22 Years, still counting

Bulan Oktober 2017 ini ternyata tepat 22 tahun saya mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Suatu perjalanan waktu yang cukup panjang. Di dunia swasta, waktu 22 tahun seharusnya sudah bisa menempatkan seseorang ke pucuk pimpinan tertinggi perusahaan atau mungkin malah menjadi pemilik perusahaan. 22 tahun itu sendiri sudah melebihi separuh umur saya, yang artinya separuh hidup saya sudah saya abdikan di Kemenkeu. Hebat ya? saya aja baru noticed ketika ada notifikasi di akun Linkedin. 

Pertanyaan yang coba saya renungkan adalah apakah pengalaman saya di Kemenkeu benar-benar 'bernilai' 22 tahun? jangan-jangan hanya 1 tahun tapi saya ulang-ulang selama 22 kali, LoL. Disinilah mungkin perbedaan nilai pengalaman kerja di dunia swasta dan di dunia birokrasi. Di birokrasi, start awal masuk kerja sangat menentukan. 22 tahun masa kerja berarti saya mendapat "jatah" minimal 5 kali naik pangkat, karena kenaikan pangkat reguler adalah setiap 4 tahun. Alhamdulillah, walaupun cuma sekali tetapi saya telah melebihi "jatah" minimal tersebut. Hal tersebut memang dimungkin apabila seorang PNS melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan mendapatkan penyesuaian ijazah ke pangkat/golongan sesuai tingkat pendidikannya.

Pola kenaikan pangkat reguler dan sistem karir tersebut tentunya belum cukup untuk membuat 22 tahun masa kerja menjadikan saya seorang Eselon I. Fakta tersebut tidak terlalu mengganggu saya karena meskipun sudah ada teman-teman seangkatan yang menduduki jabatan lebih tinggi, tapi lebih banyak lagi yang bahkan belum memiliki pangkat dan golongan yang sama dengan saya. Hal lain yang membuat saya masih 'sedikit tenang' adalah karena memang time-frame untuk menjadi Eselon I masih 7 tahun lagi (untuk bagian ini nanti akan saya tuliskan tersendiri, LoL).

Selain sistem kepangkatan, banyak faktor lain yang mempengaruhi karir birokrasi sehingga sebenarnya bisa jadi ini termasuk 'bagian yang menantang' dibandingkan dunia swasta selain take home pay tentunya. 

Waktu 22 tahun seharusnya memberikan saya pengalaman yang komprehensif di semua bidang tugas Kemenkeu, minimal di unit eselon I tempat saya bekerja. Faktanya tidak seperti itu, karena manajemen SDM belum membuat career path yang memungkinkan seorang PNS menduduki berbagai posisi dan membidangi berbagai tugas sebelum menduduki jabatan yang lebih tinggi. Hal ini tidak dialami oleh saya sendiri, tetapi hampir oleh semua pegawai.

Reformasi birokrasi Kemenkeu secara spesifik belum menyentuh masalah manajemen karir pegawainya. Hal yang sebenarnya sangat penting sehingga semua tools penilaian kinerja dapat secara lengkap memetakan kinerja pegawai di level penugasan yang berbeda-beda.

Minimnya variasi tugas dan penugasan tidak saja merugikan individu pegawai tetapi juga merugikan organisasi secara keseluruhan. Secara individu, si pegawai akan menjadi 'spesialis yang tanggung'. Mengapa tanggung? ya karena spesialisasi-nya sebenarnya tidak dibutuhkan oleh organisasi. Kondisi tersebut juga menimbulkan kejenuhan dan cenderung menciptakan sudut pandang yang sempit atas suatu permasalahan yang membutuhkan pemecahan komprehensif. Untuk organisasi, kondisinya hampir sama, pimpinan-pimpinan yang tidak banyak variasi tugas dan penugasan membuat kebijakan-kebijakan yang diambil kurang (tidak) komprehensif. Hal tersebut akan semakin parah ketika pimpinan-pimpinan tersebut kehilangan percaya diri karena tidak memiliki dasar yang cukup tentang tugas utama organisasinya. Hilangnya rasa percaya diri tersebut bisa mengakibatkan organisasi yang dipimpinnya kehilangan "marwah".

Nah, kembali ke 22 tahun-nya saya, yang insyaa Allah masih berlanjut, paling tidak saya harus berhitung dengan waktu yang tersisa; apakah time-frame saya dapat terpenuhi dengan kondisi sekarang atau saya harus melakukan terobosan-terobosan yang minimal dapat membuat saya "tepat waktu", kalau tidak mungkin "lebih cepat". Semua itu adalah pilihan-pilihan yang hanya waktu mampu menjawabnya. Sekali lagi, dengan konsep "semua orang berada di ruang waktu masing-masing", 22 tahun menjadi waktu yang relatif; tidak berarti terlalu lama atau terlalu lambat, karena saya sedang menjalani "ruang waktu" saya sendiri.





Silaturahmi Offline

Tadi siang bertemu seorang penggiat BnD, tanyanya“gak nulis lagi?”. “Lagi gak tau mau nulis apa, gw masih berpegangan dengan judul Bukan Nota Dinas jadi pengennya nulis yg gak ada hubungannya dengan kantor tapi dari kemaren-kemaren apalagi abis diklat di Bekasi yang kepikiran malah tetek-bengek di kantor” jawabku. “Tulis yang ringan-ringan ajalah”, imbuhnya. “Blom tau mau nulis apa, yang ringan-ringan juga ujung-ujungnya kantor”, bantahku dengan suara pelan. Hening di antara kami, lalu entah pikiran dari mana aku berujar “pengen silaturahmi deh tapi bukan sama orang kantor, siapa tau membuka peluang baru”. Tanpa pikir panjang aku posting di WAG SMP ku “dah lama nih kayaknya kita gak silaturahmi” tadinya aku ingin menambahkan ajakan tapi ku pikir aku ingin melihat dulu respon dari teman-temanku. Kebetulan groupnya kecil hanya terdiri dari 51 orang, entah kenapa ini group gak nambah-nambah isinya padahal angkatan kami sepertinya sampai 200an orang. Yang menyahut hanya satu orang, yang read separuhnya. “hahaha, sepertinya ajakan gw kagak laku” pikirku.

Silaturahmi, sepertinya sudah terjadi pergeseran dalam pilihan orang-orang dalam bersilaturahmi. Saling bertegur sapa, mengucapkan selamat ultah, menanyakan kabar, dan berbagai interaksi sosial sudah bergeser ke media sosial bahkan ketika ada postingan tentang kerabat yang sakit dilakukan melalui media sosial seperti halnya whatsapp, facebook, dan lain sebagainya. Saya sendiri sudah malas untuk mengucapkan selamat ultah di media sosial, untuk orang-orang terdekat saya memilih bertelpon jika tidak bisa bertemu muka, gak banyak sih cuman dua orang di luar saudara kandung saya yang saya masih telpon untuk tanya kabar dan mengucapkan selamat ultah.

Silaturahmi di Indonesia sendiri paling sering terjadi di hari-hari besar keagamaan, seperti halnya Idul fitri, Natal, Nyepi, Waisak, dan Imlek. Sebelumnya saya selalu membuat pesan dan ucapan selamat sendiri dan mengirimkannya melalui sms, menurut saya “sms lebih dekat dari pesan di whatsapp”.  Hus, jangan keras-keras ketawanya, mau bilang gw katrok? Ya suka-suka situ. Tapi sebenarnya saya lebih senang mengucapkan langsung sambil menyalam dan bertatap muka, rasanya kalau hanya di WA atau sms tuh kosong apalagi kalau di WAG pasti ujung-ujungnya “copas” dari teman yang duluan posting.

Tapi memang silaturahmi tatap muka membutuhkan banyak tenaga. Menembus kemacetan ibu kota, antrian mencari tempat duduk di cafe atau restoran, belum lagi uang yang harus dikeluarkan, dan tentu saja waktu yang harus disediakan mungkin saja membuat banyak orang berpikir dua kali untuk hangout apalagi untuk sekedar berbincang-bincang. Kesibukan di kantor atau di tempat usaha dari pagi sampai sore sudah menguras pikiran dan segala usaha yang harus dikeluarkan untuk bersilaturahmi offline menjadi beban bagi mereka. Belum lagi anak dan istri yang menanti di rumah, membuat sebagian orang tidak ingin lagi “membuang waktu” di luar dan ingin cepat-cepat sampai rumah.

“Do, kapan ke Jakarta kabarin aja. Kita ngopi-ngopi ya” Japri ku ke teman yang membalasku tadi. “Siapa tahu ada peluang baru” pikirku. Silaturahmi offline terakhirku memberiku tambahan beberapa rupiah di pemasukan bulananku padahal hanya modal waktu dan mendengarkan keluh kesah temanku, pergi dijemput, makan dibayarin. Hihihihi, siapa tahu bisa berulang, hayalku.