Perjalanan adalah Tujuan


Catatan Perjalanan Menuju Jamselinas Palembang

Bulan September adalah bulannya Jambore Sepeda Lipat Nasional atau dikenal sebagai Jamselinas. Tahun 2019 adalah Jamselinas ke-9. Ide gowes menuju Jamselinas 9 awalnya dimulai oleh Om Diki Rahman sang kompor api biru dari Cilegon. "Ayolah Om In, sekalian pulang kampung," ajaknya saat itu. Saya sih iya-iyain aja, secara sudah terbayang betapa jauhnya jarak Lampung ke Palembang. Makin mendekati hari H, om Diki pun mulai aktif japri-japri rute dan ‘teaser’ penggoda 😃. Iman saya pun mulai goyah, apalagi ada pilihan start dari Tanjung Karang. Istri mulai dilobi agar visa gowes keluar. "Malu lah Mi, masak wong Palembang gak hadir acara di Palembang," begitu alasan saya waktu mohon ijin gowes Jamselinas 9 ini. Singkat cerita, ijin pun diberikan. Peserta yang awalnya saya sendiri yang berencana ‘nebeng’ rombongan SCAM om Diki akhirnya bertambah. Para senior turing ID Dahon yaitu Mang Dewa, Koh Handoko Candra, dan Makcan Lily menunjukkan militansinya, harus gowes dari Jakarta. “Nanggung amat!” ujar Mang Dewa. “Yo wis,” akhirnya saya pastikan total 10 orang peserta dimana 3 goweser akan start dari Jakarta dan 7 goweser dari Bakauheni.

Etape 1 (Jakarta-Merak) dimulai Senin 9-9-2019: Pukul 6.30 pagi rombongan Mang Dewa, Koh Handoko, dan Makcan mulai bergerak mengayuh pedal dari kantor Blibli.com selaku sponsor acara gowes Jakarta-Palembang. Target perjalanan gowes hari pertama adalah sejauh kurang lebih 147 km sampai Merak, menyebrang Selat Sunda, lalu mencari penginapan di Bakauheni untuk kemudian bergabung dengan 7 goweser lainnya. Kami pun memantau perjalananan 3 turinger militan melalui komunikasi di grup WA. Etape 1 ini benar-benar menjadi ujian kebulatan tekad untuk Mang Dewa, Koh Handoko dan Makcan Lily. Cuaca panas, jalanan yang padat kendaraan ditambah musibah pecah ban-pun dialami mereka secara bergantian. Bahkan Makcan harus mengganti ban luar karena ban yang lama sudah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya, jadwal molor, waktu digunakan untuk beristirahat. Tim Jakarta baru tiba di Merak nyaris bersamaan dengan Bis Damri yang saya tumpangi dari Bekasi. Bis Damri menyeberang ke Bakauheni, saya tersadar terlanjur sendirian di ujung Pulau Sumatera. Tim Cilegon yang menunggu Tim Jakarta di Merak akhirnya juga memutuskan untuk menginap di Merak dan baru menyeberang keesokan harinya.

Etape 2, (Bakauheni - Tanjung Karang) Selasa 10-9-2019: . Akibat terlanjur menyeberang sendiri, saya akhirnya ‘berpetualang’ di Bakauheni. Tiba pukul 2.30 dini hari, tidak membuat saya jeri. Bakauheni sekarang sudah berbeda 180 derajat dari Bakauheni puluhan tahun yang lalu. Saya pun akhirnya berpindah-pindah tempat tongkrongan; mulai ibu-ibu penjual popmie pinggir jalan, pos satpam, warung nasi padang sampai akhirnya tertidur di terminal eksekutif. Cukup lama saya berkelana sendiri di pelabuhan, sampai akhirnya total 9 goweser menginjakkan kaki di Bakauheni pukul 9.30 pagi. Setelah bertukar kangen dengan Om Diki dan Makcan selesai, kami-pun mulai mempersiapkan diri dan mulai gowes dari pelabuhan ke arah Tanjung Karang berjarak 89km. Keluar dari pelabuhan kami langsung dihadang oleh tanjakan tinggi. "Tenang aja" kata Om Diki menghibur Makcan. "Tanjakannya cuma ini kok yang tinggi, nanti ada lagi menjelang Kalianda tapi Cuma kayak flyover." Matahari benar-benar obral siang itu. "Empat puluh satu derajat Mak!" konfirmasi Om Prayuda Agniyana saat Makcan bertanya suhu saat itu. Kami pun memutuskan untuk ishoma di sebuah warung makan di desa Sukamaju. Menu ikan goreng, sayur asem plus telor asin pun tandas kami santap. "Telor asin ini enak," kata Makcan. "Bermanfaat sebagai sumber garam agar tidak kram," lanjutnya lagi. Selepas ishoma, ‘drama’ pun terjadi. Kondisi jalanan yang rolling membuat kami ‘khilaf’. Kami bagai anak-anak PAUD bertemu perosotan. Belum lagi "gowes nebeng angin truk" ala om Yudha dan Kang Agus 'ajay' Jayadi di belakang pantat-pantat truk lintas Sumatera. Saya pun terbawa ugal-ugalan. Sampai menjelang turunan panjang menuju Tarahan, saya sadar bahwa Makcan Lily tertinggal di belakang. Kang Darsono Eno yang biasanya mengawal Makcan pun ternyata ikut balap liar. Benar saja, Makcan marah besar. "Kalian ini turing kok kayak ngejar COT sih!?" teriaknya. Sebagai satu-satunya perempuan di tim gowes, wajar kalau Makcan marah. Setelah kejadian itu, kami pun tersadar dan mulai menjaga pace agar rombongan tidak terpecah. Menjelang waktu maghrib, kami tiba di perbatasan Kota Bandar Lampung. Semangat kami mengayuh ke arah penginapan di tengah kota untuk beristirahat dan menyiapkan diri di Etape-3 esok hari.
Etape 3: (Tanjung Karang-Menggala) Rabu, 11-09-2019: Kami tidak memulai awal, rencana start jam 7.30 pagi mundur. Ternyata beberapa anggota rombongan masih harus sarapan dan mengisi angin ban sepeda masing-maisng. Jalanan kota Tanjung Karang mulai ramai dengan aktivitas warga. Kami gowes beriringan menuju ke arah Menggala melalui jalur lintas timur, rencana menempuh jarak 115 km. Jalur lintas timur ke arah Menggala relatif datar sehingga kami dapat melaju dengan cukup kencang di rute ini. Satu-satunya kendala adalah cuaca panas sepanjang perjalanan tanpa payung awan. Saat ishoma, kami optimalkan untuk mendinginkan suhu tubuh dan memejamkan mata sejenak. “Lumayan untuk modal melanjutkan perjalanan,” usul saya ke tim. Kami juga mulai mencari informasi lebih lengkap mengenai daerah yang akan kami lalui, mengingat daerah Menggala cukup rawan terutama jika sudah masuk gelap. Rasa lelah yang mulai melanda terbayar dengan keramahan warga yang menyemangati kami di sepanjang jalur gowes. Bahkan Kang Eno berhasil mendapatkan satu termos air panas dari rumah warga untuk menyeduh kopi saat mata kami mulai kiyip-kiyip membutuhkan kafein. "Coba gowes di Jawa, dicuekin kita," komentar Mang Dewa. Di satu titik, satu angkot penuh berisi anak SMA meminta kami untuk berfoto bersama, yang tentunya kami penuhi dengan suka cita. Gak pake lama, follower IG Om Diki langsung bertambah. Harapan mulai terbit ketika dari jauh sudah terlihat satu bangunan tinggi dan tower SUTET. “Kalo sudah ada tower, biasanya disitu ada kota,” optimisme Kang Eno muncul. Kami pun mempercepat kayuhan karena tak lama lagi adzan maghrib akan mengumandang. Alhamdulillah rombongan kami tiba di Hotel Sarbini sebelum gelap mulai pekat. “Aman Pak,” tegas Bapak pemilik warung makan depan hotel menjawab pertanyaan kami untuk konfirmasi kondisi jalan ke arah Tulang Bawang. “Tapi baiknya Bapak menginap di sini saja dahulu karena kondisi jalanan gelap, tidak ada penerangan dan kendaraan cenderung ngebut dan ugal-ugalan saat malam,” lanjut si Bapak. Malam itu, sambil mengistirahatkan badan, kami pun mendiskusikan rencana perjalanan Etape 4. Semangat kami sama: Perjalanan ini harus mementingkan keselamatan dan keamanan. Terbayang kebiasaan Om Alwis Darwis yang selalu menyempatkan diri video call dengan si buah hati dan istri kesayangan yang sedang hamil. Dengan semangat itu muncul opsi untuk loading sampai ke titik aman untuk kemudian gowes lagi. Opsi lainnya Etape 4 full loading sampai ke Kayu Agung agar kami bisa lebih cepat sampai Palembang. Pilihan opsi ini membuat Kang Diki tidak bisa tidur. “Temen-temen masih kuat dan masih ingin gowes Om,” curhatnya pada saya. Mendengar itu saya pun segera ambil keputusan. “Ok Kang, besok kita akan tetap gowes, berangkat lebih pagi dan kita akan mampir ke Polsek Simpang Pematang untuk konfirmasi kondisi rute yang akan kita lewati”. Ide silaturahmi ke Polsek ini sudah dikomunikasikan dengan Om Rano Prayonda dari SeLPi (SEPEDA LIPAT PALEMBANG). Kebetulan Pak Yanto, Kapolsek Simpang Pematang adalah kakak kandung Om Rano.

Etape 4 (Menggala-Lubuk Seberuk) Kamis, 12-09-2019: Memulai gowes saat matahari masih belum muncul ternyata benar-benar menyegarkan. Hembusan angin dingin yang menerpa kami menambah semangat memulai hari. Kami pun membentuk peloton yang cukup rapat. Tidak boleh ada yang tertinggal jauh. Kalau pun terpisah, kami usahakan tetap terbagi dalam 2 peloton. Tanjakan yang lumayan tinggi diikuti rolling tetap membahagiakan kami namun kami tetap sadar untuk tidak khilaf sebagaimana Etape 2. Tidak terasa hampir 30 km kami jalani dengan penuh canda tawa bahagia sampai perut mulai menagih jatah sarapannya. Kami pun mampir ke warung nasi uduk yang cukup ramai di pagi itu. Benar saja, nasi uduk-nya enak. Kami pun sarapan dengan lahap. Setelah kenyang, dan Kang Diki menyelesaikan absen pagi di mini market terdekat, kami pun segera melanjutkan perjalanan. “30km lagi ya,” ingat Kang Diki yang langsung diamini kami semua. Matahari mulai tinggi. Kang Diki dengan sabar menjaga pace di depan rombongan. Sementara Om Alip dan Om Yudha menjadi sweeper di belakang. Kami pun perlahan mulai memasuki daerah Mesuji. Tak jauh dari sebuah mini market tempat mengisi bidon, berdiri tugu lambang kota Mesuji dengan semboyannya “Bumi Ragab Begawe Caram”. Saya yang penasaran dengan arti semboyan itu lalu bertanya pada petugas mini market. “Intinya Bhineka Tunggal Ika Pak” jelasnya. “Wah pas banget nih,” seru saya ke teman-teman. Kami harus terus bersatu dan berada dalam satu rombongan, apapun yang akan kami hadapi di depan. Belum sampai jam makan siang, kami tiba di Polsek Simpang Pematang. Sesuai arahan Om Rano, kami beristirahat sejenak di sana. Ternyata Pak Yanto, selaku Kapolsek telah menunggu kedatangan kami. Kami pun dijamu dengan suguhan nasi padang yang ueeenaaakkkk sekali. Goweser gak boleh kelaparan kata Pak Yanto. Pak Yanto bercerita bahwa sebenarnya beliau semalam telah menunggu kami sampai pukul 12 malam. Hanya saja beliau yakin kami pasti tidak akan berani gowes di tengah malam gelap gulita seperti itu. Beliau meyakinkan bahwa kondisi Mesuji aman dan kondusif. Walaupun demikian beliau telah menyiapkan pengawalan untuk kami sampai ke perbatasan. Setelah cukup beramah tamah di Polsek kami pun melanjutkan pergowesan. Kesigapan panitia Jamselinas IX patut diacungi jempol. Info adanya peserta yang gowes menuju Palembang ternyata sudah diketahui semua aparat keamanan di jalur yang kami lalui. Kami pun mendapat pengawalan di belakang maupun di depan rombongan seperti yang dijanjikan Pak Yanto. Alhamdulillah berkat pengawalan tersebut kami berhasil dengan selamat melewati perbatasan Mesuji tanpa ada sedikit pun gangguan keamanan. Sisa perjalanan kami lalui dengan perasaan lega, rasa kebersamaan dan kekeluargaan pun semakin erat di antara kami. Saking eratnya saya pun tidak sungkan mencarikan calon pendamping hidup Om Alip di setiap mini market yang kami singgahi . Akhirnya kami tiba di Lubuk Seberuk saat hari masih terang, beristirahat untuk menyiapkan diri di etape terakhir esok hari. Etape ini benar-benar menorehkan kesan yang sangat mendalam bagi kami.
Etape 5 (Lubuk Seberuk – Kayu Agung – Jakabaring, Palembang) Jumat, 13-09-2019: Tim SCAM memang luar biasa. Ketika saya keluar dari kamar jam ½ 6 pagi, semua sepeda sudah siap. Pannier sudah terpasang rapi, teman-teman pun sudah siap dan berjersey merah seragam Etape terakhir. Di etape ini kami anggota bertambah, yaitu Om Sahrie dari Cilegon yang datang malam itu bersama Om Ghafur dan Om Azhier dengan menggunakan mobil. Om Sahrie akan ikut gowes bersama kami, sedangkan Om Ghafur dan Om Azhier akan mengawal dengan mobil. Alhamdulillah. Kabar gembira juga datang dari Makcan. “Nanti kita sarapan di km-30 kemudian akan dikawal oleh Tim Waskita Karya sampai Kayu Agung”. Kami pun semakin semangat mendengar informasi bahwa di Kayu Agung akan disiapkan makan siang, lalu setelah makan siang dan Sholat Jumat kami akan gowes ke Palembang melalui jalan Tol Kayu Agung – Palembang yang masih dalam Tahap Konstruksi. Lagi-lagi ini berkat bantuan Tim Waskita. “Alhamdulillah ya Iko,” kata Makcan. Kami mensyukurinya. Semua ini berkat pertemanan sesama pesepeda, salah satunya Om DOP yang merupakan salah satu Direksi PT Waskita. Etape 5 ini benar-benar pemuncak perjalanan. Jamuan makan enak, bekal minum dan buah-buahan berlimpah, kawalan lengkap dengan tim medis serta liputan drone benar-benar berkah bagi kami. Perjalanan sudah menuju akhirnya, kekeluargaan dan persaudaraan makin erat. Kelelahan yang terakumulasi seolah hilang tergantikan kelegaan bahwa titik finish akan segera tiba. Kelegaan bahwa kami semua dapat tiba dengan sehat walafiat. Kelegaan bahwa kami dapat mengabarkan semua berita baik dan hikmah yang kami dapat kepada keluarga yang kami tinggalkan. Karena gowes tanpa hambatan di jalan tol, kami pun tiba di Jakabaring lebih cepat dari perkiraan. Om Ferry Usnizar dan Om Harun Hudari Dok dari SelPi yang berencana menyambut kami bahkan belum ada di posisi. Kami pun langsung menuju tempat panitia yang sudah ramai pendaftaran ulang dari seluruh pesepeda lipat Indonesia. Kehadiran muka-muka gosong kami menjadi kejutan yang dinanti panitia. Kami pun didapuk om Cahyo Pribadi untuk sekedar menyampaikan sedikit kesan selama perjalanan. "adek-adek tim medis sudah siap siaga nih om Iko" sambut Om Cahyo, "tapi alhamdulillah semua sehat ya" lanjut beliau. Euforia pun terjadi, namun tidak ada kata lain yang terucap selain Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang telah menjaga kami sepanjang perjalanan. Jamuan pempek dan traktiran pindang oleh Om Ferry, Om Harun dan Om Ikmal menjadi ucapan selamat datang Wong Kito kepada tim gowes kami. Alhamdulillah…Alhamdulillah…Allahu Akbar, begitu banyak yang kami dapat dari perjalanan ini. Semoga semua membawa berkah bagi kami dan semua yang bisa menarik manfaat dari catatan perjalanan ini. Bukan jauhnya jarak atau lamanya perjalanan tapi seberapa banyak kita mendapat manfaat dari perjalanan itu, karena “Perjalanan adalah tujuan.” (Diki Rahman, 2019).

