Ikan Hiu di Tangkapan Nelayan

Konon, sekelompok nelayan Jepang mengangkut tangkapan mereka ke pasar untuk dijual. Tapi, pagi itu lebih banyak ikan yang tidak laku. Sang Kapten meminta salah seorang anggota kelompoknya untuk menyelidiki kenapa ikan-ikan itu tidak laku terjual.

“Lapor, Kapten. Saya sudah cukup mendapat informasi yang bisa dipercaya,” lapor Sang Anggota.

“Baik, apa itu?” Kapten menjawab tanpa basa-basi.

“Saya mencari informasi dari pedagang yang menjual ikan kita dan sekitar separuh konsumen di pasar ikan ini. Kata mereka, daging ikan tangkapan kita kurang segar, jadi kurang sedap dimakan.”

Kapten berfikir keras,”Mmm … begitu kah? … mungkin karena kita bawa ikan-ikan itu ke darat hanya ditimbun es agar tidak membusuk saja. Tapi, mereka sudah mati. Kamu ada ide apa?”

“Ahh, jika begitu, tempat penampungan yang biasa kita pakai, diberi air saja Kapten. Supaya ikan-ikan tangkapan kita tetap hidup sampai di darat.” Sang Anggota mengusulkan.

“Hmm… Patut dicoba”.

Malamnya, mereka kembali berlayar untuk menangkap ikan dengan perlengkapan yang dimodifikasi. Tempat penampungan yang biasanya diisi dengan timbunan es batu, kini diisi air laut. Ikan-ikan tangkapan mereka tetap hidup. Namanya juga usaha.

Keesokan paginya, ikan-ikan tangkapan mereka terjual lebih banyak dari hasil tangkapan kemarin, tapi tetap tidak habis. Kali ini, Kapten tidak meminta anggotanya untuk mencari tahu. ‘Besok mungkin makin baik,’ ia membatin.

Seperti kemarin, malam hari mereka kembali gigih menangkap ikan di laut. Setelah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan dan mereka hendak kembali pulang, tiba-tiba saja seekor ikan hiu terjebak jala mereka.

 “Awas, hati-hati. Kita pisahkan saja di geladak!” Teriak seorang anggota kapal, yang disetujui anggota yang lain.

“Tidak! Masukkan juga hiu ini ke kolam tangkapan kita. Jadikan satu dengan ikan-ikan hidup yang lain,” Kapten punya pendapat berbeda, dan tentu saja dipatuhi oleh anggota lainnya.

Kedatangan hiu di kolam tangkapan, tentu mengejutkan ikan-ikan yang pada awalnya berenang dengan tenang, nyaris tidak bergerak malahan. Mereka jadi sibuk berenang ke sana dan ke mari demi menghindari kejaran hiu ketika lapar. Gimana ya kalau jadi ikan-ikan itu? Lolos dari kejaran hiu pun, mereka akan berakhir di pelelangan ikan.

Tapi begitu lah legenda yang pernah saya dengar dari seorang kawan yang bernama BungA, sebut saja namanya begitu. Pada saat ikan-ikan itu hanya dimasukkan dalam penampungan yang berisi air laut, mereka berenang dengan tenang, merasa damai-damai saja, karena mungkin belum menyadari perubahan kondisi apa yang akan terjadi.

BungA menganalogikan keadaan ikan-ikan yang tenang berenang itu dengan suasana tempat dia bekerja dulu. Rasa aman, lingkungan nyaris homogen, menciptakan zona nyaman yang cenderung membuat kebanyakan kita, menurut BungA nih yaaa, terlihat kurang semangat bekerja, menyiapkan apa adanya, sering tidak fokus karena merasa ada kesempatan untuk memperbaiki besok atau lusa.

Dengan  kedatangan seekor hiu dalam legenda tersebut, menurut BungA, penutur awal legenda ini hendak menganalogikan suasana yang berbeda saat mereka memiliki Pimpinan yang sangat menuntut tapi ekspresif sekali dalam mengemukakan ketidakpuasan. Bahan rapat harus cepat, data harus akurat, informasi harus kredibel, siap dihubungi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan tampilan tayangan presentasi terlihat tidak ideal pun harus siap menuai kritik pedas.

Saat itu, meski rasanya di bawah tekanan, tapi semua orang terlihat sigap dan antisipatif. Setiap tingkatan manajemen sampai ke staf mawas diri dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut BungA lagi, suasana kerja justru lebih bergairah. Tambahan lagi, ikatan persaudaraan sesama mereka jadi lebih kuat karena semua merasa senasib sepenanggungan pernah kena imbas ekspresif sang Pimpinan.

Saya sih tidak sanggup membayangkan situasi kerja seperti yang disebut BungA sebagai bergairah. Pengalaman saya selama 15 tahun, lingkungan saya bekerja terlihat sigap-sigap saja walaupun karakter pimpinan kami sekalem permukaan air laut di pagi buta saat angin malas bertiup. Atasan langsung saya rajin menyiapkan alternatif karena Bos selalu memberi argumentasi sampai dia yakin solusi yang dipilih tepat. Pun, tidak selalu argumen Bos yang akhirnya jadi solusi. Data-data tetap disiapkan tanpa tambahan waktu lembur di kantor, apalagi di rumah. Dokumen yang harus ditanggapi atau diselesaikan tetap siap sesuai jadwal. Kenapa ya? Karena keteladanan kah? Rasa keterlibatan kah?

Oh iya, ikan-ikan yang berhasil dijual kelompok nelayan di awal cerita, kata BungA, jumlahnya jadi lebih sedikit setelah kedatangan hiu. Tapi harganya bisa lebih mahal karena lebih banyak konsumen yang berminat membeli. Daging ikannya jauh lebih segar, kenyal, dan lezat, katanya. Bisa jadi, ikan yang berhasil tetap selamat, adalah ikan-ikan yang paling lincah bergerak menghindar kejaran hiu 🤔. 🌾

5 komentar:

  1. Perubahan selalu ada. Ia bisa berasal dari luar, ataupun berasal dari dalam. Perubahan yang berasal dari luar menempatkan kita dalam posisi pasif tanpa mengindahkan sesuatu yang dinamakan dengan kehendak bebas (free will), padahal inilah pembeda utama manusia dengan hewan dan tumbuhan. Perubahan karena faktor eksternal juga cenderung temporer (sementara), angin-anginan, atau musiman. Sebaliknya, perubahan yang berasal dari dalam biasanya lebih permanen dan progresif. Ada yang mengistilahkannya sebagai salah satu bentuk dari evolusi, dan ia sangat erat hubungan aspirasi manusia atau 'free will' itu sendiri; sehingga selain tidak terkesan dipaksakan, perubahan ini juga menjadikannya sebagai sosok yang bertanggung jawab atas arah hidupnya sendiri. Tentu ini sekadar pendapat saya pribadi, yang belum tentu semua orang setuju.

    BalasHapus
  2. Saatnya, Berubah!!! *alaPowerRanger

    BalasHapus
  3. menarik, ayo kita perbanyak ikan hiu di kantor kita :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Satu hiu baru saja memproklamasikan diri. Waspadalah, nanti digigit. :D

      Hapus
    2. kalo bisa sih jangan sampe memancing hiu baru berubah :p

      Hapus