Karena Satu Ampulnya Begitu Berharga

Pertama kali saya mendengar kata donor darah saat tingkat dua kuliah di STAN. Waktu itu, idealisme sebagai mahasiswa sedang tinggi-tingginya. Kayaknya, keren bangettt nih bisa memberi sesuatu buat kemanusiaan. Walaupun membayangkan jarum akan masuk lamaaaa menembus kulit dan pembuluh darah, lalu darah itu mengalir keluar dari tubuh, sempat membuat lemas sekaligus cemas. Apa gue ga bakal pingsann yaa?

Alhamdulillah, pengalaman pertama (dan ternyata jadi pengalaman terakhir donor di kampus) ga bikin paranoid. Proses pengambilan darah lancar jaya. Sang jarum tidak perlu ditusuk, tapi dicabut lagi, untuk kemudian ditusuk lagi di tempat berbeda, demi mencari pembuluh darah yang bisa lancar mengalirkan darah.

Setelah bekerja, kadang-kadang motivasi donor lebih materialistis. Supaya dapat sarapan gratis lah, suvenir unik lah, atau koleksi penghargaan 10 kali donor, 20 x donor, dst. Anehnya, ketika niat saya bener-bener ingin sarapan gratis atau suvenir, adaaaaa saja halangan sehingga ga jadi donor. Tiba-tiba ketika pemeriksaan Hb, ternyata di bawah ambang batas. Jadinya ga boleh donor kan. Atau, Hb mepfett lolos lewat ambang batas, ternyata tekanan darah terlalu rendah, ga jadi seneng-seneng deh pamer suvenir.

Cita-cita dapat piagam 10 x pun selalu pupus dalam waktu hampir 2 dasawarsa, iya ... 19 tahun. Setelah tercatat dalam kartu sekitar 5 kali donor, tiba-tiba kecopetan, sang kartu turut hilang: 2 kali seperti ini, sebelum PMI mengotomasi sistemnya. Selanjutnya, karena hamil, menyusui, hamil lagi, menyusui lagi, atau jadwal donor di kantor berbenturan dengan periode bulanan perempuan.

Ketika benar-benar vakum mendonor hampir 5 tahun, saya justru baru terusik untuk mencari tahu bagaimana sih hukumnya secara agama kalau darah yang saya sumbangkan masuk ke dalam metabolisme tubuh orang lain. Apa mereka menjadi mahram saya, yang berarti juga bagi anak-anak saya? Alhamdulillah, dengan mengandalkan mbah Google, saya dapat beberapa referensi yang meyakinkan saya, bahwa sebagai pendonor, saya tidak melanggar ketentuan agama, sepanjang tidak membahayakan diri saya. Pun, darah yang didonasikan tidak menyebabkan pendonor jadi mahram bagi penerima. Referensi lengkapnya bisa dilihat, antara lain, di pranala berikut yaa:

https://konsultasisyariah.com/5741-donor-darah.html
https://almanhaj.or.id/2199-kondisi-yang-memperbolehkan-transfusi-darah-hukum-donor-darah.html

Dalam periode bisa-dan-tidak bisa yang tak beraturan itu, sedih juga kalau dapat informasi dari mulai zaman pesan pendek, mailing list (dulu ga ada grup wa), Fb, sampai tiba era nya telegram & whatsap: butuh donor segera, namanya x, golongan darah A, persediaan di PMI habis, yang bersangkutan kecelakaan dalam kondisi kritis. Padahal, zaman belum marak medsos, golongan darah saya, katanya, bisa menyumbang ke semua pemilik golongan darah. Saya jadi membayangkan, bagaimana kalau saya atau salah seorang keluarga dalam kondisi kritis itu, tapi darah tidak tersedia?

Akhirnya, saya menyiasati halangan donor tersebut. Kalau jadwal donor di kantor bersamaan dengan periode bulanan, saya menyingkirkan kemalasan dan, dengan sedikit usaha, pergi ke kantor PMI seminggu setelah haid selesai. Untuk mengatasi Hb dan tekanan darah, saya ikut tips dari om Rumah Kaca untuk minum susu di pagi hari sebelum donor. Tips ini saya tambah dengan makan hati ayam di tukang bubur nasi. Mumpung masih tergolong orang yang boleh donor, karena ternyata ga semua orang boleh mendonor.

Dengan siasat ini, alhamdulillah lama kelamaan kartu donor saya kembali terisi secara beraturan. Kalau sekarang sihh, motivasi saya donor lebih karena mengharap pertolongan ketika suatu saat saya atau keluarga membutuhkan. Na'udzubillah, kalau boleh meminta, jangan sampai mengalami keadaan darurat. Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya, apa yang saya tanam sekarang, bisa dituai kemudian hari. Meski bukan untuk saya, bisa jadi untuk suami, anak, cucu, bahkan cucunya cucu saya. Karena satu tetesnya, ehhh satu ampul dinggg, darah begitu berharga buat kehidupan. Iya engga sih? 🌾






2 komentar:

  1. Bahagianya bisa berbagi. Semoga bisa terus masuk dalam golongan orang orang yang boleh mendonorkan darahnya...
    Saya sudah termasuk dalam golongan orang yang tidak boleh mendonorkan darah :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. tenang Mas, jalan kebaikan lain masih terbuka dimana-mana. Tidak boleh mendonorkan darah juga sesuatu yang harus disyukuri, karena berarti Mas hayoo sudah menjaga kesehatan orang lain.

      Hapus