Monyet penari, ular penjaga dan tuannya


Ada hikayat,
Tentang monyet penari dan ular penjaga,
Oleh tuannya mereka dibawa berkeliling kota,dari pasar ke pasar,
dari kerumunan ke kerumunan,
sang monyet terus menari dan sang ular mengawasi,
Begitu seterusnya hampir tanpa henti

Senja hari,
Saatnya tuan berbagi rejeki,
Di hitung tuang isi pundi pundi,
Sejumput buat penari,
bagi penjaga  saku bernas terisi

Wahai tuan,
Tak salahkah kau buat kini
Aku lah yang lelah menari
Kenapa pada ular ,
Hadiah pundi penuh isi

Wahai monyet penari,
Tak menari tak berarti berdiam diri,
Pada kata kata dan bisa sang penjaga
Ku pastikan langkah gemulaimu tanpa terhenti,
maka wajar saja, jika padanya jatah lebih harus ku bagi

Wahai tuan,
Tidakkah dia tak bisa menari,
Tak kan mungkin dia mengerti
Kapan langkah gemulai meniti,
Kapan langkah harus berhenti

Wahai penari,
Tak perlu menari untuk menjadi ular,
Dia telah dilahirkan dengan bisa dan kata, kalau sesekali dia juga bisa menari, mungkin hanya kebetulan,
Tuhan tak kehilangan keadilan,
Hanya karena monyet penari dan ular penjaga terlahir  berbeda

Sejak saat itu
Monyet penari tak pernah lagi bercita cita menjadi ular penjaga
Mungkin selama tuannya masih yang sama

(Jelang Pulang, 25 Sept 2019)

catatan  : habis baca tulisan tentang perhitungan gaji, kesamaan tokoh dan cerita hanya kebetulan

Aku Menyukai Senyummu di Hari Senin



Aku menyukai senyummu di hari senin;
Magis-menghipnotis tenang-menhanyutkan, sekalipun mungkin saja senyum itu bukan untukku


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Juga tentang betapa deras cerita-cerita mengalir dari bibirmu, meliuk-liuk seperti pemotor di negeri +62, bahkan di celah terkecil sekalipun


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Atau hari-hari dimana kita tidak pernah bertemu sebelumnya.
Ketenanganmu, kekuatanmu, keteguhanmu adalah akumulasi kecerdasan buah karya Beliau yang mengagumkan


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Bahkan lebih lama kunanti daripada hujan yang tak kunjung hadir di Ibukota


Aku menyukai senyummu di hari senin;
Apapun alasannya

-udah lama, 2019-

Ruhiyah Gersang

Aku terdiam
Mematung di bahu jalan
Ditemani angin
Dalam sunyinya malam

Tak ku hiraukan
Bajaj yang berlalu-lalang
Pun lolongan anjing
Sayup-sayup di kejauhan

Aku mematung
Menatap kosong lampu jalanan

Jiwa ku?
Melesat jauh menyusuri bukit barisan
Membelah belantara hutan
Berhenti
Di halaman rumah warisan

Dulu
Rumah Gadang bagai oase pertama
Yang ku temukan
Di tengah gersangnya
Gurun pasir kehidupan

Kemana langkah
Selalu saja kutemukan
Di setiap pemberhentian
Padang Panjang,
Hingga Tanah Sultan

Mata air itu selalu ada
Seberapapun besar futur menggoda
Menjadi pengingat dikala lupa
Penegur disaat terlena

Namun
Mata air itu
Kini perlahan surut
Boleh jadi kering

Seringkali hatiku meronta
Mencari "ada" yang kini tiada
Malam ku nelangsa
Dihantui pagi penuh nestapa

Tuan, tolong
Ada yang hilang
Pada diriku..


Jakarta-Kosan 3x5