Perguruan Tinggi dan Ambisi Orang Tua

Proses seleksi masuk perguruan tinggi pasca SMA sebetulnya siklus rutin yang akan kita jumpai setiap tahun, tapi selalu saja ada drama-drama yang mengharukan, ada kegembiraan dan ada juga kesedihan.

Suasana dramatisnya mirip-mirip pada final sepakbola level eropa atau dunia semisal liga champion atau piala dunia. Di akhir laganya selalu menyisakan dua pihak yang keharuannya sangat kontras. Meski sebagian dari dua pihak itu memiliki cara mengekspresikan yang kadang terlihat sama, katakanlah dengan menangis, tentu memiliki latar belakang emosional yang sangat berbeda. Para pendukungnyapun tak kalah seru dalam menyikapi hasil akhir laga fenomenal tersebut.

Sedramatis apapun itu, proses seleksi masuk perguruan tinggi dan final laga sepakbola yang sangat terkenal itu tentu harus dipahami sebagai sesuatu yang berbeda, minimal dalam konteks pendekatan filosofis. Final liga champion adalah hasil akhir, sementara proses seleksi masuk perguruan tinggi hanyalah titik awal dari sebuah perjalanan menempa kematangan dan kedewasaan yang sangat panjang.
Oleh karena itu, drama pasca pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi mesti disikapi dengan kadar yang secukupnya, karena ketidakberhasilan lolos dalam seleksi ini bukanlah akhir dari segalanya.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat proses seleksi ini menjadi begitu menguras emosional kita. Pertama, terlalu terburu-buru memaknai kesuksesan pada proses dini ini. Memang tidak salah apabila ketika lolos pada seleksi ini memberi harapan yang memadai untuk menggapai kesuksesan, tetapi ketika pada kondisi sebaliknya, tentu tidaklah bijak apabila ini kemudian kita sebut sebagai pertanda kegagalan kehidupan kita.

Kedua, keinginan anak-anak kita yang sangat tinggi. Hasil seleksi yang baru diketahui kemarin, tentu memberi efek yang ekstrim dari mulai kegembiraan sampai pada titik kesedihan pada skala tertinggi bahkan bisa jadi mengalami kekecewaan yang sangat dan frustasi. Di kalangan anak-anak, proses seleksi di samping sebagai sarana memilih perguruan tinggi terbaik untuk mencapai cita-citanya, bisa juga sebagai ajang adu gengsi, meski pada kenyataannya tidak selalu pilihan-pilihan itu bisa diadupadankan.

Ketiga, ambisi orang tua yang melebihi kemampuan dan bahkan kemauan anaknya. Atas dasar pengalaman yang diperoleh selama ini, kebanyakan orang tua mengarahkan atau paling tidak memberi masukan pada proses pemilihan jenjang pendidikan yang paling krusial ini. Pada proses pengarahan ini tidak jarang pula para orang tua 'menitipkan' sesuatu yang sedikit banyak dipengaruhi ambisinya. Ketidakmampuan orang tua membuat titik keseimbangan (tawazun) antara pengarahan karena latar belakang pengalaman-pengalaman yang berharga selama ini atau karena ambisi-ambisi yang tersembunyi, kemudian dipadukan dengan minat dan kemampuan anaknya, akan menjadi beban yang tidak ringan. Bahkan apabila hasilnya kemudian mengecewakan, beban ini bisa berakibat trauma yang berkepanjangan.

Hari pengumuman bukanlah hari penentuan seseorang akan sukses atau sebaliknya. Menerima kenyataan pahit pada fase ini tentu tidak mudah, dan ini harus dibersamai dengan upaya rekonsiliasi mental yang harus dilakukan secara cepat dan terukur.

Pada hari diketahui hasil jerih payah belajar dan selalu terlantunkannya do'a-do'a, tentu bukan waktu untuk menghakimi dan mengumbar segala kesalahan. Pada saat krusial ini, justru orang tua harusnya berperan menjadi penampung yang sangat luas sebanyak apapun kekecewaan yang akan dirasakan oleh anaknya menerima kenyataan yang tidak selalu sesuai harapannya.

Orang tua harus menjadi pendingin bagi jiwa-jiwa yang kecewa, menjadi penghangat bagi jiwa-jiwa yang lunglai tak bersemangat, menjadi pembesar bagi jiwa-jiwa yang mengkerut kecil. Orang tua juga harus bersedia menjadi terminal yang nyaman bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan tempat istirahat sementara waktu.

Kepada anak-anak yang sedang membutuhkan segalanya mengumpulkan kembali semangat dan gairahnya, orang tua perlu melebarkan tangannya, melapangkan dadanya dan menyampaikan hakikat ambisi yang sebaik-baik ambisi orang tua kepada anaknya. Peluk dan kemudian berbisiklah, "Anakku, kamu jadi anak shaleh, itu sudah lebih dari cukup bagi ayah dan ibu..."

2 komentar:

  1. jadi..jadi..ayah maunya aku jadi anak shaleh? bukan anak Jauhar? faiiiinnnnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. anak shaleh yang jauhar mas #ehkebalik hehe... suwun

      Hapus