Upaya Dana Desa Membangun Persada

 

Representasi Keadilan fiskal

Sejak digulirkan menjadi salah satu kebijakan keuangan negara pada tahun 2015, Dana Desa telah menjadi simbol komitmen negara dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah menghadirkan skema pembiayaan langsung dari APBN ke lebih dari 75.000 desa di seluruh Indonesia. Tujuannya bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga untuk membangun kemandirian desa sebagai pilar utama Indonesia yang sejahtera dan inklusif.

Dana Desa bukan sekadar alokasi anggaran, tetapi juga representasi keadilan fiskal. Desa yang selama ini termarginalkan kini memiliki akses terhadap dana pembangunan, yang penggunaannya ditentukan sendiri melalui musyawarah desa. Inilah bentuk desentralisasi fiskal yang paling nyata dan menyentuh akar rumput.

Pada tahun anggaran 2025, pemerintah mengalokasikan Dana Desa sebesar Rp71 triliun. Hingga 14 Juli 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa Dana Desa yang telah dikucurkan mencapai Rp40,34 triliun atau 58,46% dari total pagu. Sebagian besar dana ini dimanfaatkan untuk program prioritas seperti pembangunan infrastruktur desa, pemberdayaan ekonomi lokal, dan bantuan sosial melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa.

Untuk BLT Desa sendiri telah dialokasikan sebesar Rp1,62 triliun dari total penggunaan dan manfaatnya telah menjangkau hampir 8.000 desa. Sehingga hal ini menunjukkan bagaimana Dana Desa juga memainkan peran sebagai bantalan sosial, terutama saat desa menghadapi tekanan akibat inflasi atau ketidakpastian ekonomi global.

Ketahanan Sosial Ekonomi

Salah satu pilar utama pemanfaatan Dana Desa adalah pembangunan infrastruktur dasar: jalan desa, jembatan, saluran irigasi, dan air bersih. Inilah fondasi bagi mobilitas warga, konektivitas ekonomi, dan pemerataan layanan dasar. Selain itu, Dana Desa juga menyasar program ketahanan sosial: mulai dari layanan kesehatan, penguatan gizi anak, pendidikan anak usia dini, hingga pelatihan keterampilan masyarakat. Tak sedikit desa yang telah berhasil menekan angka stunting dan meningkatkan angka partisipasi sekolah dasar berkat pemanfaatan Dana Desa yang tepat.

Transformasi penting yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya pemanfaatan Dana Desa untuk membentuk dan memperkuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan mengangkat potensi local seperti pertanian, peternakan, kerajinan, hingga desa wisata—BUMDes mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan asli desa (PADes).

Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan salah satu contoh sukses pemanfaatan Dana Desa untuk pembangunan ekonomi produktif. Dengan menggandeng masyarakat secara aktif, desa ini membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mengelola potensi wisata lokal berupa agrowisata dan kafe sawah. Berkat dukungan Dana Desa, mereka berhasil menyulap kawasan pertanian biasa menjadi destinasi wisata yang menarik ribuan pengunjung setiap pekan. Pendapatan asli desa (PADes) yang semula hanya puluhan juta rupiah per tahun, melonjak menjadi lebih dari Rp1,5 miliar pada 2019. Pujon Kidul kini menjadi ikon desa wisata dan kerap dijadikan lokasi studi tiru oleh desa lain di Indonesia.

Selain Pujon Kidul, Desa Ponggok di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, juga menunjukkan keberhasilan serupa. Melalui BUMDes Tirta Mandiri, desa ini mengelola Umbul Ponggok yaitu sebuah mata air yang disulap menjadi tempat wisata bawah air yang unik. Dengan dukungan Dana Desa dan partisipasi warga, pendapatan BUMDes mencapai miliaran rupiah per tahun, dan lebih dari 80% warga desa merasakan dampak ekonominya. Bahkan, BUMDes ini memiliki anak usaha di berbagai sektor, mulai dari pertanian, ritel, hingga properti.

Kisah sukses lainnya datang dari Desa Kutuh, Bali, yang dikenal dengan pengelolaan wisata Pantai Pandawa. Dana Desa digunakan untuk membangun akses jalan dan fasilitas publik, sehingga desa tersebut kini menghasilkan PADes hingga Rp10 miliar per tahun. Kutuh juga menunjukkan bahwa sinergi antara Dana Desa, kearifan lokal, dan manajemen profesional mampu mengangkat desa menjadi motor ekonomi regional.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Dana Desa bukan hanya untuk "belanja" operasional atau pembangunan fisik, melainkan juga dapat dioptimalkan sebagai instrumen investasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

Tantangan Transparansi dan Kapasitas

Di balik capaian yang menggembirakan, tak sedikit tantangan yang masih menghadang. Salah satunya adalah praktik penyelewengan dan lemahnya kapasitas tata kelola. Data menunjukkan bahwa sejak 2015 hingga awal 2025, terdapat ratusan kasus korupsi Dana Desa yang melibatkan aparat desa. Ini menandakan masih lemahnya sistem pengawasan, transparansi, dan partisipasi publik. Tantangan lain adalah rendahnya kapasitas teknis aparatur desa dalam merancang, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana. Banyak desa yang masih belum siap dari sisi SDM maupun infrastruktur pendukung.

Salah satu kasus korupsi Dana Desa yang mencuat adalah di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Pada tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap lima orang dalam operasi tangkap tangan (OTT), termasuk kepala desa dan pejabat inspektorat. Modusnya adalah pengaturan audit laporan keuangan desa yang bermasalah, dengan imbalan suap agar temuan penyimpangan tidak diproses hukum. Kasus ini membuktikan bahwa bukan hanya kepala desa, tetapi juga aparat pengawas lokal bisa terlibat dalam jaringan penyelewengan Dana Desa. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015–2022 tercatat lebih dari 900 kasus korupsi terkait Dana Desa, dengan nilai kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah. Hal ini mencerminkan lemahnya sistem akuntabilitas dan minimnya partisipasi warga dalam mengawasi penggunaan anggaran.

Selain itu masalah kapasitas pelaksana Dana Desa juga menjadi tantangan tersendiri. Misalnya di Kabupaten Buru Selatan, Maluku, sebuah studi oleh Kemendesa PDTT (2022) menemukan bahwa banyak kepala desa dan perangkat desa kesulitan memahami perencanaan program berbasis kebutuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan program pembangunan yang dilaksanakan tidak tepat sasaran, seperti pembangunan balai desa mewah di desa dengan akses air bersih yang masih sangat terbatas. Imbas dari perencanaan yang tidak tepat sasaran adalah pelaporan keuangan desa pun seringkali bermasalah. Masih banyak desa yang menyusun laporan secara manual atau tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan desa. Ketiadaan pendamping teknis yang memadai serta minimnya pelatihan membuat desa tidak mampu memanfaatkan Dana Desa secara efektif dan akuntabel.

Ke depan, digitalisasi dapat menjadi kunci memperkuat tata kelola Dana Desa. Penggunaan aplikasi pelaporan keuangan desa, sistem monitoring berbasis GPS, serta keterbukaan data publik melalui papan informasi digital, dapat menekan praktik korupsi sekaligus mempercepat penyaluran dan evaluasi. Selain itu, Dana Desa juga diarahkan untuk memperkuat desa digital. Internet masuk desa, pelatihan literasi digital, dan pengembangan layanan publik berbasis teknologi menjadi agenda penting membangun desa yang inklusif dan kompetitif di era digital.

Selanjutnya agar Dana Desa semakin berdampak, beberapa langkah strategis perlu diambil yaitu: yang pertama, memperkuat pendampingan dan pelatihan bagi aparat desa agar memiliki kapasitas yang mumpuni dalam perencanaan dan pelaporan. Selanjutnya kedua, membuka ruang partisipasi masyarakat desa dalam seluruh tahapan penggunaan Dana Desa. Transparansi berbasis digital harus dijadikan standar. Berikutnya ketiga, mendorong penggunaan Dana Desa untuk kegiatan produktif dan berkelanjutan. Program padat karya, pengembangan BUMDes, dan desa wisata harus menjadi prioritas jangka panjang. Serta yang keempat, adalah dengan  memperluas skema Alokasi Kinerja agar desa yang transparan dan inovatif mendapat insentif lebih besar ssehingga mencerminkan asas keadilan dalam apresiasi yang diberikan.

Membangun Persada Bukan Sekedar Angka

Dana Desa telah menjadi instrumen strategis dalam membangun persada di setiap desa di Indonesia yaitu dalam hal ini memperkuat pelayanan dasar, menumbuhkan ekonomi lokal, dan mempersempit kesenjangan pembangunan. Dengan realisasi lebih dari Rp 40 triliun per 14 Juli 2025, sebesar 58,46% dari pagu Rp 69 s.d 71 triliun, program ini menunjukkan kemajuan nyata dalam penyebaran manfaat dan jangkauan luasnya

Lebih dari sekadar angka, dampak pembangunan dari Dana Desa terlihat dari semakin banyaknya akses jalan dan irigasi, BUMDes yang produktif, layanan pendidikan dan kesehatan yang modern, hingga bentuk dukungan langsung kepada keluarga miskin melalui BLT Desa. Namun, tantangan seperti korupsi, kapasitas rendah, dan keterbatasan transparansi harus tetap menjadi perhatian serius dan dicarikan solusinya.

