100 Tahun Yang Lalu




Pada suatu ketika, ada daerah yang sangat sengsara.
Panen gagal. Air langka. Penduduknya sulit mendapatkan pekerjaan. Makanan jarang ditemukan. Polusi dan penyakit di mana-mana.
Hampir separuh penduduknya memilih untuk mengadu nasib di belahan bumi yang lain. Mereka memutuskan untuk naik kapal dan tidak kembali lagi.
Daerah itu bernama Gothenburg. Seratus tahun yang lalu. Ia sangat miskin dan tertinggal dibandingkan tetangga-tetangganya, ketika Denmark dan negeri-negeri di Eropa Barat sudah maju dalam industri dan peradaban.
Karena emigrasi besar-besaran di masa itu, penduduk Gothenburg jauh lebih sedikit daripada populasi orang Swedia yang pindah dan tinggal di Chicago. Itu pun bukan pilihan utama, sebab mayoritas migran Swedia pada awal abad ke-20 lebih banyak ditemukan di wilayah Midwest, khususnya Minnesota, Amerika Serikat.
Pada suatu ketika, seratus tahun kemudian. 2014.
Ada suatu daerah yang menjadi pelabuhan terbesar di Eropa Utara. Kota ini sangat maju, sehingga salahsatu perlintasan tram-nya menjadi yang tersibuk di seluruh Skandinavia. Semua bangsa berbondong-bondong datang ke daerah ini, melalui darat, laut, dan udara. Seandainya pun ingin belajar bahasa asing, sering-seringlah naik kendaraan umum karena di sana engkau akan mendengar bahasa-bahasa dari 7 benua (kecuali benua Antartika alias Kutub Selatan).
Di Gothenburg, industri-industri menancapkan giginya. Manufaktur, otomotif, telekomunikasi sampai pariwisata, bermacam bidang usaha menunjukkan suksesnya di sini.
Orang-orangnya juga menarik. Berbeda dengan kebanyakan penduduk metropolitan yang cenderung tergesa-gesa dan kurang ramah, di Gothenburg kita mudah menemukan orang tersenyum dan bertanya apa kabar. Kalau ke pasar atau bertemu pelayan toko, jangan lupa mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa, sebab jika tidak maka mereka yang akan mengucapkannya kepada kita … dan aku jamin kita akan merasa malu daripada bangga.
Kalau keluar atau masuk gedung di tempat umum, jangan lupa memegang pintunya untuk orang-orang di belakang kita … sebab itu adalah adab yang tidak tertulis. Begitu juga, adab yang tidak tertulis untuk memencet tombol bantuan “jembatan otomatis” untuk penumpang yang naik atau turun kendaraan umum dengan kursi roda, atau ibu-ibu dengan kereta bayi, atau lansia dengan tongkat berjalannya.
Betapa jauh bedanya suatu negeri seratus tahun yang lalu dengan sekarang.
itulah yang membuatku optimis, siapa tahu seratus tahun ke depan Indonesia juga bisa dibanggakan oleh penduduknya, generasi tua dan muda. Semoga.

4 komentar:

  1. Asyik sekali menyimak tulisan mba Embun, sy jd berkhayal sdg berjalan-jalan di Gothenburg :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih @Cyborgun :) mudah-mudahan ke depannya saya belum kehabisan bahan untuk bercerita tentang Gothenburg

      Hapus