Review: Cloud Atlas





Seberapa lama umumnya kita betah menonton satu film sampai selesai? Umumnya film dibuat tidak lebih dari 2 jam karena setelah itu kita sudah merasa jenuh ingin beranjak ke hal yang lain. Apabila ada film yang dibuat lebih lama dari waktu tersebut, ada beberapa kemungkinannya: editornya galau tidak tahu harus memotong adegan yang mana, ceritanya sudah padat dan tidak bisa dikurangi lagi, filmnya sangat menarik sampai pembuatnya yakin bahwa orang akan menontonnya sampai selesai meski panjang. Saya rasa kemungkinan yang terakhir inilah yang terjadi dengan film Cloud Atlas yang dibuat oleh Wachowski bersaudara. Panjangnya tidak kurang dari 171 menit atau hampir 3 jam.

Ini adalah film yang berkisah mengenai 6 cerita berbeda yang terjadi pada era yang berbeda di lokasi-lokasi yang berbeda sepanjang kurun waktu 500 tahun, yaitu 1849 (Pacific Island), 1936 (Cambridge, Edinburgh), 1972 (San Francisco), 2012 (London), 2144 (New Seoul), dan Big Isle (2321). Sejujurnya sampai dengan 1 jam setelah film berjalan, saya mulai frustrasi dengan tujuan dari film ini. Saya tidak tahu bahwa semua cerita ini berhubungan. Setiap era diberikan waktu beberapa menit untuk menyampaikan kisahnya secara bergantian satu sama lain ... dan saya mulai stres mencari apa hubungannya perbudakan di kepulauan Pasifik pada abad ke-19 dengan generasi hippies tahun '70-an atau negeri distopia di masa depan Asia atau laboratorium rahasia di antah berantah pada zaman now. Dan lucunyalagi, sampai film selesai pun saya tidak sadar bahwa semua aktor di setiap zaman yang diceritakan itu mempunyai 6 peran secara simultan, dengan kostum dan makeup yang berhasil mengecoh saya bahwa ia diperankan oleh orang yang sama. 

Memang ide utama dari film ini tidak diutarakan secara eksplisit untuk memberikan kebebasan kepada penonton dalam memainkan imajinasi mereka. Namun pada intinya saya bisa melihat bahwa apa yang kita lakukan pada saat ini akan membawa pengaruh ke dalam kehidupan orang lain di masa depan, meskipun kita tidak saling mengenal satu sama lain. Bagaimana sebuah tulisan bisa menginspirasi seseorang untuk menciptakan musik yang indah, sehingga pendengar musik ini pun terinspirasi untuk menghasilkan penemuan yang berguna untuk manusia, dan kisah hidupnya menginspirasi seseorang untuk membuat buku, dimana buku ini menginspirasi orang lain untuk bangkit dari keputusasaannya sendiri, sehingga seseorang akhirnya membuat sebuah film untuk menceritakan kisah hidup tokoh tersebut, yang di masa depan menjadi salah satu film yang terlarang untuk diedarkan di suatu negara diktator yang dikuasai oleh mesin dan teknologi (ingat film The Matrix, karya lain dari Wachowski yang membuat film ini?), namun akhirnya manusia yang menjadi 'budak' teknologi pun kembali bangkit untuk mengendalikan mesin sehingga kehidupan di dunia menjadi manusiawi kembali, dan seterusnya.

Selain ceritanya yang 'bernutrisi' dan menarik, Cloud Atlas juga dibuat secara serius dengan mempertimbangkan berbagai faktor estetika. Tidak kurang dari 11 penghargaan telah diraihnya, mulai dari aspek editing, kostum, musik, desain produksi, makeup, sampai dengan kategori film terbaik. Terlepas dari itu semua, bukankah film yang baik itu memang bisa meninggalkan makna untuk dibawa pulang penontonnya sebagai kenangan? 🙂 dan inilah kira-kira pesannya, 

"My life amounts to no more than one drop in a limitless ocean. Yet what is any ocean, but a multitude of drops? Our lives are not our own. We are bound to others, past and present, and by each crime and every kindness, we birth our future." ― David Mitchell, Cloud Atlas.

3 komentar:

  1. Wow...durasi hampir 3 jam spt durasi.film India. Btw ...terimakasih reviu filmnya,mba, bbrp kali pengen nonton sampe tuntas, tp gagal terus. Kyaknya musti nonton sampe selesai nih...

    BalasHapus
  2. Sama, jadi pengen nonton.. makasih mbak Embun. Btw, selamat ya..

    BalasHapus