Rumah Harapan, Semangat Sandriana

Pelan-pelan kakinya melangkah menuju rumahku. Kumatikan rem motor yang baru saja kukendarai. Dengan sigap direngkuhnya tanganku dan diciumnya. Ungkapan hormat yang kadang kuanggap berlebihan.

Dengan menahan ragu, gadis kecil itu menginjakkan kakinya di rumahku. Dirinya duduk bersama anak-anak lain yang sedang bercengkrama.

Sandrina, nama gadis kecil itu. Dia selalu datang setiap Selasa dan Kamis malam ke rumahku. Harapannya ditaruh di tanganku, agar mendapatkan pengetahuan lebih banyak.

Kupandangi Sandrina yang selalu lirih ketika berbicara. Sandrina anak yang istimewa dengan bekas jahitan di bibirnya. Dua kali Sandrina terbaring di meja operasi untuk memperbaiki bibirnya. Bicaranya agak sengau. Tugasku adalah membuatnya percaya kepada dirinya sendiri.

Malam itu kelas riuh sekali. Anak-anak bersahutan saling mengejek. Kutiup peluit untuk menghentikannya.

"Assalamualaikum!" sapaku dengan suara keras.
"Waalaikumsalam!" jawab anak-anak serempak.
"Siapa yang bawa buku PR?" aku bertanya sambil menatap wajah polos anak-anak itu.
Hanya beberapa anak yang mengacungkan tangannya. Kulihat Sandrina salah satunya.
"Sandrina, coba bacakan soal pertama dari PR yang sudah dikerjakan!" perintahku sambil kutatap Sandrina.
"Wh...at..do you..do?" lirih suara Sandrina nyaris tenggelam diantara riuh suara teman-temannya.
"Coba, kalian belajar mendengarkan temannya bicara!" ujarku menghentikan suara riuh anak-anak.
"Lanjutkan, Sandrina!"
"I..am a teacher." Sandrina melanjutkan.
"Hebat!" seruku pada Sandrina.
Kulihat Sandrina tersenyum bangga mendengar pujianku.
"Saya harap kalian harus berani menjawab semua pertanyaan. Kalian semuanya hebat!" ujarku memberi semangat kepada Sandrina dan semua teman-temannya.

Malam itu giliran Sandrina yang bertubi-tubi kuminta menjawab soal yang kuberikan. Beberapa kali Sandrina salah mengucapkan kata dalam bahasa Inggris. Tapi seringkali juga Sandrina membacakan kalimat dengan pengucapan yang hampir benar.

Suatu saat, aku bertanya kepada Sandrina tentang keluarganya.
"Bapak kamu kerja dimana, Sandrina?"
"Sopir taksi, pak," jawabnya.
"Ibu kamu?" tukang pijat keliling sekaligus kerja di laundry," jawab Sandrina.
Ada rasa bangga dari pancaran mata Sandrina ketika menjawabku tentang orang tuanya. Sepertinya Sandrina mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Aku tersenyum lega.
"Kamu harus bersemangat terus sekolah dan datang kesini, ya Sandrina! pintaku padanya yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Kamu harus jadi anak hebat!" sambungku.
Sandrina kembali menganggukan kepalanya tanpa bersuara.
Entahlah, Sandrina mengerti atau tidak dengan kata-kataku. Kuharap dia akan selalu mengingat perkataanku untuk selalu hebat.

Jakarta, 5 Mei 2017


5 komentar: