Sekolah Tanpa Sekolah

tampilan iBooks (foto pribadi)


Sewaktu memutuskan untuk membeli iPad pertama tahun 2011 lalu, pikiranku sederhana. Aku hanya ingin bisa melakukan banyak hal seperti yang diiklankan: menulis, menggambar, menyelesaikan pekerjaan kantor, mengirim pesan, mendengarkan musik, melihat film, dan terutama … belajar tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Ketika sistem operasi iOS masih merupakan sesuatu yang ‘eksotis’ bila dibandingkan dengan Windows, maka beberapa fitur yang diperkenalkan Apple hanya bisa dimengerti dengan menggunakannya sendiri. Itulah satu-satunya alasanku membuka aplikasi kartu kredit, dan menutupnya kembali sewaktu cicilan iPad-ku lunas. Beberapa istilah yang membuatku penasaran itu antara lain: podcast, iTunes, iBooks, dan … iTunes U.

Ironisnya, istilah podcast pertama kali kutemukan karena menggunakan ponsel Nokia, bukan iPhone. Sampai sekarang pun, aku adalah penggemar setia Nokia … bahkan meski ia sudah bangkrut. Aku benar-benar percaya dengan kata-kata perpisahan yang diucapkan CEO Nokia sebelum menutup perusahaan ini dengan berlinang air mata, “We did not do anything wrong, but somehow, we lost.” I really believe what he said, because I really experience how good Nokia is. But sometimes, and more often than not, business is where dog eats dog. Plagiarisme, atau bentuk pelanggaran hak cipta lainnya … kadang bedanya sangat tipis dengan inovasi. Nokia tergilas pesaing-pesaing yang lebih cepat belajar darinya. 

Sebelum kita mengenal istilah Google Earth atau Siri, Nokia telah memberikan pengalaman untukku ‘menjelajah’ dunia dengan ponsel yang hanya berkapasitas 2G. Aku masih ingat nama aplikasi yang kugunakan saat itu: Here. Dengannya aku berjalan-jalan ke Finlandia (atau negara lainnya), dan menemukan nama beberapa restoran atau tempat wisata yang berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, seolah-olah kita benar-benar berada di sana. Unfortunately, “Here” is not here anymore.

Dengan Here dan podcast itulah, aku mulai belajar secara mandiri dengan bantuan teknologi informasi. Aku mulai mengerti, bahwa banyak orang ‘di luar sana’ yang rajin membuat semacam ‘siaran radio gratis’ dengan topik-topik yang spesifik. Ada yang mengajarkan cara memasak, mengulas resensi film, mengajarkan bahasa asing, dan banyak lagi. Di podcast itulah aku pertama kali belajar Bahasa Prancis secara aktif, sebelum akhirnya mendaftarkan diri secara serius ke CCF (Centre Culturel Francais) di Salemba (yang kini hanya tinggal bangunan kosong; katanya sih pindah ke Thamrin). Lumayan, aku lulus level A2 … meski sertifikatnya tidak sempat kuambil karena sudah terlanjur berangkat ke Swedia.

Tergila-gila dengan podcast bahasa, dan merasa capek juga bolak-balik mengunduh MP3-nya dari ponsel 2G ku yang lemot ke ke laptop mini-ku yang tidak kalah lemot … aku memutuskan untuk mencari tahu asal mula dari demam podcasting ini. Sebab aku percaya, semua yang terbaik biasanya ditemukan dari sumber asli atau yang pertama. Dalam hal podcast, pionirnya adalah iTunes. Aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak mengenai dia dan teman-temannya. Pertama, tentunya dengan berkenalan dengan perangkat Apple.

Apabila podcast bekerja seperti channel televisi atau siaran radio dengan bantuan internet, maka iTunes bekerja seperti toko kaset atau video virtual. Demi menghemat kuota internet, fitur iTunes jarang kugunakan selain untuk mengunduh film secara legal demi kelangsungan hidup pekerja seni.  Tapi aku mulai jatuh cinta kepada 2 teman lainnya, yaitu iBooks dan iTunes U. Mereka membuka wawasanku mengenai sesuatu yang dikenal dengan nama ‘pendidikan gratis.’

Layanan standar iBooks memberikan akses gratis ke berbagai literatur klasik, seperti novel “The Great Gatsby” karya F. Scott Fitzgerald atau kumpulan dongeng anak-anak karya Hans Christian Andersen. Teori filsafat klasik karya Plato, Socrates, dan kawan-kawan juga termasuk ke dalam rangkaian buku gratis yang disediakan iBooks dengan bantuan Project Gutenberg. Selama lebih dari 2 tahun, aku tidak tahu bahwa iBooks yang berbayar tidak tersedia di Indonesia. Hatiku senang sekaligus sedih ketika pertama kali mengetahui banyak buku berkualitas dan best seller bisa diunduh di ITunes dari luar perbatasan negara ini. Apakah ini karena kita terkenal dengan ‘pembajakan’? Mungkin ini saat yang tepat untuk introspeksi.

Adapun iTunes U (singkatan dari iTunes University) memperlihatkan ambisi yang jauh lebih besar lagi. Pada intinya, ia adalah semacam portal yang membuka akses ke beberapa materi kuliah yang disediakan secara gratis oleh universitas-universitas ternama. Sebut saja Yale, Harvard, Cambridge, Oxford, MIT, dan tentu saja Open University. Semakin banyak kampus yang memberikan akses bahan kuliahnya secara gratis (dan legal) ke masyarakat umum. Format iTunes U lebih kompleks dan lebih menarik daripada iBooks, sebab ia menggabungkan antara literatur, audio, dan kuliah ‘tatap muka’ (dengan bantuan arsip video). Satu-satunya hal yang tidak tersedia di sini adalah ijazah. Jadi, inilah kesempatan bagi mereka yang ingin mencari ilmu dan bukan ijazah.

tampilan iUniversity (foto pribadi)


Beberapa institusi resmi yang mengelola data kuantitatif juga mulai mengembangkan aplikasi seluler untuk bisa digunakan oleh masyarakat umum, contoh: NASA dengan aplikasi SkyView yang memonitor pergerakan seluruh satelit (militer maupun komersil) beserta benda-benda langit lainnya; WorldBank dengan aplikasi Spatial Agent yang memberikan data mengenai polusi, kependudukan, dan ekonomi; atau Red Cross (US) dengan aplikasi Earthquake untuk deteksi dini mengenai gempa bumi dan tsunami.

Sebelum pembaca mulai berpikir tulisan ini lebih mirip iklan daripada artikel, marilah kita beranjak ke platform pendidikan gratis lainnya. Di sini kita bisa berkenalan dengan Khan Academy, Coursera, dan Memrise. Semua situs yang bertebaran di dunia maya ini mengelola kontennya secara mandiri dan terbuka. Analoginya mungkin bisa diserupakan dengan sistem open source. Semua bisa belajar dan semua bisa berkontribusi. Demi menjaga mutunya, mereka juga mempunyai pekerja tetap atau tim khusus yang berfungsi sebagai kurator dan teknisi.

Dengan segala fenomena ini, mungkin kita tengah beralih dari era kompetisi ketat (Red Ocean) menuju era kolaborasi dan kerja sama (Blue Ocean). Meski kalimat terakhir tadi lebih sering diterapkan dalam dunia bisnis daripada dunia pendidikan, perlu diakui juga bahwa mahalnya biaya sekolah saat ini membuka mata kita untuk mempertimbangkan alternatif pendidikan lainnya yang lebih bersahabat dan termutakhir.

Jadi, tunggu apa lagi? Temukan minatmu dan mari kita mulai belajar … tentang apa saja. Di mana saja.

Tautan:

5 komentar: