Malam ke 40

Seperti biasa, saya bertugas membawa acara cerita misteri di Madya FM, salah satu radio swasta di Kota Ternate pada kamis malam pukul 21.00 – 23.00 WIT. Malam itu, sekitar pukul 21.30 salah satu fans radio sekaligus teman dari penyiar lain datang ke studio dan mengajak seluruh rekan penyiar untuk berkunjung ke rumahnya. Saya sebenarnya tidak mengenal Sandra, karena saya adalah penyiar baru di radio ini, dan Sandra kabarnya adalah fans lama radio yang saat itu sedang melanjutkan studinya di negeri kangguru dan sedang pulang ke Ternate untuk liburan. Saya sebenarnya tidak ingin ikut berkunjung ke rumah Sandra, selain sudah larut malam karena dari studio pukul 23.00, sehingga terbayang pulangnya akan telah dini hari, juga karena saya tidak mengenal Sandra sebelumnya. Namun, teman penyiar saya memaksa saya untuk ikut dengan alasan biar lebih rame dan seru, bahkan Luki salah satu teman penyiar saya berjanji akan mengantar saya pulang selesainya kongkow di rumah Sandra, dan pada akhirnya saya bersedia ikut kongkow di rumah Sandra.

Sandra adalah anak tunggal dari keluarga yang menurut saya sangat berada, rumah Sandra besar dan bagus dengan halaman yang sangat luas. Di rumahnya saya lihat ada koleksi moge (motor gede) Harley Davidson dan BMW klasik. Ada juga ruangan khusus untuk band, lengkap dengan peralatannya, seperti drum, keyboard dan gitar listrik. Ada pojok bar lengkap dengan berbagai merek minuman impor. Entah berapa banyak mobil terparkir di garasinya yang tertutup, sementara ada 3 mobil yang terparkir di halamannya, termasuk 1 VW Combi klasik, dugaan saya mungkin orang tuanya senang mengoleksi kendaraan klasik.

Setengah jam berlalu, satu jam berlalu, bahkan sampai akhirnya dua setengah jam berlalu, Sandra dan 5 orang teman penyiar saya ngobrol ngalor-ngidul.. Sandra memang enak jadi teman ngobrol. Dari 7 orang yang ada saat itu, hanya saya yang lebih banyak diam.. Saya hanya kepikiran bagaimana nanti pulang dari tempat Sandra. Angkutan kota sudah tidak ada, apalagi rumah Sandra tidak berada di pinggir jalan protokol, tidak ada ojek yang mangkal maupun yang lewat. Sebenarnya jarak rumah Sandra dan kantor KPPN Ternate tempat saya tinggal tidaklah terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 1 km, namun jalan yang harus dilalui yang membuat saya sedikit deg-degan. Jalanan itu adalah melewati Stadion Ternate yang gelap gulita, dan banyak cerita penampakan yang sering terjadi disana.

Dan tepat pukul 01.30 WIT, teman-teman akhirnya sepakat pulang, itupun atas desakan saya berkali-kali. Hujan gerimis menyertai kepulangan kami dari rumah Sandra. Ah, hujan gerimis, pukul 01.30 dini hari dan jalanan yang gelap gulita, lengkap sudah suasana untuk suatu cerita horor, pikir saya dalam hati. Dan, saya harus melaluinya sendirian saat itu, karena Luki ternyata ingkar janji tidak jadi mengantar saya.. Dan tempat tinggal teman-teman penyiar saya tidak ada yang satu jalan dengan saya.

Baru saja sekitar 1 menitan saya berpisah dengan teman-teman penyiar yang lain, saya sudah mulai mendengar suara “sesuatu” yang mungkin bisa saja burung, kelelawar atau binatang malam lainnya, tapi memang baru saya dengar ketika berada di Ternate, dan menurut cerita orang Ternate, suara seperti itu adalah suara Suanggi. Suanggi berdasarkan cerita yang saya dengar langsung dari orang Ternate, adalah orang tertentu yang bisa terbang tanpa sayap pada malam hari untuk mencari mangsa, yang masih menurut cerita mereka, bayi adalah target utamanya. Suanggi ini, digambarkan dalam cerita mereka, jika laki-laki ada tanduknya dan jika perempuan rambutnya tegak berdiri. Sebagian besar gambaran wajah Suanggi ini menyeramkan. Bahkan ada yang menggambarkan Suanggi ini terbang berkeliaran hanya berupa kepala dan bagian dalam manusia (usus, hati dan jantung), tanpa badan. Konon katanya, ketika malam (selepas maghrib) Suanggi ini mulai berkeliaran, dan baru pulang menjelang subuh. Namun ada pula yang menyebut Setan/Jin/makhluk halus dengan sebutan Suanggi juga. Saya, terus terang lebih takut pada Suanggi dengan definisi yang pertama, karena jika itu adalah orang dengan kemampuan tertentu, maka sudah pasti punya wujud fisik yang dapat melakukan kontak fisik dengan saya.

Suara Suanggi itu terus mengikuti saya, suaranya terdengar pelan, “syuu, syuu...” hampir seperti suara orang bersiul yang tidak sempurna.. Saya teringat cerita dari teman kantor, jika mendengar suara Suanggi pelan, itu artinya dia dekat, tapi kalau suaranya terdengar nyaring atau jelas, justru keberadaannya sedang jauh.. Dan saat itu saya dengar suaranya pelan mengikuti saya.

Jalan yang mengitari Stadion Ternate dibuat satu arah, tapi entah mengapa perasaan saya mengatakan untuk memilih jalan sebelah kanan yang artinya berlawanan arah dari yang seharusnya, hati saya mengatakan lebih baik menghadapi sesuatu dengan berhadap-hadapan lebih dahulu jika ada kendaraan atau orang lain yang lewat, tapi tentu saja sudah tidak ada lagi yang lewat pada pukul 01.30 pagi dan gerimis pula.

Jalanan di pinggir stadion itu gelap gulita, karena selain tidak ada penerangan jalan sama sekali, pagi dini hari saat itu gerimis, sehingga tidak ada cahaya bulan ikut andil menemani perjalanan saya. Saya berjalan dengan langkah yang dipercepat, saya hanya harus melewati setengah lingkaran jalan stadion untuk kemudian sedikit berbelok ke kanan dan 100 meter kemudian masuk ke jalan Yos Sudarso yang sudah berpenerangan jalan. Saya berjalan dengan tidak putus membaca doa-doa maupun surat-surat tertentu dalam Al-Quran.

Pada seperempat jalan yang mengitari stadion, saya melihat sesuatu, kira-kira setinggi pinggang orang dewasa berada disebelah kiri jalan yang akan saya lalui, kira-kira 5 meter di depan saya. Bentuknya seperti anjing Doberman Pinscher, saya katakan seperti, karena jujur saja, dalam suasana gelap seperti itu, saya tidak bisa melihat dengan jelas, mungkin juga hanya perasaan saya saja yang mengatakan seperti Doberman, yang pasti saya tetap melanjutkan perjalanan dan tidak ingin melihat lebih jelas ke arah kiri ketika melewatinya. Saya hanya bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi dengan bermodalkan nekat dan sepotong kayu di tangan.

Alhamdulillah, penampakan yang tadi telah terlewati, dan di depan sudah terlihat gedung KPP Ternate sekaligus jalan terakhir pinggir stadion untuk berbelok ke kanan. Hati saya sudah mulai agak tenang, tapi mulut tetap merapalkan doa-doa agar saya selamat. Tepat ketika beberapa langkah lagi saya akan berbelok ke kanan untuk meninggalkan jalanan pinggir Stadion, entah mengapa saya berpaling melihat ke kiri yang merupakan pintu utama stadion, dan ketika saya melihat ke arah pintu stadion, tiba-tiba “Duarrrr.....” terdengar suara yang sangat keras sekali, sampai saya juga melompat mundur saking kagetnya.. suara itu seperti pintu yang dipukul dengan sangat keras dengan besi. Saya berhenti dan tidak mengalihkan pandangan dari pintu Stadion Ternate. Saya menunggu apakah ada suara atau penampakan yang akan menyusul berikutnya, namun hening.. tak ada suara atau penampakan apapun yang menyusul kemudian.

Saya melanjutkan perjalanan, berbelok ke kanan dan kira-kira 150 meter di depan sudah terlihat pagar Kantor KPPN Ternate, kantor tempat saya bekerja sekaligus tempat tinggal saya. Dan suara yang saya duga Suanggi sudah tidak terdengar lagi. Hening.. Sepi.. bahkan saya tidak mendengar suara apapun.

Sampai di depan pagar KPPN Ternate, hati saya sudah tenang, saya masuk dari pintu samping yang hanya bisa dilalui orang berjalan. Cieett... suara deritan besi pintu pagar, terdengar keras menandakan engsel yang sudah karatan dan tidak pernah diminyakin. Pagar keliling kantor, kecuali yang bagian depan, telah di buat tembok setinggi kira-kira 2 meter, sehingga tidak terlihat bagian dalam halaman kantor dari luar pagar. Halaman dalam kantor adalah lapangan badminton yang telah dicor semen, dan banyak sekali sampah daun ketapang berserakan. Pohon ketapang yang sudah cukup besar, persis berada disebelah kanan pintu samping kantor.

Baru satu langkah saya masuk, tiba-tiba sreekkk... sampah daun ketapang yang di depan saya bergerak kedepan secara bersamaan, seperti sedang di sapu dengan sapu yang sangat besar. Tidak ada angin saat itu, dan saya melihat ke atas, pohon-pohon juga tidak ada yang bergerak karena tertiup angin. Ah, ada apa lagi ini, saya mengira suasana horor yang saya lalui sudah berakhir, tapi ternyata tidak. Saya diam, sampah daun ketapang itu juga diam. Setelah beberapa detik, saya melangkah lagi (langkah kedua), dan kejadian itu berulang, sampah daun ketapang itu bergerak bersamaan seperti sedang disapu dengan sapu yang sangat besar. Kembali saya diam beberapa detik, untuk kali ketiga saya melangkah lagi, dan sampah itu kembali bergerak. Untuk kali ketiga saya diam, menunggu apakah sampah itu akan bergerak kalau saja saya tetap diam. Tiba-tiba saya mendengar sayup-sayup suara besi dan kaca beradu, tek, tek, tek.. dan 10 meter dari saya berdiri diam di lapangan badminton, saya melihat ke arah sumber suara, ya, saya melihat jendela kaca nako yang tidak tertutup itu bergerak-gerak. Jendela ini adalah salah satu jendela di ruangan Seksi Perbendaharaan 1, jendela ini terdiri dari 8 buah kaca kecil-kecil yang terpisah. Dan yang bergerak-gerak hanyalah kaca nomor 2 dari bawah.

Perhatian saya menjadi teralihkan dari sampah daun ketapang ke kaca nako jendela yang bergerak-gerak, saya berpikiran, apakah ada tikus atau mungkin maling. Saya melangkah mendekati jendela tersebut, dan anehnya sampah daun ketapang sudah tidak lagi bergerak mengikuti saya. Saya mendekati jendela, dan dalam jarak 3 meter, saya berhenti. Ruangan Seksi Perbendaharaan 1 sudah gelap, namun samar-samar dari cahaya lampu penerangan halaman, saya melihat sesosok, berdiri disamping jendela yang kaca bagian bawahnya bergerak. Sosok tersebut terlihat kepala dan badannya hitam dengan posisi berdiri menyampingi jendela, tidak menghadap jendela, tapi posisi berdirinya persis disamping jendela. Kain gorden jendela menutup setengah, dan saya melihat sosok tersebut “seperti” sedang memainkan kaca nako kedua dari bawah, bergerak berirama, tek, tek, tek.. lalu diam 2 detik, dan kembali bergerak tek, tek, tek.. begitu seterusnya.




(ilustrasi, sumber dari : https://urbanlejen.wordpress.com/category/urbanlejen/page/6/)


Entah mengapa saya berpikiran kalau sosok itu adalah Effendi, sang honorer penjaga kantor, yang saya pikir sedang iseng menakuti saya.. karenanya, bukannya saya takut pergi menjauh, tapi saya malah toreba kepada sosok tersebut. Teriak dalam Bahasa Ternate adalah toreba.

“Hei Fendi, ngana kira kita tako..?”

“Ngana keluar suda.. cei.. jang ngana biking-biking e...”

Kira-kira artinya begini, Fendi, kamu kira saya takut? Kamu keluar saja, jangan buat hal-hal seperti itu...

Namun sebegitu kerasnya saya teriak, tidak ada jawaban atau suara apapun yang saya dengar..

Lalu saya periksa pintu masuk ruangan tersebut, terkunci, dan ketika saya bermaksud untuk naik ke lantai 3 tempat dimana saya dan beberapa teman, termasuk Effendi si honorer penjaga kantor, tinggal, saya masih melihat sosok itu berdiri dan kaca yang bawah juga masih bergerak, tepat saat saya akan berbalik badan untuk menuju gedung seberang ruangan Seksi Perbendaharaan 1 tempat saya tinggal, saya melihat gorden jendela yang awalnya hanya menutup setengah, tiba-tiba bergerak dan menutup penuh jendela. Bahkan gerakan gorden jendela tersebut sangat persis seperti digerakkan oleh seseorang, karena gerakan gorden diawali dengan gerakan kekiri sedikit, lalu krek.. bergerak ke kanan dan menutup penuh.

Saya kaget, beberapa jenak lamanya saya mematung, bersamaan dengan gerakan gorden yang menutup tadi, gerakan kaca nako yang bawah juga berhenti, dan, anehnya.. suara dua orang teman saya yang sedang mengobrol di lantai 3 baru mulai terdengar oleh saya. Saya langsung panggil teman saya..

“Heru...!!”

“Yo.. kenapa..?” kepala Heru muncul dari jendela lantai 3 dan melongok ke bawah.

“Kalian dari tadi disitu? Sejak kapan ngobrol disitu?” tanya saya.

“Oh, udah dari tadi kok.. dari jam 12 malam tadi mungkin kita ngobrol sampai sekarang..” jawab Heru. Kemudian muncul juga si Dullah melongok ke bawah.

“Kalian gak dengar aku pulang? Gak dengar aku teriak-teriak..?

“Engak..” jawab mereka hampir bersamaan

Wow.. saya benar-benar terheran dengan peristiwa ini, bagaimana mungkin pendengaran mereka tertutup atas suara yang saya timbulkan, dan pendengaran saya tertutup dari suara yang mereka keluarkan. Kalau penglihatan yang tertutup terhadap makhluk astral, semisal dari 5 orang yang ada, hanya 1 orang yang melihat makhluk astral, sudah jamak terjadi. Tapi ini pendengaran yang saling tertutup, antara saya dan dua orang teman saya. Padahal pada jam-jam diatas 23.00 suara ngobrol biasa di lantai 3 itu bisa terdengar sampai 500 meter jaraknya. Karena beberapa kali penduduk sekitar pernah menanyakan kepada kami jam berapa tidur, karena sudah larut malam tapi masih mendengar kami mengobrol. Dan saya sering ketika duduk-duduk di lantai 3 mendengar suara deritan pintu samping yang dibuka seseorang. Tapi malam itu, semuanya tidak mendengar.

Akhirnya saya minta kepada Heru dan Dullah untuk turun membawa kunci ruangan Seksi Perbendaharaan 1 dan juga sebuah senter. Saya katakan kalau ada orang di ruangan Perbendaharaan 1. Sesampainya mereka di bawah, saya pelan-pelan dan dengan tingkat kewaspadaan tinggi membuka pintu ruangan Seksi Perbendaharaan 1, karena saya takut kalau-kalau ternyata benar ada maling, dan takut bentrok fisik. Ruangan Seksi Perbendaharaan 1 terbuka, dan saya nyalakan lampu ruangan, dan memeriksa kolong-kolong bawah meja.. tidak saya jumpai sesuatu apapun, tidak juga tikus, hewan yang paling mungkin menjadi tertuduh pembuat kekacauan ini.

Akhirnya setelah sekian lama kami bertiga memeriksa ruangan dan tidak menemukan apa-apa, kami kunci kembali, dan naik ke lantai 3 tempat kami tinggal. Saya ceritakan semuanya pada Heru dan Dullah.

Esoknya, saat para pegawai sudah berdatangan ke kantor, cerita kejadian yang saya alami malam itu, cepat sekali menyebar, entah Heru atau Dullah yang menyebarkannya pertama kali.. Banyak orang kantor yang menanyakan langsung kronologi peristiwanya kepada saya.

Dan beberapa saat kemudian saya dipanggil oleh Bapak Faqikh, Kepala Seksi Bendahara Umum. Beliau menanyakan apa yang saya alami. Lalu beliau berkata..

"Mas, kamu gak ingat..?”

“Ingat apa Pak..?” jawab saya.

“Coba lihat tanggal, tanggal berapa sekarang..”

“Iya, Pak, emang kenapa dengan tanggal hari ini..?

“Apa kamu gak ingat? Ini adalah 40 hari meninggalnya Kepala Seksi Perbendaharaan 1. Dan kita di KPPN Ternate ini tidak buat syukuran atau tahlilan untuk beliau. Ya mungkin karena selama hidupnya beliau dekat dengan kamu, dan Mas Heru, jadi beliau pamit..” kata Pak Faqikh.

Degh... Saya kaget juga dengan apa yang dikatakan Pak Faqikh..

Dan iya, saya hitung mundur selama 40 hari kebelakang, tepat hari dimana Kepala Seksi Perbendaharaan 1 berpulang ke Rahmatullah.. semalam adalah malam ke 40 beliau.. meskipun saya tidak percaya pada cerita bahwa arwah orang yang meninggal itu masih berada di dunia ini selama 40 hari selepas meninggal, tapi kejadian ini benar saya alami.. hanya kebetulan atau benar seperti sangkaan Pak Faqikh.. wallahu a’lam.










1 komentar:

  1. deg-degan juga bacanya nih... hehe
    tapi keren mas, kejadian lama tapi bisa diceritakan dengan detil...
    ditunggu kisah-kisah horor lainnya :D

    BalasHapus