"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"


Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada, meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti. Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil. Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah, tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar, buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah. Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja, jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi jangan mencuri karena nanti kau jadi terbiasa”. Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga, amplop dari mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya. Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”, terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah, istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya. Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa, berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.

Jakarta, 14012020
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buku "kerDJA, 46 kisah inspiratif membangun negeri", DJA@2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar