Karet Gelang Sang Adik (Part 2)

Kisah Kara dan Kari dapat dibaca pada tautan berikut :

Karet Gelang Sang Adik


Wajah Kara yang biasanya ceria kini pucat pasi. Panas tubuhnya meningkat drastis, dan kakinya yang mungil membengkak kemerahan di sekitar luka bekas besi berkarat itu. Kari, yang hanya seorang anak remaja, merasa dunianya seolah runtuh. Ia mencoba mengompres dahi adiknya dengan kain lusuh yang dibasahi air tawar, namun rintihan Kara tak kunjung reda.

"Sakit, Kak... dingin..." bisik Kara lirih, tangannya mencengkeram erat karet gelang pemberian ibu muda tempo hari. Karet itu kini melingkar di pergelangan tangannya yang kurus.

Kari tahu ia tidak bisa berdiam diri. Di saku celananya, hanya ada beberapa keping koin hasil mereka mengumpulkan botol plastik kemarin. Jumlahnya takkan cukup untuk membawa Kara ke klinik, apalagi rumah sakit besar. Namun, bayangan wajah orang tuanya yang hilang ditelan abu Merapi seolah memberinya kekuatan. Ia tidak boleh kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Dengan sisa tenaga yang ada, Kari menggendong Kara di punggungnya. Ia berlari kecil menuju jalan raya di kawasan Pantai Indah Kapuk, berharap menemukan keajaiban di antara gemerlap lampu restoran yang dulu pernah mereka pandangi dengan penuh harap.

Napas Kari tersengal-sengal. Keringat bercampur air mata membasahi pipinya. Di depan sebuah restoran seafood yang mewah, ia jatuh terduduk karena kelelahan. Orang-orang berpakaian rapi yang baru saja keluar dari restoran menatap mereka dengan tatapan iba, namun kebanyakan hanya berlalu begitu saja.

"Tolong... tolong adik saya..." isak Kari, suaranya parau.

Tiba-tiba, sebuah mobil putih berhenti tepat di depan mereka. Pintu terbuka, dan keluarlah sosok wanita yang tidak asing. Ia adalah ibu muda yang memberikan karet gelang kepada Kara tempo hari. Wajahnya tampak terkejut melihat kondisi kedua anak itu.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" tanyanya panik sambil berlutut di samping Kari.

"Kaki Kara, Bu... terkena besi karatan. Dia demam tinggi," jawab Kari terbata-bata.

Tanpa banyak bicara, ibu muda itu membantu Kari menaikkan Kara ke kursi belakang mobilnya yang bersih dan harum. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Kari terus memegang tangan adiknya, membisikkan doa-doa yang dulu diajarkan ibunya. 

Beberapa jam kemudian, di ruang IGD yang dingin, dokter memberikan penanganan cepat untuk mencegah infeksi menyebar lebih jauh. Kari terduduk lesu di koridor rumah sakit. Ibu muda itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Bu Arini, datang membawakannya segelas air dan sebungkus nasi hangat. 

"Istirahatlah, Kari. Adikmu sudah ditangani. Dokter bilang dia akan baik-baik saja setelah diberi suntikan tetanus dan antibiotik," kata Bu Arini lembut.

Kari menatap Bu Arini dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa Ibu menolong kami? Kami bukan siapa-siapa."

Bu Arini tersenyum tipis, matanya menatap karet gelang yang masih melingkar di tangan Kara yang kini tertidur pulas. "Ibu juga punya seorang adik, tapi kami terpisah sejak kecil. Melihat kalian berdua saling menjaga, Ibu merasa diingatkan bahwa kekayaan yang sesungguhnya bukan apa yang ada di piring restoran mewah itu, tapi kasih sayang yang kalian miliki."

Malam itu, di bawah atap rumah sakit yang kokoh, untuk pertama kalinya Kari tidak perlu memikirkan bagaimana cara mencari sisa makanan untuk esok hari. Ia menyadari satu hal: meski hidup mereka penuh dengan luka dan kehilangan, Tuhan selalu menyisipkan tangan-tangan baik di tengah kerasnya kota Jakarta.

Kara perlahan membuka matanya dan tersenyum lemah melihat kakaknya ada di sampingnya. Petualangan mereka memang masih panjang dan penuh tantangan, namun malam itu, mereka tahu bahwa mereka tidak lagi benar-benar sendirian.

Bersambung ...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar