Lauik Sati (Potongan ke-1)

Berkali-kali Izzam terbangun dan melirik Jam di telepon pintarnya. Setengah tiga dini hari. Tampaknya Ia tak sabar menunggu pagi. Ditegakkan punggungnya, kretak, kretak! Dilemparkan pandangan ke sisi ruangan, sendiri, gelap, dan sunyi.

“Tentu saja, siapa pula yang masih terjaga di pagi buta ini”, gumamnya.

Izzam turun dari kasurnya, menaikan tirai kelambu yang melindungi malam-malamnya dari nyamuk. Dua kali berselang infus karena demam berdarah membuatnya trauma dengan spesies kecil yang mematikan itu. Ia beranjak, menjauhkan lambungnya dari peraduan malam. Diraihnya kunci yang menggantung, memutar gagang pintu, sembari menggaruk-garuk leher, sekonyong-konyong menghirup rakus udara sepertiga malam.

“Udara pagi buta di Ibu kota ternyata tak buruk juga”, lirihnya.

Pemuda tanggung itu tersenyum, dari senyum menjadi sunggingan tawa, tanpa suara. Matanya tak lagi tertarik untuk terpejam, hatinya tidak karuan, tak sabaran menunggu pagi, membayangkan seperti apa hari pertamanya menjadi anak buah Sri Mulyani. Andai saja ada yang melihat, pasti mereka mengira penghuni kos baru itu punya masalah dengan kejiwaan.

Rembulan tepat bertengger di pucuk gedung hotel yang berada di seberang kos Izzam. Seakan-akan di sanalah ia akan terbenam, untuk berganti tugas dengan sang mentari. Sesekali bulan mengintip dibalik celah-celah daun pohon Mangga yang tumbuh subur di depan gerbang kos. Memendarkan cahaya, masuk menembus jendela kamar berukuran 3 x 3 itu, tanpa bias.

Begitu mempesona, hembusan angin pada dedaunan mangga membuat bulan malam itu seakan-akan berkata “hai tala”, sebuah rayuan maut yang diucapkan Zulaikha saat menggoda Yusuf. Hanya saja Izzam saat itu kalah dan tergoda, maka Ia putuskan untuk berjalan-jalan keliling komplek. Melihat seperti apa rupa kota dikala malam. Barangkali seperti kota mati?

Jaket Cardinal cokelat sudah dalam genggamannya. Celana pendek yang menemaninya tidur Ia lapis dua dengan celana training panjang slim fit. Sendal jepit swallow kesayangan sudah dalam posisi siap untuk digunakan tuannya. Bismillah, ia melangkah menyusuri gorong-gorong kecil di belakang kosannya.

Malam begitu sunyi, sesekali terdengar lolongan anjing bersahut-sahutan diujung komplek. Simpang siur terdengar nyanyian pemuda yang tengah asik memetik gitar di pos kambling. Jalanan yang dibasuh hujan semalam masih menyisakan aroma, bercampur aduk dengan bau got yang tidak terurus. Kadang kalau hujan deras, air kotor itu meluap dan sangat mengganggu kelancaran pejalan kaki.

Izzam beralih ke jalanan yang lebih besar. Lengang, hanya ada lampu-lampu jalan yang hampir sepertiganya mati. Ditatapnya langit, ternyata bulan mengikuti langkahnya. Ia tersenyum, ingatannya melesat jauh menuju Pulau Sumatera, menyusuri gugusan bukit barisan, berhenti di desa kecil di perbatasan Sumatera Barat dengan Jambi, tempat kelahirannya.

Gang demi gang Ia lalui. Sesekali angin bertiup, bermain manja dengan penutup kepala Izzam. Perempatan jalan di depan adalah belokan terakhirnya. Hilang-timbul suara orang mengaji di Masjid, pertanda waktu shubuh sudah dekat. Dirogohnya saku celana, mengeluarkan sebuah Alexandre Cristie hitam, pukul empat pagi.

“Balik bro, shubuh. Pagi ini OJT pertama, di Gedung Sutikno Slamet, lantai 11, jam 9 pagi”, batinnya tak sabaran.

3 komentar: