Wamena, Suatu ketika


Satu
“Yogotak Hubuluk Motok Honorogo”

Salah satu wa group yang ada di hp saya adalah Forum Ex wamena. Tempat kumpulnya atau kata pak ustadz tempat silaturakhimnya orang orang yang pernah bertugas di Wamena, Papua (ibu kota Kabupaten Jayawijaya). Tak jauh beda dengan group lain yang saya ikuti, group ini terasa ramai kalau lagi ada yang ulang tahun atau berduka, rame copy paste. Hingga ada seorang teman yang berseloroh, katanya group wa itu group habede dan group kedukaan. Meski demikian, hal yang mengasyikan bagi kami di group ini adalah kadang kala kami dibawa pada kenangan masa penugasan karena postingan cerita-cerita masa penugasan di wamena. Kalau kebetulan cerita itu berkaitan dengan peristiwa yang kami alami bersama, group menjadi semarak dengan komentar dan tanggapan kami yang terlibat, sesuai peran dan versi kami masing-masing. Terlebih kalau cerita yang disampaikan  berkaitan dengan sesuatu yang dialami oleh seseorang atau sebagian saja  dari kami, dan pada masa lalu menjadi sebuah “rahasia kecil”. Seperti jadi kesepakatan tidak tertulis,  rahasia kecil itu biasa dibeberkan di group, tanpa ada ketakutan itu akan mempermalukan atau menyudutkan salah satu dari kami. Biasanya kami akan saling ledek,saling cela dan mengirimkan emoji tertawa, tersenyum atau lari. Semua yang kami alami pada saat itu, sedih dan gembira, sakit hati  dan simpati, marah dan tertawa  menjadi sesuatu yang  menarik dan indah untuk di kenang dan dibicarakan.

Kadang terbersit keinginan untuk mencatatkan cerita-cerita masa penugasan itu. kalaupun tidak untuk orang lain, mungkin berguna untuk saya sendiri, menjadi prasati yang tegak buat  sekali waktu menziarahi masa lalu, belajar dari kepahitan dan sisi gemilangnya (kalau ada).Kalau tidak, minimal sebagai pengingat saat ingin bercerita pada anak cucu saya kelak. Namun demikian, sampai lebih dari dua belas tahun saya meninggalkan wamena, keinginan tersebut belum dapat saya wujudkan. Banyak ide di kepala saya, tapi hanya berhenti sebatas ide,  tak tahu harus memulai dari mana.

Dan, sore kemarin,
saya bertamu ke “bukan nota dinas”, sebuah rumah yang konon oleh para pendirinya digunakan sebagai tempat berkumpulnya para penghuni sutikno slamet menuangkan ide melalui tulisan. Datang, singgah dan menjalani ritual  menghitung penghuninya, membandingkannnya dengan kunjungan terakhir, menjadi penikmat dari banyak gaya bertutur, menjadi pengagum pada ragam ide dan kreatifitas atau sesekali mengutuki ketidak mampuan diri menjadi bagian dari rumah itu.

saat lelarian saya sampai pada tulisan “membeli masa lalu” nya  Mas Bro Indra  dan “kenangan di pangkal pinang”nya Mbak Sedar. Tulisan itu, seperti memantik kembali keinginan menuliskan tentang Wamena. Hadir bersliweran cerita tentang masa masa di Wamena, seakan akan semua seperti baru dialami kemarin. Tetiba saya seperti di beri keberanian untuk memulainya.

“Dulu ada satu bahan, yang bukan dasar perhitungan kini” 
kata Chairil anwar dalam salah satu puisinya. Dua belas tahun meninggalkan wamena tentu banyak hal telah berubah. Apalagi  motto yang tertulis di lambang kabupaten jayawijaya adalah Yogotak Hubuluk Motok Honorogo yang artinya hari esok lebih baik dari hari ini. Sebuah motto yang membangkitkan optimisme warga Wamena bahwa dari waktu ke waktu Wamena akan berubah  menjadi lebih baik. Apalagi di era Pakde Jokowi, keliatannya beliau sangat memperhatikan pembangunan di wilayah timur dan daerah perbatasan.  Sehinga bisa jadi, bagi mereka yang melihat kondisi Wamena sekarang mungkin cerita saya tentang Wamena seakan akan sesuatu yang tidak pernah terjadi, seperti sebuah kisah fiksi. Tapi  itulah Wamena 12 tahun lalu, Wamena yang yang saya lihat, dengar, rasakan dan alami dalam penugasan saya yang relatif singkat.

Dua
“Negeri yang tak ada di Peta”

Sebagai organisasi yang mempunyai banyak instansi vertikal dan kebijakan mutasi yang berlaku nasional, mutasi antar kota, antar provinsi dan antar pulau bagi pegawai Ditjen Perbendaharaan adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bagi kami  sangat kami sadari. Sehingga  siap ataupun tidak, rela atau tidak rela, berat atau ringan mutasi itu selalu akan kami alami. Kecuali bagi orang orang tertentu yang punya keistimewaan (bisa berupa kecerdasan, kedekatan dengan pengambil keputusan, keistimewaan garis tangan).
Meski mutasi adalah hal yang biasa, kemunculan SK mutasi selalu menimbulkan kehebohan, karena dalam beberapa kesempatan kami tidak pernah bisa memprediksi kapan SK itu muncul dan kemana kami akan pergi lagi. Konon kabarnya, sebenarnya ada aturan main untuk durasi seorang pelaksana bertugas di suatu tempat dan rumus penempatannya. seorang pelaksana akan bertugas di suatu tempat maksimal empat atau lima tahun (untuk daerah tertentu bisa lebih cepat), dan bagi yang bertugas di daerah remote akan berpindah ke daerah non remote. Namun dalam prakteknya, SK mutasi kadang datang setelah lima atau enam tahun bertugas (bahkan ada teman yang mutasi setelah delapan tahun  tahun bertugas) dengan tempat pindah yang bervariasi  dari daerah non remote ke daerah remote, dari daerah remote ke daerah non remote, tapi ada juga yang punya “spesialisasi” bertugas di daerah remote atau non remote. Mungkin inilah yang sering disebut sebagai garis tangan atau nasib.

Sehingga tak aneh setiap ada SK mutasi, maka printout SK atau file pdf SK menjadi barang yang paling dicari oleh banyak  pegawai untuk menjawab rasa penasaran akan tempat tugas berikut bagi dirinya, suami, istri,pacar, teman atau  kenalannya. Aktifitas pelayanan kantor seperti terhenti . Sebagian pegawai terlarut dalam rasa gembira atau sedih karena SK mutasi sesuai harapan atau sebaliknya, sibuk memberikan kabar, ucapan selamat, simpati atau penghiburan kepada orang orang terdekatnya atau sekedar memperbincangkannya. Ada seloroh bahwa sebagian larut dalam kegembiraan karena melihat orang lain sedih, atau sedih karena melihat orang lain gembira. Fenomena mencari daftar SK mutasi pada Ditjen sebelah, berkerumun memperbincangkannya, masih kami temui meskipun kami telah menyeberang Ke DJA. Saya tak tahu pasti apakah itu karena alasan penasaran, simpati, empati ataukah juga alasan terakhir yang senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Kehebohan serupa, juga kami alami pada hari beredarnya SK mutasi saya dari Bandung ke  Wamena.  Jika tidak salah mengingat, SK tersebut beredar di kantor kami pada Bulan September 2006. Berbeda dengan teman teman seangkatan yang sudah membaca dan melihat SK tersebut selepas istirahat siang, saya dan salah satu teman saya baru melihat dan tahu kalau kami pindah justru menjelang jam pulang. Lucunya, sejak  siang hari kami menerima ucapan selamat dari teman teman kantor,  karena nama kami berdua tidak terdaftar dalam SK mutasi yang beredar, yang artinya kami masih tetap bertugas di Bandung, masih bisa kumpul dengan keluarga dan teman teman yang tidak pindah. Tapi saat sore hari, teman-teman menyampaikan bahwa selain SK mutasi yang beredar sejak siang, ada SK lain untuk level koordinator pelaksana.

Saya lupa, apakah saat itu kami bahagia atau sedih, atau bahagia campur sedih  saat kami tahu nama kami tercantum dalam SK koordinator pelaksana tapi dengan tempat tugas Wamena, tujuan yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya. Beberapa teman yang dekat dengan kami, menggoda kami bahwa sangking “remote “nya  Wamena ini, Wamena tidak ada dalam Peta Indonesia.
Kurang lebih sebulan setelah menerima SK tersebut, kami berdua berangkat ke Wamena. Keberangkatan yang terhitung terlambat, karena rata-rata teman lain sudah mulai melaporkan diri seminggu atau dua minggu setelah SK di terima.(cerita tentang alasan keterlambatan ini, akan saya ceritakan dalam bagian terpisah).seingat saya, kami berangkat tengah malam dengan diantar keluarga kami masing-masing sampai bandara Bandara Soekarno Jakarta.   

Tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Wamena, hanya tersedia rute dari jakarta ke Jayapura, dan dilanjutkan rute Jayapura Wamena.Penerbangan dari jakarta ke Jayapura kami tempuh dalam waktu kurang lebih tujuh  jam, termasuk dua kali transit di Makasar dan Ambon. Kami sampai di Jayapura sekitar jam 7 pagi dan menyempatkan diri singgah di Kanwil DJPBN Jayapura dan baru meneruskan perjalanan ke Wamena pada hari berikutnya.
Dari Jayapura kami menumpang pesawat ATR42 milik maskapai Trigana air, pesawat berbaling baling ganda yang bisa memuat kurang lebih 48 orang. Kurangnya  informasi yang kami kumpulkan sebelumnya, membuat kami tidak tahu kalau ada batasan berat dan ukuran barang bawaan penumpang Pesawat ATR 42. Sehingga  sebagian barang bawaan kami, tidak dapat kami bawa dan harus diangkut dengan pesawat kargo pada hari berikutnya.

Pengalaman pertama naik pesawat kecil  dan cerita  yang kami dengar tentang kecelakaan pesawat sejenis yang mengangkut muspida papua beberapa waktu sebelumnya,  membuat penerbangan Jayapura Wamena menjadi penerbangan yang menakutkan. Setiap kali pesawat berguncang, jantung kami seperti berhenti berdetak,...Ketakutan yang menjadikan saya tak sempat berfikir dan melihat keluar jendela. sesuatu yang biasanya dilakukan seseorang saat bepergian ke tempat yang baru.
Akhirnya setelah 45 menit, cerita horor itu berakhir...
Pesawat yang kami tumpangi mendarat di Wamena sekitar jam 11 pagi. Meskipun hari sudah cukup siang, saat keluar pesawat kami disambut dengan udara yang sangat dingin. 

Udara dingin yang membuat saya menggigil, namun tak cukup membuat saya segera terjaga bahwa:
“saya menempuh beratus ratus kilometer dari rumah, ke sebuah tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, ke sebuah tempat yang katanya tidak ada di peta, adalah benar benar nyata...bukan sekedar mimpi semata “
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar