Jalankan Nasib seperti Menjalankan Sepeda

Jalani Nasib Seperti Kau Mengendarai Sepeda

Sudah banyak filosofi kehidupan dengan analogi bersepeda. Menurut saya ini sangat subyektif karena hanya orang2 yang suka bersepeda yang (kemungkinan) memahaminya. Sah-sah saja lah, toh yang hobi catur pun bisa membuat filosofi kehidupan dari hobinya. Atau hobi-hobi lainnya, bebas.

Salah satu filosofi hidup yang terkenal adalah quote dari Albert Einstein yang berbunyi "life is like riding bicycle, to keep balancing you have to keep moving" atau banyak lagi yang lainnya.

Sekarang saya ingin menambahkan filosofis subyektif: menjalankan nasib sama seperti menjalankan sepeda; cepat-lambat, berat-ringan, semua tergantung pada pikiranmu, tangan dan kakimu.

Tak sesederhana quote-nya Einstein memang, karena saya tak sejenius beliau, tapi percayalah, quote ini baru saya dapatkan ketika saya gowes pagi sampai siang tadi.

Sepeda modern, umumnya memiliki multi-speed yang dihasilkan dari kombinasi sprocket dan chainring. Untuk yang awam dengan istilah ini, sprocket adalah kumpulan gir yang dipasang di as roda  belakang. Sedangkan chainring adalah gir yang tersambung ke pedal. Chainring dan sprocket dihubungkan dengan rantai. Chainring dan sprocket dikendalikan oleh shifter, semacam tuas yang dipasang di handlebar (setang).

Di awal-awal bersepeda, saya juga beranggapan komponen-komponen tersebut hanya untuk mengatur kecepatan. Tidak sepenuhnya salah, tapi ternyata filosofinya lebih dari sekedar itu.

Intinya bersepeda adalah bagaimana menjaga keseimbangan dan kestabilan sesuai kenyamanan kita. Ketika kenyamanan kita terganggu, misalnya akibat kontur jalan berubah (menanjak, menurun dsb) kita akan menyesuaikan kecepatan dengan mempercepat atau memperlambat putaran kaki, memindahkan posisi rantai di chainring dan sprocket dengan menggerakkan shifter, lebih menundukkan badan atau bahkan memutuskan turun dan menuntun sepeda kita.

Sama halnya dengan menjalani nasib. Kita menjalaninya dengan kenyamanan kita. Ketika suatu saat kenyamanan tersebut terganggu; perekonomian tiba-tiba memburuk atau bahkan tiba-tiba menjadi baik, secara otomatis pikiran kita, tangan dan kaki kita melakukan respon untuk menyesuaikan kenyamanan kita dengan situasi nasib yang berubah.

Tangan kita akan bekerja lebih keras, kaki kita akan melangkah lebih jauh, pikiran kita akan selalu mencari jalan untuk mempertahankan gerak tangan dan kaki sampai pada kenyamanan yang sama atau bahkan memutuskan untuk menyerah pada nasib.

Persis sama dengan bersepeda tadi. Jalani nasib seperti menjalankan sepeda. Ketika nasib merubah kenyamanan kita, kita sudah paham harus menurunkan atau menaikkan 'kecepatan' supaya kita dapat menjaga kestabilan hidup kita. Keberhasilan bersepeda juga sama dengan keberhasilan hidup, pikiran adalah kuncinya. Sekali kita berpikir tidak mampu, kita akan memilih turun dan menuntun sepeda daripada menggerakkan tangan dan kaki untul menstabilkan kecepatan. Sekali kita berpikir gagal dalam hidup, maka tubuh kita; tangan dan kaki kita, akan berhenti berusaha.

Rumit? Tidak juga, yang diperlukan hanya kesabaran dan ketekunan berlatih, semua akan terbiasa, otomatis.

Bagaimana kalau tidak suka bersepeda? Ya silahkan anda renungkan hobi anda masing-masing 😄.

Di Sini

aku masih di sini
dipenuhi ingatan
sapa yang pertama datang

aku masih di sini
entah pada siapa
akan kutitipkan

pada siang yg terburu-buru
menjadi petang
atau pada malam yang berlari
menjadi pagi

aku tetap di sini
masih terpegang erat
keinginan yang tersipu malu
untuk menampakkan diri

Kirimkan Saja Alif Doa, Bu


Waktu akan ditinggal ibunya sekolah lagi di tahun 2009, Alif yang belum genap berusia 7 tahun adalah anak kecil yang sangat bergantung pada ibu. Kegagapannya dalam mengekspresikan rasa sayang kepada sang adik, membuat dia cenderung cengeng dan pencemburu, sehingga kurang cocok dengan ayahnya. Jadilah ibu sebagai pelabuhan kegalauan dan pencurah perhatian buatnya.

Ibu hanya marah besar, sampai kepalanya berasap dan keluar tanduk, kalau Alif tidak mau makan dan susah mandi. Kalau Alif tidak mau sholat, ibu cuma berkata,”Lihat, Kak! Tabungan pahala kakak di pojok kamar sana berkurang banyak sekali.” Dan kadang-kadang sugesti imajinasi ini lebih berhasil daripada gelegar suara tegas sang Ayah.

Atau kalau Alif pulang dari sholat berjamaah bersama Rozi di mesjid, sesampainya di rumah dan mencium tangan ibu, ibu dengan ekspresif membentangkan tangannya satu ke atas dan satu ke bawah seolah-olah membawa tumpukan barang yang banyak dan berat. Lalu ibu berkata,”Aduh lihat, kak! Pahalanya banyak sekali sampai 27 derajat karena kakak mau sholat berjamaah di mesjid. Kita simpan di pojok kamar lagi, ya?” Dan sepertinya Alif senang, karena tabungan yang satu ini tak akan habis dipakainya untuk membeli mainan.

Ibu paling senang saat-saat menjelang tidur, dan mungkin momen itu juga berkesan sekali buat Alif. Mereka akan membaca setidaknya satu buku anak-anak, atau satu bab dari novel dewasa. Mulai dari buku-buku flip off, bebek yang malas belajar mengerami telur, Totto Chan, Laskar Pelangi, bahkan terakhir, mereka sudah membaca satu bab dari buku Sang Pemimpi.

“Engga apa-apa ya, kak ibu belajar dulu. Yang bayarin sekolah ibu pemerintah Jepang, kak. Jadi, ibu harus sekolah di Jepang.” Alif selalu berusaha mengerti permohonan ibunya, tapi sepertinya tetap saja ia sulit memahami kenapa ibunya mau saja sekolah di Jepang dan meninggalkan dia.

Yang dia faham, dia harus tetap bermain untuk melewati waktunya tanpa ibu, makan yang benar supaya sehat dan tidak bikin ibu sedih, sholat lima waktu mendoakan ibu cepat pulang. Tanpa dia tahu, dia bahkan membuat ibunya tertawa dan bahagia di ujung seberang lautan saat berkali-kali dia berinisiatif bermain tebak-tebakan setiap ibunya menelfon.

“Bu, kenapa Superman takut sama matahari?”

Jawaban a,b,c, … sampai e dari ibu salah dan ibu menyerah,”Kenapa dong, kak?”

“Karena takut eS-nya meleleh bu.” Oooo … ibu bengong.

“Trus, kenapa coba Bu, Superman terbang?”

“Kan punya sayap, kak. Namanya juga Superman.”

“Ya salah, lah Bu. Karena … kalo dia setir mobil, namanya Sopir, man!” Kikikik … ibu mulai tergelitik lucu.

“Ibu payah nih. Sekarang coba apa bedanya pintu, wayang, sama bau?”

“Aduh, susah amat sih kak.” Dan seperti biasa, jawaban a sampai r ibu salah.

“Yang betul, kalo pintu di ketuk, wayang di kotak dan bau …. Hahahaha … di ketek, bu!” Kali ini ibu tertawa nguakaaak.

Setelah puas mengerjai ibunya yang hampir master tapi ga becus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolnya, dia memberi kesempatan ibunya untuk memberinya tebakan. Dan ibu selalu sok ilmiah.

“Sekarang gantian, kak. Kalo ibu kota Jepang apa?” Inggris, Jerman, India, Belanda, Malaysia, Indonesia, Banten? Kalo pertandingan bola, ibu sudah babak belur kebobolan goal.

“Kalo gunung yang ada di antara pulau Sumatera dan Jawa, namanya gunung apa?” Pasti yang ini dia ga bisa. Di globe kan ga jelas.

“Krakatau, bu.” Ibu heran,”Kok kakak tahu?”

“Kan ibu cerita waktu kita jalan-jalan ke Cibodas,” jawabnya yakin membuat ibu tambah bangga.

Lain waktu, setelah tak pernah berhasil memberi jawaban tepat atas tebakan Alif, ibu yang sok ilmiah ingin memantau kemampuan perkalian anaknya. Kan sudah kelas dua SD! Fikir ibu.

“2 x 3?” Tanya ibu. “6!” Jawab suara mungil di seberang sana. “Alhamdulillah, anak ibu ingat.

“3 x 3?”. Sepi merayap di ujung sana. Hmmm … Alif berfikir. Batin ibu senang.

“Sebelumnya pertanyaan ibu berapa kali berapa?” Ibu lalu mengulang dan mencoba memberi petunjuk.

“Ohh .. 9 bu, jawabannya”. Lalu, dengan suara bangga yang lebay, ibu menjawab,”Subhanallah… anak ibu pintar”.

“3 x 4 …. 3 x 5 …. 3 x 6 ….” Lho? Kok menjawabnya dalam hitungan kurang dari satu menit semua?

“Wah … kakak udah hafal ya perkalian 3?” Tanya ibu ge-er.

“Belum, bu. Kan ada kalkulator di handphone.” Suaranya begitu polos tak berdosa …

Ibu cuma menghela nafas … Setidaknya dia kenal manfaat lain dari tekhnologi bernama telefon genggam.

Begitulah … sebelum ia faham apa artinya menjadi dewasa, Alif menjadi pribadi yang lebih dewasa menguatkan ibunya. Mandiri dan pengertian, meski masih sering pemberontak kalau di suruh sholat dan belajar oleh pengasuhnya.

Sebulan di Jepang, ibu mengirim paket pakaian dari Niigata. Ibu bahkan lupa melihat catatan di brand nya, apakah made in Japan, China, atau Indonesia.

Alif, Najib dan Tante Dhilah senang-senang saja dapat kiriman dari Jepang mampir ke rumah mereka yang masih tak berbentuk di desa sederhana di pedalaman Tangerang (ironisasi …)

Bulan kedelapan, ketika adiknya Najib berulang tahun, ibu mengirim lagi dua buah mainan Hercules yang bisa terbang dengan remote control. Dan Alif bertanya,”Emang kalo kirim hadiah dari Jepang ga mahal, bu?”

Lalu ibu menjawab dengan mengatakan bahwa biaya kiriman itu setara dengan SPP nya di SD Islam satu bulan.

“Wah … mahal, ya bu.” Haa … apa matematikanya ada kemajuan?

“Kalau gitu … ibu ga usah kirim-kirim lagi aja. Nanti aja bawa pesanan aku kalau ibu pulang.”

“Kan, kakak mau ulang tahun?”

“Ga papa … bu. Ibu kirim doa aja … supaya aku bisa jawab kalo ulangan.”

Ibu senyum-senyum mendengarnya. Rapor sudah dua kali dibagikan dalam setahun mereka berpisah. Ibu tahu mulai banyak nilai 6 yang ‘unjuk gigi’ padahal sebelumnya tak pernah punya kesempatan tampil di rapor Alif.

“Iya, sayang … ibu selalu doain kakak, kok. Tapi … kalo mau bisa jawab ulangan itu … ga cukup cuma berdoa, kakak. Kakak juga harus belajar. Ngerti, sayang?” Ah … ibu! Kau paksa lagi Alif untuk menjawab,”Iya …bu.”

Tapi … malam itu ibu senang. Pengembaraannya mencari ilmu di negeri orang akan segera berakhir. Berkat doa keluarga dan kedewasaan Alif yang menenangkan. Siawase desu yoo. 🌾

Jangan Disatukan Si Pintar dan Si Bodoh

Saya baru memahami mengapa negara-negara maju semakin maju saja dan negari miskin semakin terpuruk. Itu kesimpulan dari pemahaman saya setelah membaca teori yang dikemukakan Maskin.
Sebenarnya tulisan ini merupakan rangkuman dari tajuk tokoh di harian Kompas, Jumat, 20 Januari 2017. Judulnya sudah lupa tetapi berkisah mengenai Teori Desain Mekanisme yang dikemukakan Eric Stark Maskin, peraih Nobel bidang Ekonomi 2007.

Dalam skala negara, perbedaan negara maju dan negara miskin adalah dari sisi produktivitasnya. Ukuran produktivitas dalam makroekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Mudah-mudahan masih ingat dengan rumus yang paling diingat oleh orang ekonomi  Y = I + C + G + (X-M). Teori maskin tidak menjelaskan soal ini tetapi ada kaitannya secara tidak langsung. Untuk menghasilkan ‘Y’ atau pendapatan nasional tersebut, faktor yang sangat menentukan adalah produktivitas orang atau masyarkatnya (logis).

Maskin mengemukakan bahwa kesenjangan, baik secara ekonomi maupun sosial (keduanya saling terkait), hanya bisa mengandalkan pemerintah untuk menguranginya. Dalam konteks teori, Maskin menjelaskan bahwa manusia dibedakan berdasarkan kemampuannya: nilai kemampuan 4 (skala tertinggi), 3, 2,dan 1. 

Dalam konteks produktivitas orang yang bekerja dalam perushaan atau organisasi, Maskin menggambarkan produktifitas untuk mengurangi kesenjangan sebagai ‘O’ dengan rumus O = M2 x S. Rinciannya, M adalah kemampuan manajer dan S adalah kemampuan karyawannya. Gambaran untuk menjelaskan mengenai produktivitas tersebut ada pada 2 kondisi berikut.

