Merebut Hidup

Suasana sekitar stasiun kereta saat itu agak temaram. Matahari masih enggan menampakkan diri ke bumi. Dingin menyelimuti pagi hari yang sibuk di kota Depok. Banyak orang bergegas mengejar kereta di pagi hari.
   Suara pedagang sayur yang berteriak menjajakan dagangannya bersahutan dengan suara pengumuman posisi kereta. Ditambah suara nyanyian dari speaker orang yang meminta sumbangan menambah keriuhan pagi di stasiun kereta pagi ini.
                Sekelompok orang sedang berdiskusi di jalanan menuju ke peron stasiun. Sepertinya sedang ada konferensi yang akan membahas masalah penting diantara mereka.
     "Mak Konah, kenapa sekarang Emak males banget keliling. Pemasukan sedikit sekali," ujar seorang lelaki yang sepertinya pimpinan dalam pertemuan itu.
     "Yah, gimana nggak kurang jang Kemod. Si Sayem ngerebut lahan saya," ujar Konah dengan lesu sambil mengusap wajahnya dengan kain yang dipegangnya.
     Penampilan Konah sangat khas. Berpakaian kebaya dan kain lusuh. Konah menggunakan dua macam selendang. Selendang pertama untuk menutupi kepalanya, sedangkan selendang yang kedua untuk menggendong mangkok dari bahan kaleng dengan posisi menyamping.
“Kadang juga, kaki Emak sakit kalau sudah jalan jauh,” sambung Konah.
“Emak Konah banyak alasan ah. Kemod nggak mau tahu, situ harus dapet lebih dari biasanya. Nggak tahu gimana caranya pokoknya setoran harus naik. Paling kurang nggak beda ama setoran sebelumnya. Kalau masih kurang, Kemod pulangin Mak Konah ke kampung!” Kemod mengultimatum Mak Konah.
“Kasih keringanan dikitlah, Jang,” Konah berusaha menawar.
“Nggak ada!” balas Kemod dengan suara keras.
“Yang lain, jangan seperti Mak Konah ya. Jangan  malas. Jangan sampai tempat mangkal direbut orang lain!” ujar Kemod kepada peserta konferensi lainnya.
“Siap!” jawab peserta konferensi lainnya.
“Sekarang kalian semua gerak cepat, biar nggak keduluan kelompok lain!” Semua peserta bangkit dari duduknya meninggalkan Kemod.
Konah perlahan bangkit. Dengan tertatih-tatih, Konah berjalan ke arah yang berlawanan dengan anggota kelompok yang lain. Dengan memasang muka memelas Konah mulai menjalankan tugasnya dengan harapan hari ini dia akan mendapatkan hasil yang banyak.
Beberapa orang yang melintas di depannya melemparkan koin kedalam mangkok kaleng yang disimpan didepan Konah duduk. Banyak punya orang yang berlalu tergesa-gesa tanpa menoleh ke arah Konah duduk.
Satu demi satu , Konah kumpulkan koin yang dilemparkan ke mangkuknya. Konah memasukkan koin-koin itu kedalam plastik yang selalu diikat di ujung selendangnya. Kadangkala ada juga orang yang bermurah hati memberinya uang kertas.
Kalau lagi untung, penghasilan Konah sehari lumayan banyak juga, walau setengahnya harus dibaginya dengan Kemod dengan dalih uang keamanan. Padahal tak pernah sekalipun Konah merasa dilindungi oleh Kemod ketika harus berkonflik dengan orang lain.
“Heh, minggat dari sini!” terdengar suara Sayem sambil menendang mangkuk kaleng milik Konah.
“Kurang ajar, kamu. Ini kan tempat Saya. Ngapain Kamu ngusir Saya?” Konah berdiri dari duduknya dan bertolak pinggang di hadapan Sayem.
“Berani ya Kamu sama Saya,” mata Sayem melotot ke arah Konah.
“Saya nggak takut sama orang yang suka merebut lapak orang lain,” Konah lantang menantang Sayem.
Sayem menarik selendang yang menutupi kepala Konah. Konah pun membalasnya, sehingga terjadilah perkelahian antara Sayem dan Konah. Dalam waktu singkat teman-teman dari yang berkelahi berkerumun dan memberi semangat kepada kedua orang tersebut. Orang-orang yang lalu lalang di sekitar stasiun hanya menoleh sebentar, kemudian kembali bergegas menuju stasiun kereta.
******
    Di sudut stasiun yang lain, seperti biasanya pagi ini, bergegas menuju stasiun kereta untuk mengejar kereta balik yang berangkat dari stasiun Depok jurusan Jakarta Kota.
Kaki Hani lincah setengah berlari di jalanan yang dipenuhi mobil yang diparkirkan pemiliknya di jalanan. Para pedagang kaki lima tidak memberi ruang kepada Hani untuk menggunakan haknya berjalan di trotoar. Walaupun mereka belum membuka lapaknya, gerobak-gerobak mereka parkir dengan tenang memenuhi sepanjang trotoar di depan stasiun.
     Hanya gerutu dalam hati yang bisa Hani lakukan setiap hari melewati jalan di sekitar stasiun kereta. Hani malas berdemo menuntut haknya sebagai pejalan kaki.
     Langkah Hani terhenti melihat dua orang nenek berkelahi dengan hebatnya. Selain saling jambak rambut, kedua nenek itu saling berbalas kata umpatan.
“Pak, dipisahkan dong!” ujar Hani kepada seorang Bapak yang sedang menonton perkelahian itu.
“Biarin aja, neng. Nanti juga berhenti sendiri, hehehe,” jawab Bapak tersebut sekenanya.
Hani panik dan berlari menuju Satpam yang berjaga diluar peron.
                “Tolong, pak. Ada nenek-nenek berkelahi,”
   Tanggapan Satpam diluar dugaan Hani.
“Sudah biasa, Mbak. Mereka sedang berebut penghidupan. Biarin aja. Ada ketuanya masing-masing kok” ujar pak Satpam sambil tersenyum.
     Hani hanya terdiam dan berlalu dari hadapan Satpam dengan perasaan bingung.
     "Hidup terkadang penuh dengan kejutan," hanya kalimat itu yang bisa Hani katakan dengan pelan sambil terus melangkahkan kakinya menuju peron.

Stasiun Depok Baru, 3 Januari 2018

10 komentar:

  1. Terima kasih Nana sudah mampir...

    BalasHapus
  2. Ada 'cerita' di dalam cerita ... unik tulisannya Ibu Rini 🙂 Jadi penasaran sama hubungannya

    BalasHapus
  3. Silakan dipikirkan hubungannya
    Thanks ya sudah mampir

    BalasHapus
  4. selesai baca, perasaan jadi campur aduk, hatur nuhun Bu Rini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Campur aduk antara rasa apa dengan apa? hehehe...Terima kasih ya sudah mampir

      Hapus
  5. Balasan
    1. Rasanya tersanjung membaca komentar mas Rully...terima kasih sudah mampir

      Hapus