Duka Kami untuk Sumatera

Malam itu,

Malam yang mestinya damai dengan sinar bulan

Dan nyanyian binatang malam yang melenakan

berganti seketika,

Menjadi malam yang tak akan pernah terlupakan

 

Bayi yang terbuai dalam ayunan, terpekik menjerit

Ibu-ibu berteriak, bapak-bapak berlari kalang kabut

Ribuan burung terbang riuh menjauh…

Rumah, sawah, kendaraan, dalam sekejap hanyut

 

Malam itu, keheningan malam menjadi gegap gempita

Suara gemuruh yang mengalahkan suara badai membahana

Yang akhirnya,  hanya terdengar suara takbir bersahutan

Allohu akbar…

 

Sudah berapa meter lumpur menggunung

Dan batang raksasa menumpuk

Ketika air mulai menyusut, menyisakan perih yang berpaut

 

Dan di bawah itu, tanahku..

Orang tuaku, abang dan adik-adikku..

Entah sudah berapa banyak air mata tumpah,

Dan kepedihan membawa sumpah serapah

Semua mencari siapa yang salah

 

Tapi hidup sebagian kami belum berakhir

Kami berpegang erat satu sama lain,

Saling menggenggam, saling menguatkan

Seperti harapan yang selalu ada di titik nadir

 

Drupadi (3)

Drupadi
siapakah yang mengirimkanmu pesan saat kita tengah berbincang sedekat ini? 
pesan yang membuatmu sumringah tersenyum sendiri,
bagai senyum  gadis usia belasan yang jatuh hati,
aku tak ingin bertanya jauh, ku tahu kau akan punya jawaban seribu versi, 
karena nama belakangmu "alibi"


Drupadi,
ada kisah yang konon tervalidasi,
kelihaianmu  beralibi begitu teruji,
suatu ketika ada perempuan yang lelakinya kau dekati, 
menemukan setumpuk bukti, 
kalau kau lah  yang memulai bermain api,
alih alih segera berhenti, 
seperti juru kampanye engkau memilih pergi kesana kemari, 
menyulap fakta terlihat fiksi, 
mengubah  kisah nyata seolah rekaan orang yang dengki

Kau tahu hasilnya, Drupadi 
begitu banyak orang yang memberimu simpati

Drupadi...drupadi, 
hidup kadang memang menghadirkan tragedi,
perempuan  yang kau tikam dadanya dengan belati, 
disalahkan karena ceceran darahnya mengotori gaunmu yang putih suci.

Apa yang sebenarnya engkau cari?
Apakah semua ini adalah pelarian dari hidupmu yang sepi?
tahun tahun ini dengan segala bujuk rayu dan manipulasi,
engkau mendekati banyak lelaki, 
kau jadikan mereka semacam koleksi, 
di bawah kontrolmu lelaki hebatpun seperti kehilangan akal budi,
terhanyut pada sekenario permainan dan  kompetisi, 
kau relakan  dirimu seumpama trophi, 
yang diperebutkan dan dipergilirkan kesana kemari

mudah sekali, 
kepalamu bergelayut mesra di bahu satu lelaki,
berjalin tangan dengan lelaki berbeda di lain hari.
Berbincang mesra dengan lelaki penyanyi di pagi hari,
makan malam romantisnya  dengan lelaki penari.
Menangis sedih ditinggal lelaki pemikir yang pergi, 
lalu bergegas  bercengkerama dengan lelaki pemuja sepi. 
Bertukar pesan menggoda dengan lajangnya lelaki,
berkirim swafoto  dengan lelaki beristri.

Ah untuk urusan ini, kau liar sekali 


Drupadi
Apakah kau pikir ini kan abadi? 
apakah Lima tahun atau enam tahun lagi, 
pesonamu masih akan mampu menaklukkan banyak lelaki ?
Lima atau enam tahun setelah hari ini,
Kulit wajahmu mungkin takkan elastis lagi,
minuman dan krim pelawan usia yang kau beli, 
tak akan berkhasiat menunda atau membuat berhenti 
menebalnya garis senyum di ujung pipi,
menegasnya kerutan sepanjang dahi
Rambutmu yang dahulu berurai wangi,
akan memutih sewarna kabut pagi, 
semir rambut hitammu hanya menguji konsistensi, 
bertahan dalam hitungan hari.
Langkahmu, yang dulu ringan dan percaya diri, 
akan mulai tertatih mengisyaratkan  nyeri, 
gemeretak pelumas lututmu yang kurang isi
Aku kasih tahu rahasia kecil ini, Drupadi
kebanyakan mereka kaum lelaki brengsek sekali 
penyanyi atau penari, 
pebasket atau pelari, 
lajang atau beristri , 
siapapun yang saat ini kau dekati, 
mungkin berbeda dalam puja puji, 
tapi kebanyakan mereka visual sekali
Kelak, saat  tubuhmu tak menarik lagi, 
mereka akan bergegas pergi, 
dan kisahmu  yang berawal dari hasrat hewani,
tak akan pernah abadi 
ah .....yaa sudahlah Drupadi 
Malam telah melangkah jauh menjelang pagi, 
Lekaslah pergi
lelakimu pasti sudah pulang kembali.

 
(Pada hari minggu,  sebelum bertugas mencuci baju, 30 Nov 25)

Book Review: “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” karya Idrus (1948)





"Jalan Lain ke Roma" merupakan satu dari beberapa cerpen yang dituangkan oleh Idrus dalam buku ini yang terbit pada tahun 1948. Namun, alih-alih menampilkan kisah perang yang heroik, Idrus justru menyajikan potret kehidupan masyarakat biasa yang jenaka sekaligus satir di tengah masa revolusi kemerdekaan.

Pertama, kita akan berkenalan dengan tokoh utamanya, yang bernama "Open". Kisahnya berfokus pada perjuangan seorang individu biasa yang berada dalam kebingungan mencari cara untuk bertahan hidup ketika situasi serba tidak pasti. Ia sampai harus berganti-ganti profesi. Awalnya ia bekerja sebagai guru, kemudian beralih menjadi guru agama, mencoba menjadi pengarang, dan akhirnya memilih menjadi tukang jahit. Ini merupakan potret realistis mengenai pencarian jati diri. 

Poin kedua adalah hal yang membedakan Idrus. Ketika sastrawan lain umumnya menulis kisah pahlawan yang gagah berani, Idrus justru berani mengkritik pencitraan tokoh ataupun jagoan. 

Ia menggunakan sindiran yang lucu, tetapi mengandung keprihatinan. Para pejuang dadakan digambarkan layaknya tokoh-tokoh tanpa perencanaan yang serius.

Gaya ini menjadikan ceritanya lebih jujur dan seringkali mengandung unsur komedi.

Terakhir, mengapa cerita dari tahun 40-an ini masih relevan hingga saat ini? 

Hal ini disebabkan oleh kisah Open yang kerap berganti pekerjaan, sebuah pengalaman yang sangat relevan dengan kondisi modern. Mirip dengan keadaan kita sekarang, di mana kita sering harus mencoba banyak jalur berbeda untuk menemukan identitas diri di dunia yang berubah dengan sangat cepat.

Oleh karena itu, Jalan Lain ke Roma pada dasarnya adalah potret jenaka yang abadi mengenai pencarian jati diri di tengah dunia yang terus ber-evolusi (berubah).

Catatan: 
Review ini dibuat menjadi video reel & disertakan dalam Lomba Kemenkeulib Literacy Competition 2025. 




Bang Toyib

Bang Toyib...

Usah gundah, wahai sahabat karib,


Sudah lumrah dan memang galib,

Dalam hidup ada saja si paling ajaib,

Yang lupa kalau roda nasib,

Kadang berputar dan membawa semua raib

Satu persatu tersingkaplah aib,

Terbuka jelas, tak lagi gaib


(celetukan menjelang Maghrib, 211125)

Prasangka

Prasangka ,

Kadang makin tanak

Ketika kita membuat jarak

Kadang pelahan hilang

Seusai sedikit bincang

Kadang kian mereda 

Setelah bicara terbuka


Maka,

Seandai tak bisa

Tak berprasangka

Lekaslah berbincang atau bicara

Sebelum semua membuncah jadi prahara

satu hari di bulan oktober

dalam ringkuk kepada Tuhan maaf aku lancang menyebut nama lengkapmu

doaku bersajak semata merayu-Nya agar kali ini saja takdir berpihak kepadaku

bukan aku memaksa, hanya saja seumur hidup aku mau lihat lesung pipimu.


entah nanti kau seatap dengan siapa

ah, kuharap itu denganku.


entah nanti kau sebut namaku dengan lantang dalam jabat tangan ayahku

atau malah kau revisi sumpahmu malam itu kepadaku

ah, mungkin hanya Tuhan yang tahu.


aku terbiasa jalani duniaku dalam hitam-putih dunia

tak banyak warna sampai kamu ada

aku diam sebentar sadar kamulah mahakarya-Nya.


sepucuk doa menjawab kegelisahanmu dari pembicaraan yang selalu kuhindarkan

menepis ketakutanku akan sebuah ikatan 

sehingga kita tak harus lagi berjalan di tempat

yakin hati sudah kutempatkan pada orang yang tepat.



jika tulisan ini sampai di ponselmu suatu hari…

kau mungkin sadar bercandaku kali ini menjauh, semata-mata agar seriusku kau ketahui

karena tak kan ada langkah mundur untukmu

apa yang membuat kita bisa bersama, maka segera itu dalam persiapanku.

Kinerja Ekonomi Indonesia per September 2025

27 Oktober 2025

 



Kinerja Ekonomi Indonesia

Hingga 30 September 2025, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia menunjukkan kondisi fiskal yang sehat dan terkendali. Pendapatan negara mencapai Rp1.863,3 Triliun, sebagian besar didukung oleh Penerimaan Pajak dan PNBP. Di sisi belanja, total realisasi mencapai Rp2.234,8 Triliun, dengan alokasi terbesar untuk Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah. Keseimbangan antara pendapatan dan belanja menghasilkan Defisit APBN yang rendah, yaitu Rp371,5 Triliun ($1,56\%$ dari PDB), dan Keseimbangan Primer yang surplus sebesar Rp18,0 Triliun. Ini mencerminkan pengelolaan keuangan negara yang hati-hati dan menjadi fondasi kuat untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Kekuatan ekonomi domestik tercermin dari aktivitas masyarakat dan dunia usaha yang tetap ekspansif. Tren penjualan ritel dan Indeks Aktivitas Manufaktur Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan positif, ditopang oleh tingginya proporsi belanja Konsumsi Masyarakat ($75,1\%$). Pertumbuhan ini juga didukung oleh sektor bisnis dan industri, yang tercermin dari kenaikan positif pada konsumsi listrik mereka. Sementara di tingkat global, Neraca Perdagangan Indonesia tetap tangguh, mencatatkan surplus kumulatif USD46,1 Miliar berkat kontribusi besar dari sektor Non Migas, membuktikan daya saing produk ekspor nasional di pasar internasional. Pemerintah juga turut mendukung likuiditas ekonomi dengan menyalurkan dana sebesar Rp112,4 Triliun melalui perbankan untuk realisasi kredit.

Sebagai inspirasi bagi kegiatan ekonomi sehari-hari, data ini menyajikan sinyal optimisme yang kuat: fondasi negara solid dan permintaan domestik bergairah. Masyarakat diimbau untuk melanjutkan konsumsi yang bijak dan berorientasi pada produk lokal untuk menjaga momentum pertumbuhan. Bagi individu, momen ini ideal untuk meningkatkan disiplin keuangan, yakni menyeimbangkan antara aktivitas konsumsi dengan penguatan Tabungan ($13,7\%$) dan investasi. Sementara bagi pelaku usaha, sinyal ekspansi ini adalah peluang untuk memanfaatkan dukungan kredit perbankan untuk ekspansi dan inovasi, memastikan partisipasi aktif dalam roda perekonomian nasional yang tengah bergerak positif. 🇮🇩

 

Saya Menulis, Karena Saya Belum Selesai Bodohnya

Saya menulis,

bukan karena tahu semua jawaban,

tetapi karena pertanyaan masih menempel

di dinding kepala,

bergaung seperti gema yang enggan padam.


Saya menulis,

sebab kebodohan saya bukan akhir,

ia hanya jalan lengang

yang menuntut langkah,

sebuah kesalahan yang menuntut koreksi,

sebuah ketidaktahuan yang memohon cahaya.


Saya menulis,

karena di setiap kata ada kemungkinan,

di setiap kalimat ada celah belajar,

dan di setiap salah eja,

ada pintu menuju pengertian baru.


Saya menulis,

karena saya masih bodoh,

dan mungkin akan selalu bodoh,

tapi di antara huruf-huruf ini,

saya belajar mencintai kebodohan saya,

sebagai alasan untuk terus mencari,

sebagai alasan untuk tidak berhenti


Jadi, jangan kira saya menulis karena sudah sampai.

Saya menulis karena saya masih berjalan.

Saya menulis karena saya masih bodoh,

dan barangkali akan terus begitu.

Tapi biarlah,

selama tinta ini mengalir,

kebodohan saya tidak diam,

ia terus belajar,

ia terus mencari,

ia terus menulis.


Dr. M. Lucky Akbar, KPDDP Jambi