Penasihat Yang Bertebaran

"Bu, ke pasar dulu ya," pamit pak Hasan, penjual jus buah di sekitar kantorku yang nampak terburu-buru, khawatir perjalanannya dikalahkan cepat oleh semburat sinar pagi yang lebih dulu menyelimuti pasar, tempat sang bapak biasa membeli buah-buahan. "Hati-hati ya, pak," jawab istrinya singkat sampai-sampai menitipkan kalimat penyemangat pun tak sempat lagi. Tapi sang bapak tahu, pesan singkat itu membawa sirat sebagai penyemangat di setiap mengawali hari-hari nya.

Ini dialog rutin yang sempat terbayang olehku, sepasang insan yang harus mengawali hari-hari menjemput rizqi-Nya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka adalah pejuang yang lebih dini harus mengalahkan rasa kantuk dan capeknya. Mereka harus berpeluh keringat lebih awal dari kebanyakan orang yang masih belum mau kehilangan kehangatan tidurnya. Tentu bukan hal yang ringan.

Pak Hasan dan istrinya, sepasang sosok bersahaja, sudah beberapa tahun ini jualan jus di depan masjid belakang kantorku. Meski aku tahu setiap hari yang datang akan dilewatinya dengan tidak mudah, tapi wajah-wajah polos cerianya tak pernah bermaksud menyembunyikan kenyataan bahwa mereka sangat bahagia, tak ada jejak-jejak beban yang terlihat pada raut muka yang hampir selalu dihiasi dengan senyuman dan kadang canda tawa.

***

Hari ini aku masih merasa tidak tenang setelah mendapat kepastian kabar sejak isu berseliweran di pojok-pojok tak resmi dalam kurun beberapa minggu terakhir ini. Mutasi dan promosi selalu menjadi isu yang menarik diperbincangkan di mana-mana dan sampai pada hari ketika ada kepastian nama-namanya, efeknya juga hampir sama, selalu mengecewakanku. Penyebabnya hanya satu : tidak ada namaku.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku, aku menjadi mudah marah, merasakan selalu ada dorongan-dorongan ambisi yang tak mudah aku kendalikan. Aku juga hampir selalu menemukan cara dan alasan untuk menunjukkan ke orang-orang bahwa akulah yang lebih baik, dan orang-orang yang namanya ada di lembaran keputusan yang baru ditetapkan kemarin itu tak lebih berhak daripada aku. Berdebat menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu, aku seperti menemukan panggung yang akan menjadikan aku sebagai pemeran utama yang akan diagungkan banyak orang. Aku sangat menikmatinya. Semua unsur ini terkombinasi secara sempurna yang menjadikan aku seperti sekarang ini. Rasanya aku sudah memasuki era tentang aku yang baru, bukan aku yang dulu. Entahlah.

Siang ini, mungkin masih terpengaruh oleh kekecewaanku, selera untuk makan siangku belum sepenuhnya seperti biasa, aku hanya ingin minum jus pak Hasan di belakang kantorku itu.

"Apa kabar, pak Hasan?" basa-basi tanyaku setelah beberapa lama aku memang tidak mampir beli jusnya. Seperti biasa, pak Hasan menjawab dengan sangat ramah menyampaikan kabar baiknya juga.

Tak lama kemudian pak Hasan menyodorkan segelas jus buah yang dikenal murah, enak, dan kental, setidaknya jika dibandingkan dengan jus sejenis yang dijual tak jauh dari tempat jualan pak Hasan. Rasa dan tingkat kekentalannya memang tidak berubah, ini yang menjadi daya tarik orang-orang lebih banyak beli jus pak Hasan.

"Lho harganya gak naik pak, kan harga gula sudah naik?" tanyaku penuh keheranan ketika mengeluarkan uang dari dompet lusuhku. Aku bukan pemerhati berita yang baik, tapi untuk hal-hal yang ramai dibicarakan, sedikit banyak aku juga tahu. Hari-hari terakhir ini memang lagi ramai dibicarakan kenaikan harga gula yang berlipat dari sebelumnya.

"Iya pak, belum, masih ada selisih kok, dengan harga yang sekarang ini," jawab pak Hasan yang diamini istrinya dengan senyum meyakinkan.

"Masih ada selisih." Jawaban ini cepat terngiang-ngiang di telingaku. Kalimat sederhana yang semilir dinginnya langsung sampai ke hati, adem rasanya. Aku hanya merasakan diriku terperangkap antara keharuan dan ketakjuban mendengar kalimat yang keluar dari energi kerendahhatian, kesyukuran, kemerasacukupan dan sangat jauh dari sifat ketamakan.

Sementara aku, masih tak lelah dengan ambisi yang tak bertepi, masih dengan ketamakan yang tak pernah menemukan ujung-ujungnya, masih terpenjara dengan kerasatinggidirian yang ternyata kesemuanya itu hanya memberikan ketidaktenangan yang tak berkesudahan.

Sosok sesederhana yang tertampak itu ternyata mampu membuat seseorang berjalan tertunduk, malu pada keinginan-keinginan liar yang selama ini menghantui dan merisaukan hatinya. Seseorang itu adalah aku, yang terkulai malu oleh kata-kata sederhana yang menyentak di saat yang tepat ketika aku sangat memerlukannya, untuk kembali ke era aku yang dulu.

Tuhan Maha Tahu melalui siapa peringatan-peringatan kebaikan itu akan diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Para penasihat akan kita temui di mana saja, seperti pak Hasan yang aku temui siang ini. Dia memberi contoh nyata, lalu dia mengatakan. Tidak seperti yang kebanyakan kita lihat dan dengar, ungkapan-ungkapan nasihat sering dikatakan mendahului sangat jauh dari tindakan-tindakan nyatanya.

2 komentar:

  1. Panggung itu selalu ada untuk membenarkan apa yg menjadi pikiran kita walau kita tahu itu salah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. panggung memang sangat menarik mba, tapi bisa terpeleset kalau ga hati-hati :D
      terima kasih sudah mampir

      Hapus