PATUNGAN YATIM (LAGI)

Seneng sekali alhamdulillah, masih bisa diberi kesempatan menuliskan ini. Maaf bagi yang bosen yaa. Sebenarnya, saya dulu sudah pernah menuliskan soal patungan yatim di blog ini. Memang sih, sudah agak lama. Ini link-nya bagi yang mau mampir.

Kali ini, saya mencoba metode patungan yatim baru, khususnya buat teman-teman yang merasa “berat” kalau harus menyetor secara bulanan. Yaitu.. jeng jeng.. dengan melakukan donasi setiap Jum’at (atau hari lain juga bisa, sih), misal sebesar 10 rb rupiah saja.
Mungkin, ada yang berpikir bahwa menyumbang sebesar 50 rb itu mahal dan banyak. Nah, kalau dibagi seminggu sekali 10 rb/12 rb, dalam satu bulan bisa dapat 40rb/48 rb. Wah.. lumayan kan.
Jumlah 10 rb itu sebetulnya buat kita seperti cukup buat jajan saja, atau kalau makan.. dapatnya yg sederhana. Namun.. jumlah itu buat orang yang kesusahan lumayan banget pastinya, bisa buat beli beras 1 liter, bisa untuk beli buku tulis, buat beli 1 lauk hewani, atau buat jahit celana sekolah yang sobek :o

Mengapa patungan yatim?

Allah senang dengan hambaNya yang konsisten dalam melaksanakan amal. Memang sih, semua orang bisa menyantuni yatim, namun terkadang kita lupa dan tidak konsisten. Nah, kami ikut dukung untuk menyantuninya secara rutin setiap bulan, berapa saja nominalnya, patungan untuk mendorong kehidupannya agar lebih baik. Ayuk kita patungan untuk memberi tambahan keluarga yatim sehingga mereka tidak merasa sendirian dan Allah lebih sayang pada kita. Amin YRA.  




Raker DSP 2018

Awal bulan Maret lalu, kami menyelenggarakan Rapat Kerja Direktorat Sistem Penganggaran. Ada yang menarik dari penyelenggaraan raker tersebut yang rasanya berbeda dari raker-raker sebelumnya. Acara yang diselenggarakan selama 3 hari 2 malam tersebut melibatkan sebanyak mungkin staff DSP yang bahkan beberapa diantaranya merupakan ‘pemain’ baru.

Biasanya dalam suatu event, panitia enggan untuk menempatkan para pemain baru karena tidak mau atau tidak berani mengambil resiko, takut acaranya tidak sukses, namun kali ini saya melihat panitia berani mengambil resiko menempatkan beberapa pemain baru.

Dengan semakin banyaknya pegawai yang dilibatkan terasa keakraban yang tercipta, seolah semua yang ditugaskan berupaya mempersembahkan yang terbaik dari yang mereka punya, setidaknya itulah yang saya rasakan.

Pun ketika terjadi kesalahan karena adanya human error, panitia tidak serta merta menyalahkan si pembuat kesalahan, namun bisa segera memahaminya dan acara berlanjut seolah tak terjadi kesalahan.

Saya juga memperhatikan salah satu panitia yang bisa dengan tetap tenang, ramah dan santun namun bisa tetap melaksanakan hal-hal yang sudah disepakati dalam rapat panitia ketika pada pelaksanaan acara terdapat para atasan yang memberikan berbagai saran yang berbeda-beda.

Bravo untuk panitia, raker kali ini memberikan kenangan tersendiri bagi saya.

Jakarta, 14 Maret 2018

Kenangan di Pangkalpinang (2)

Penempatan pertama saya adalah di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Anggaran (lama) yang sekarang dikenal sebagai Direktorat Jenderal Perbendaharaan, tepatnya di Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (sekarang menjadi salah satu Direktorat di DJPU). Cukup lama saya berkantor di situ, sementara banyak rekan-rekan saya sudah mutasi berulang kali baik itu mutasi dalam kota, luar kota, maupun antar pulau, maklum DJPB memiliki kantor vertikal yang tersebar dari Sabang  sampai Merauke. Sementara saya sejak single, menikah sampai dengan dikaruniai 3 orang putra/i masih tetap berkantor di Kantor Pusat. 

Setiap kali mendengar ada isu mutasi rasanya selalu tidak tenang, takut kalau-kalau kami dimutasi. Lama kelamaan perasaan itu semakin mengganggu, sampai akhirnya kami berdua sepakat bahwa kemanapun kami dimutasi, kami akan berangkat bersama-sama dan menghadapi apapun bersama-sama. 

Setelah bertekad dengan keputusan tersebut, kami merasa lebih tenang, maka ketika SK turun untuk pertama kalinya, Alhamdulillah kami merasa lebih siap untuk berangkat, menyambut tempat kerja dan tempat tinggal yang baru, bersiap-siap dengan lingkungan baru dll. Memang cukup merepotkan memindahkan anak-anak yang sudah mulai bersekolah, tapi itu bagian yang harus kami jalani.

Waktu terus berjalan, ternyata kami menikmati juga tinggal di Kota Pangkalpinang. Jarak tempuh yang dekat antara kantor dengan rumah memungkinkan kami untuk sering bertemu dengan keluarga, dimana hal ini sulit kami lakukan ketika kami masih berdinas di Jakarta, karena pagi kami sudah harus berangkat dan tiba di rumah sudah malam, tidak pas dengan waktu berinteraksi dengan anak-anak.

Pangkalpinang juga memiliki pantai-pantai yang indah, hampir tiap minggu kami main ke pantai bersama-anak-anak yang sangat gemar bermain air. Biaya sekolah yang murah, karena SPP sekolah terbaik di Pangkalpinang saat itu adalah 1/10 SPP anak-anak kami di Tangerang Selatan. Seafood yang masih segar dan berasa manis mudah kami jumpai di Pangkalpinang dan masih banyak hal-hal lain yang membuat kami merasa betah tinggal di Pangkalpinang. 

Sebagai pengingat diri saya sendiri : Ketika kita berani menghadapi kenyataan maka perasaan takut yang selama ini menghantui akan sirna. 


Jakarta, 14 Maret 2018

Kenangan di Pangkalpinang

Suatu masa dalam kehidupan saya, saya pernah tinggal di Kota Pangkalpinang selama 11 bulan. Itulah pengalaman pertama saya tinggal di luar Pulau Jawa. Banyak hal yang harus saya sesuaikan dengan kondisi-kondisi yang selama ini saya alami, misalnya saja masalah air dan ketersediaan listrik.

Pangkalpinang adalah salah satu pulau penghasil timah. Demikian banyaknya kandungan timah tersebut, sampai-sampai kami sulit menemukan air tanah yang tidak mengandung timah. Dampaknya, kami harus membeli bergalon-galon air untuk keperluan minum dan memasak. Selain itu, air tanah yang kami pergunakan untuk mandi dan mencuci baju serta peralatan makan minum pun tidak mudah didapat. Semuanya serba terbatas.

Demikian pula halnya dengan ketersediaan listrik, kami tidak pernah merasakan supply listrik full selama 24 jam sehari, selalu ada saja waktu tanpa aliran listrik. Kalau hari ini siang tersedia listrik, maka keesokan harinya malam hari yang mendapat giliran listrik padam. Setiap kali menanak nasi menggunakan rice cooker saya selalu berdoa semoga nasi yang  saya masak bisa matang sebelum listrik mati lagi.

Ada lagi cerita tentang ketika timbul keinginan yang demikian intens untuk menikmati softdrink (padahal saya bukanlah seorang softdrink lover). Sekitar dua minggu menjelang hari  Raya Iedul Fitri, Swalayan Puncak, satu-satunya swalayan di Pangkalpinang pada saat itu, dipenuhi oleh softdrink  yang bahkan saking banyaknya sampai stock nya meluber ke luar toko. Sungguh pemandangan yang mengherankan bagi saya yang baru pertama kali melihat suasana seperti itu. Namun ternyata hanya dalam hitungan hari stock tersebut menipis dan akhirnya habis. Justru pada saat sudah habis itulah keinginan untuk minum softdrink dalam diri saya demikian kuat, sampai-sampai saya merasa perlu untuk mencarinya di warung-warung sekitar rumah saya yang biasanya menjual softdrink, namun apa daya ternyata habis juga, dan itu terjadi sampai berhari - hari. Akhirnya saya menyerah, ya sudah, saya pupus keinginan untuk minum softdrink tersebut dan berupaya melupakannya.

Sebagai ‘Urang Bandung” yang terbiasa melihat sayuran segar dengan kualitas baik tersedia sepanjang masa di tanah kelahiran, maka saya memiliki standar tersendiri ketika memilih dan membeli sayuran. Suatu hari saya bermaksud membeli kentang dan kol untuk keperluan memasak, namun ternyata kentang yang tersedia pada saat itu adalah kentang yang sudah bertunas di tiap umbinya juga kol yang banyak bolong-bolongnya, tidak mulus di tiap helai kelopaknya. Sampai kaki saya pegal berkeliling pasar untuk mendapatkan kentang dan kol yang sesuai dengan standar saya, akhirnya saya menyerah juga karena ternyata seluruh kios di pasar tersebut menjual barang dengan mutu yang sama karena memang sayuran tersebut berasal dari satu supplier saja dan ‘diimpor’ dari Jakarta / Palembang dan karena rentang waktu pengiriman yang lama, maka tak ada kentang yang tak bertunas ketika tiba di tangan konsumen.

Banyak kenangan yang saya peroleh selama di Pangkalpinang, walaupun durasi tinggal saya hanya 11 bulan saja, namun banyak pembelajaran yang saya dapatkan yang mungkin tidak akan saya peroleh bila saya tidak mengalaminya sendiri. Rasa syukur yang bertambah atas apapun, belajar mengendalikan keinginan, belajar menerima apa yang Tuhan tetapkan, dll adalah sebagian dari pembelajaran-pembelajaran yang saya peroleh. Kenangan manis dan pahit datang silih berganti, namun yang utama bisakah kita mengambil hikmah dari semua itu.


Jakarta, 13 Maret 2018.