Dengan penguatan tata kelola, transparansi, moral masyarakat, dan digitalisasi, Dana Desa dapat dikelola lebih efektif dan berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat, akademisi, dan lembaga pemantau independen menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang digulirkan benar-benar berjalan sesuai harapan untuk membangun persada yang merupakan tanah leluhur, untuk menjadikannya desa mandiri dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif dan merata.

 

Geliat Ekonomi 80 Tahun Kemerdekaan Menuju Indonesia Emas 2045

 

Kemerdekaan Membuka Jalan Pertumbuhan Ekonomi

Delapan dekade sudah Indonesia merdeka. Dari sebuah bangsa yang lahir di tengah keterbatasan infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia terdidik, Indonesia kini bertransformasi menuju salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah pembangunan fisik, tetapi juga transformasi struktur ekonomi, kebijakan strategis, dan daya juang masyarakat yang membentuk fondasi menuju cita-cita besar: Indonesia Emas 2045.

Perjalanan ekonomi Indonesia sejak tahun 1945 dapat dibagi dalam tiga babak besar. Babak pertama (1945–1965) adalah fase bertahan hidup, di mana tantangan terbesar adalah memulihkan stabilitas politik dan ekonomi pasca perang. Inflasi pernah mencapai lebih dari 600% di awal tahun 1960-an, namun masa ini juga menjadi tonggak pembentukan berbagai lembaga negara dan infrastruktur dasar.

Babak kedua (1966–1998) ditandai dengan pembangunan ekonomi yang terarah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% di era tahun 1970-1980, dimana hal tersebut ditopang oleh ekspor minyak serta industrialisasi awal. Namun demikian pada krisis moneter tahun 1997–1998 menjadi pukulan keras bagi perkeonomian Indonesia, yang ditandai nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp2.500 menjadi lebih dari Rp15.000 per dolar AS, dan angka kemiskinan melonjak menjadi 24%.

Babak ketiga (1999–2025) adalah masa reformasi dan integrasi global. Sistem demokrasi yang lebih terbuka dan desentralisasi fiskal mendorong pemerataan pembangunan daerah. Pertumbuhan PDB Indonesia sejak tahun 2000 konsisten berada di kisaran 5%–6% per tahun (kecuali saat pandemi COVID-19), sehingga hal itu menjadikan Indonesia anggota G20 dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

 

Kemajuan yang Nyata dan Berkelanjutan

Transformasi ekonomi Indonesia tercermin jelas dalam angka-angka. PDB per kapita yang hanya sekitar US$ 56 pada 1967 kini telah mencapai US$ 5.242 pada tahun tahun 2024 (Laporan BPS, 2024). Tingkat kemiskinan turun dari 40% pada 1976 menjadi 9,36% pada tahun 2023, dimana kondisi tersebut adalah terendah sepanjang sejarah. Sehingga tingkat inflasi yang dulu pernah triple digit kini terkendali di kisaran 2,8%–3,2% dalam beberapa tahun terakhir.

Selanjutnya dari sisi perdagangan, ekspor Indonesia pada tahun 2024 mencapai US$ 258,8 miliar, didorong oleh komoditas unggulan seperti batu bara, CPO, nikel, dan produk manufaktur seperti otomotif serta elektronik. Sektor jasa, terutama pariwisata, juga mencatat rebound kuat pasca pandemi dengan 11,7 juta kunjungan wisatawan mancanegara tahun lalu.

Berikutnya dalam hal investasi asing langsung (FDI) pertumbuhannya berlangsung dengan cepat, ysitu mencapai US$ 47,7 miliar pada tssun 2024, dengan fokus pada industri hilirisasi mineral, energi terbarukan, dan ekonomi digital. Nilai kapitalisasi pasar saham Indonesia kini menembus Rp10.500 triliun, dan hal itu menggambarkan kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi nasional.

 

Tantangan dan Strategi Menuju Indonesia Emas 2045

Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan, melainkan target konkret untuk menjadi negara berpendapatan tinggi dengan PDB di atas US$ 9 triliun dan PDB per kapita sekitar US$ 25.000. Untuk itu, ada dua jalur besar yang harus ditempuh: penguatan ekonomi makro dan optimalisasi ekonomi mikro.

