LELAKI YANG MALANG (2)

 

Setelah sebulan aku dan suamiku sembuh dari penyakit sejuta umat, kami berdua akhirnya memiliki kesempatan untuk mengunjungi Usman di kampung. Damar, suamiku, ingin memastikan kondisi Usman.

Aku hanya berdiri di depan pintu rumah sederhana milik ibunya Usman. Rupanya setelah keluar dari rumah sakit, Usman dibawa ke rumah ibunya yang tinggal sendiri. Ia seolah sudah tak punya lagi mempunyai keluarga setelah bercerai dengan isterinya beberapa tahun yang lalu.

Tercium olehku bau pesing dari dalam rumah itu. Kudengar juga dari saudaranya bahwa Usman sering membuka pampers-nya dan buang air kecil di atas kasur. Mungkin Usman juga tak sadar apa yang dilakukannya.

Usman duduk di atas kasur yang digelar di lantai. Tenggorokanku tercekat melihat kondisi Usman. Mukanya pucat bak mayat. Matanya cekung dan pandangannya kosong. Ia tak memiliki daya untuk sekedar menopang tubuhnya yang kurus kering. Berbeda dengan Usman yang kulihat beberapa bulan sebelumnya.

Kulihat Bulek Tansah, ibunya Usman, tertatih-tatih menyambut kami. Tak bisa kubayangkan bagaimana repotnya seorang ibu yang sudah renta harus mengurusi anaknya yang sakit. Penyakit Bulek Tansah pun sebenarnya tergolong berat tapi ia tetap bersemangat merawat anaknya. Untungnya saudara-saudara kandung Usman tinggal berdekatan dengannya, sehingga mereka bisa bergiliran menjaga Usman.

“Man, apa kabar?”

Damar duduk di depan pintu. Badannya membelakangi Usman. Sepertinya ia tak tega melihat kondisi Usman yang mengenaskan.

“Ya aku begini, Mas. Aku bingung sakit apa. Aku nggak bisa nelen makanan. Setiap mau makan aku selalu muntah. Makanku hanya susu kambing dan air tajin saja ….”

Kudengar suara Usman parau. Rupanya sakit juga merubah suaranya.

“Ya harus makan, Man. Satu-satunya cara untuk sembuh ya makan,”ujar Damar.

Kudengar Usman membalas dengan penjelasan panjang dan lebar. Rupanya kecerewetannya tidak berkurang walaupun ia sakit. Itu yang patut disyukuri. Satu kebiasaannya yang berkurang adalah tertawa. Usman selalu tertawa setiap kali menyelesaikan kalimatnya. Aku sangat tidak menyukai bunyi tertawanya. Aku sempat berpikir bahwa ada syaraf tertawa di otaknya yang bocor sehingga Usman tidak bisa menahan untuk tidak tertawa di setiap kalimat yang diucapkannya.

“Ini mending, Mas. Udah bisa duduk. Tadinya nggak bisa. Udah bisa ngobrol juga. Tadinya sering bengong dan berhalusinasi. Segala hal yang tidak mungkin diucapkannya. Sering bicara nggak jelas juga. Mending ini nyambung diajak ngobrol,” terang Ima, adik perempuan Usman.

Aku kembali mendengar kembali keluhan Usman tentang kondisinya. Sepertinya memorinya pun terganggu karena Usman bercerita hal yang sama berulang-ulang.

“Dia sering memanggil nama anaknya yang bungsu, tapi tak pernah datang menjenguk bapaknya. Anak sulungnya sih sesekali datang menjenguk, itu pun nggak lama. Usman ini sepertinya juga depresi menahan rindu kepada anak-anaknya. Dokter juga meresepkan obat penenang,”sambung Ima.

Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Entahlah apa kesalahan Usman sehingga ia harus menjalani hidup di masa senjanya seperti ini. Tak memiliki apa pun selain penyakit dan kesulitan. Aku juga tak tahu apa yang terjadi selama sepuluh hari Usman terkurung sendiri di kamar kost-nya tanpa makan dan tak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara  untuk sekedar mengeluhkan sakitnya.

 

Akhirnya kami pamit. Kutitipkan sedikit uang kepada Ima untuk membeli makanan yang layak untuk Usman.

“Untuk saat ini kamu harus fokus dulu buat sembuh, Man. Setelah itu, kita pikirkan nanti saja,”pinta Damar.

“Iya, Mas.” Air mata sepertinya menggenang di mata Usman. Matanya menerawang  jauh. Mungkin ada hal yang sedang dipikirkannya.

 Kami berdua berjalan menjauhi rumah Bulek Tansah dalam hening. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Satu hal yang kuharapkan adalah Usman tidak putus asa dan tetap berusaha untuk pulih secara fisik dan mental. Semoga.

(Masih) Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar