Ketika Perang Mencapai Puncaknya: Ironi dari transportasi online



Terus terang saya lagi malas nulis, tapi daripada ada sesuatu yang bikin ganjal di kepala ya lebih baik dibuang dulu lah ganjalannya ke baskom.
Fenomena transportasi daring sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat, bahkan dapat dikatakan moda transportasi seperti ini sudah menjadi kebutuhan. Kita bisa lihat di stasiun, mal, apartemen, perumahan bahkan pinggiran jalan, selalu saja ada orang yang mengeluarkan gadget terus ketal ketul, sesudah itu menerima telepon, lihat kiri-kanan dan jemputan pun datang. Semakin maraknya penggunaan transportasi daring tidak terlepas dari keamanan dan kenyaman yang diperoleh konsumen dan tentu saja harga yang relative murah, tanpa tawar menawar dan mudah. Sehingga tidak heran jika transportasi daring ini semakin populer terutama di daerah perkotaan.

Pada awalnya moda ini dipelopori oleh Uber di Amerika Serikat dimana sang pendiri perusahaan tersebut hanya bermaksud untuk membuat aplikasi Shared ride dimana orang yang membutuhkan tumpangan untuk pergi ke suatu tujuan dapat bertemu dengan pengendara mobil yang kebetulan memiliki tujuan yang sama, dengan si penumpang tersebut membayar dengan harga wajar kepada si pengendara. Hal inilah yang beberapa ahli mengkategorikan fenomena ini sebagai sharing economy dimana tujuannya adalah mengoptimalkan asset yang dimiliki oleh setiap individu supaya lebih produktif.

Fenomena ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, fenomena tranportasi daring ini beradaptasi dengan kondisi lokal dimana transportasi roda dua terlihat sangat efektif untuk bisa menembus kemacetan di perkotaan sehingga dapat menghemat waktu tempuh. Munculah Gojek sebagai pionir dari transportasi daring roda dua dimana tidak lama munculah para penirunya yah sebutlah blue-jek, lady jek, ojek syari, dan lain-lain. Dari negeri jiran, datanglah Grab, tetapi perusahaan Grab ini pada awalnya hanya memiliki pelayanan untuk memangil taxi atau grabtaxi dimana yang dipanggil adalah para pengemudi taxi yang memilik aplikasi grab di smartphone mereka.

Gojek muncul dengan konsep sebagai penghubung antara tukang ojek dengan konsumennya. Dari sinilah mulai terjadi standarisasi pelayanan ojek dari yang mulai mengenakan tariff semena-mena menjadi tariff pasti dan transparan, dari penampilan tukang ojek yang kumel dan gak pernah bawa helm untuk penumpang menjadi tukang ojek yang berseragam rapi dan selalu membawa helm untuk penumpang bahkan masker dan penutup rambut juga disediakan. Tetapi diantara sekian banyak perubahan tersebut adalah metode promosi gojek yang memang fantastis, dimana kita cukup unduh aplikasi gojek, daftar email dan kita bisa naik ojek gratis beberapa kali. Hal ini jelas membuat Gojek semakin populer dan peminatnya pun semakin banyak.

Apakah pengemudi di rugikan? Tentu tidak. Gojek menerapkan standar tariff kepada penumpang dimana pengemudi juga tahu berapa yang harus dibayar penumpang. Ini jugalah yang menjadi kelebihan Gojek yaitu system pembayaran yang cashless terutama kepada pengemudi. Walaupun penumpang gak bayar se rupiah pun, pengemudi tetap mendapat bayaran sesuai tariff yang berlaku dari Gojek yang di transfer ke rekening bank mereka. Sebuah system yang win-win, penumpang untung, pengemudi untung, Gojek pun untung karena pangsa pasar mereka membesar.

Bagaimana dengan perusahaan ojek daring yang lain? Yah, inilah yang disebut sebagai kompetisi pasar atau mungkin lebih tepatnya seleksi alam. Persaingan di dunia bisnis sangat ketat, kalau tidak sanggup bersaing sudah pasti tergilas. Perlahan tapi pasti para ‘jek’ yang lain tersingkir. Aplikasi mereka mungkin masih ada di playstore tapi jangan harap ketika kita memakai layanannya terus ada yang datang. Dengan metode promosi Gojek yang jor-joran tentu saja, operator tranportasi daring yang lain pun berguguran, kalah terhadap hagemoni Gojek.

Anda pasti pernah mendengar istilah ‘melawan api dengan api’ kalau ingin melawan Gojek yang bermodal kuat, maka lawannyapun harus bermodal kuat juga. Dan inilah yang terjadi ketika Grab masuk ke pangsa roda dua dengan layanan grabbike nya. Dalam sekejap terjadilah perang tariff yang dahsyat antar kedua perusahaan apps ini. Sebagai pengguna layanan transportasi online tentu kita sebagai konsumen yang di untungkan. Baik Gojek maupun Grab menyodorkan diskon yang luar biasa kepada konsumen seperti diskon Rp10 ribu, gratis 5x perjalanan dan lain-lain.

Masuknya Uber ke Indonesia pada awalnya hanya memberi layanan taxi daring dan otomatis pesaing mereka adalah taxi konvensional dan angkot yang huru-haranya kerap terjadi dalam 3 tahun terakhir. Semua berubah ketika Grab membuka layanan grabcar dan grabbike. Dalam hal ini, Grab seakan ingin menantang hagemoni Gojek di roda dua sekaligus menyingkirkan Uber di roda empat. Mulailah perang tariff di kumandangkan untuk sektor transportasi daring. Perang ini pun semakin seru ketika Uber membuka layanan ubermotor dan Gojek membuka layanan gocar. Ibarat api ungun di siram bensin, nyala perang tariff pun semakin besar, wow banged.

