Antara Pesan Ibunda dan Tanggungjawab Moral

Gaung “ujian nasional’ beberapa minggu terakhir melanda beberapa kota di Indonesia tidak terkecuali Bekasi. Gaung ini berlaku untuk tingkatan sekolah menengah pertama. Setiap pelajar kelas 9 mempersiapkan dengan matang datangnya sudden death  bagi beberapa siswa ini. Meskipun hanya 4 pelajaran yang diujikan yaitu IPA, Bahasa Inggris, Matematika dan Bahasa Indonesia, namun hasil dari “ujian nasional” ini akan merubah 360 derajat semangat, perilaku dan nasib para pelajar ini. Sekolah juga tidak kalah sibuknya mempersiapkan para pelajarnya dalam menghadapi “ujian nasional” ini hingga mempersiapkan beberapa kali try out. Pihak sekolah perlu menjaga kredibilitas berdasarkan tingkat kelulusan para pelajarnya. Makanya pihak sekolah sangat berkepentingan terhadap tingkat kelulusan. Karena jika tingkat kredibilitas ini terjaga, maka sekolahnya bisa menjadi acuan dan pilihan bagi para calon pelajar yang lulus dari sekolah dasar. Meskipun pemerintah menjalankan program wajib belajar 9 tahun, tidak serta merta pihak sekolah dan para pelajar santai menghadapi “ujian nasional”. Sementara para orang tua pelajar tidak mau berspekulasi jika anaknya hanya diterima di sekolah menengah atas yang biasa aja.

            Kisah perjuangan para pelajar ini sangat beragam. Ada yang anaknya diikutkan kursus di lembaga pendidikan tertentu, ada yang mendatangkan guru privat  ke rumah dan ada juga yang biasa-biasa dalam menghadapi “ujian nasional” ini. Diantara para pelajar itu ada seorang bernama si Fulan. Fulan ini termasuk di luar kriteria yang disebutkan tadi. Fulan ini merupakan anak pemulung dengan penghasilan yang biasa-biasa aja. Masuk sekolah aja sudah merupakan prestasi yang terbaik menurut pihak sekolah. Pihak sekolah terkadang merasa iba dengan kondisi di Fulan. Kabar baiknya, pihak sekolah membebaskan segala biaya atas si Fulan ini. Adanya mekanisme subsidi silang diantara orangtua pelajar yang mampu dengan yang tidak mampu cukup membuat pelajar seperti si Fulan tidak terbebani. Selama bersekolah, si Fulan ini mengalami pasang surut dalam mengikuti pelajaran sekolah. Fulan merasa dia tidak harus berada di sekolah ini. Hal yang membuatnya bertahan adalah karena permintaan ibundanya agar tetap bersekolah. Hubungan baik dengan ibundanya menunjukan bahwa Fulan ini merupakan anak yang patuh. Ayahnya yang sibuk menjadi pemulung dengan penghasilan yang tidak menentu, membuat Fulan tidak peduli dengan sekolah. Fulan pun ingin menjadi pemulung jika tidak ditegur ibundanya. Hingga suatu saat, ibundanya mengalami sakit yang tak kunjung sembuh karena masalah biaya berobat. Keluarga Fulan pun tidak ada akses ke Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sakit ibundanya Fulan tak kunjung sembuh hingga kematian memanggilnya.

Setelah kematian ibundanya ini, si Fulan semakin kuat keinginannya untuk tidak bersekolah. Kegiatan bersekolah Fulan semakin tidak ada wujudnya dan pihak sekolah berkepentingan seperti cerita di awal. Menjaga tingkat kelulusan hingga 100 persen merupakan hal yang menjadi perhatian pihak sekolah. Pihak sekolah mengerahkan segala daya upaya agar si Fulan dapat bersekolah dan mengikuti “ujian nasional” dengan baik tanpa melihat hasil yang baik. Seminggu mendekati “ujian nasional” Fulan pun tak kunjung masuk bersekolah. Hingga terdengar kabar bahwa dia ikut dengan ayahnya menjadi pemulung di daerah Pulogadung, sementara dia bersekolah di Bekasi. Akhirnya diterjunkan pasukan dari sekolah untuk mencari Fulan. Saat masa “ujian nasional” tibapun, Fulan pun tidak hadir dan segala urusan adminsitratif telah diselesaikan pihak sekolah.  Usaha dari pihak sekolah berbuah hasil, Fulan ditanya dan dihimbau agar mau mengikuti “ujian nasional” susulan. Maka Fulan mengikuti ujian itu dengan pengawasan dari pihak sekolah. Selesai sudah mengikuti “ujian nasional” itu, Fulan pun kembali lagi menjadi pemulung. Hasil “ujian nasional” si Fulan pun biasa aja, tapi pihak sekolah memiliki target bahwa anak didiknya lulus semua. Pihak sekolah memang berjuang keras agar anak didiknya lulus dan itu menjadi kredibilitas yang baik bagi pihak sekolah. Namun apa yang membuat pihak sekolah berjuang mati-matian mencari si Fulan? Ibundanya Fulan yang menghadap Kepala Sekolah agar jika dirinya tidak dapat menemani Fulan, mohon dijaga anak lelaki satu-satunya untuk bisa tetap bersekolah dan lulus hingga akhir sekolah usai. Kepala Sekolah sudah memegang janji kepada almarhumah dan akan menepati permintaan ibunda si Fulan. Hingga di momen kepala sekolah menepati janjinya dan kepentingan menjaga kredibilitas sekolah, tidak terbayang oleh saya bagaimana kelanjutan nasib seperti si Fulan hingga ke jenjang berikutnya?

Cerita ini berhenti hingga disini, tetapi masih banyak fulan-fulan lainnya di belahan dunia lain, yang tidak terjangkau oleh sekolah, seperti permohonan ibunda Fulan dan ambigu Kepala Sekolah. Apapun itu, cerita ini merupakan fakta untuk menjadi bahan renungan dan rasa syukur karena kita masih diberikan kesempatan untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Semoga dunia menjadi lebih baik. 

Tulisan ini dapat juga dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

2 komentar:

  1. merubah 360 derajat artinya kembali ke asal Pak :), mungkin maksudnya 180 derajat kali yaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar pak Indra, terima kasih koreksi nya. Matur Suwun

      Hapus