Dari sisi makro, stabilitas fiskal dan moneter menjadi harga mati. Defisit APBN harus dijaga di bawah 3% PDB dengan fokus pada pembiayaan produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan riset teknologi. Transformasi energi menuju sumber terbarukan perlu dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada fosil dan menjaga daya saing jangka panjang.

Sementara dari sisi mikro, penguatan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi harus diprioritaskan. Data Kemenkop UKM menunjukkan UMKM menyumbang lebih dari 60,5% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja. Sehingga melalui berbagai upaya digitalisasi usaha, akses pembiayaan murah, serta peningkatan kualitas SDM, semua itu akan menjadi katalis agar UMKM Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga naik kelas ke pasar global.

 

Membangun Indonesia melalui Manusia dan Inovasi

Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tak lepas dari pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia telah meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 74,39 pada tahun 2023, namun demikian kondisi tersebut masih tertinggal dibanding negara-negara OECD. Jepang, misalnya, mencatat IPM sebesar 90,1 pada tahun 2023, sementara Korea Selatan berada di angka 92,2 dan Australia di 93,0. Lebih jauh lagi, laju kenaikan IPM di negara-negara tersebut tetap konsisten meskipun mereka sudah berada di kategori sangat tinggi, yang menunjukkan adanya fokus berkelanjutan pada peningkatan kualitas manusia, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, dan untuk itu investasi pada pendidikan vokasi, riset teknologi, dan literasi digital harus ditingkatkan.

Selanjutnya pembangunan ekonomi berbasis inovasi juga menjadi kunci. Potensi ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$ 360 miliar pada 2030 (Google-Temasek-Bain, 2023). Hilirisasi sumber daya alam harus beriringan dengan penciptaan ekosistem startup teknologi, bioteknologi, dan industri kreatif yang mampu mengekspor produk bernilai tambah tinggi. Perjalanan ekonomi Indonesia selama 80 tahun adalah kisah tentang daya tahan, adaptasi, dan tekad untuk terus maju. Dari negara agraris pasca kemerdekaan hingga ekonomi digital yang terkoneksi global, kemajuan ini bukanlah akhir, melainkan batu loncatan.

Pada sektor ekonomi digital, Indonesia kini menjadi rumah bagi lebih dari 2.500 startup teknologi (Startup Ranking, 2024), menjadikannya salah satu ekosistem startup terbesar di Asia Tenggara. Nama-nama seperti Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Xendit telah menembus pasar internasional, menjadi bukti bahwa inovasi anak bangsa mampu bersaing di tingkat global. Pemerintah mendukung ini dengan membentuk Indonesia Digital Economy Roadmap 2021–2030, yang menargetkan transformasi sektor-sektor strategis melalui adopsi artificial intellegence, big data, dan blockchain.

Sedangkan pada sektor bioteknologi, rintisan seperti PT Etana Biotechnologies Indonesia telah memproduksi vaksin mRNA dalam negeri yang setara kualitasnya dengan produk luar negeri. Lembaga Eijkman dan BRIN juga aktif mengembangkan riset genomic untuk kesehatan dan pertanian, membuka jalan bagi peningkatan produktivitas pangan dan kemandirian farmasi nasional.

Selanjutnya untuk bidang industri kreatif, ekspor produk fesyen, animasi, gim, dan kerajinan terus meningkat. Menurut data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan nilai ekspor produk kreatif Indonesia menembus US$ 25 miliar pada 2023, dengan pasar utama di Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah. Sedangkan contoh kesuksesan ekonomi digital dari permainan yang dibuat anak bangsa adalah seperti “coffee talk” karya Toge Productions yang meraih penghargaan global menjadi simbol bahwa karya digital lokal mampu diterima luas masyarakat dunia.

Berikutnya dari hilirisasi sumber daya alam juga mulai menghasilkan output bernilai tambah. Hal ini diwujudkan antara lain melalui ekspor feronikel dan produk turunan nikel dari kawasan industri Morowali dan Weda Bay yang kini memasok bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik dunia. Pemerintah mengintegrasikan kebijakan ini dengan pembangunan Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk menggarap rantai pasok EV dari hulu ke hilir.

Berdasarkan hal-hal yang telah dicapai tersebut, Indonesia akan mampu menjaga stabilitas makro, memperkuat ekonomi mikro, serta memacu inovasi dan inklusi, sehingga cita-cita Indonesia Emas 2045 bukan lagi mimpi, tetapi takdir yang sedang dibentuk. Seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno mengenai jas merah yaitu jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Karena dari sejarah itulah kita belajar bahwa kemandirian ekonomi dan keadilan sosial bukan hanya tujuan, tetapi fondasi kemerdekaan yang sejati.