Kondisi A, manajer dan karyawan beda tipis kemampuannya (kepintaran/kemampuannya). Untuk kondisi ini, lebih baik mereka bekerja sama. Janganlah mereka dikelompokkan dalam kualitas yang setara, Si Sangat Pintar dan Si Pintar dikelompok-kelompokkan tersendiri. Coba perhatikan hitungan di bawah ini.

Suatu perusahaan memiliki ada 2 unit dengan 2 pegawai (manajer dan staf). Manajer mempunyai nilai produktivitas 4 dan staf memiliki nili produktivitas 3. Hasil perhitungan yang didapat apabila kemampuan yang tinggi dan sedikit dibawahnya digabung adalah 96, sebagai berikut:
Unit 1: (42 x 3) = 48
Unit 2: (42 x 3) = 48
Total unit            96

Hasilnya akan berkurang menjadi 91 apabila manajer dan staf dikelompokkan tersendiri sesuai dengan kemampuannya. Perhitungannya menjadi:
Unit 1: (42 x 4) = 64
Unit 2: (32 x 3) = 27
Total unit            91

Yang menarik, Maskin memberi catatan bahwa negara-negara maju lebih suka bekerja sama dengan negara yang kemampuannya setara atau sedikit dibawahnya (tidak jauh-jauh amat). Itulah alasannya, mereka tidak mau produktivitasnya berkurang atau terganggu.

Kondisi B, manajer dan karyawan beda jauh kemampuannya. Untuk kondisi ini, lebih baik mereka dikelompokkan dalam kualitas yang setara; Yang tinggi kemampuannya disatukan dan yang rendah kemampuannya disatukan di kelompok lain. Hasil perhitungannya menghasilkan nilai 72, dengan perhitungan sebagai berikut:
Unit 1: (42 x 4) = 64
Unit 2: (22 x 2) = 8
Total unit            72

Bandingkan apabila mereka dicampur dalam satu kelompok antara pegawai dengan kemampuan tinggi dan yang rendah. Hasilnya atau produktifitasnya menjadi lebih kecil sebagaimana perhitungan berikut:
Unit 1: (42 x 2) = 32
Unit 2: (42 x 2) = 32
Total unit            64

Untuk kondisi B, beberapa catatan Maskin adalah:
1. Negara maju akan membiarkan negara yang mempunyai kemampuan 2, tetap sebagai 2 (selamanya);
2.  Kesenjangan terkadang dibiarkan tetap ada bagi kelompk tertentu karena menguntungkan bagi mereka, istilahnya kesenjangan ini sebenarnya bermuka dua;
3.   Pendidikan yang baik akan membawa pekerja dengan level 2 akan menjadi 3. Selain mengurangi kesenjangan, hal itu akan menjadikan dunia lebih baik.

Jadi, kepada rekan-rekan muda DJA dan sudah S1, bersekolahlah karena sekolah S2 sekarang 'gratis' (karena diberi beasiswa) dan sebelum sekolah itu dilarang (karena kebanyakan yang sekolah dari pada yang kerja).

Aaaahh...gak bakat gue..!!


"Aaah..gak bakat gue..!!"
Keluhan ini sering banget kita dengar atau keluar dari mulut kita pada saat kita gak berhasil melakukan sesuatu. Ya semacam justifikasi atas ketidakmampuan kita. Semuanya kita salahkan si "bakat" dan "bakat" yang tidak tahu apa-apa dengan pasrah menjadi kambing hitam hihihi.

Bunuh Diri Bukanlah Suatu Pilihan, Kecuali Bagi Orang-orang yang ... ??

Bunuh diri merupakan suatu tindakan yang seringkali dilakukan orang tertentu untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti kasus baru-baru ini terjadi, yang menimpa manajer JKT 48 yaitu Inao Jiro (48 th) tewas gantung diri di rumahnya di Pondok Aren, Tangerang Selatan. 
Dan penyebabnya disinyalir adalah karena beban pekerjaan yang terlalu berat.

Beban yang terlalu berat inilah yang membuat seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dengan harapan agar mereka bisa terbebas dari masalah pekerjaan, rumah tangga, ekonomi, dll.

Ingat artis Marlyn Monroe? 
Artis yang banyak dipuja-puji karena kecantikannya ini ditemukan tewas pada tahun 1962 akibat over dosis menelan pil tidur dalam usia 36 tahun, dan kematiannya akibat bunuh diri masih menggema sampai sekarang.

Menurut para ahli ada beberapa penyebab dan tanda-tanda orang yang bunuh diri ini. Antara lain karena depresi, penyakit psikologis, dan adanya gangguan kejiwaan.

Sedangkan menurut ahli dadakan dalam soal bunuh diri (dalam hal ini saya), bunuh diri terdiri dari dua kata. Bunuh dan diri. Jadi bunuh diri artinya membunuh diri sendiri. 
Padahal jika dipikirkan lagi, diri sendiri itu sebenarnya tidak punya salah apa-apa. Jika ada yang harus disalahkan, yang salah itu adalah masalahnya. 
Jadi sebenarnya yang lebih layak dibunuh adalah masalah. Bukan dirinya. 
(lagian sih dikasih istilah bunuh diri, kan orang jadi kepikiran, kenapa gak yang positif aja ya istilahnya. Wkwkwk  jadi 'esomi' niih...)
Kenapa kata bunuh diri tidak kita ubah saja menjadi bunuh masalah ya?

Tapi saya pribadi bingung sama orang yang melakukan bunuh diri ini. 
Apakah sudah sekalut itukah pikiran mereka, sehingga mereka sudah tidak berfikir apa-apa lagi? 
Kalo sudah tidak kepikiran dosa setidaknya memikirkan bagaimana masa depan keluarganya nanti, anak-anaknya, teman-teman, dan fikiran orang-orang tentangnya, paling tidak sebelum mati mereka memikirkan sesuatu dulu gitu, takut 'kek' liat pisau, tembakan, tali tambang, atau takutlah lihat ketinggian.

Kalo tidak merasa takut juga, ya sudah silakan saja diteruskan kegiatan membunuhnya. Wong yang dibunuh juga diri sendiri kok. 
Peduli amat dengan orang lain.
Peduli amat dengan suami atau isteri yang menangis sedih dan nelangsa di hari-hari depan mereka.
Peduli amat dengan anak-anak yang akan menjadi yatim/piatu dan akan menanggung semua resiko perbuatan itu, seumur hidup mereka.
Peduli amat dengan orang tua, keluarga, dan teman-teman.
yang dia pikirkan cuma diri sendiri....
aku, aku, dan aku sudah terbebas dari masalah. Habis. Titik.

Padahal masalah baru sudah menunggu orang-orang yang telah 'membunuh hak untuk hidup dirinya sendiri' di akherat nanti (bunuh diri merupakan hal yang sangat terlarang dalam agama).

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah"
(QS. Annisa 29-30)

Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, dia akan diadzab dengan itu di hari kiamat" 
(HR. Bukhori nomor 6105, Muslim nomor 110)   

Akhir kisah hidup yang tragis bagi manusia. 
Alih-alih berdoa supaya husnul khatimah, tetapi malah dikenang dengan penuh 'kengerian' oleh orang lain, sudah begitu meninggalkan 'warisan' bagi orang-orang yang mencintainya seumur hidup mereka. 
Naudzubillahi min dzalik.



Semoga Allah memberi kita hidayah, kesabaran dan kekuatan dalam mengatasi segala permasalahan dalam hidup kita, sampai ajal menjemput nanti. Aamiin...YRA...









Naik Kreta Juga Butuh Rex*na

Another rules you probably need to know when you're riding KAI Commuter Line :

1. Jangan main HP mulu dan lupa sama dinamika dunia.
Jadi ya Mas, Mbak, selama naik kreta itu turbulence nya banyak, kalo kamu main hp mulu, ga pegangan, trus nyenggol2 sekitarmu tanpa kontrol, jadi sangat mengganggu. Bukan sexis ya, tapi kebanyakan mbak2 ni. Yg nyenggol2 orang seenaknya giliran kesenggol dikiiit langsung mecucu. Kan kamu yg lucu jadi ga lucu lagi .... :3

2. Jangan memaksakan pegangan pada tiang atau tali pegangan (apasik namanya) yang unreachable.
Selama kamu nyata2 belum teken kontrak exclusive dan jadi brand ambassadornya Rex*na Deo Lotion ala Ayu TungTing, atau seenggaknya belum jadi bala jaer, jangan terlalu optimis ketekmu wangi, kering dan aman dari jangkauan anak-anak. Gaes ... Plis ...

3. Jangan buru2 menyerbu kreta yang baru dateng.
Ok ok yg ini udah ada tanda larangannya. Tapi plis gaes, apa susahnya si nunggu sebentar dan mempersilakan penumpang turun terlebih dahulu? Ga ampe dorong2 Bapak Ibu yang sampun sepuh juga dong. Itu cuma kursi kreta, bukan kursi jabatan Gubernur Jakarta. Ga usah segitu napsunya. Halah.
Tapi seriously, kalau emang rejeki gak akan kemana. Tapi kalopun emang bukan rejeki, behaving a little bit nicer won't hurt anybody dan mungkin malah jadi berkah tersendiri.

Sekian ... Dan terima ... aku ... apa adanya. Halah.

Warna Warni Kita

Wahai kawan,

Pernahkah kau tapaki
Gurun tandus gersang

Pernahkah kau lewati
Taman tanpa bunga bermekaran



Lihatlah kawan, pandanglah ke langit biru
Selepas hujan saat mentari masih benderang

Adakah disana, lengkung busur pelangi?
Dalam kemegahan aneka warna

 Ada merah, ada jingga, ada kuning
Ada hijau, ada biru, nila, dan ungu

 
Akankah ia sama cantiknya
Jika hanya berbalut selembar warna?

Tidak kawan..
 Ragam warna itulah
Yang buatnya indah


 Seperti kita, indah dalam masing-masing warna
Indah dalam masing-masing agama

Dan dalam kebersamaan, kawan
Keindahan kita..justru bertambah!



Karena itu kawan,
Mari..

Mari kita berjalan,
Bersama-sama di atas awan


Dalam kebersamaan
Dalam persatuan
Dalam kesatuan
Dalam pelangi kita,... Indonesia!



Nama Baru Cama Cami : LOCOM... !!!

Hari pertama mahasiswa/i baru dikumpulkan untuk diberi pengarahan betul-betul menjadi hari yang penuh ketegangan. Yang pertama adalah bahwa kita ternyata belum bisa menjadi mahasiswa/i, masih calon !!! Makanya kemudian kita dipanggil ‘cama’ dan ‘cami’, calon mahasiswa dan calon mahasiswi. Untuk bisa menjadi mahasiswa/i, harus melewati dulu masa orientasi MPK (Masa Pengenalan Kampus) yang penuh dengan ‘teror’, dan waktu dikumpulkan pertama kali itu lah ‘teror’ itu dimulai…

Pantas atau Tidak Pantas ?

Sering kali saya melewati stasiun kereta baik saat berangkat kantor, pulang kerja, jalan bersama dengan keluarga naik kereta (emang gak ada kendaraan ? - saat itu sensasi naik kereta lebih menyenangkan) atau hanya untuk memenuhi perintah atasan melalui diklat dan ijin lainnya.

Stasiun saat ini, berbeda dengan stasiun sebelum masa kepemimpinan Ignasius Jonan. Masyarakat dirubah cara pandangnya terhadap stasiun. Kalau dulu stasiun terkesan kumuh, tidak teratur, jorok, tidak nyaman, tidak aman, dan banyak hal negatif lainnya. Namun pak Ignasius Jonan telah merubah paradigma atau stigma itu. Saat ini stasiun itu lebih teratur (tidak semrawut), tertib, rapih, bersih, nyaman dan aman. Bahkan kalau pun harus keliling Jabodetabek dari stasiun ke stasiun, cukup enak dan nyaman sepanjang tidak melakukan tap out dari barier gate nya. Arena food court dekat stasiun juga lumayan enak.

Namun ada hal aneh yang belum bisa berubah dari masyarakat kita meskipun sudah melek dengan gawai atau gadget. Pernahkah melihat tempat duduk di stasiun yang bertuliskan frasa "tempat duduk prioritas" Jika pernah melihat, seharusnya penumpang yang menggunakan gawai seharusnya bisa membaca tanda dari frasa dimaksud. Frasa "tempat duduk prioritas" itu hanya diperuntukan bagi penumpang lansia, wanita membawa balita, disabilitas, wanita hamil. Frasa ini juga berlaku di setiap gerbong kereta commuter line di seluruh Jabodetabek tanpa kecuali. Namun dari 4 jenis penumpang yang paling banyak menggunakan "tempat duduk prioritas" ini adalah wanita hamil bukan pria hamil ya ? (maaf bukan menghina pria prenagen). Berkaca atas kejadian di setiap gerbong, dimana para penumpang sudah paham, namun berbeda perlakuan dan sikap saat di setiap stasiun. Karena frasa "tempat duduk prioritas" di stasiun tidak berlaku untuk para penumpang prioritas itu. Kursi prioritas di stasiun tidak berlaku untuk penumpang penumpang lansia, wanita membawa balita, disabilitas, wanita hamil melainkan olahragwan, orang sehat, orang yang pegang gawai dan notebook, orang yang pakai dasi, orang yang mengerti baca dan tulis, orang yang mampu segala nya. Saya tergelitik mengangkat hal ini karena meskipun stasiun dan fasilitas kereta sudah berubah, ternyata merubah habit dan paradigma juga tidak serta merta merubah pola pikir setiap orang yang terkadang sudah canggih dan pandai baca dengan beberapa gawai di tangan. Jadi pertanyaannya adalah pantas atau tidak pantas mereka duduk di kursi prioritas itu ? Terlepas apakah kursi itu ada orangnya atau tidak, dan jika ada orangnya lantas kita langsung beranjak dari tempat duduk. Saya jarang melihat orang yang langsung beranjak dari tempat duduk meski orang yang dianggap prioritas itu ada di sekitarnya.  