Tentu saja, kita sebagai konsumen semakin diuntungkan. Pilihan transportasi banyak, tinggal lihat saja mana yang mau kasih diskon paling gede, itulah yang kita pilih. Bagaimana dengan pengemudi? Tentu saja mereka juga tidak dirugikan. Perang tariff yang terjadi justru direspon positif baik oleh operator maupun pengemudi. Para operator pun paham bahwa tidak ada gunanya bagi mereka menawarkan diskon kepada penumpang apabila tidak ada pengemudi yang datang, makanya mereka berani memberi bonus kepada pengemudi, seperti bonus Rp50 ribu untuk jarak dekat atau bonus Rp100 ribu apabila menyelesaikan sekian order. Hal ini untuk memastikan para pengemudi online ini akan menjawab panggilan konsumen sehingga dapat menjaga tingkat keandalan si operator sendiri.

Pengemudi pun juga di untungkan dengan perang tariff ini, karena mereka bisa bermain di aplikasi manapun. Dari beberapa kali saya berbicara dengan supir transportasi online, banyak dari mereka yang memang bermain di setidaknya dua kaki, walaupun ada juga yang setia hanya kepada satu aplikasi. Tapi sayangnya kemewahan untuk bermain di beberapa aplikasi ini tidak dapat dinikmati oleh pengemudi roda dua, mungkin karena factor jaket dan helm yang menjadi identitas mereka. Walaupun ada juga yang berpindah aplikasi, mereka cenderung loyal terhadap aplikasi mereka. Selain itu jumlah pengemudi roda dua juga sangat banyak dan mereka cenderung berkumpul dengan kelompoknya sendiri sesama pengemudi daring roda dua tanpa melihat jaket apa yang mereka kenakan.

Dari beberapa kali interview sama pengemudi daring roda dua, mereka memang harus bekerja keras supaya bisa mendapat bonus mereka. Semakin lama, system bonus merekapun semakin di persulit dengan memberikan sanksi pembatalan bonus dimana sanksi tersebut diberikan apabila target tidak tercapai atau pengemudi dengan sengaja membatalkan order yang diterima. Bahkan semakin lama, pemberian sanksi pun semakin dipermudah yaitu ketika konsumen membatalkan order yang diterima pengemudi maka bonus pun batal.

Semakin lama, fenomena perang tariff antar tiga raksasa ini seakan menjauhkan mereka dari filosofi awal berdirinya ride sharing ini yaitu share economy untuk mengoptimalkan asset yang dimiliki setiap individu. Selain menjauh dari filosofi tersebut, justru yang terjadi adalah fenomena kapitalisme abad 19 dimana buruh dieksploitasi sedemikian rupa demi keuntungan kaum menengah dan aristocrat. Dalam kasus transportasi daring ini, buruhnya adalah para pengemudi, kaum menengahnya adalah konsumen dan aristokratnya adalah si tiga besar tersebut.

Tapi tidak ada perang yang terjadi selamanya, perang dunia berakhir, perang dingin berakhir, perang teluk berakhir, perang tariff pun pasti berakhir. Uber akhirnya lempar handuk di bulan Maret 2018 dan memberikan mahkota kerajaannya di Indonesia (dan Asia Tenggara) kepada Grab dengan kata lain akuisisi Uber oleh Grab membuat Grab memiliki valuasi lebih besar daripada Gojek.

Tetapi seperti perang yang lain yang menghabiskan sumber daya ketika perang berlangsung, perang ini pun menghasilkan hal yang serupa. Ketika perang sudah mencapai titik jenuh tapi masih belum kelihatan siapa pemenangnya, maka yang bisa dikorbankan adalah yang paling lemah posisinya. Ibaratnya kalau perang beneran yang dikorbankan mungkin daerah yang tidak signifikan atau prajurit-prajurit kroco yang bisa direkrut lagi di lain tempat. Ya, kalau perang tariff ini, yang bisa dikorbankan paling awal ketika sumber daya sudah mulai habis ya para pengemudi lah. Pengetatan sanksi pembatalan bonus merupakan tanda-tanda awal dan sekarang diikuti dengan turunnya tariff per kilometre yang akhirnya diikuti dengan turunnya penghasilan pengemudi.

Saya tidak heran ketika para pengemudi online ini berdemo besar-besaran bahkan menuntut kenaikan tariff per kilometre sampai pembatalan bonus. Untuk apa di sediakan bonus apabila untuk mendapatkannya sangat sulit bahkan harus berkorban kesehatan diri sendiri (saya beberapa kali naik ojek daring dimana pengemudinya belum makan apapun sejak siang, padahal itu sudah jam 10 malam, bahkan pernah pengemudinya ngantuk-ngantuk sampai harus saya ajak ngobrol terus sepanjang jalan).

Sangat ironis bahwa ketika niat untuk memulai adalah niat yang mulia untuk membantu meningkatkan taraf hidup para pengemudi tapi pada akhirnya keserakahan pula yang mengorbankan mereka yang sebenarnya ingin dibantu.

Sangat ironis nasib pengemudi daring, di gemari konsumen tapi di musuhi pesaing konvensional, di cari konsumen tapi di anggap illegal oleh pemerintah dan di butuhkan konsumen tapi di tekan oleh sang operatornya sendiri.

1 komentar: