itu ya. Malu.

Karena menu andalan bikinan sendiri ke anak adalah nasi goreng, pernah suatu ketika, saking inginnya membuat variasi nasi goreng yang baru buat Raihan, aku bereksperimen dengan salah satu bumbu dapur yaitu kencur. Dengan pedenya, karena aku juga pernah mencicipi nasi goreng kencur di rumah salah seorang adikku dan rasanya lumayan enak, seger di mulut... jadilah sang kencur kutambahkan... beserta kelengkapannya, telur ceplok, bakso, dan udang.

Segera kuhidangkan pada Raihan yang melihat pada nasi goreng itu dengan curiga. Sedang aku pura-pura mengerjakan hal lainnya, dengan maksud menghindari pertanyaan Raihan. Mudah-mudahan saja dia suka, dan tidak mempermasalahkannya. Wah, kalo mesti bikin ulang nasi goreng males banget nih pikirku.

"Kok warnanya agak beda, Bu?" tanyanya,
"Iya, itu cuma warnanya aja kok de, cobain deh rasanya pasti enak,"  kataku, sok tahu. Padahal waktu memasak tadi, aku cuma masuk-masukin bumbunya saja, tidak kucicipi.
Raihan memasukkan sesendok nasi goreng kemulutnya, kemudian diam sejenak...
"Ibuuuu..." teriaknya tak lama kemudian.  "Ini jamu apa nasi goreng..." serunya sambil minum air putih...banyak sekali...
(kayanya aku terlalu semangat nambahin kencurnya kali yaa...hehe)

Demikianlah, "si Ibu yang sok tahu ini" tidak pernah jera bereksperimen dengan nasi goreng. Pernah ditambahin ikan asep, kornet, sampai keju, tapi yang terakhir itu, sumpah rasanya enak kok.

Dan Raihan juga tak pernah "kapok" makan nasi goreng buatan Ibu. Setiap hari Sabtu dan Minggu pagi,  selepas bangun tidur, demo masak nasi goreng ala Ibu dimulai dengan aba-aba,
"Buu....bikinin nasi goreng doong..."