Saya cuma ingin berbagi bahwa kemajuan dan ketertiban dari sebuah fasilitas publik perlu juga ada sedikit edukasi untuk para penumpang yang memang tidak beruntung atau yang diprioritaskan agar tetap menjadi penumpang yang diprioritaskan.

Salam selalu

sumber:https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Mimpi dan Kenyataan

Haga Kyrkogata, October 2013  (foto: koleksi pribadi)


Sewaktu kecil, mimpi saya adalah menjadi ibu rumah tangga. Belajar memasak, menghias rumah, menunggu suami pulang sambil bercengkerama dengan anak-anak yang manis dan menyenangkan di rumah.  Apa daya sampai usia melewati kepala tiga, saya belum mendapatkan jodoh. Dan tentu saja banyak hal yang terjadi sejak impian masa kecil saya sampai menginjak usia dewasa. Kalau boleh jujur, apa yang terjadi sepanjang hidup ini banyak yang tidak sinkron dengan karakter asli saya. Namun demikian, bukan berarti saya tidak menikmatinya ... dan mensyukurinya. 

Selama lebih dari 10 tahun, saya adalah wanita karir, dengan lingkungan pekerjaan yang sangat maskulin. Bila saya hanya mengikuti naik-turunnya perasaan, mungkin dunia karir sudah saya tinggalkan sejak lama. Ini adalah tantangan untuk seorang introvert yang cita-cita mulanya adalah ibu rumah tangga, setelah mentok menyadari bahwa bolak-balik ke planetarium tidak serta-merta menjadikan saya sebagai astronot. Ketika akhirnya saya menemukan jodoh, dia adalah seseorang yang berkata, "aku tidak bisa membayangkan punya istri yang tidak bekerja." Sosok yang sama yang mendukung saya untuk bersekolah di luar negeri. Saat ini kami hidup terpisah 15.000 kilometer jauhnya, dan ini adalah keputusan kami juga, setelah diskusi serius di warung pecel lele, ketika saya berkata, "bagaimana dengan kita?" ... dia hanya berkata, kira-kira seperti ini "ini zaman modern dan teknologi sudah semakin canggih". Entah apa maksudnya.

Jadilah saya mengembangkan sayap, dan terdampar di Swedia. Dalam kurun tiga bulan pertama, sudah lumayan pahit manisnya yang saya rasakan.  Dari hidup menumpang di rumah teman, melamar ratusan apartemen sampai akhirnya mendapatkan tempat 5 bulan kemudian, atau pengalaman kehilangan dompet dan mengantri di kantor polisi sampai jam 9 malam di area yang tidak saya kenal. Ketika tiba waktunya liburan musim dingin dan kami mampir di Austria dan Republik Ceko selama seminggu, saya harus menerima kenyataan jebloknya nilai ujian dan menyadari bahwa semestinya saya menggunakan waktu itu untuk belajar. Pengalaman yang mirip terjadi lagi 8 bulan kemudian, namun waktu itu karena saya terlalu berkabung dengan kehilangan ayah saya sehingga tidak konsentrasi ujian. Namun demikian tidak ada yang saya sesali. Nilai akademik sangat memuaskan juga tidak jarang saya dapatkan, dan yang terpenting adalah kekayaan non-materi berupa beragam pengalaman hidup.

Tujuan semula adalah sederhana yaitu menuntut ilmu. Yang saya temukan, bertambahnya kenalan, teman, dan di antaranya ada yang terasa dekat seperti keluarga sendiri. Saya menikmati keterasingan, menjadi orang asing, di negeri yang asing ... bukan karena segalanya terasa lebih mudah dan nikmat dibanding negeri sendiri. Tidak jarang juga ada hal-hal sederhana yang saya rindukan tentang Indonesia ... terutama sebagai anak Jakarta yang bisa senyum-senyum sendiri mendengar bahasa slank semacam "yo, ma men", "mas bro" "sumpeh lo" "buset dah" atau "pala loe bau jengkol".

Menjadi orang asing artinya memulai semua dari nol. Di dalam ketidakberdayaan dan gegar budaya, saya menemukan sisi lain dari diri sendiri yang belum disadari selama ini. Uniknya, kita lebih sering berusaha sebaik mungkin ketika menyadari bahwa kita tidak punya apa-apa untuk ditawarkan selain menjadi diri sendiri.  Ketika memberanikan diri untuk pertama kalinya naik kendaraan umum, pergi ke pasar, atau berjalan kaki sendirian di negeri orang, di situlah kesempatan bagi saya untuk berinteraksi dengan orang lain yang tidak tahu (atau bahkan tidak peduli) dengan masa lalu saya. Percakapan pertama saya dengan penduduk asli Swedia bukan terjadi di ruang tamu yang aman dan nyaman ... akan tetapi bermula di bangku taman ketika karakter Indonesia saya keluar dengan menawarkan sepotong cokelat untuk dibagi dengan ibu-ibu yang duduk termenung di sebelah saya. Dalam hitungan menit, dia juga berbagi keluhan mengenai penyakit dan kesehatannya.  Bukan berarti perilaku ini selalu bermanfaat, sebab saya pernah menyia-nyiakan waktu mendengarkan filosofi seseorang di bangku stasiun kereta api Serpong sebelum teman memberitahu saya bahwa orang ini tidak waras.

Di sisi lain, keterbiasaan membuat kita menganggap semuanya sebagai keharusan. Pasangan harus mencintai kita. Orangtua harus mengerti kita. Anak-anak harus menghormati kita. Teman harus menerima kita. Presiden, bintang film, dokter, guru, atau siapa saja yang kita tahu namanya ... harus bisa membuat hidup kita lebih baik. Akan tetapi, menjadi terasing dan orang asing mengajarkan saya bahwa orang lain tidak jauh berbeda dengan diri kita sendiri. Tidaklah nasib kita berubah, sebelum kita merubahnya sendiri. Dengan bersikap baik, dan membawakan diri dengan baik seolah-olah ini adalah waktu terakhir kita di dunia ... siapa tahu kejutan apa yang menanti di lembaran baru kisah hidup kita di masa depan.

Gothenburg, 9 Februari 2015

Pencapaian...Pemahaman...Titik Akhir Suatu Perjalanan

Suatu pagi, disaat 'kesibukan' rutin keluarga, tiba-tiba si Adek (panggilan kami buat si bungsu) mengambil kuas make-up mami-nya dan menjadikannya semacam 'mic'. Dengan 'mic' tersebut adek berlagak sebagai wartawati mewawancarai saya;
Adek: "Nama bapak siapa?"
Saya: "Indra"
Adek: "Hobi Pak Indra apa?"
Saya: "Taekwondo"
Adek: "Wow...interesting, sabuk apa?"
Saya: "Sabuk merah"
Adek: "Kan sudah lama latihannya, kok nggak sabuk hitam?"
Saya: "Papi emang gak mau dek"
Adek: (sambil ngeloyor pergi) "ah gak selesai itu namanya"

Transformasi Bukan Roda Besi

Ide untuk "menghidupkan" Pojok Transformasi oleh para Duta Transformasi DJA patut diacungi jempol. Bagaimana tidak? Pojok Transformasi yang berlokasi di salah satu sudut lobi gedung Sutikno Slamet tersebut selama ini "mati suri", tidak ada tanda-tanda "kehidupan". Jangankan mengundang minat orang untuk mampir melihat apa yang ada disana, keberadaannya pun mungkin diabaikan. Makanya ketika salah satu Duta mem-posting undangan "mampir ngopi dan diskusi" di Pojok Transformasi, saya sempatkan mampir. Rugi kalau tidak hehehe, pertama karena 75% dari duta transformasi tersebut adalah wanita cantik, yang kedua karena ada kopi gratis hahaha.

Hijaukan mata, tenggelamkan warga

Coba perhatikan rumah kita, komplek atau cluster perumahan kita, seberapa banyak kita menemukan pohon dan rerumputan di sana?. Masih seringkah kita mendengar suara burung berkicau yang hinggap di ranting-ranting pohon seputar tempat tinggal kita? Alhamdulillah kalau masih banyak hijau-hijaunya, kalau masih ada suara burungnya. Mungkin ada yang berpendapat wajar karena kita kan hidup di Ibukota ataupun pinggiran kota yang terimbas pesatnya pembangunan Ibukota. Kalau mau lihat hijau-hijau atau mau mendengar suara burung berkicau, ya pergilah ke desa.

Shalat itu boleh di langgar

Kalimat di atas tentu akan mengagetkan banyak orang karena dalam tradisi keberagamaan tidak mengenal istilah 'langgar'. Dalam ungkapan lisan memang ini cukup menarik karena terdengar tanpa beda antara 'di' yang dipisah dengan 'langgar' yang menunjukkan keterangan tempat dan 'di' yang digabung dengan kata 'langgar' yang menunjukkan kata kerja.

Mabuk Durian : Mitos atau Fakta ?

Durian selalu menjadi topik menarik karena rasanya yang sanggup memberi sensasi hebat bagi para penikmatnya. Buah ini sangat pupoler terutama pada saat musimnya, bahkan saking populernya tak jarang kita temukan kata durian ini di beberapa peribahasa kita.