Mimpi dan Kenyataan

Haga Kyrkogata, October 2013  (foto: koleksi pribadi)


Sewaktu kecil, mimpi saya adalah menjadi ibu rumah tangga. Belajar memasak, menghias rumah, menunggu suami pulang sambil bercengkerama dengan anak-anak yang manis dan menyenangkan di rumah.  Apa daya sampai usia melewati kepala tiga, saya belum mendapatkan jodoh. Dan tentu saja banyak hal yang terjadi sejak impian masa kecil saya sampai menginjak usia dewasa. Kalau boleh jujur, apa yang terjadi sepanjang hidup ini banyak yang tidak sinkron dengan karakter asli saya. Namun demikian, bukan berarti saya tidak menikmatinya ... dan mensyukurinya. 

Selama lebih dari 10 tahun, saya adalah wanita karir, dengan lingkungan pekerjaan yang sangat maskulin. Bila saya hanya mengikuti naik-turunnya perasaan, mungkin dunia karir sudah saya tinggalkan sejak lama. Ini adalah tantangan untuk seorang introvert yang cita-cita mulanya adalah ibu rumah tangga, setelah mentok menyadari bahwa bolak-balik ke planetarium tidak serta-merta menjadikan saya sebagai astronot. Ketika akhirnya saya menemukan jodoh, dia adalah seseorang yang berkata, "aku tidak bisa membayangkan punya istri yang tidak bekerja." Sosok yang sama yang mendukung saya untuk bersekolah di luar negeri. Saat ini kami hidup terpisah 15.000 kilometer jauhnya, dan ini adalah keputusan kami juga, setelah diskusi serius di warung pecel lele, ketika saya berkata, "bagaimana dengan kita?" ... dia hanya berkata, kira-kira seperti ini "ini zaman modern dan teknologi sudah semakin canggih". Entah apa maksudnya.

Jadilah saya mengembangkan sayap, dan terdampar di Swedia. Dalam kurun tiga bulan pertama, sudah lumayan pahit manisnya yang saya rasakan.  Dari hidup menumpang di rumah teman, melamar ratusan apartemen sampai akhirnya mendapatkan tempat 5 bulan kemudian, atau pengalaman kehilangan dompet dan mengantri di kantor polisi sampai jam 9 malam di area yang tidak saya kenal. Ketika tiba waktunya liburan musim dingin dan kami mampir di Austria dan Republik Ceko selama seminggu, saya harus menerima kenyataan jebloknya nilai ujian dan menyadari bahwa semestinya saya menggunakan waktu itu untuk belajar. Pengalaman yang mirip terjadi lagi 8 bulan kemudian, namun waktu itu karena saya terlalu berkabung dengan kehilangan ayah saya sehingga tidak konsentrasi ujian. Namun demikian tidak ada yang saya sesali. Nilai akademik sangat memuaskan juga tidak jarang saya dapatkan, dan yang terpenting adalah kekayaan non-materi berupa beragam pengalaman hidup.

Tujuan semula adalah sederhana yaitu menuntut ilmu. Yang saya temukan, bertambahnya kenalan, teman, dan di antaranya ada yang terasa dekat seperti keluarga sendiri. Saya menikmati keterasingan, menjadi orang asing, di negeri yang asing ... bukan karena segalanya terasa lebih mudah dan nikmat dibanding negeri sendiri. Tidak jarang juga ada hal-hal sederhana yang saya rindukan tentang Indonesia ... terutama sebagai anak Jakarta yang bisa senyum-senyum sendiri mendengar bahasa slank semacam "yo, ma men", "mas bro" "sumpeh lo" "buset dah" atau "pala loe bau jengkol".

Menjadi orang asing artinya memulai semua dari nol. Di dalam ketidakberdayaan dan gegar budaya, saya menemukan sisi lain dari diri sendiri yang belum disadari selama ini. Uniknya, kita lebih sering berusaha sebaik mungkin ketika menyadari bahwa kita tidak punya apa-apa untuk ditawarkan selain menjadi diri sendiri.  Ketika memberanikan diri untuk pertama kalinya naik kendaraan umum, pergi ke pasar, atau berjalan kaki sendirian di negeri orang, di situlah kesempatan bagi saya untuk berinteraksi dengan orang lain yang tidak tahu (atau bahkan tidak peduli) dengan masa lalu saya. Percakapan pertama saya dengan penduduk asli Swedia bukan terjadi di ruang tamu yang aman dan nyaman ... akan tetapi bermula di bangku taman ketika karakter Indonesia saya keluar dengan menawarkan sepotong cokelat untuk dibagi dengan ibu-ibu yang duduk termenung di sebelah saya. Dalam hitungan menit, dia juga berbagi keluhan mengenai penyakit dan kesehatannya.  Bukan berarti perilaku ini selalu bermanfaat, sebab saya pernah menyia-nyiakan waktu mendengarkan filosofi seseorang di bangku stasiun kereta api Serpong sebelum teman memberitahu saya bahwa orang ini tidak waras.

Di sisi lain, keterbiasaan membuat kita menganggap semuanya sebagai keharusan. Pasangan harus mencintai kita. Orangtua harus mengerti kita. Anak-anak harus menghormati kita. Teman harus menerima kita. Presiden, bintang film, dokter, guru, atau siapa saja yang kita tahu namanya ... harus bisa membuat hidup kita lebih baik. Akan tetapi, menjadi terasing dan orang asing mengajarkan saya bahwa orang lain tidak jauh berbeda dengan diri kita sendiri. Tidaklah nasib kita berubah, sebelum kita merubahnya sendiri. Dengan bersikap baik, dan membawakan diri dengan baik seolah-olah ini adalah waktu terakhir kita di dunia ... siapa tahu kejutan apa yang menanti di lembaran baru kisah hidup kita di masa depan.

Gothenburg, 9 Februari 2015

6 komentar:

  1. makasih sudah berbagi pengalamannya mba embun... keren tulisannya

    BalasHapus
  2. Kereeen love it,,
    Barakillah mbak,,

    BalasHapus
  3. Terima kasih kembali Pak Jauhar ��
    Mohon maaf posting pertama ini masih mengambil arsip lawas ... belum pede soalnya, baru sehari jadi penulis ��

    BalasHapus
  4. jadi penulis sehari kan di bukanNOTADINAS :P, di tempat lain sudah sangat berpengalaman... ceritanya mengalir mba, enak dibacanya...

    BalasHapus
  5. Terima kasih juga Mbak Nana & Bu Sedar ... maaf saya kira bisa respon satu persatu ternyata modelnya timeline ... nah benar khan Pak Jauhar saya masih kagok, he he he ...

    BalasHapus