Ikan Hiu di Tangkapan Nelayan

Konon, sekelompok nelayan Jepang mengangkut tangkapan mereka ke pasar untuk dijual. Tapi, pagi itu lebih banyak ikan yang tidak laku. Sang Kapten meminta salah seorang anggota kelompoknya untuk menyelidiki kenapa ikan-ikan itu tidak laku terjual.

“Lapor, Kapten. Saya sudah cukup mendapat informasi yang bisa dipercaya,” lapor Sang Anggota.

“Baik, apa itu?” Kapten menjawab tanpa basa-basi.

“Saya mencari informasi dari pedagang yang menjual ikan kita dan sekitar separuh konsumen di pasar ikan ini. Kata mereka, daging ikan tangkapan kita kurang segar, jadi kurang sedap dimakan.”

Kapten berfikir keras,”Mmm … begitu kah? … mungkin karena kita bawa ikan-ikan itu ke darat hanya ditimbun es agar tidak membusuk saja. Tapi, mereka sudah mati. Kamu ada ide apa?”

“Ahh, jika begitu, tempat penampungan yang biasa kita pakai, diberi air saja Kapten. Supaya ikan-ikan tangkapan kita tetap hidup sampai di darat.” Sang Anggota mengusulkan.

“Hmm… Patut dicoba”.

Malamnya, mereka kembali berlayar untuk menangkap ikan dengan perlengkapan yang dimodifikasi. Tempat penampungan yang biasanya diisi dengan timbunan es batu, kini diisi air laut. Ikan-ikan tangkapan mereka tetap hidup. Namanya juga usaha.

Keesokan paginya, ikan-ikan tangkapan mereka terjual lebih banyak dari hasil tangkapan kemarin, tapi tetap tidak habis. Kali ini, Kapten tidak meminta anggotanya untuk mencari tahu. ‘Besok mungkin makin baik,’ ia membatin.

Seperti kemarin, malam hari mereka kembali gigih menangkap ikan di laut. Setelah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan dan mereka hendak kembali pulang, tiba-tiba saja seekor ikan hiu terjebak jala mereka.

 “Awas, hati-hati. Kita pisahkan saja di geladak!” Teriak seorang anggota kapal, yang disetujui anggota yang lain.

“Tidak! Masukkan juga hiu ini ke kolam tangkapan kita. Jadikan satu dengan ikan-ikan hidup yang lain,” Kapten punya pendapat berbeda, dan tentu saja dipatuhi oleh anggota lainnya.

Kedatangan hiu di kolam tangkapan, tentu mengejutkan ikan-ikan yang pada awalnya berenang dengan tenang, nyaris tidak bergerak malahan. Mereka jadi sibuk berenang ke sana dan ke mari demi menghindari kejaran hiu ketika lapar. Gimana ya kalau jadi ikan-ikan itu? Lolos dari kejaran hiu pun, mereka akan berakhir di pelelangan ikan.

Tapi begitu lah legenda yang pernah saya dengar dari seorang kawan yang bernama BungA, sebut saja namanya begitu. Pada saat ikan-ikan itu hanya dimasukkan dalam penampungan yang berisi air laut, mereka berenang dengan tenang, merasa damai-damai saja, karena mungkin belum menyadari perubahan kondisi apa yang akan terjadi.

BungA menganalogikan keadaan ikan-ikan yang tenang berenang itu dengan suasana tempat dia bekerja dulu. Rasa aman, lingkungan nyaris homogen, menciptakan zona nyaman yang cenderung membuat kebanyakan kita, menurut BungA nih yaaa, terlihat kurang semangat bekerja, menyiapkan apa adanya, sering tidak fokus karena merasa ada kesempatan untuk memperbaiki besok atau lusa.

Dengan  kedatangan seekor hiu dalam legenda tersebut, menurut BungA, penutur awal legenda ini hendak menganalogikan suasana yang berbeda saat mereka memiliki Pimpinan yang sangat menuntut tapi ekspresif sekali dalam mengemukakan ketidakpuasan. Bahan rapat harus cepat, data harus akurat, informasi harus kredibel, siap dihubungi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan tampilan tayangan presentasi terlihat tidak ideal pun harus siap menuai kritik pedas.

Saat itu, meski rasanya di bawah tekanan, tapi semua orang terlihat sigap dan antisipatif. Setiap tingkatan manajemen sampai ke staf mawas diri dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut BungA lagi, suasana kerja justru lebih bergairah. Tambahan lagi, ikatan persaudaraan sesama mereka jadi lebih kuat karena semua merasa senasib sepenanggungan pernah kena imbas ekspresif sang Pimpinan.

Saya sih tidak sanggup membayangkan situasi kerja seperti yang disebut BungA sebagai bergairah. Pengalaman saya selama 15 tahun, lingkungan saya bekerja terlihat sigap-sigap saja walaupun karakter pimpinan kami sekalem permukaan air laut di pagi buta saat angin malas bertiup. Atasan langsung saya rajin menyiapkan alternatif karena Bos selalu memberi argumentasi sampai dia yakin solusi yang dipilih tepat. Pun, tidak selalu argumen Bos yang akhirnya jadi solusi. Data-data tetap disiapkan tanpa tambahan waktu lembur di kantor, apalagi di rumah. Dokumen yang harus ditanggapi atau diselesaikan tetap siap sesuai jadwal. Kenapa ya? Karena keteladanan kah? Rasa keterlibatan kah?

Oh iya, ikan-ikan yang berhasil dijual kelompok nelayan di awal cerita, kata BungA, jumlahnya jadi lebih sedikit setelah kedatangan hiu. Tapi harganya bisa lebih mahal karena lebih banyak konsumen yang berminat membeli. Daging ikannya jauh lebih segar, kenyal, dan lezat, katanya. Bisa jadi, ikan yang berhasil tetap selamat, adalah ikan-ikan yang paling lincah bergerak menghindar kejaran hiu 🤔. 🌾

Kisah Iteung, Episode Tester Roti

Iteung mah selalu betah kalau berada di mal. Adem banget. Kalau boleh sih mau bawa kasur dan bantal biar dibolehin tidur di mal. Soalnya di rumah nggak punya pendingin ruangan. Cuma punya kipas angin. Itupun baru nyala kalau udah ditepuk-tepuk bagian atasnya sambil dibacain mantra biar nyala. Anginnya pun bercampur sama debu. Iteung males nyuci kipas angin.

Cuma pak Satpam udah melotot duluan waktu Iteung bawa  tenda dan perlengkapan tidur. Padahal cuma semalam Iteung pengen ngerasain tidur di mal yang dingin. Baiklah, Iteung nurut aja deh, daripada pak Satpamnya stress ngadepin Iteung.

Keliling mal rasanya nggak afdol kalo Iteung nggak beli makanan. Buat pencitraan aja kalau udah jalan-jalan di mal. Mau pamer sama ceu Kokom, tetangga sebelah kalau Iteung sudah seperti orang-orang kaya belanja di mal.

Kalau beli baju mah tetep di mang Ujang, tukang kredit dari daerah Singaparna. Jualan mang Ujang mah komplit. Dari mulai daster sampe panci ada. Bisa dicicil sepuluh kali, sehari boleh tiga kali cicilan.

Keluhan mang Ujang adalah, para customer itu kalau mau ambil barang semua muncul didepan rumah. Giliran bayar pada ngumpet, bahkan pura-pura lagi pergi. Kenapa Iteung ngelantur ya?

Di depan toko roti Iteung berhenti sambil celingak celinguk.
"Masuk aja Bunda!" ujar seorang perempuan dengan rok pendek dan celemek putih.
Iteung senyum aja, agak bingung baca nama toko yang susah dibaca dengan lidah Iteung yang terbiasa makan singkong.
"Ada testernya kok, Bunda," sambungnya lagi.
Mendengar kata "tester", alam bawah sadar Iteung langsung bereaksi. Pikiran Iteung menuntun raga memasuki toko roti itu.

"Ini lho, roti isi kacang merah. Paling favorit disini. Coba aja dulu!" si mbak meyakinkan Iteung.
"Biasanya kalau di kampung mah dibikin sayur lho, mbak," ujar Iteung.
Si mbak cuma diam, mungkin kesal juga, ada orang kok noraknya nggak ketulungan.
Iteung nyobain potongan kecil roti. Satu potong belum berasa enaknya. Potongan kedua mulai kerasa kacang merahnya, potongan ketiga baru pas rasanya.
"Iya mbak, enak rotinya," suara Iteung keluar nggak jelas karena mulut masih penuh roti.
"Mau ambil berapa, Bunda?" si Mbak minta kepastian Iteung. Sepertinya Mbaknya pengalaman digantungin sama cowok deh.
"Sebentar...." Iteung melangkah ke sisi sebaliknya.
"Ini rasa apa, Mbak?"
"Rasa orange, Bunda," si Mbak masih sabar.
Iteung ambil tiga potong kecil roti. Rasanya memang enak. Wajah si Mbak mulai prihatin ngelihat Iteung.
Iteung muter lagi nyari roti rasa yang lain. Semuanya enak.
"Kalau ini rasa apa, Mbak?" ini potongan terakhir yang akan Iteung cobain.
"Itu rasa kesal yang tertinggal di hati ," ujar si Mbak sambil cemberut.
"Jangan cemberut Mbak, nanti susah dapet jodoh."
Muka si Mbak tambah serem. Alisnya naik. Baki yang dipegang diayun-ayun.
"Ibu mau beli yang mana?"
"Nggak jadi Mbak. Saya udah kenyang," Iteung tutup wajah pake tas takutnya baki mendarat di kepala Iteung.
Si mbak udah nggak tahan lagi sama Iteung. Iteung digiring keluar dari toko roti.

"Pertanyaan terakhir Mbak. Ada tester minuman nggak?"
Si Mbak menangis keras di pojokan mal sambil garuk-garuk tembok.

Jakarta, 12 Mei 2017



CURCOL SI AKI (Episode I : Hari yang Mengejutkan...)


“Wuaahh...akhirnya selesai juga,” aku menatap tumpukan Kertas Kerja RKA-KL beserta data dukungnya yang telah kutandai bagian-bagian yang memerlukan perbaikan. Juga telah kusiapkan resume perbaikan yang harus dilkaukan. Ini adalah satker terkahir yang belum kuselesaikan. The last but not the least...paling akhir tapi petugas-petugasnya yang paling susah mengerti kalau dijelaskan dan besok adalah batas terakhir penelaahan. Mas Ridho teman sebelahku hanya melirik sambil tersenyum, “Wah, udah siap karnaval nih RKA-KL-nya.”
Mas Ridho sering meledek aku karena kebiasaanku memasang kertas sign it berwarna warni pada bagian-bagian dokumen yang memerlukan perbaikan.

Waktu sudah mendekati pukul 17.00 dan meja segera kubereskan agar tak ber”berkas” lagi. Aku memang lebih suka pulang tepat waktu daripada menunda pekerjaan dan menyelesaikan setelah jam kerja alias lembur. Tiba-tiba perasaanku tidak enak, terasa ada yang memperhatikanku dari sisi sebelah kiri. Kupalingkan wajahku ke kiri dan...benar saja  !! Seraut wajah yang terlihat kusut menatapku dari ruang kaca di sebelah kiri lalu melambaikan tangannya.

“Arrgghhh.. bakalan gagal pulang nih,” kataku dalam hati. Kasubditku tercinta ini memang punya hobi yang agak unik. Beliau suka mengajakku diskusi tentang apa saja menjelang jam pulang, khususnya kalau di mejanya sudah tidak ada lagi konsep nota yang harus diperiksa atau surat masuk yang harus didisposisi. Biasanya aku terselamatkan oleh adzan Maghrib. Beruntunglah aku tinggal di Indonesia tercinta yang adzan maghribnya berkumandang dengan indahnya di kisaran pk.18.00. Tak bisa kubayangkan kalau aku tinggal di Azerbaijan atau Usbekhistan atau negara lain yang waktu sholat maghribnya pada waktu-waktu tertentu baru masuk sekitar jam sembilan malam. Kalau itu terjadi bisa-bisa aku pulang hampir tengah malam.

“Siap Pak, apa yang harus saya kerjakan,” ujarku sambil duduk dihadapannya. 
Hal yang sama yang selalu kukatakan setiap ada panggilan diskusi menjelang petang.  Pak Rusdi hanya menyodorkan selembar surat dan perintahnya singkat, “Baca!”
Kuambil surat tersebut, mataku terbelalak membaca kop surat tersebut. Sebuah surat panggilan permintaan keterangan alias pemeriksaan dari institusi penegak hukum untuk besok pagi !!
“Panggilannya ditujukan kepada Pak Dirjen, hanya Beliau tidak bisa hadir karena masih berada di luar kota. Barusan Pak Direktur minta saya mewakili karena besok Beliau ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan,” kata Pak Rusdi menjelaskan.
“ Kasus ini mengenai beberapa kegiatan fiktif yang kejadiannya sekitar 8 tahun yang lalu,” lanjutnya lagi.
“Waktu kejadian itu bahkan saya belum bertugas di sini. Mungkin kamu juga masih baru waktu itu. Coba kamu catat dokumen-dokumen yang perlu saya bawa besok pagi dan tolong kamu siapkan malam ini juga,” kemudian Beliau mendiktekan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Panggilan sore ini begitu singkat tetapi berdampak sistemik. Kalau biasanya selesai saat waktu sholat Maghrib dan setelah sholat aku bisa pulang, kali ini pertemuan tidak sampai 10 menit tetapi bisa dipastikan untuk menyelesaikan arahan Beliau butuh waktu cukup lama. Untung saja setiap dokumen selalu aku “scan” dan kubuat pertelaahan agar mudah mencarinya. Juga untuk regulasi-regulasi sudah kubuatkan dalam bentuk file pdf secara tematik berurutan dari tahun ke tahun. Hal ini sudah menjadi kebiasaan pada subdit kami  Alhamdulillah..seluruh dokumen yang diperlukan ada pada arsip digital subdit kami. Sekitar pukul 20.00 semua berkas telah aku copy dan aku letakkan di meja Pak Rusdi.
              
Keesokan paginya ketika aku sedang mempersiapkan rapat penelaahan RKA-KL tiba-tiba terdengar suara, “Ki, ke ruangan sebentar.”
Aku pun bergeas ke raungan Pak Rusdi. Lalu Beliau beranjak dari kursinya sambil berkata, “Ikut saya menghadap Direktur. Bawa itu sekalian !” katanya sambil menunjuk berkas yang telah ku-copy semalam. Aku pun mengikuti Beliau menuju ruang Direktur.
“Memang ini bagian dari tanggung jawab kita dalam membina K/L. Meskipun kita tidak terlibat di dalamnya tetapi secara moral kita tetap bertanggng jawab atas apa yangterjadi di K/L. Dalam melkaukan pembinaan kepada K/L sebaiknya kita tidak hanya memberikan pengertian mengenai sistem penganggaran tetapi juga mengingatkan mereka untuk tidak melakukan pelanggaran. Bisa juga kita kasih contoh kasus-kasus yang pernah terjadi supaya mereka sadar apa akibatnya kalau melakukan pelanggaran. Urusannya bukan hanya dengan auditor tetapi juga dengan penegak hukum. Tidak apa-apa, ini akan jadi pengalaman baru untuk kamu Ki,” kata Direkturku sambil tersenyum menatapku. Aku agak terkejut mendengar perkataan Direkturku tadi. Keterkejutanku pertama, karena ternyata beliau tahu namaku. Aku kira aku tidak dikenal atau bahkan namaku sudah terlupakan karena selama sembilan tahun bekerja aku belum pernah dimutasi sementara teman-temanku yang lain telah mengalami tour of duty, bahkan ada yang telah mengalami 2 kali mutasi. Keterkejutanku yang kedua, karena Beliau menyampaikan arahannya kepadaku bukan kepada Pak Rusdi. Sambil masih agak terkejut disertai sedikit kebingungan juga, aku kembali mendengarkan arahan Direkturku mengenai beberapa hal yang diperhatikan ketika menjawab pertanyaan penegak hukum. Disamping itu Beliau juga menceritakan pengalaman-penaglaman Beliau ketika diperiksa pengeak hukum baik sebagai saksi kejadian maupun saksi ahli.   

Selesai mendapat arahan Direktur aku dan Pak Rusdi kembali ke ruangan dan Beliau meminta aku dan Mas Antok, kepala seksiku, untuk bersiap-siap mendampingi Beliau. Aku masih sedikit bingung, bukan karena harus mendampingi dalam pemberian keterangan / pemeriksaan, tetapi lebih karena hari ini adalah batas akhir penelaahan, sedangkan masih ada 1 satker yang belum kutelaah. Aku tidak berani menyampaikan hal tersebut kepada Pak Rusdi dan berharap Mas Antok yang akan melaporkan. Akan tetapi ternyata hal itupun tak dilaukannya. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku sambil berbisik,” Tenang Bro, biar urusan RKA-KL aku yang beresin. Asal jangan lupa contekannya ditinggal juga. Jangan dibawa!” bisik mas Ridho sambil tersenyum.
“Makasih Mas, gak enak nih jadi ngerepotin,” bisikku setengah mendesis.
“Santai aja, kamu kan juga sering bantuin aku kalau sedang banyak kerjaan. Kita ini satu tim, kita harus saling isi, saling tolong menolong. Nikmati aja perjalananmu,” katanya lagi sambil nyengir kuda.
Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Aku berjalan tergopoh-gopoh berjalan mengikuti Pak Rusdi dan Mas Antok sambil membawa berkas yang lumayan berat yang ku-copy semalam. Di lobby sudah menunggu Pak Arham dari bagian Kepatuhan Internal dan Bantuan Hukum yang bertugas mendampingi.
“Pakai mobil saya saja.” Kata Pak Rusdi.
Mengingat aku yang paling junior dan aku pula satu-satunya yang bukan pejabat struktural maka kutawarkan diriku untuk mengemudikan mobil Pak Rusdi. Lengkap sudah tugasku hari ini, angkut-angkut barang  lalu menjadi driver, setelah sebelumnya semalam menjadi tukang foto copy. Mungkin memang ini konsekuensi menjadi pegawai paling junior. (Bersambung)

dendam rindu

lelaki kecil dalam padang bulan
menerjang
menembus hujan.
malam ini dendam rindu harus segera terbalaskan
meski hanya melalui mimpi

Selamat Datang Duniaku

Pagi ini, seperti biasa aku lebih banyak duduk, melihat orang-orang yang tidak pernah kehilangan akal untuk melakukan apa saja. Kebanyakan mereka selalu menggerak-gerakkan mulutnya, lalu ada yang kemudian tersenyum, tertawa atau bahkan menangis. Entah apa yang terjadi ketika bibir mereka sangat sibuk dengan gerakan yang menurutku sama saja, sulit aku pahami maksudnya.

Sebagian dari mereka juga ada yang tidak melakukan apa-apa dengan mulutnya, diam, seperti aku di sini yang hanya bisa menyaksikan mereka dari jarak yang semuanya terasa seperti dari tempat yang jauh.

Beberapa tahun sebelum ini, aku merasa ada yang aneh tentang apa yang aku lihat setiap hari. Apa misteri di balik sesuatu yang nampak sama saja, sekali waktu bisa menimbulkan kemarahan yang luar biasa, tapi di waktu lain bisa berakibat berangkulannya orang-orang dalam suasana keceriaan. Ada perbedaan raut muka yang bisa dikatakan berlawanan, tapi anehnya penyebabnya sama saja, sejauh yang aku lihat.

Ketika air tumpah dari langit, orang-orang berlarian masuk ke rumah dan pada saat ada kilatan cahaya di langit, serta merta orang-orang menutup telinganya sambil memejamkan mata, seperti ada yang dihindari. Tapi aku tidak tahu apa itu.

Aku menjadi penonton satu-satunya dari orang-orang yang semuanya menjadi pemeran utama layaknya dalam sebuah film, tapi ini kejadiannya betul-betul terjadi di sekitarku.

Sekarang, aku sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini, tetapi bukan karena aku sudah tahu tentang misteri di balik mulut-mulut yang bergerak-gerak itu. Aku menyadari bahwa aku sudah pada sampai titik dimana aku tidak perlu mencari jawabannya. Menjalani saja sebagaimana yang aku lakukan setiap hari, seperti ini.

Satu hal yang terasa berat bagiku, aku tidak ditemani lagi oleh siapapun setelah ibu yang setiap hari setia mendampingiku tidak ada lagi.

Aku kangen pelukan hangatnya.

Aku masih teringat kala terakhir ibu memaksaku menirukan sesuatu seperti yang dilakukan dengan mulutnya. Dan aku merasa sudah melakukannya sama persis yang dilakukan ibu kepadaku. Tapi tetap saja aku lihat ada wajah kekecewaan di raut ibu. Aku sudah berusaha dan sudah merasa bisa, tapi apa yang aku lakukan ternyata berbeda menurut Ibu...

Sampai pada saat dimana aku tahu ibu tidak bisa menyembunyikan wajah kepasrahannya, tak lama dari itu aku lihat matanya yang berkaca-kaca dan ibu merangkulku dengan membawa getaran yang menggoncangkan tubuhku. Erat sekali pelukannya dan aku merasakan betul basahnya pundakku dari air mata ibu yang tak terbendungkan lagi. Selamat datang dunia yang selalu diam.

Kutukan Akuntansi


Ini adalah tulisan lama. Kurang lebih 7 tahun lalu, saat gue sedang mengambil program master di University of South Australia. Judul tulisan ini sebenarnya sudah lama ada di hati, tapi motivasi untuk menuliskannya semakin kuat ketika suatu saat gw ngobrol dengan temen dan dia nyeletuk “wah kutukan tuh !” begitu dia dia tau gue sekarang lagi kuliah dengan jurusan Akuntansi (lagi).

Mungkin ada benarnya. Pada saat SMA dulu gue jurusan A3 (ilmu-ilmu sosial), 2 tahun gue belajar Akuntansi sampe pada tahapan yang kalopun lagi tidur pules dibangunin trus ditanya jurnal gue langsung bisa jawab, ibaratnya ngigau aja debit kredit deh. Berlebihan? gak juga karena gue merasa memang harus begitu. Gue dulu sempet di "plot" untuk menjadi the first engineer in family, sehingga satu pertanyaan keras waktu gue milih masuk A3,(milih loh ye bukan dipilihin), dengan tegas gue jawab : "mau masuk STAN !"

Hahaha, mungkin itu jawaban bodoh. Tapi tahun 1992 perjuangan masuk STAN itu begitu berat, tesnya hanya ada di Jakarta, peserta yang ikut puluhan ribu dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan jatah sekolah gratis yang cuma sedikit itu, dengan iming-iming "kuliah digaji, lulus langsung kerja" hahaha.

Yah begitulah, singkat cerita, entah karena usaha entah nasib, gue kuliah juga di STAN. Gampang dong, kan gue dah jago Akuntansi? sekali lagi gue katawa hahaha. Entah kenapa gue jadi gak begitu doyan ama Akuntansi begitu di STAN, kerjaan gue cuma jogging muterin kampus jurangmangu, ama latihan Taekwondo trus sekali-sekali pacaran hehehe. Alhasil, 3 tahun kuliah di STAN, Akuntansi gue gak "ngelotok" juga.

Tahun 1998, merupakan kesempatan pertama angkatan gue ikut tes D-IV. D-IV ini merupakan jalur bergengsi (katanya) bagi lulusan STAN. Lulusannya banyak yang menjadi akuntan atau praktisi keuangan ternama. Yang bisa masuk D-IV pun rata-rata waktu D-III mempunyai prestasi dan nilai yang bagus. Waduh, bukan gue banget tuh, prestasi gue selama D-III kan cuma dapet perak kejuaraan Taekwondo antar Universitas se-DKI ama nonjokin preman kampung Sarmili, kagak nyambung sama sekali ama tes masuk DIV.

Mungkin saat itulah gue mulai "dikutuk". Posisi "underdog". Gak belajar, malah browsing internet sampe pagi di kamarnya Nanang (BPKP makasar waktu itu), gue pun ikut juga ujian masuk D-IV. Underdog man, karena di Makasar waktu itu ada Ni Ketut, Nanang, Octa, Acep, Eko, Hadad, dll yang semuanya dulu waktu wisuda DIII jauh didepan gue. Eh, malah untuk instansi DJA se-sulawesi cuma gue yang lulus. Mungkin ini juga hikmah karena dulu lagi panas-panasnya gue berantem ama kepala kantor (maafin gue ya pak Zain).

Sempet gak percaya tuh, kalo gue lulus. Sebulan di Jakarta aja tiap bangun tidur bengong dulu karena takut cuma mimpi bisa ninggalin daerah secepat itu. Sempet ada perasaan "wah gue mampu ternyata" dan sempet ada niat wisuda D-IV di depan Ni ketut hahaha. Temen-temen STAN 92 tentu tau gimana "saktinya" gadis Bali satu ini.

Tapi tekad tinggal tekad, saat D-IV kegiatan gak cuma jogging ama Taekwondo, tapi juga "ngasong" dan naek gunung hihihi. Tiap kali masuk kelas bilang "selamat pagi", dosennya bilang "selamat siang". Baru duduk 5 menit trus dosennya bilang "ya sampai jumpa minggu depan" parah betul L

Mudah-mudahan ini bukan bagian dari kufur nikmat. Begitu banyak temen yang betul-betul serius dan rajin kuliah yang akhirnya harus "drop out". Bahkan ada yang sempet bilang "being accountant is the most important thing in my life". Heh, maafin gue ya temen.

Oh ya, pada saat D-IV itu juga gue sudah berniat buat nerusin kuliah di luar negeri. Tapi kalo waktu itu gue bilang ke temen-temen takutnya nanti Bintaro Plaza sepi hahaha. Belagu mungkin, karena nyatanya kuliah D-IV gue juga pas-pasan. Artinya ya kalo yang lulus 300 orang, gue nomor 299, asal katut kata orang jawa. Biar yang lulus cuma satu asal kita, kata orang Bone. Tapi beneran kok, gue udah pengen kuliah di luar negeri itu dari sejak gue D-IV, tapi tentunya bukan Akuntansi hehehe. Makanya begitu lulus, jadi Akuntan, usaha nyari beasiswanya ya di bidang Marketing, HRM, Public Policy, dan sebagainya, pokoknya NO ACCOUNTING. Percaya atau tidak, bahkan saat sudah lulus tes pun, ada aja yang menghalangi gue buat ke luar negeri. Alhasil Kedubes Australia di Jakarta di bom. Loh apa hubungannya? Iya, kedubes Australia di bom hanya selang beberapa hari setelah gue di tolak ke Australia hahaha.

Akhirnya tahun 2008 gue dapet lagi beasiswa, kali ini dari Depkominfo. Sebenernya masih mau ngambil bidang non Akuntansi, lagi-lagi ditolak. Eh begitu gue pilih Akuntansi...sim salabim..semua lancar kayak jalan tol bekasi - jakarta jam 2 pagi hihihihi. Nah, I am a Master of Professional Accounting now. Hah, hebat kali rupanya. Iya, hebat L tapi gue kok ngerasa gue gak pinter-pinter Akuntansi. 2 tahun di SMA, 3 tahun D-III plus 2 tahun D-IV dan sekarang 1.5 tahun S2; total hampir 9 tahun gue belajar Akuntansi. Boro-boro sedang tidur dibangunin bisa jawab soal Akuntansi, sedang sadar-sesadarnya pun gue belum tentu bisa jawab J.

“Kutukan” ini tentulah bukan sesuatu yang buruk. Bahkan belakangan ini menyadarkan gue untuk bertanggung jawab terhadap “kutukan” tersebut. Perasaan terkurung dalam “kutukan” Akuntansi bagai Malin Kundang yang terkurung batu oleh kutukan ibu-nya pelan-pelan gue hilangkan. Meskipun keinginan untuk menjadi seseorang yang hebat dalam Akuntansi itu belum ada, namun pelan-pelan gue mulai belajar lagi Akuntansi, berani mengajar Akuntansi dan sudah mengurus gelar profesi Akuntan. Energi dan waktu yang gue habiskan sudah sedemikian banyak dan panjang, apapun itu tentunya harus dipertanggungjawabkan. Bahkan keberuntungan pun harus dipertanggungjawabkan.


Mungkin perlu ditambah 4 tahun lagi PhD Accounting ya untuk melepaskan diri dari “kutukan” Akuntansi ini #eeh

Cinta Tak Bertepi


Cinta tak bertepi
Bisu dalam kata, sepi dalam canda
Selaksa pengorbanan tlah terbukti
Terpatri dalam bilur kebahagiaan
Dalam naungan ridho Ilahi

Cinta tak bertepi
Terdiam dalam keabadian
Tertunduk dalam kuasa Ilahi
Menanti panggilan Sang Kholiq
Tuk menyatu kembali dalam surga-Nya


Teruntuk kedua orang tuaku yang cinta mereka tak pupus sampai Sang Khaliq memisahkan dan semoga menyatu kembali di surga-Nya nanti.

Edisi nyekar 09052017

Sang Penggoda



Seyummu adalah keranda emas jiwaku
Hanya memberi sunyi tak bertepi
Matamu adalah belati tak kenal kasih
Menikam hati putih tanpa peduli

Lalu kucoba kobarkan nyali
Nyalakan api di hati
Ternyata engkau matahari

Kutumpahkan air mata di jiwa
Engkau menjelma samudera

Bagimu semua, biasa..
Angin yang tak pernah merasa

E0102

RUMAH HARAPAN, Nestapa Aldo

"Wah...lo goblok deh! Awas deh mampus lo!" ujar seorang anak yang dari suaranya kukenal sepertinya Aldo.
"Awas lo, kalo macem-macem gua bunuh lo!" kembali Aldo berteriak.
Aku terperangah mendengar umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Aldo. Aldo masih berusia sepuluh tahun dan duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar.
Kuperhatikan memang Aldo sering mengeluarkan umpatan-umpatan kasar yang tak pantas. Namun, malam itu aku hanya ingin membimbing anak-anak belajar Bahasa Inggris saja. Aku belum kepikiran ngobrol dengan Aldo.

Suatu hari, aku ajak anakku, Aldo dan beberapa anggota kelompok belajar pergi ke Kebun Binatang. Niatku untuk sekali-kali membawa anak-anak jalan-jalan. Aku ingin mereka memiliki pengalaman yang tak akan terlupakan sampai mereka besar nanti.

Sepanjang perjalanan, anak-anak itu bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari sekolah, teman-teman mereka sampai soal olahraga. Sesekali kudengar umpatan Aldo apabila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"Ini lho tempat kerja emak gua," ujar Aldo tiba-tiba ketika kami melewati sebuah mal.
"Di sebelah mana?" tanyaku memancing.
"Itu lho Pak, di dekat lift. Emak saya jualan kosmetik," jawab Aldo.
"Kalau Bapak kamu kerja dimana, do?" aku melanjutkan.
"Bapak saya udah meninggal!" jawab Aldo datar.
Aku agak kaget. Puzzle yang selama ini memenuhi pikiranku tentang Aldo mulai terkumpul.
"Waktu itu kamu umur berapa?" aku kembali bertanya.
"Bapak saya yang pertama meninggal waktu saya berumur tiga tahun," jawab Aldo.
Perasaan heran memenuhi pikiranku. Kupandangi wajah Aldo yang memandang keluar jendela mobil. Aku tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Aldo.
"Terus?"
"Bapak saya yang kedua meninggal waktu saya berumur tujuh tahun," balas Aldo dengan muka yang tanpa ekspresi.
Hati saya menjerit mendengar penjelasan Aldo. Anak seumur Aldo sudah mengalami masalah yang berat. Kulihat pula anakku dan teman-temannya yang terdiam mendengar cerita Aldo. Aku tak sanggup membayangkan kalau masalah yang terjadi pada Aldo menimpa anakku.
"Sabar ya, do!" hanya itu yang bisa aku ucapkan.
"Nggak apa-apa pak. Jalanin aja," Aldo berbicara layaknya orang dewasa.
"Berat nian bebanmu, do," aku berbicara dalam hati.

Aku juga mendapati kenyataan, kalau Aldo dan ibunya tinggal di sebuah rumah besar milik majikan ibunya bersama banyak penghuni lain. Penghuni rumah itu dari berbagai macam karakter dan semuanya adalah orang dewasa.

Aku baru mengerti kenapa Aldo sering mengeluarkan kata yang tidak pantas. Aldo sering bergaul dengan orang-orang dewasa di rumahnya. Itu membentuk karakter Aldo menjadi seperti ini.

Dengan seringnya Aldo bermain dan belajar bersama teman-temannya di rumahku, aku yakin perlahan-lahan Aldo akan bersikap sesuai dengan usianya.

Harapanku, suatu saat Aldo akan menjadi anak yang hebat dengan kepribadian yang kuat.

Aku akan berusaha mewujudkan harapan itu.

Jakarta, 10 Mei 2017




Bunda

Terkenang belaian lembutmu tatkala kecil
Betapa sabar engkau mendidik kami

Terkenang senyuman hangatmu dikala santai
Betapa ramah dan bersahaja engkau mengasuh kami

Terkenang cerita seru saat kami kecil
Betapa bibir tipismu sangat lancar bercerita

Terkenang sosok tanpa pamrih bekerja demi keluarga
Betapa kuat energi yang engkau miliki

Jika kami boleh menghidupkan dan kembali ke masa lalu
Betapa kami ingin meminta maaf atas kekonyolan dan kebodohan saat itu

Perkenankan kami tetap mendoakan bunda yang telah tiada
Agar jiwa raga ini tetap kekal dan abadi di alam surgawi nanti



Reflkesi batin atas almarhum bunda
Sungguh berbuat berbaiklah saat beliau masih ada
Jakarta, 10 Mei 2017


Puisi ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Menanti Tram Bersama Teman Bersayap




"good morning, birdie" (foto pribadi)


Hari masih pagi,
udara terasa jernih dan sejuk
Kulihat ke kiri dan ke kanan
tiada seorang pun

Tapi ada dia,
diam-diam di sebelahku
Menganggukkan kepala,
mengibaskan sayapnya

“Hai,” sapaku,
dijawabnya dengan kedipan
Seolah ia pun ingin bertanya,
“Mengapa sepagi ini kamu di sini?”

“Ke mana semua orang?”
Mungkin … berkemul dalam selimut,
menyeduh kopi panas,
atau … menikmati setangkup roti bakar

Sang burung tetap bertengger
Sementara mataku tertuju ke dedaunan
yang melayang-layang tertiup angin
ada yang kuning, merah, dan jingga …
semua cantik

Pohon-pohon meranggas
Butir apel berjatuhan
Semua seperti terbuat dari emas …
awan, langit, dan rerumputan
sungai pun berkerlip-kerlip

Sayup-sayup di kejauhan
terdengar suara listrik dan besi bergesekan
seperti ketukan halus router wifi
yang sekali-sekali tertangkap gendang telingaku
di malam yang sunyi

Nun jauh di sana …
kelap-kelip kaca jendela tram
pantulkan sinar mentari,
menjelangku bagai kilat di pagi hari

Suara decitan rel menyentak keasyikan kawanku
ditolehkan kepalanya ke asal decitan itu …
dalam sekejap, sayapnya terkembang
ia pun menghilang di angkasa
sebelum kumelangkah masuk
ke dalam tram di pagi itu






Menjemput Cinta (Bagian Kedua)


Pagi itu suasana sekolah berlantai tiga yang berada dipinggir jalan raya terlihat ramai. Beberapa murid yang baru tiba segera masuk melalui gerbang utama. Disamping kanan terdapat sebuah lapangan olahraga yang cukup luas. Sekelompok murid terlihat sedang duduk santai di bawah pohon yang berada dipinggir lapangan sambil bercengkerama.
Mobil yang dikendarai Bram berhenti didepan gerbang utama sekolah. Beberapa detik kemudian Ratih membuka pintu mobil lalu pamit kepada kakaknya. Setelah memastikan adiknya masuk, Bram melanjutkan perjalanan menuju toko.
‘Toko Pakaian - Barokah, menyediakan Pakaian Muslim/Muslimah dan perlengkapan shalat’, demikian isi tulisan yang menempel pada sebuah Papan Nama di atas pintu toko. Pagi itu pelanggan mulai ramai berkunjung. Beberapa dari mereka membeli perlengkapan shalat maupun busana muslim. Bram turut melayani, sesekali ia yang mengambil barang permintaan pelanggan. Ditengah kesibukannya, tanpa ia sadari seorang wanita membuka pintu toko kemudian menyapa Bram.
Dialah Kinasih, seorang wanita berparas cantik dengan balutan busana muslimah yang terlihat fashionable. Kecantikannya membuat siapapun yang memandangnya merasakan keteduhan.
“Assalamu’alaykum, permisi mas, saya mau mencari jilbab dengan model seperti ini” tanya Kinasih sambil memperlihatkan gambar contoh jilbab yang sedang dicari.
“Wa’alaykumsalam, oh… ada Mba, mohon ditunggu” jawab Bram kemudian berjalan menuju lemari kaca disudut ruangan toko.
Ketika Bram sedang mengambil barang, salah satu pegawainya menyapa Kinasih. Rupanya ia sudah sangat mengenalnya. 
Beberapa saat kemudian…
“Ini koleksi jilbabnya, Mba, silahkan dipilih warna atau corak yang Mba inginkan?” ucap Bram kemudian sambil menyodorkan koleksi jilbab yang masih terbungkus rapih di dalam kantong plastik bening.
Setelah melihat satu persatu, Kinasih menetapkan pilihannya.
“Saya pilih yang ini saja, berapa harganya?” tanya Kinasih kemudian.
“tujuh puluh ribu, Mba” jawab Bram dengan senyum yang terlihat agak canggung.
“Baik, saya ambil tiga” ujar Kinasih sambil tersenyum.
Bram segera membungkus jilbab pilihan Kinasih lalu menyerahkannya.
Setelah memberikan sejumlah uang kepada Bram, Kinasih pamit.
“Terimakasih sudah bersedia berkunjung ke toko kami. Semoga pelayanan kami tidak mengecewakan” ucap Bram yang berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Mendengar ucapan Bram, Kinasih tersenyum kemudian segera balik badan menuju pintu. Bram yang sedari awal terlihat canggung hanya terdiam ditempat dimana dia berdiri, dan baru tersadar setelah salah satu  pegawai memanggilnya.
 Kehadiran Kinasih rupanya mengusik hati Bram. Entah kenapa jantungnya terasa berdebar. Bahkan hingga menjelang sore, pikirannya selalu tertuju pada sosok Kinasih. Bram berusaha mengusir perasaan itu, namun rasa itu terlalu kuat menancap di hatinya.
Menjelang sore, Bram pamit pada para pegawai untuk menjemput adiknya. Beberapa saat kemudian mobil yang dikendarai Bram meluncur menuju sekolah. Sesampainya di depan gerbang utama, Ratih sudah menunggu. Kemudian keduanya meluncur pulang.
Malam hari setelah shalat Isya berjama’ah di masjid, Bram pulang lalu pamit kepada Ibunya untuk masuk kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil menatap langit kamar. Sesekali ia terlihat tersenyum seperti ada sesuatu yang menggodanya. Beberapa menit kemudian ia mematikan lampur, berdoa lalu tertidur hingga waktu subuh menyapa.
Sejak Kinasih berkunjung ke toko beberapa hari yang lalu, kini Bram sering terlihat termenung. Sesekali tatapannya menuju ke arah pintu toko seperti sedang menantikan kehadiran seseorang. Tanpa ia sadari, salah satu pegawainya yang senior perlahan mengamati perubahan perilaku Bram. Kemudian si pegawai memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Bram, mohon maaf sebelumnya, boleh saya izin bertanya sesuatu?”
“Oh… silahkan, Mas” jawab bram sedikit terkejut.
“Akhir-akhir ini, Pak Bram saya perhatikan sering termenung. Apakah ada sesuatu yang menggangu pikiran Pak Bram?”
“Oh… Alhamdulillaah ndak, Mas,  semua berjalan normal seperti biasa” jawab Bram sambil tersenyum meyakinkan karyawannya.
“Syukurlah, saya hanya khawatir kalau Pak Bram sedang dalam masalah”
“Terimakasih atas perhatiannya, kamu memang karyawan saya yang baik” ujar Bram memuji.
“Kalau gitu, saya izin melanjutkan pekerjaan Pak!”
“Ya… ya… silahkan, saya juga mau keluar toko sebentar, mau menanyakan pesanan gamis di toko Bahagia”  kata Bram sambil berjalan menuju pintu toko.
Namun, ketika Bram hendak membuka pintu toko, tanpa ia sadari Kinasih sudah berdiri dibalik pintu sehingga Bram hampir menubruknya.
“Astaghfirullaah, maaf Mba, maaf… saya ndak melihat ada mba dibalik pintu” ucap Bram penuh penyesalan.
“Ndak apa, Mas, saya yang salah, harusnya saya menunggu Mas keluar dahulu” jawab Kinasih sambil tersenyum menahan tawa.
“Silahkan masuk, Mba. Ada pegawai saya yang akan melayani. Saya keluar dulu mengambil barang pesanan” ucap Bram dengan rasa malu yang disembunyikan.
“Terimakasih, Mas, silahkan” jawab Kinasih kemudian.
Kunjungan Kinasih di toko untuk yang kedua kali membuat Bram semakin salah tingkah. Jantungnya kembali berdebar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Jika saat itu ada orang yang memperhatikan wajah Bram, maka ia akan menemukan adanya perubahan warna kulit di wajahnya yang putih bersih.
Apakah Bram sedang jatuh cinta pada pandangan kedua?

***

Nurani

Jangan terus sinari aku, Tuan
Pinjamkan saja aku lentera
Bukan untuk menerangi perjalanan ini
Tetapi untuk menemukan lenteraku sendiri

J1116

Bidadari dan Permaisuri dari Surga

Duhai Bidadari ku …
Engkau bukanlah pendamping yang sempurna
Engkau bukanlah pendamping secantik model “Victoria Secret
Tapi engkaulah ibu dari anak-anakku

Duhai Bidadariku …
Engkau bukanlah pasangan yang sempurna
Engkau bukanlah pasangan dari kalangan elit dan jet set
Bukanlah pasangan Pangeran William dan Kate Middleton
Tapi pasangan yang saling melengkapi dalam duka dan suka

Duhai Permaisuriku …
Engkau bukan pendamping yang berasal dari kerajaan
Engkau bukan berasal dari dunia antah barantah
Tapi kehadiranmu melengkapi hidup ku yang sederhana

Duhai Permaisuriku …
Engkau hadir karena ikatan janji suci
Engkau ada karena ciptaan Ilahi
Kita bersama karena ketidaksempurnaan

Duhai Bidadariku dan Permaisuriku …
Kita jalani kehidupan dengan keniscayaan
Kita arungi bahtera kehidupan dengan kekurangan
Mari kita lengkapi segalanya menuju surgawi Ilahi


Tulisan ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id

Belajar Menjadi …

 Betapa indahnya jika kita bisa berbagi dan berempati terhadap sesama sesuai dengan ajaran Rasulullah. Berbagi dan berempati tidak harus menjadi orang pintar dengan lulus dari perguruan tinggi terkenal, cukup dengan belajar menjadi orang yang peduli terhadap sesama dan memliki sense of emphaty terhadap orang-orang yang berkekurangan. Sungguh mulia jika ada manusia seperti Rasulullah dengan banyak ilmu tetapi tidak pelit untuk berbagi. Seperti ilmu padi, semakin berisi, semakin merunduk.

        Saya memang bukan orang yang pintar dan sukses dalam kehidupan baik pekerjaan dan pendidikan, tapi saya coba belajar menjadi orang yang bersyukur, qona’ah dan berempati. Kita bisa berempati terhadap sesama yang memilki kekurangan baik fisik dan non fisik. Cerita berikut ini mengenai empati saya terhadap istri, anak-anak dan ibu mertua. Awalnya cerita empati ini karena saya ingin mendampingi anak saya yang akan menghadapi ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama. Sebenarnya momen ujian nasional sih biasa aja jika dibanding dengan ujian nasional pada tahun-tahun sebelumnya. Karena ada perubahan kebijakan atas kurikulum yang digunakan makanya ujian nasional tahun ini tidak seheboh tahun-tahun sebelumnya. Tapi si umi tetap mengalami ketar-ketir jika anaknya tidak masuk sekolah negeri. Makanya saya mencoba berempati untuk menanggung burden itu dengan mengajukan libur saat anak akan menghadapi ujian nasional dan sekaligus pelajaran berharga dalam hidup bahwa liburan di rumah pun dapat memberikan manfaat yang tidak kalah dengan liburan di luar rumah. Meskipun saya tipe orang yang senang terhadap proses bukan hasil. Jadi jika hasilnya nanti tidak masuk ke sekolah menengah negeri, saya tetap dukung atas hasilnya.

Pelajaran pertama, saya belajar menjadi seorang istri. Bagaimana sibuknya seorang istri mengurus kebutuhan anak-anak dan suami hingga urusan rumah tangga. Seorang istri harus segera bertindak cepat ketika ada anggota keluarga sakit. Seorang istri juga harus pandai mengatur kebutuhan harian dan bulanan dalam rumah tangga. Bagaimana mereka harus sibuk agar semuanya dapat terpenuhi tanpa kekuarangan sesuatu apapun. Sungguh sebuah kesalahan jika para suami marah terhadap istri yang sudah banyak melakukan tugas rumah tangga dengan segala kekurangan dan kelebihan. Saya pun salut kepada para wanita yang bekerja dengan kemampuan ganda, berpikir untuk tempat kerja dan rumah tangga. Salam hormat untuk para wanita pekerja. Akhirnya saya merasakan suasana hening di suatu momen untuk dapat rehat sejenak dari kesibukan rumah tangga. Makanya para  ibu rumah tangga memang perlu liburan sejenak dari segala rutinitas untuk melepas lelah, penat dan aktifitas rumah tangga lainnya. Makanya saya tidak akan pernah bisa menjadi seorang istri yang sempurna karena belajar menjadi seorang istri tidaklah mudah karena banyak hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh suami, misalnya melakukan tugas dapur, antar jemput anak-anak sekolah, memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan bersikap sabar saat segala sesuatunya tidak sesuai dengan keinginan.  

Pelajaran kedua, saya belajar menjadi seorang anak. Membimbing anak dalam belajar tidaklah mudah. Alhamdulillah, anak saya termasuk independent student, kecuali jika menemui kesulitan baru bertanya kepada saya. Saya sebisa mungkin akan memberikan jawaban sesuai kemampuan berpikirnya. Alhamdulillah juga, saya masih bisa menjangkau pengetahuan tingkat sekolah menengah pertama dimana hampir seluruh mata pelajarannya sudah masuk ke tingkat sekolah menengah atas. Makanya saya berlibur di rumah untuk bisa mendampingi dan menemani jika si anak mengalami kesulitan tanpa harus menelpon ke kantor jika saya tidak libur. Tidak mudah dan tidak sulit untuk belajar menjadi anak, karena pada dasarnya mereka hanya ingin diperhatikan dan dipenuhi segala keinginannya. Hal terpenting adalah bagaimana menjelaskan dengan bahasa yang santai dan enak agar mereka bisa menerima penjelasan atas alasan kita. Tidak ada resep yang pas dalam mendidik anak bahkan resep yang ampuh pun tidak ada di dunia, karena setiap anak itu memilki keunikan tersendiri dan setiap keluarga juga memiliki cerita yang berbeda-beda. Itulah pelajaran kedua saya, belajar menjadi anak yang ternyata cukup seru untuk dipahami.

Pelajaran ketiga adalah belajar menjadi ibu mertua. Ibu mertua masih tinggal dengan saya setelah bapak mertua meninggal pada tahun 2013. Ibu mertua sudah cukup lama ikut kami. Tidak mudah bagi beliau untuk bisa beradaptasi dengan saya selaku kepala rumah tangga. Pasti ada hal-hal yang menjadi kerikil-kerikil masalah di suatu saat nanti. Kondisi kesehatan beliau juga tidak sesehat dulu ketika masih ada bapak mertua. Dengan segala kondisi ibu mertua, beliau tetap semangat untuk belajar memahami Al Qur’an dan terjemahannya dan terkadang juga menghadiri beberapa maj’lis untuk sekedar menambah pengetahuan tentang Islam dan kesibukan di hari tuanya. Alhamdulillah, sejauh ini kondisi ibu mertua masih lebih baik dengan pengobatan rawat jalan. Makanya kami pun juga sepakat beliau tetap bersama kami. Saya belum tentu bisa menjadi beliau sekarang karena kondisinya akan berbeda nanti. Makanya saya belajar untuk bisa berempati dengan kondisi beliau sekarang. Saya jadi teringat pesan dari Ibnu ‘Abbas tentang “Manfaatkanlah 5 perkara sebelum 5 perkara”. Maka jika sudah teringat hal ini, saya langsung semangat lagi untuk bisa belajar menjadi orang lain.

Pelajaran keempat, adalah belajar menjadi kepala keluarga. Jujur saya sampaikan bahwa hingga saat ini saya belum yakin apakah saya ini adalah kepala keluarga yang sempurna. Masih banyak kekurangan yang perlu saya perbaiki. Dengan segala kekurangan itu, kita selalu bisa berkaca dengan baik dan obyektif bahwa selalu ada kesempatan untuk berbuat baik dan berempati kepada orang lain, baik istri, anak, ibu mertua, kawan, rekan kerja, orang-orang yang tidak beruntung dan masih banyak lagi. Jika sudah melihat ke kaca ada yang tidak pas, maka kita cenderung untuk merapihkan. Demikian juga dengan kekurangan kita, kekurangan sebagai kaca yang bisa membantu kita untuk melakukan perbaikan. Setelah perbaikan dilakukan dan hasilnya tetap sama, maka kita perlu bersyukur sehingga nanti hasil yang kita peroleh adalah keberkahan.

        Mari kita lakukan 5 perkara sebelum datang 5 perkara. Tidak juga menggurui dan tidak juga memaksa, cerita ini merupakan refleksi saya selama liburan menemani dan mendampingi anak ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama. Berkah dari itu adalah adanya cerita yang telah saya sampaikan sebelumnya. Silahkan diambil yang baik dan positif, karena masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam diri saya. Makanya kekurangan sebagai cermin untuk melakukan perbaikan. Dengan melakukan perbaikan dengan cermin yang terbatas itu, saya mencoba belajar menjadi orang lain dan mencoba berempati dengan keadaan orang lain. Jika kekuatan itu bisa muncul dengan orang-orang terdekat, maka semangat itu juga bisa menyebar ke orang-orang yang tidak kita kenal. Mari kita bisa mengambil ilmunya padi, “Semakin berisi, semakin merunduk. Saya hanya ingin berbagi pengalaman alam raga saya dalam sebuah tulisan yang nantinya bisa dinikmati oleh berbagai macam orang. Semoga berkenan untuk membaca dan menghayati. 

Tulisan ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id

The Plant of Immortality






The plant of immortality or the plant of wonders refers to a plant the image of which was on the stone in the Egypt era, six thousand years ago. It is a plant name that is found in Ebers Papyrus (Egyptian medical record in The 16th Century BC) which today is widely known as Aloe Vera. The plant originally comes from Africa and Mediterranian. Aloe itself ia a genus  containing more than five hundreds flowering succulent species. Aloe Vera has been used for centuries and it is cultivated worldwide to crop the gel even the leaf is said beneficial too. Aloe Vera is used for many purposes such as food, cosmetic, supplement, herbal medicine, etc. 

Even though the benefits of Aloe Vera are said endless, not all of them are backed up strongly with scientific research. Some studies prove the use of Aloe Vera to fight cavities, help diabetic-induced foto ulcer, potentially protect skin from UVB and be a good source of antioxidants. It is also proved that patient treated with Aloe Vera is remarkably healed earlier than those who are treated with 1% ssd in the wound burn case.

Beside those scientific research,  so many uses of Aloe Vera are well known, such as for hair loss cure, skin beautifier, constipation treatment, and even i consume it to calm my gastric. Aloe Vera is found as anti inflammation and it penetrate skin even faster than water, hence aloe vera is also suggested to cure itches, stings, burns, etc. It is also believed that using Aloe Vera internally and externally give benefits to the body. 

However, please be careful when you consume Aloe Vera due to its laxative trait. Also be careful for those who interested to have it internally but having kidney problem. 

References:
https://nccih.nih.gov/health/aloevera
http://www.medicalnewstoday.com/articles/265800.php
http://herbandspices.weebly.com/lidah-buaya--aloe-vera.html
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/10/inilah-manfaat-lidah-buaya-yang-harus-anda-ketahui

Menjemput Cinta (Bagian Pertama)

 “Jika cinta datang terlambat, jangan pernah ragu untuk menjemputnya”


“Mas, Aku minta maaf karena sering merepotkan kamu”.
“Ndak apa, Dek, Mas sangat senang kalau kamu masih mempercayai Mas menjaga Kinanti. Selagi Mas dikaruniai kesehatan, mas akan menjaganya disaat kamu pergi bekerja. Lagipula, disini juga tidak ada anak kecil. Ibu dan Ratih juga sayang dengan Kinanti, kata mereka, Kinanti sudah seperti cucu dan keponakan sendiri”.
Setelah mendapat penjelasan Bram yang menyejukan hatinya, Kinasih hendak pamit. Sebelum melangkah keluar dari halaman rumah yang disisi kanan dan kirinya ditumbuhi rumput serta tanaman bunga beraneka warna, Kinasih  mencium pipi dan kening Kinanti, puteri satu-satunya yang baru berusia dua tahun.
“Ibu pamit ya sayang, Kinanti ndak boleh cengeng apalagi nakal, kasian nanti om Bramnya jadi repot” tutur Kinasih kepada puterinya penuh kasih sayang sambil sesekali pandangannya menangkap wajah Bram.
"Aku pamit, Mas. Terimakasih atas kebaikan Mas selama ini. Tolong sampaikan salamku untuk Ibu dan Ratih", ucap Kinasih sambil berlalu pergi.
Bram yang sedang menggendong Kinanti menatap Kinasih, mengangguk dan memberikan senyumannya yang tulus.
Kinasih yang telah pamit segera melangkah keluar halaman. Tanpa disadari olehnya, pandangan mata Bram terus tertuju kepadanya, menatap Kinasih hingga sosoknya menghilang di ujung jalan.
Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Bram saat itu. Pemuda tampan tersebut terlihat seperti sedang memendam suatu rasa yang sulit untuk di ungkapkan.
***
Beberapa tahun sebelumnya.

Matahari baru saja naik dari peraduannya. Udara dingin menyelimuti desa yang lokasinya berada di kaki gunung. Kicauan burung yang indah turut meramaikan suasana. Pagi itu penduduk desa memulai melakukan aktifitasnya. Ada yang pergi ke sawah, berladang, sekolah atau kuliah, ke pasar, maupun sekedar membersihkan halaman rumah dan jalan dari daun kering yang jatuh dari pepohonan.
Disebuah rumah dengan pekarangan rumput hijau serta tanaman bunga yang beraneka warna, sejak sebelum adzan subuh berkumandang penghuni rumah tersebut sudah terbangun. Bram memulai hari dengan shalat subuh berjamaah di masjid yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Ia tinggal bersama Ibu dan Ratih, adik satu-satunya. Sedangkan sang Ayah telah wafat ketika ia baru saja   lulus dari sebuah Perguruan Tinggi. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran sang Ayah. 
Bram adalah sosok lelaki idaman. Selain postur tubuhnya yang gagah serta wajahnya yang tampan, ia juga memiliki perilaku yang baik. Tidak heran jika Bram menjadi idola para gadis di Desanya. Tetangga dan teman-temannya memberikan julukan ‘pemuda tampan nan sholeh’  kepadanya. Ia juga merupakan sosok pemuda yang  tekun dalam menjalankan usaha dagang pakaian muslim dan muslimah di Pasar. Karena kegigihannya, usaha dagang yang dirintis sejak ia lulus Sekolah Menengah Kejuruan tersebut terus berkembang hingga ia bisa membangun sebuah toko pakaian yang cukup besar dan lengkap, serta memberdayakan karyawan sebanyak empat orang. Dari usahanya itulah ia mampu menafkahi Ibu dan adiknya.
“Bu, Bram pamit, mohon do’a Ibu” ucap bram sambil mencium tangan Ibunya.
“Hati-hati di jalan, Bram. Oh iya, adikmu bilang dia ada latihan menari sama kawan-kawannya siang nanti di Sekolah, mungkin sampai sore latihannya. Nanti tolong sekalian kamu jemput Ratih ya, Bram” kata ibu mengingatkan.
“Iya Bu, nanti Bram jemput" jawab Bram. 
"Dek, ayo kita berangkat! Dandannya jangan lama-lama, nanti terlambat loh!” teriak Bram memanggil Ratih yang masih berdiri di depan cermin.
“Iya sebentar lagi, Mas” jawab ratih setengah teriak dari dalam kamarnya.
Beberap detik kemudian Ratih keluar, mengambil sepatu, memakainya lalu pamit.
“Ratih berangkat ya Bu, do’ain Ratih biar ulangan pagi ini bisa dikerjakan dengan mudah”.
“Amiin, yang penting gak boleh nyontek ya, Dek!” ujar Bram meledek sambil masuk kedalam mobil untuk memanaskan mesin kendaraan.
“huuuh, mana mungkin adik Mas yang cantik ini berbuat tidak jujur” jawab ratih membela diri.
“Sudah-sudah, cepat jalan, nanti kamu terlambat sampai sekolah” ucap Ibu menengahi sambil tertawa.
“Assalamu’alaykum…” Bram dan Ratih kompak mengucapkan salam.
         Sang Ibu Menjawab ucapan salam sambil tersenyum, menatap kedua buah hatinya dengan penuh rasa syukur.  
Beberapa detik kemudian mobil yang dikendarai Bram keluar halaman dan menghilang di ujung jalan.

(Bersambung)