Karet Gelang Sang Adik – Bagian Ketiga

Beberapa hari berlalu sejak kejadian di rumah sakit itu. Kaki Kara sudah tidak lagi bengkak, meski ia masih harus berjalan agak pincang. Bu Arini tidak hanya membayar biaya rumah sakit, tapi ia juga mengantarkan mereka kembali ke tempat tinggal mereka yang sempit di dekat pabrik.

Melihat kondisi tempat tinggal Kari dan Kara yang hanya beralaskan kardus dan beratapkan seng berkarat, hati Bu Arini tergerak. Ia teringat akan janjinya pada diri sendiri untuk selalu berbuat baik sebagai rasa syukur atas hidupnya.

"Kari," panggil Bu Arini suatu sore saat ia berkunjung membawa beberapa potong pakaian layak pakai dan buku-buku pelajaran bekas. "Ibu punya sebuah kedai kecil di dekat taman kota. Ibu butuh seseorang untuk membantu merapikan meja dan mencuci piring di sore hari. Apa kamu mau?"

Mata Kari berbinar. Ini adalah jawaban dari doa-doa yang ia panjatkan di sela isak tangisnya saat menjaga Kara yang sakit. "Tentu, Bu! Saya mau. Tapi... bagaimana dengan Kara? Saya tidak bisa meninggalkannya sendirian."

Bu Arini tersenyum, lalu mengelus rambut Kara. "Kara bisa ikut ke kedai. Di sana ada pojok kecil yang bisa ia gunakan untuk belajar membaca atau menggambar. Ibu lihat dia anak yang cerdas."

Maka, dimulailah babak baru dalam petualangan mereka. Setiap siang setelah Kari pulang dari sekolah terbuka (tempat ia belajar secara mandiri dengan bantuan relawan), ia menjemput Kara dan mereka berjalan kaki menuju kedai Bu Arini.

Kari bekerja dengan sangat rajin. Ia tidak pernah mengeluh meski harus bolak-balik mengantar pesanan. Sementara itu, Kara duduk manis di pojok kedai, asyik dengan buku-buku gambar pemberian Bu Arini. Karet gelang pemberian Bu Arini masih setia melingkar di tangannya—bukan lagi sebagai simbol kemiskinan, melainkan sebagai pengingat akan keajaiban dari sebuah kepedulian.

Suatu malam, saat mereka berjalan pulang di bawah sinar rembulan Jakarta, Kara menggenggam tangan kakaknya erat-erat.

"Kak," panggil Kara pelan. "Iya, Dek?" "Dulu aku bilang orang kaya itu enak karena bisa makan enak tanpa khawatir basi. Tapi sekarang aku sadar..." "Sadar soal apa?" tanya Kari penasaran.

Kara berhenti sejenak, menatap kakaknya dengan mata yang berbinar jernih. "Bahwa kekayaan yang paling indah itu bukan makanan di restoran PIK itu, Kak. Tapi saat kita punya orang yang peduli, dan saat Kakak tetap memegang tanganku meski aku sedang sakit. Ternyata, kita juga 'kaya' ya, Kak?"

Kari terdiam. Tenggorokannya terasa tercekat oleh rasa haru. Ia merangkul bahu adiknya yang kecil itu. "Iya, Kara. Kita sangat kaya karena kita punya satu sama lain."

Di tengah bisingnya kota Jakarta dan kerasnya kehidupan jalanan, dua bersaudara itu tidak lagi merasa takut. Mereka memang kehilangan orang tua dalam bencana Merapi, namun mereka menemukan "keluarga" baru dalam diri orang-orang baik yang mereka temui, dan yang terpenting, mereka menemukan kekuatan besar di dalam diri mereka sendiri untuk terus melangkah maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar